Dosen Pengampu :
Lailan Nahari, S.H., M.H
Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Siti Amelia (22070001)
2. Suci Ramadani (22070010)
3. Nur Madinah (22070018)
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistematika Hukum Islam dan Adat Kebudayaan merupakan suatu hal yang
tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling berkaitan erat. Masyarakat
menjadi bagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan
hasil dari adanya masyarakat. Seperti halnya kebudayaandan suku batak, suku batak
sudah tidak asing lagi kita dengar dalam pembelajaran kita maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Suku batak sendiri memiliki beraneka ragam jenis subsub
suku/etnis yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan diluar sana menurut
pengamatan penulis masih banyak orang yang belum mengetahui mengenai suku
batak lebih spesifik.
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami perbedaan Sistematika
Hukum Islam dan Adat Budaya yang satu ini serta agar dapat menambah wawasan
pembaca mengenai Sistematika Hukum Islam dan Adat Budaya Mandailing.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep sistematika hukum islam ?
2. Bagaimanakah konsep sistematika adat dan budaya mandailing ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Sehubungan dengan doktrin di atas, maka terdapat lima sifat dan
karakteristik hukum Islam yaitu:
a) Sempurna
Syari'at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar
permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak
berubah-ubah lantaran berubahnya masa dari berlainannya tempat. Untuk
hukum-hukum yang lebih rinci, syari'at isi am hanya menetapkan kaedah
dan memberikan patokan umum. penjelasan dan rinciannya diserahkan
pada ijtihad pemuka masyarakat.1
Menurut M. Hasbi AshShiddieciy, salah satu ciri hukum Islam adalah
takamul yaitu, lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya aneka
pandangan hidup. Menurutnya hukum Islam menghimpun segala sudut
dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan karenanya hukum
Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara Ushul dengan Furu',
tetapi satu sama lain saling lengkap-melengkapi kuat-menguatkan.2
b) Elastis
Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur, Luwes), Ia meliputi Segala
bidang dan lapangan kehidupan manusia,. Hukum Islam memperhatikan
berbagai segi kehidupan baik bidang muamalah, ibadah, jinayah dan lain-
lain. Meski demiklan ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan
memaksa. Hukum Islam hanya memberikan kaidahkaidah urn urn yang
mesti dijalankan oleh umat manusia.3
Sebagai bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis. Dapat dilihat dalam
salah satu contoh dalam kasus jual beli; bahwa ayat hukum yang
berhubungan dengan jual bell (Q.S. al-Bagarah (2): 275, 282, Q.S. an-Nisa'
(4): 29, dan Q.S. (62): 9). Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan hukum
bolehnya jual beli, persyaratan keridhaan antara kedua belah pihak,
larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jum'at. Kemudian Rasul
menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada masa
1
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bagian pertama (Cet. I: Jakarta: Logos,
1997), h. 46.
2
Lihat, M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam (Cet. V, Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
h. 105.
3
Lihat, H. Faturrahman Djamil, op.cit. h. 47
3
beliau. Selebihnya, tradisi atau adat masyarakat tertentu dapat, dijadikan
sebagai bahan penetapan hukum jual beli.
c) Universal dan Dinamis
Ajaran Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup
ajaranajaran Nabi sebelumnya. Berlaku bagi orang Arab dan orang `Ajam
(non Arab). Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum
itu sendiri yang kekuasaan tidak terbatas. Di samping itu, hukum Islam
mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap zaman).4
Hukum Islam memberikan kepada kemanusiaan sejumlah hukum
yang positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat.
Dalam gerakannya hukum Islam menvertai perkembangan manusia,
mempunyai kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan menjawab
segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap
memelihara kepribadian. dari nilai-nilai asasinya.5
d) Sistematis
Arti dari pc.myataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah
bahwa hukum Islam nu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian
secara logis, sating berhubungan satu dengan lainnya.6
Perintah shalat dalam al-Qur'an senantiasa diiringi dengan perintah
zakat. Dan berulang-ulang Allah berfirman "makan dan minumlah kamu
tetapi jangan benlebihan". Dalam hal ini dipahami bahwa hukum Islam
melarang seseorang hanya mermuamalah dengan Allah dan melupakan
dunia. Manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam
melarang sifat imperial dan kolonial kctika mencari rezeki tersebut.
e) Hukum Islam bersifat Ta'aquli dan Ta'abbudi
Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang
mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai
ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia tidak
boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam bidang
4
Ibid, h. 49.
5
Lihat, M. Hasbi As-Shiddiegy, Op-cit.; h. 108
6
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Op.cit., h. 5 1
4
ini, tidak ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang
muamalah, di dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na
(rasional). Artinya, umat Islam dituntut untuk berijtihad guna
membumikan ketentuan-ketentuan syari'at tersebut.7
7
Ibid, h. 52.
8
Lihat, H. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dart Pengantar Studi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 64- 65.
9
Lihat T.M. Hasbi ash-Shiddeqy, Op.Cit. h. 73-83
5
Ada lima prinsip hukum Islam yang menjadi dasar atau fundamen
bangunan hukum Islam baik yang akan muncul dalam kehidupan manusia :
a) Tidak Menyulitkan/Memberatkan (‘adam al-haraj)
Al-Haraj berarti al-dhaiq/ al-dhīq yang berarti kesempitan, kesusahan,
kesedihan, kesukaran, atau kesulitan.Prinsip ‘adam al-haraj dalam hukum
Islam bermakna bahwa di dalam hukum Islam tidak ada dan tidak boleh
ada tugas/tanggung jawab yang melebihi kemampuan atau terlalu berat
untuk dipikul oleh manusia.10 Cukup banyak teks Alqur’an dan Hadis yang
menjelaskan tentang prinsip ini, di antaranya :
Q.S. Al-Baqarah/02:286
10
Op.Cit. h. 73
11
Sya‘ban Muhammad Ismail, Op.Cit. h. 46.
6
c) Bertahap dalam Menetapkan Hukum (al-tadarruj fi al-tasyrī‘)
Orang mengamati dengan cermat proses pembinaan hukum Islam akan
menemukan bahwa pada galibnya, penetapan hukum Islam pada masa
awalnya melalui tahapan-tahapan (berangsur-angsur), seperti kewajiban
shalat, zakat, puasa, haji, pengharaman riba, dan khamar. Pola berangsur-
angsur dalam menetapkan hukum ini tentunya sangat sejalan dengan tabiat
manusia secara pribadi maupun masyarakat, terutama menyangkut
perkara-perkara yang telah “berurat dan berakar” atau mentradisi dalam
masyarakat.
d) Memperhatikan Kemaslahatan
Manusia Prinsip memperhatikan kemaslahatan manusia juga
merupakan pijakan nilai yang menjiwai penetapan hukum Islam. Ayat-
ayat Alqur’an yang menyangkut penetapan hukum, demikian Anwar
Harjono seperti dikutip oleh Fathurrahman Djamil, tidak pernah
meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.12
e) Mewujudkan Keadilan yang Merata
Keadilan di dalam Islam adalah keadilan yang tidak membedakan
manusia satu sama lain di depan hukum. Tidak boleh ada unsur subyektif
dalam definisi keadilan. Apa yang dianjurkan oleh Islam adalah sikap
berfikir yang reflektif dan pendekatan yang obyektif terhadap masalah
yang dihadapi.13 Penguasa sekalipun tidak dapat mengelak dari tanggung
jawab hukum apabila melakukan kejahatan. Demikian juga halnya dengan
orang berharta, berpangkat, dan status-status lainnya.
12
Fathurrahman Djamil, Op.Cit., h. 71
13
Muhammad Muslehuddin, Op.Cit. h. 80
7
atau awal. Setiap hukum atau peraturan yang dibuat harus berdasarkan Al
Quran dan tidak boleh saling bertentangan. Seiring berkembangnya jaman,
tafsiran Al Quran sudah banyak beredar sehingga memudahkan orang
awam untuk mendalami dan menerapkan hukum islam.
Hadits Shahih
Acuan kedua dalam hukum islam adalah hadits. Berbeda dengan Al
Quran, hadits berisi tentang penjelasan rinci mengenai hukum islam yang
ada di Al Quran, tata cara beribadah, aturan dalam melaksanakan ibadah,
dan ucapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang
dijadikan sumber hokum
Ijtihad
Ijtihad adalah usaha para ulama untuk menentukan hukum suatu
perkara baru dengan mengacu pada Al Quran dan hadits. Ijtihad adalah
usaha ulama untuk menentukan hukum setelah Nabi Muhammad wafat
sehingga tidak ada lagi yang bisa ditanyakan pendapatnya. Karena
bersumber dari Al Quran dan Hadits maka dari itu Ijtihad ulama harus
melampirkan ayat dalam Al Quran dan hadits ketika ingin memutuskan
suatu peraturan. Ada 4 jenis Ijtihad, yaitu:
Ijma, hukum sesuai kesepatakan para ulama
Qiyas, hukum yang mirip dengan hukum lain yang jelas hukumnya
Maslahah, hukum untuk mencapai kemaslahatan umat
Urf, hukum yang sesuai kebiasaan
8
Dalam kitab-kitab ilmu ushûl alfiqh, wacana tentang metode penetapan
hukum Islam atau metode ijtihad selalu dikaitkan dengan dalil-dalil hukum.
Oleh karena itu, saya memandang perlu untuk mendeskripsikan konsep dalil,
sebelum melangkah kepada persoalan lebih lanjut. Dalil, yang secara sederhana
berarti sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada yang dicari,14 dalam
literatur ilmu ushûl al-fiqh, didefinisikan sebagai “sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada informasi yang dicari dengan menggunakan penalaran
yang benar,”15 atau “sesuatu yang dapat menyampaikan kepada pengetahuan
yang pasti tentang informasi yang dicari.”16 Dua rumusan ini mengandung
makna yang sama, tetapi yang pertama penekanan berlanjut kepada proses,
sedangkan yang kedua kepada status. Sebagian ahli memandang, petunjuk
hukum yang mengandung kepastian disebut dalil, sedangkan yang hanya
dugaan kuat disebut amârah.17 Sementara itu mayoritas ahli hukum lslam
berpendapat bahwa istilah dalil itu sendiri telah mencakup dua kemungkinan
tersebut, sehingga eksistensi dan kualitas dalil terbagi kepada qath’î dan
zhannî,18 bukan kepada dalil dan amârah.
14
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid I, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1998), h. 417
15
Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn Jam al-Jawâmi’ dalam Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî, Jilid I,
(Bayrût : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), h. 124-124.
16
Saefuddîn al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983),
h.13
17
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn ‘Alî al-Syîrâzî, al-Luma’ fi Ushûl al-Fiqh, (Semarang: Toha Putra,
t.t.), h. 3
18
AbdulWahhâb Khallâf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), h. 20.
9
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat
Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang
Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang
merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa,
bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari
Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Suku Mandailing
mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk
menulis kitabkitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Umumnya pustaka-
pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-
ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.
2. Landasan Operasional
a) Adat Pertunangan
Mangarisika Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke
tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk
mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda
mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-
barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
b) Horja Siriaon (Upacara Adat Perkawinan)
Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan
upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang
(gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam
sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung
rarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit
dengan tabir.
Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na
tolu, seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan
dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu
berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota
berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama
yang membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut),
dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar dari
10
anak boru (pisang raut), peserta musyawarah yang turut hadir (paralok-
alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari kambpung
sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan sidang (raja
panusunan bulang).
Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama
mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak
agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu
kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada kata-kata nasihat yang
disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau
menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa,
berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan
nasi, telur dan ayam kampung dan garam Masing-masing hidangan
memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur bulat yang terdiri dari
kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan (keutuhan) badan (tondi).
Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai tanda bahwa
dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa manis,
pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap dan dapat
menjalani dengan baik hubungan tersebut.
c) Mengharoani
Sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya
diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang
berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut
tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan
aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan
memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung
adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang
baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
d) Pelestarian Horja Mambulungi/ Horja Siluluton (Upacara Adat
Kematian)
Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu
perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan, maka pada
saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat kematian
11
terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang anak
keturunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati (Horja
Mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak atau keluarganya tetap
menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang disebut mandali di
paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak dibenarkan mengadakan
pesta adat perkawinanan (horja siriaon).
Pelaksanaan Upacara Adat Kematian dilaksanakan:
1. Pada saat penguburan.
2. Pada hari lain yang akan ditentukan kemudian sesuai dengan
kesempatan dan kemampuan keluarganya.
3. Landasan Strukural
a) Dalihan Na Tolu merupakan fondasi budaya Angkola-Sipirok, Padang
Lawas dan Mandailing, yang saat ini lambat laun mengalami ancaman
kepunahan. Pada Dalihan Na Tolu terdapat 3 unsur, yaitu:
1) Kahanggi, adalah kelompok yang mengayomi.
2) Anak boru, adalah kelompok yang melaksanakan tugas.
3) Mora, adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.
Pada Dalihan Na Tolu terdapat 109 nilai, yang diperas menjadi 9 nilai
budaya utama, yaitu:
1) Kekerabatan, mencakup hubungan primordial, suku, kasih sayang atas
dasar hubungan darah dan perkawinan.
2) Religi, mencakup kehidupan beragama.
3) Hagabeon, mencakup banyak anak-cucu serta panjang umur.
4) Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan dan kharisma.
5) Hamaraon, mencakup kekayaan yang banyak tapi halal.
6) Hamajuon, mencakup kemajuan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
7) Hukum, mencakup “ptik dan uhum’’ dalam rangka menegakkan
kebenaran.
8) Pengayoman, nilainya lebih kecil dari 7 unsur lainnya, karena orang
AngkolaMandailing harus mandiri.
12
9) Konflik, mencakup terjadi pertarungan kekuatan tentang masalah tanah
dan warisan.
b) Mamodomi Boru
Mungkin semua orang sering mendengar istilah kawin lari, di
Mandailing. Biasa disebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang
pemuda membawa kawin lari seorang gadis, biasanya si gadis ditemani satu
orang gadis juga yang disebut dengan Pandongani. Dalam tradisi
Mandailing ini masih sering terjadi. Untuk menghindari sesuatu yang
dianggap melanggar norma-norma, lahirlah tradisi yaitu “Mamodomi
Boru”. Mamodomi Boru artinya, meramaikan/menemani seorang gadis
yang mau menikah pada malam hari dirumah kediaman calon suaminya
sebelum dijatuhi akad nikah. Mamodomi boru biasanya diramaikan oleh
gadis-gadis setempat selama tiga malam. Dan rumah kediaman calon suami
akan selalu ramai karena, pemuda-pemuda juga ikut berkunjung ke rumah
itu.
Pada momen ini juga biasanya disediakan daun sirih (Burangir) beserta
dengan kombinasinya seperti sontang sejenis daun kering yang biasa
dimakan bersamaan dengan daun sirih. Dan perlu diketahui sontang bisa jadi
obat saat suara kita serak. Bila para gadis mau tidur, diperkenankan kepada
para pemuda untuk bubar. Begitulah seterusnya pada setiap malamnya
sampai akad nikah telah dilaksanakan. Mamodomi boru sering juga disebut
dengan istilah paboru-boru. Seperti yang diuraikan tadi, bila akad nikah
sudah dilakukan sipandongani juga boleh pulang kerumahnya. Tapi perlu
diketahui sebelumnya, kalau selama akad nikah belum terlaksana. Dari
pihak laki-laki atau calon suami harus pergi ke rumah orangtua calon istri,
untuk menyatakan kalau anak gadisnya telah dibawa kawin lari, ini biasa
disebut mandokon ulang agoan. Nah begitulah salah satu adat di Mandailing
yang mempunyai nilai dan norma yang baik.
c) Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal
maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal
marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis,
13
Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan,
Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan
Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga, maka
orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah
yang menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada
kawin semarga, maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak
orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi perkawinan semarga,
maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam,
kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun
aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial
masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di perantauan. Kata marga
di Mandailing atau Mandahiling bisa berarti clan yang berasal dari bahasa
Sanskrit, varga yaitu warga atau warna, ditambah imbuhan ma atau mar,
menjadi mavarga atau marvarga, artinya berwarga, dan disingkat menjadi
marga. Marga itu sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal
dari satu keturunan atau satu dusun. Marga juga bisa berasal dari singkatan
'naMA keluaRGA'. Namun, tidak semua orang Mandailing mencantumkan
marga dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara
orang Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang
Mandailing ada juga yang tak memakai sistem patrilineal atau sistem marga,
melainkan memakai sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai sistem
suku dalam bahasa Minang, seperti contohnya etnis Lubu yang merupakan
penduduk asli Mandahiling. Selain itu, marga juga bisa diartikan sebagai
dusun, seperti halnya arti marga di wilayah Sumatera Utara.
d) Agama dan Bahasa
Penduduk suku Batak Mandailing mayoritas adalah beragama Islam.
Berbeda dengan orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua suku
bangsa ini berawal dari sejarah asal usul yang sama. Bahasa Mandailing
merupakan bahasa yang terdapat di provinsi Sumatera Utara bagian Utara,
Sumatera Barat dan Riau bagian utara, yang merupakan varian dari bahasa
Sanskerta yang banyak dipengaruhi bahasa Arab. Bahasa Mandailing Julu
dan Mandailing Godang dengan pengucapan yang lebih lembut lagi dari
14
bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba. Mayoritas penggunaannya
di daerah Kabupaten Mandailing Natal, tapi tidak termasuk bahasa Natal
(bahasa Minang), walaupun pengguna bahasa Natal berkerabat
(seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing Natal pada
umumnya.
e) Pakaian Adat
15
tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Tari
tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan
roh. Roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu
(merupakan simbol leluhur). Patung-patung tersebut tersebut kemudian
bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan
tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
2. Alat Musik Gordang Sembilan adalah alat kesenian terdiri atas
sembilan gendang besar (beduk) yang ditabuh bersamaan, dalam
rangka tertentu, misalnya pada hari raya. Salah satu beduk ditabuh oleh
seorang raja/pemimpin wilayah, yang biasanya memulai irama
penabuhan.
g) Asal-usul silsilah keluarga
Seperti halnya orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing atau
Mandahiling mempunyai pengetahuan mengenai silsilah, yang dalam
bahasa Mandailing disebut sebagai (Tarombo atau Tambo). Silsilah orang
Mandailing bisa mencapai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek
moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-
temurun secara lisan (tambo atau terombo), kemudian diturunkan secara
tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal usul orang
Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada
awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun turunannya,
yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah dikarang oleh
Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai)
Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak
memelihara silsilah mereka. Penelitian silsilah marga Lubis Singengu
(keturunan Silangkitang) di Kotanopan dan Lubis Singasoro (keturunan
Sibaitang) di Pakantan , beserta Harahap (keturunan Sutan Bugis) dan
Hutasuhut (keturunan Sutan Borayun) di Angkola, yang merupakan
keturunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu mula
menetap di Mandailing Julu dan Mandailing Jae (Angkola) pada kurun abad
ke-16 M, keturunan dari Raden Patah gelar Angin Bugis dari Majapahit,
seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan lainnya, yang
16
bukan keturunan Namora Pande Bosi, umumnya sampai sekarang belum
banyak dipublikasikan.
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di
Mandailing Godang merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan) Di
Aru, dan marga-marga Nasution lainnya, antara lain Nasution Panyabungan,
Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-
lain, berdasarkan nama dusun masing-masing, yang awalnya memakai
sistem matrilineal.
h) Rumah Adat
Rumah Adat Mandailing disebut sebagai Bagas Godang sebagai
kediaman para raja, terletak disebuah kompleks yang sangat luas dan selalu
didampingi dengan Sopo Godang sebagai balai sidang adat. Bangunannya
mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagaimana juga
jumlah anak tangganya. Bangunan arsitektur tradisional Mandailing adalah
bukti budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa
peninggalan arsitektur tradisional Mandailing masih dapat kita lihat sampai
sekarang ini dan merupakan salah satu dari beberapa peninggalan hasil
karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut mendapat perhatian
dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat baik secara langsung
baik tidak langsung. Bagas Godang biasanya juga dibangun berpasangan
dengan sebuah balai sidang adat yang terletak dihadapan atau persisnya
bersebelahan dengan rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan
Sopo Godang. Bangunan pada Bagas Godang mempergunakan tiang-tiang
besar yang berjumlah ganjil dan anak tangganya juga berjumlah ganjil
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam bertujuan pada pemeliharaan
agama, menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan jiwa, memelihara
kemurnian akal sehat dan menjaga ketertiban keturunan manusia serta menjaga hak
milik harta kekayaan untuk kemaslahatan hidup umat manusia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena
hukum ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai
kemaslahatan.
2. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena hak
ini sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3. Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum,
hak dan kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya
berdasarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.
18
DAFTAR PUSTAKA
19