Anda di halaman 1dari 42

Makalah

PENGANTAR ILMU FIKIH

Tentang :

“Hukum Islam dan Budaya lokal di Indonesia”

Disusun Oleh :

Kelompok 12 (Dua Belas)

1. Firman Aulia Ramadhan (T20184056)


2. Ade Dwi Yuliasari (T20184062)
3. Liliana Aqim Hitamaka (T20184053)

Dosen Pembimbing :

Ahmad Winarno, M.Pd.I

Program Studi : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidayah

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuataala yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan
inayahnya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan
ridhonya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
Salallahu Alaihi Wasallam. Karena beliau  adalah salah satu figur umat yang mampu
memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada Bapak Ahmad Winarno, M.Pd.I.selaku dosen pengampu  Mata KuliahBahasa
Inggris yang telah membimbing kami.

Kami  mohon maaf  yang  sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat


banyak kesalahan didalamnya. Saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
tercapainya kesempurnaan  makalah  selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis umumnya dan khususnya bagi pembaca.

Jember,  18 September 2018

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
1. Dapat mengetahui pengertian hukum islam
dengan penjelasan menurut syariah fiqih dan
qanun serta mengetahui ruang
lingkup hukum islam................................................................4
2. Dapat mengetahui Ontologi interaksi agama
dan budaya di Indonesia............................................................27
3. Dapat mengetahui hukum islam dan
budaya lokal yang ada di Indonesia...........................................35

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................38
B. Saran.................................................................................................38
C. Penutup.............................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................39

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Manusia dihadirkan di muka bumi , lahir, hidup, dan berkembang menjadi makhluk
duniawi yang sekaligus berperan sebagai khalifah. Sebagai makhluk duniawi, sudah
tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala segi masalah dan
tantangannya, dengan menggunakan segala potensi kemanusiaan dan
tantangannya,dengan menggunakan segala potensi menunjukan bahwa hubungan
manusia dengan dunia tidaklah selalu diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah, dan
menyesuaikan diri dengan tuntunan lingkungannya. Tetapi justru diwujudkan dalam
sifat aktif, memanfaatkan lngkungan untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Sementara itu, sejalan dengan perkembengan akal pikiran dan budi daya manusia,
Allah menunjukan manusia-manusia pilihan diantara kelompok atau masyarakat
tertentu untuk menyampaikan petunjuk dan peringatan tentang “siapa sebenarnya
kekuatan mutlak yang objektif dan rasional” yang mereka cari, dan yang sebenarnya
mereka cari, dan yang sebenarnya mereka saksikan sebelum menyempurnakan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fitrah manusianya. Hadirnya para utusan
tuhan tersebut, kembali meluruskan budaya masyarakat yang menyimpang dan
membentuk budaya “khas” ilahi, agama samawi ini menyebar dan memasuki
lingkungan budaya bangsa-bangsa tersebut, mewujudkan sistem budaya universal dan
menjadi rahmatan lil al-‘alamin.
Hadirnya agama, dalam pengertiannya yang umum dimaknai sebagai kepercayaan
terhadap kekuatan/kekuasaan supranatural yang menguasai dan mengatur kehidupan
manusia, yang menimbulkan sikap bergantung/pasrah pada kehendak dan
kekuasaannya dan menimbulkan perilaku serta perbuatan tertentu secara
berkomunikasi dengan “Sang Mahadahsyat” dan memohon pertolongan untuk
mendatangkan kehidupan yang selamat dan sejahtera.
Ajaran agama diwahyukan tuhan untuk kepentingan manusia tidak diciptakan untuk
kepentingan agama. Dengan bimbingan agama, diharapkan manusia mendapat
pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan membangun peradabannya.

1
Dengan paradigma ini maka agama adalah jalan, bukan tujuan. Agama membimbing
manusia berjalan mendekati tuhan dang mengharap ridho-nya melalui amal kebaikan
yang berdimensi vertikal (ritual keagamaan) dan harizontal (pengabdian sosial).
Tidak ada satu agama pun yang bebas dari tradisi panjang yang dihasilkan oleh bangsa
atau masyarakat yang warganya menjadi pemeluknya. Oleh karena itu, islam yang
dipahami dan dijalankan oleh suatu etnis atau suku pada batas tertentu bisa jadi tidak
sama dengan islam yang dipahami dan dihayati oleh suku lainnya.
Begitu pula kemudian dalam wilayah yang lebih luas, islam yang di hayati orang-orang
timur tengah, sampai batas tertentu berbeda dengan islam yang di hayati bangsa
Indonesia. Meskipun diakui bahwa terdapat persamaan dalam kesemua varian islam
terkait dengan prinsip-prinsip dasarnya, namun dalam prektiknya terdapat banyak
variasi oleh karena adanya sentuhan budaya masing-masing wilayah.
Baik kehidupan agama maupun kehidupan budaya, keduanya berasal dari sumber yang
sama, yaitu merupakan potensi fitrah manusia, tumbuh dan berkembang secara terpadu
bersama-sama dengan proses kehidupan manusia secara nyata di muka bumi dan
secara bersama pula menyusun suatu sistem budaya dan peradaban suatu masyarakat.
Namun demikian keduanya memiliki sifat dasar yang berbeda, yaitu bahwa agama
memiliki sifat dasar “keaktifan dan kemandiran”.
Oleh karena itu, dalam setiap fase pertumbuhan dan berkembangannya menunjukkan
adanya gejala, variasi, dan irama yang berada antara lingkungan masyarakat yang satu
dengan yang lainnya. Membaca berbagai dokumen sosial-agama, transendesi Islam
dengan nilai-nilai universalnya senantiasa berhadapan dengan ketegangan-ketegangan
dialektis, antara implikasi-implikasi akulturasi dengan keharusan agama untuk tetap
mempertahankan aspek transendental.
Akulturasi menimbulkan perubahan-perubahan dan problem-problem baru yang
berpengaruh terhadap terhadap kehidupan pemeluk agama. Akan tetapi agama tetap
eksis dan dinamis berperan dalam berbagai bidang kehidupan.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan hukum islam ? (menurut syariah fiqih dan qanun serta
ruang lingkup hukum islam)
2. Bagaimana Ontologi interaksi agama dan budaya di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum islam dan budaya lokal di Indonesia?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian hukum islam dengan penjelasan menurut syariah
fiqih dan qanun serta mengetahui ruang lingkup hukum islam
2. Dapat mengetahui Ontologi interaksi agama dan budaya di Indonesia
3 Dapat mengetahui hukum islam dan budaya lokal yang ada di Indonesia

3
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Hukum Islam

Al-quran dan literature hukum islam sama sekali tidak menyebutkan kata hukum
islam sebagai salah satu istilah. Yang ada didalam al-quran adalah kata syariah,fiqh,hukum
allah, dan yang seakar dengannya. Istilah hukum islam merupakan terjemahan dari Islamic
Law dalam literature barat.istilah ini kemudian menjadi popular untuk lebih memberikan
kejelasan tentang makna hukum islam maka perlu diketahui lebih dulu arti masing-masing
kata. Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa arab,yaitu yaitu ُ ‫ك ح‬َ ‫ي َ َم‬-‫ُم ْك َح‬
hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi ‫ك ح‬ ُ ‫اً ْم‬hukman. Lafadz ُ ‫ْم ُكحْ اَل‬
al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak ُ‫ا َم ْك َْح َل ا‬al-ahkâm. kataBerdasarkan akar
kata َ‫كَ ح‬VVV‫ َم‬hakama tersebut kemudian muncul ُ ‫ ةَ ْم ِكحْ اَل‬al-hikmah yang memiliki arti
kebijaksanaan. sebagai orang yang bijaksana.2 Arti lain yang muncul dari akar kata tersebut
adalah “kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya
adalah untuk mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh
agama. Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti dari lafadz hukmu yang
memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah ketidakadilan, mencegah kedzaliman,
mencegah penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya. Al-Fayumi dalam buku Zainudin
Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di Indonesia ia menyebutkan bahwa “‫ك ح‬ َ ‫ىَ ْن َع ِم‬
َ ‫ب َم‬
َ ‫ ْفالَى َو‬VV‫ص‬
‫ق‬VV‫ض‬ َ َ‫ ْ”ل‬. Hukum bermakna memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap
permasalahan.3 Muhammad Daud Ali menyebutkan bahwa kata hukum yang berasal dari
lafadz Arab tersebut bermakna norma, kaidah, ukuran, tolok ukur, pedoman, yang digunakan
untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kamus
Oxford sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin, hukum diartikan sebagai
“Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh
masyarakat dan bangsa tertentu dan mengikat bagi anggotanya”.4 ً‫ ا‬Selanjutnya islâm adalah
bentuk mashdar dari akar kata -َ‫ي‬/ ُ‫اُ ِم ْلس‬-‫س‬
ِ ‫ َمأْل س م َ الَ ْل‬aslama-yuslimu-islâman dengan
mengikuti wazn -َ‫ ي‬/ ُ‫اُلِعْف‬-‫ف‬
ِ ‫ لَ ْعفَأ ْع‬af’ala-yuf’ilu-if’âlan yang mengandung arti ُ‫ أ‬,‫ةَا َّعالطَ ُوا َديِ ْق ِن ْ َل‬
ketundukan dan kepatuhan serta bisa juga bermakna Islam, damai, dan selamat. Namun
َ ‫ ُس َم ْل‬-‫ ًوم َ َل‬-‫لَ َسا‬salima-yaslamu-
kalimat asal dari lafadz islâm adalah berasal dari kata ‫يَ ِم َل س‬-‫س‬
salâman-wa salâmatan yang memiliki arti selamat (dari bahaya), dan bebas (dari cacat).

4
Sebagaimana terdapat dalam Al-quran surah Ali Imran 20 yang berbunyi sebagai
berikut:
V‫ َن‬V‫ ي‬VِّV‫ ي‬V‫ ِّم‬Vُ ‫أْل‬V‫ ا‬V‫ َو‬V‫ب‬
Vَ V‫ ا‬VVVَV‫ ت‬V‫ ِك‬V‫ ْل‬V‫ ا‬V‫ا‬V‫ و‬VVVVُ‫ت‬V‫ و‬Vُ‫ أ‬V‫ن‬Vَ V‫ ي‬V‫ ِذ‬Vَّ‫ ل‬Vِ‫ ل‬V‫ل‬Vْ VVVVُ‫ ق‬V‫و‬Vَ Vۗ V‫ ِن‬V‫ َع‬Vَ‫ ب‬Vَّ‫ت‬V‫ ا‬V‫ن‬Vِ V‫ َم‬V‫و‬Vَ Vِ ‫ هَّلِل‬V‫ َي‬V‫ ِه‬V‫ج‬Vْ V‫و‬Vَ V‫ت‬ Vْ Vَ‫ أ‬V‫ل‬Vْ VVVVُ‫ ق‬Vَ‫ ف‬V‫ك‬
Vُ V‫م‬Vْ Vَ‫ ل‬VVV‫س‬V َ V‫ و‬VُّV‫ج‬V‫ ا‬VVVV‫ َح‬V‫ن‬Vْ Vِ‫ إ‬VVVVَ‫ف‬
Vِ‫د‬V‫ ا‬Vَ‫ ب‬V‫ ِع‬V‫ ْل‬V‫ ا‬Vِ‫ ب‬V‫ر‬Vٌ V‫ ي‬V‫ص‬
ِ Vَ‫ ب‬Vُ ‫ هَّللا‬V‫ َو‬Vۗ V‫غ‬ ُ ‫ اَل‬Vَ‫ ب‬V‫ ْل‬V‫ ا‬V‫ك‬ َ V‫ ْي‬Vَ‫ ل‬V‫ َع‬V‫ ا‬V‫ َم‬Vَّ‫ ن‬Vِ‫ إ‬Vَ‫ ف‬V‫ ا‬V‫و‬Vْ Vَّ‫ ل‬V‫ َو‬Vَ‫ ت‬V‫ن‬Vْ Vِ‫ إ‬V‫و‬Vَ Vۖ V‫ ا‬V‫و‬Vْ V‫ َد‬Vَ‫ ت‬V‫ ْه‬V‫ ا‬V‫ ِد‬Vَ‫ ق‬Vَ‫ ف‬V‫ا‬V‫ و‬V‫ ُم‬Vَ‫ ل‬V‫ ْس‬Vَ‫ أ‬V‫ن‬Vْ Vِ‫ إ‬Vَ‫ ف‬Vۚ V‫ ْم‬Vُ‫ ت‬V‫ ْم‬Vَ‫ ل‬V‫ ْس‬Vَ‫ أ‬Vَ‫أ‬
Artinya: Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah:
"Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku".
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang
ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka
telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah
menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.

diri seorang hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Hal ini berarti bahwa manusia
dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah) haruslah merasa kerdil, bersikap mengakui
kelemahan dan membenarkan kekuasaan Allah swt. Kemampuan akal dan budi manusia yang
berwujud dalam ilmu pengetahuan tidaklah sebanding dengan ilmu dan kemampuan Allah
swt. Kemampuan manusia bersifat kerdil dan sangat terbatas, semisal hanya terbatas pada
kemampuan menganalisis, menyusun kembali bahan-bahan alamiah yang telah ada untuk
diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mampu
menciptakan dalam arti 1

1
Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara book,2016) Hal 1-4

5
B.Pengertian Syariah,Fiqih dan Qanun
Terdapat istilah syarî’ah dalam hukum Islam yang harus dipahami sebagai sebuah
intisari dari ajaran Islam itu sendiri. Syarî’at atau ditulis juga syarî’ah secara etimologis
(bahasa) sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi as-Shiddieqy adalah “Jalan tempat keluarnya
sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun”9 yang kemudian diasosiasikan oleh orang-
orang Arab sebagaiُ‫ ْمال‬V ‫طَ ا ُةَ ْميِقَ ْت ُس‬V ‫ةَ ْقيِرَّل‬at-thariqah al-mustaqîmah, sebuah jalan lurus10 yang
harus diikuti oleh setiap umat muslim. Pergeseran makna dari denonatif, sumber mata air,
menjadi jalan yang lurus tersebut memiliki alasan yang bisa dinalar. Setiap makhluk hidup
pasti membutuhkan air sebagai sarana menjaga keselamatan dan kesehatan tubuh, guna bisa
bertahan hidup di dunia. Demikian juga halnya dengan pengertian “jalan yang lurus” di
dalamnya mengandung maksud bahwa syariat sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai
kebaikan serta keselamatan baik jiwa maupun raga. Jalan yang lurus itulah yang harus
senantiasa dilalui oleh setiap manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan dalam
hidupnya. Secara terminologis (istilah) syarî’ah diartikan sebagai tata aturan atau hukum-
hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti. Diperjelas oleh
pendapat Manna’ alQhaththan, bahwa syarî’at berarti “segala ketentuan Allah yang
disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun
muamalah”.11 Ulama-ulama Islam juga mendefinisikan Syariat sebagaimana dikutip dalam
buku Pengantar dan Sejarah Hukum Islam berikut:
“Syariat ialah apa (hukum-hukum) yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-
hambanya,yang dibawa oleh salah seorang nabi-nya sa.a.w, baik hukum-hukum tersebut
berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai hukum-hukum
cabang dan amalan,untuknya maka dihimpunlah syariat(syara’) disebut juga agama ad-di dan
al millah”
Sesuai dengan ayat al-Quran surat al-Jasiyah ayat 18: َ
V‫ َن‬V‫ و‬V‫ ُم‬Vَ‫ ل‬V‫ ْع‬Vَ‫ اَل ي‬V‫ن‬Vَ V‫ ي‬V‫ ِذ‬Vَّ‫ل‬V‫ ا‬V‫ َء‬V‫ ا‬V‫ َو‬V‫ ْه‬Vَ‫ أ‬V‫ ْع‬Vِ‫ ب‬Vَّ‫ ت‬Vَ‫ اَل ت‬V‫ َو‬V‫ ا‬Vَ‫ ه‬V‫ ْع‬Vِ‫ ب‬Vَّ‫ت‬V‫ ا‬Vَ‫ ف‬V‫ ِر‬V‫ ْم‬Vَ ‫أْل‬V‫ ا‬V‫ن‬Vَ V‫ ِم‬V‫ ٍة‬V‫ َع‬V‫ ي‬V‫ ِر‬V‫ َش‬V‫ى‬Vٰ Vَ‫ ل‬V‫ َع‬V‫ك‬
Vَ V‫ ا‬Vَ‫ ن‬V‫ ْل‬V‫ َع‬V‫ َج‬V‫ َّم‬Vُ‫ث‬
-Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak mengetahui”.
Syariah pada mulanya diartikan dengan agama, namun kemudian lebih dispesifikkan
untuk hukum amaliah saja. Pengkhususan makna syariah dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman bahwa sejatinya Agama hanya satu dan cakupannya lebih luas (universal),
sedangkan Syariah dapat berbeda-beda antar satu umat dengan umat lainnya. Syariat
merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, dan kemudian wajib diikuti oleh umat

6
Islam berdasar keyakinan dan disertai akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah ( ‫هَّ اللَ ِن‬
‫ح‬/ ‫ب‬َ ‫ ٌم ْل‬hablun min Allâh), dengan sesama manusia (ِ‫ح‬/ ‫ب‬
َ ‫ اسَّ النَ ِن ٌم ْل‬hablun min an-nâs), dan juga
َ ‫ن ُم ْل‬hablun
alam semesta (َ‫ال‬VV‫ح م َالَ ْع‬/ ‫ب‬ ِ min al=‘âlam). Syariat sebagai norma hukum yang
disyariatkan oleh Allah ini kemudian diperinci oleh Muhammad.
sehingga selain terdapat di dalam al-Quran, syariat juga terdapat dalam as-Sunnah
(qauliyyah, fi’liyyah, dan taqrîriyyah). Hadits Nabi juga menjelaskan bahwa “Umat Islam
tidak akan pernah tersesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang
teguh atau berpedoman kepada al-Quran dan sunah Rasulullah”. Posisi syariat adalah sebagai
pedoman dan tolok ukur bagaimana manusia dapat hidup di jalan yang benar atau tidak.
Selama di dalam hidup tetap berpatokan kepada ketentuan al-Quran dan Hadits Nabi maka
hidupnya akan menjadi terarah. Mahmud Syaltut dalam al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî’ah
mengatakan, “Syariah adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Allah atau ditetapkan
dasar-dasarnya oleh Allah agar manusia berpegang teguh kepadanya dalam hubungannya
dengan Tuhannya, berhubungan dengan saudaranya sesama muslim, berhubungan dengan
saudaranya sesama manusia, berhubungan dengan alam semesta, dan berhubungan dengan
kehidupan.13 Norma hukum dasar yang terdapat di dalam al-Quran masih sangat umum,
sehingga kemudian perkembangannya diperinci oleh hadits Rasul dan diperkaya dengan
pemikiran ulama. Norma hukum dasar yang bersifat umum dalam al-Quran tersebut
kemudian digolongkan dan dibagi ke dalam beberapa bagian atau kaidah-kaidah yang lebih
konkret guna dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mempraktekkan
kaidah-kaidah konkret tersebut dalam kehidupan sehari-hari diperlukan disiplin ilmu untuk
memahaminya terlebih dahulu. Disiplin ilmu tersebut di antaranya adalah ilm al-fiqh, yang ke
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ilmu hukum (fiqih) Islam. Sebagaimana
dilansir oleh Muhammad Daud Ali dalam Hukum Islam, ilmu fiqih adalah ilmu yang
mempelajari atau memahami syariat dengan memusatkan perhatian pada perbuatan (hukum)
manusia mukallaf, yakni manusia yang menurut ketentuan Islam sudah baligh (dewasa),
Secara ringkas fiqih adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam
usahanya menemukan hukum Tuhan.16 Fiqih memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum
syara’ yang bersifat praktis yang bersumberkan kepada dalil-dalil terperinci. Hukumhukum
syara’ tersebutlah yang dinamai dengan fiqih; baik ia dihasilkan dengan jalan ijtihad ataupun
tanpa ijtihad. Sehingga jelas sekali bahwa hukum-hukum yang terkait dengan bidang akidah
dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih dan tidak pula dikatakan sebagai
Ilmu Fiqih. Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, terdapat perbedaan pokok antara
syariah dengan fiqih:

7
1. Ketentuan syariat terdapat dalam al-Quran dan kitabkitab hadits. Yang dimaksud
syariah adalah wahyu Allah dan sunah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Sedang
fiqih adalah sebuah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat dan
terdapat dalam kitab-kitab fiqih
2. Syariat bersifat fundamental serta memiliki cakupan ruang lingkup yang lebih luas,
meliputi juga akhlak dan akidah. Sedang fikih hanya bersifat instrumental, terbatas
pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasa disebut sebagai perbuatan
hukum.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya sehingga berlaku abadi.
Sedang fiqih karena merupakan karya manusia, maka sangat dimungkinkan
mengalami perubahan sesuai perkembangan zaman dan waktu.
4. Syariat hanya ada satu, sedang fikih berjumlah banyak karena merupakan
pemahaman manusia. Seperti terdapatnya beberapa aliran ahli fikih fâqih (s) atau
fuqahâ’ (p) yang berbeda, dikenal dengan sebutan madzhab (s) mazhahinb (p)

Selanjutnya definisi qânûn (Undang-Undang). Istilah ini merupakan kata yang berasal
dari bahasa Arab. Kitab Mu’jam Al-Wasîth menyebutkan bahwa qânûn adalah setiap
perkara yang bersifat kulliy (menyeluruh) yang relevan dengan seluruh juz’iyyah
(bagianbagian)-nya, yang darinya hukum-hukum juz’iyyah tersebut dikenal. Dalam
hal ini ulama salaf memberikan definisi qânûn sebagai kaidah-kaidah yang bersifat
kulliy (menyeluruh) yang di dalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-
bagian). Jika kata qânûn disebutkan bersamaan dengan kata syariah, tidak lain
maksudnya adalah suatu hukum yang dibuat manusia untuk mengatur perjalanan
hidup dan hubungannya dengan sesama manusia yang lain, baik secara individu,
masyarakat, dan negara. Dasar syariat adalah wahyu Allah, sedangkan dasar qânûn
adalah rakyu (produk manusia). Kata qânûn (undang-undang) berarti kumpulan
undang-undang atau hukum produk manusia yang dikemas untuk perkara tertentu dan
bidang-bidang tertentu, seperti undang-undang pidana dan lain-lain. Bisa disebut pula,
qânûn ialah kumpulan hukum produk manusia yang digunakan untuk menyelesaikan
dan memutuskan perkara manusia yang berselisih. Qânûn produk manusia yang kali
pertama dikenal ialah Qânûn Hamuraby di negara Babilonia, sedang kumpulan qânûn
klasik yang paling terkenal adalah undang-undang Romawi. Terdapat perbedaan
mendasar antara syariat dengan qânûn jika ditinjau dari tiga aspek, yaitu:

8
1. Aspek pembuatan. Qânûn merupakan produk manusia, sedangkan syariat Islam
adalah produk Allah. Qânûn terdapat kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Maka
dari itu qânûn menerima perubahan, pergantian, termasuk penambahan dan
pengurangan materi sesuai perubahan yang terjadi di masyarakat. Ditinjau dari aspek
pembuatan ini maka qânûn tidak akan pernah sempurna karena merupakan produk
manusia yang penuh dengan keterbatasan. Berbeda halnya dengan syariat. Ia adalah
produk Allah swt. yang mewakili sifat-sifat kesempurnaan Tuhan semesta alam
berupa kekuasaan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Jangkauan Allah yang
meliputi apa yang telah, sedang, atau akan terjadi menjadikan syariat selalu sesuai
dengan perkembangan zaman dan tidak akan mengalami perubahan serta pergantian.
Sesuai dengan firman Allah swt. dalam al-Quran surat Yûnus: 64, َ
٦٤﴿ ‫ت هّللا ِ َذلِكَ هُ َو ْالفَوْ ُز ْال َع ِظي ُم‬ َ ‫لَهُ ُم ْالبُ ْش َرى فِي ْال َحيا ِة ال ُّد ْنيَا َوفِي اآل ِخ َر ِة الَ تَ ْب ِد‬
ِ ‫يل لِ َكلِ َما‬
Artinya: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam
kehidupan di akhirat. Tidak ada perubahan atau pergantian bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”.
2. Aspek waktu berlakunya. Qânûn sebagai produk manusia bersifat temporer untuk
mengatur setiap perkara dan kebutuhan manusia. Seringkali qânûn atau aturan muncul
setelah terdapat masyarakat. Hal ini menyebabkan qânûn yang saat ini relevan dengan
keadaan masyarakat belum tentu relavan di masa mendatang karna perbedaan.2
2
Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara book,2016)Hal 5-13

9
C.Ruang lingkup Hukum Islam
Membicarakan syariat dalam arti hukum Islam, maka terjadi pemisahan-pemisahan bidang
hukum sebagai disiplin ilmu hukum. Sesungguhnya hukum Islam tidak membedakan secara
tegas antara wilayah hukum privat dan hukum publik, seperti yang dipahami dalam ilmu
hukum Barat. Hal ini karena dalam hukum privat Islam terdapat segi-segi hukum publik;
demikian juga sebaliknya. Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fiqih Islam meliputi:
ibadah dan muamalah. Ibadah mencakup hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Sedangkan muamalat dalam pengertian yang sangat luas terkait dengan hubungan antara
manusia dengan sesamanya. Dalam konteks ini, muamalah mencakup beberapa bidang, di
antaranya: (a) munâkahat, (b) wirâtsah, (c) mu’âmalat dalam arti khusus, (d) jinâyat atau
uqûbat, (e) al-ahkâm as-shulthâniyyah (khilafah), (f) siyâr, dan (g) mukhâsamat.19 Apabila
Hukum Islam disistematisasikan seperti dalam tata hukum Indonesia, maka akan
tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat dalam arti luas sebagai berikut:
1. Hukum Perdata Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munâkahât, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan
perceraian serta segala akibat hukumnya
;b. Wirâtsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
serta pembagian
warisan. Hukum warisan Islam ini disebut juga hukum farâidh;
c. Mu’âmalah dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perserikatan, kontrak, dan sebagainya.
2. Hukum Publik Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinâyah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman, baik dalam jarîmah hudûd (pidana berat) maupun dalam jarîmah ta’zîr
(pidana ringan). Yang dimaksud dengan jarîmah adalah tindak pidana. Jarîmah hudûd adalah
perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam al-Quran dan
asSunnah (hudûd jamaknya hadd, artinya batas). Jarîmah ta’zîr adalah perbuatan tindak
pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya (ta’zîr artinya ajaran atau pelajaran);

10
b. Al-Ahkâm as-Shulthâniyyah, membicarakan permasalahan yang berhubungan
dengan kepala negara/ pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang pajak, dan
sebagainya;
c. Siyâr, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
lain dan negara lain;
d. Mukhâsamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara. Apabila
bagian-bagian hukum Islam bidang muamalat dalam arti luas tersebut dibandingkan
dengan susunan hukum barat, seperti Dasar adanya taklîf kepada mukallaf ialah
karena adanya akal dan kemampuan memahami.

Saifuddin Al-Amidi menegaskan bahwa syarat seseorang dapat dikatakan mukallaf


adalah jika ia berakal dan telah mampu memahami. Karena suatu firman jika dihadapkan
kepada orang yang tidak berakal dan tidak dapat memahami maka akan sia-sia belaka. Seperti
halnya kepada anak kecil yang belum balig, orang gila, dan sebagainya. Pernyataan
Rasulullah saw: Artinya: “Ditiadakan hukum dari tiga orang, ialah dari anak-anak sehingga
sampai usia baligh, dari orang tidur sehingga ia bangun, dan dari orang gila sehingga sehat
kembali” Al-Amidi secara ringkas menjelaskan sebagai berikut:
1. Yang menjadi dasar taklîf adalah akal karena taklîf bersumber pada firman yang harus
dipahami oleh akal.
2. Akal tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur semenjak usia muda, dan
dipandang belum sampai pada ke batas taklîf melainkan jika akal sudah mencapai
kesempurnaan dalam pertumbuhannya.

3. Pertumbuhan akal secara berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke masa secara
tersembunyi sehingga baru jelas permulaan kesempurnaannya (kematangannya) jika sudah
mencapai usia balig atau dewasa secara biologis. Sebagai batas pemisah antara masa masih
kurang sempurna akal dengan mulai mencapai kesempunaannya ialah balig. Di kala orang
sudah baligh maka masuklah ia dalam kategori mukallaf. Dan setiap orang mukallaf harus
bertanggung jawab terhadap hukum taklîfiy. Peranan akal merupakan faktor utama dalam
syariat Islam untuk menetukan seseorang sebagai mukallaf. Sekalipun seseorang telah
mencapai usia balig namun tidak sehat akal maka hukum taklîfi tidak dibebankan kepadanya.
Hal ini sejalan dengan hukum positif yang mengenal istilah personae miserabile, yaitu
seorang manusia yang dianggap tidak cakap bertindak atau melakukan perbuatan
hukum.Dalam hukum Islam dikenal konsep kecakapan hukum yang biasa disebut ahliyyah.

11
Kecakapan ini terkait dengan mampu tidaknya seseorang menjalankan fungsinya sebagai
subjek hukum yang sempurna. Ada dua klasifikasi ahliyyah, yakni ahliyyah al-adâ’ dan
ahliyyah al-wujûb. Yang pertama terkait dengan kecakapan seseorang untuk menunaikan
tindakan hukum. Sedangkan yang kedua terkait dengan kecapakan seseorang untuk menerima
hak, meskipun belum mampu menunaikan kewajiban, misalnya ahliyyah al-wujûb dalam hak
waris bagi bayi.22 Subjek hukum dalam hukum Islam berbeda dengan subjek hukum dalam
hukup positif di Indonesia. Dalam hukum positif Indonesia yang dimaksud dengan subjek
hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki
hak dan kewajiban). Dalam kamus Ilmu Hukum subjek hukum disebut juga dengan “Orang
atau pendukung hak dan kewajiban”. Dalam artian subjek hukum memiliki kewenangan
untuk bertindak menurut tata cara yang ditentukan dan dibenarkan hukum. Sehingga di dalam
ilmu hukum yang dikenal subjek hukum adalah manusia dan badan hukum3

D.Prinsip Hukum Islam


Prinsip menurut pengertian bahasa ialah permulaan; tempat pemberangkatan; titik tolak, atau
al-mabda’. Prinsip hukum Islam, mengutip Juhaya. S. Praja dalam Filsafat Hukum Islam
adalah kebenaran universal yang inheren di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak
pembinaannya. Prinsip membentuk hukum Islam dan setiap cabang-cabangnya.
1. Prinsip Pertama: Tauhid Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah suatu
ketetapan yang sama, yaitu, ketetapan tauhid yang ditetapkan dalam kalimat lâ ilâha illa
Allâh (Tiada Tuhan selain Allah). Al-Quran memberikan ketentuan dengan jelas mengenai
prinsip persamaan tauhid antar semua umat-Nya. Berdasarkan prinsip tauhid ini, pelaksanaan
hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan
diri kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas kemahaesaan-Nya dan menifestasi
syukur kepada-Nya. Prinsip tauhid memberikan konsekuensi logis bahwa manusia tidak
boleh saling menuhankan sesama manusia atau sesama makhluk lainnya.
Pelaksanaan hukum Islam merupakan suatu proses penghambaan, ibadah, dan penyerahan
diri manusia kepada kehendak Tuhan. Konsekuensi prinsip tauhid ini mengharuskan setiap
manusia untuk menetapkan hukum sesuai ketentuan dari Allah (al-Quran dan Sunah). Allah
adalah pembuat hukum (syâri’), sehingga siapa pun yang tidak menetapkan hukum sesuai
dengan ketetapan Allah, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang

3
Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara book,2016)Hal 13-15

12
mengingkari kebenaran, serta zalim karena membuat hukum mengikuti kehendak pribadi dan
hawa nafsu. Firman Allah surat al-Maidah: 44, 45, dan 47. Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adaalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang zalim. Barangsiapa yang
tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasiq.” (al-Mâidah: 44-47)
2. Prinsip Kedua: Keadilan (Al-‘Adl) Islam mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat
ditegakkan keadilan dan ihsan. Keadilan yang harus ditegakkan mencakup keadilan terhadap
diri sendiri, pribadi, keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan dunia. Keadilan hukum
wajib ditegakkan, hukum diterapkan kepada semua orang atas dasar kesamaan; tidak
dibedakan antara orang kaya dan orang miskin, antara kulit berwarna dan kulit putih, antara
penguasa dan rakyat, antara status sosial tinggi dan rendah, antara ningrat dan jelata. Semua
diperlakukan sama di hadapan hukum.Keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek
kehidupan; hubungan manusia dengan Tuhan; hubungan dengan diri sendiri; hubungan
manusia dengan sesama manusia (masyarakat); dan hubungan manusia dengan alam sekitar.
Hingga akhirnya dari sikap adil tersebut.
3. Prinsip Ketiga: Amar Makruf Nahi Munkar Dua prinsip sebelumnya melahirkan
tindakan yang harus berdasarkan kepada asas amar makruf nahi munkar. Suatu tindakan di
mana hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik,
benar, dan diridhai oleh Allah swt. Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah
menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf: kebaikan,
nahyi: mencegah, munkar: kejahatan. Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan
utama dari syariat ialah membangun kehidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan-
kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatankejahatan. Dalam
bukunya, Maududi memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan ma’ruf dan
munkar sebagai berikut: Istilah ma’rûfât (jamak dari ma’rûf) menunjukkan semua kebaikan
dan sifat-sifat yang baik sepanjang masa diterima oleh hati nurani manusia sebagai suatu
yang baik. Istilah munkarât (jamak dari munkar) menunjukkan semua dosa dan kejahatan
sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia sebagai suatu hal yang jahat.Dalam filsafat
hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai fungsi social engineering, sedang nahi
munkar sebagai social control dalam kehidupan penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di
dalam hukum Islam dikenal adanya istilah perintah dan larangan.

13
Islam memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya baik kebebasan individu maupun
kolektif; kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat,
kebebasan beragama, kebebasan berpolitik, dan lain sebagainya. Kebebasan individual
berupa penentuan sikap atas berbuat sesuatu atau tidak. Namun demikian, Islam tetap
memberikan batasan nilai. Artinya, kebebasan yang diberikan oleh Islam tidaklah bebas value
(nilai) atau liberal apalagi sekuler. Setiap individu berhak menentukan sendiri sikapnya,
namun kebebasan atau kemerdekaan seseorang tersebut tetaplah dibatasi oleh kebebasan dan
kemerdekaan orang lain.
5. Prinsip Keempat: Persamaan atau Egaliter (alMusâwah) Al-Quran surat al-Hujurât:
13: ‫ير َ ٌخ ِيم‬ ِ ٌ ‫ق َل ا َّخ ِن إُاسَّا النَ هُّيبَا أَ ي‬ َ ‫ك ْن‬ َ ‫نث أَ ٍو َر ك َ ن ِّذم ُما‬ ُ ُ ‫َقب ًووبا‬
ُ ‫ع شْ ُماكَ ْن َل َع َجى َو‬ َ ‫ئ‬ َ ‫ب لَاِل‬
ِ ‫وا ُ َ ا َر عَت‬
‫ ِد ْع ُم كَ َم رْ كَ أَّ ِن‬VVVV‫تب أِ هَّ اللَن‬ َ ‫ا‬VVVV‫ َّل ِن ْإ ُم‬VVVV‫ َل َع هَّ ال‬Artinya: ‫“ إ‬Hai manusia sesungguhnya kami
َ ‫ك ْق‬
menciptakan kamu lakilaki dan perempuan dan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” Manusia adalah makhluk yang mulia. Kemuliaan manusia bukanlah
karena ras dan warna kulitnya. Kemuliaan manusia adalah karena zat manusianya sendiri.
Sehingga diperjelas oleh Nabi dalam sabdanya.
Artinya: “Setiap orang berasal dari Adam. Adam berasal dari tanah. Manusia itu sama halnya
dengan gigi sisir. Tidak ada keistimewaan antara orang Arab dan Non Arab kecuali karena
ketakwaannya”. Sehingga di hadapan Tuhan atau di hadapan penegak hukum, manusia baik
yang miskin atau kaya, pintar atau bodoh sekalipun, semua berhak mendapat perlakuan yang
sama, karena Islam mengenal prinsip persamaan (egalite) tersebut.
6. Prinsip Kelima: Tolong-Menolong (at-Ta’âwun) Ta’âwun yang berasal dari akar
kata ta’âwana-yata’âwanu atau biasa diterjemah dengan sikap saling tolong-menolong ini
merupakan salah satu prinsip di dalam Hukum Islam. Bantu membantu ini diarahkan sesuai
dengan prinsip tauhid, terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada
Allah. Al-Quran surat al-Mâidah: 2 َ َ‫ئ َع ش ْ واُّ ِل ُح ت َ ْلواُ ن‬ َ ْ‫َل َويْ َد ْه الَ َل َوا َم َرح‬
َ ‫ال رْ هَّ ال َش َل ِو هّ ال َل ِرآ‬
‫ئ‬ َ ‫ت يَبْ الَينِّ ل آم َ َو ِدآل‬ْ َ‫ض َونُ غَتبْ َ يب َا َم َرحْ ال‬ َ ‫ال‬ ْ ‫ض َر وْ ِم هِّ بَّ ن ِّر ًم‬
ِ ْ‫ا َ و‬V ‫ت َل َل ا َح ِذ إَ ًوان‬ ْ ‫ا أَ ي ْ ُم‬VVَ‫آ َمي ِن َّذا ا َل هُّيب‬
ّ‫اص َ هّ ال َّل ِن إَ ه‬ ْ ‫ك نَ ِم رْ َج يَ َل وْ واُاد‬
َ ‫َط‬ َ ‫س ْم ا ِل نَ ْع ُم وك ُّ دَن‬
َّ ‫ص أٍ ْم َو قبُآنَ نَ شْ ُم‬ َ ْ‫ت عَن تب َ أِ ا َم َرحْ ا ِل ِد ج‬ ْ ‫ْقال ْواُ َد‬
‫ ِد َد‬V‫ق ْع الُي‬ ِ ‫ِاب‬َ -٢- ‫َتب و‬ َ ‫او ع‬ َ َ‫واُ ن‬V‫ال َل ْع‬ َ ‫واُ نَ ا َو َع تبَلَى َو وْ قَّالتب َ ِّو رْ ى‬VV‫ث ى اإلَ َل ْع‬ ِ ‫ا َل ِو ْم‬V‫اتب ِو انَ وْ ُد ْع‬ ْ
َ َّ‫واُ ق‬VV‫الل‬
‫ش‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan mengganggu binatang-binatang
hadya, dan binatang-binatang qalâ’id, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang

14
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya. Dan
apabila kamu telah4

E.Karakteristik Hukum Islam


Hukum Islam memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Takâmul Hukum Islam membentuk umat dalam satu kesatuan yang bulat walaupun
berbeda-beda. Yang dimaksud dengan takâmul ialah “lengkap, sempurna, dan bulat,
berkumpul padanya aneka pandangan hidup.” Hukum Islam menghimpun segala
sudut dan segi yang berbeda-beda dalam satu kesatuan. Karenanya, hukum Islam
tidak menghendaki adanya pertentangan antara ushûl dengan furû’. Satu sama lain
saling melengkapi, saling menguatkan, dapat diibaratkan serupa batang pohon yang

semakin banyak cabang dan rantingnya ia semakin kokoh dan teguh, semakin subur
pertumbuhannya, semakin segar

2. kehidupannya. Hukum Islam bersifat syumûl, dapat melayani secara menyeluruh


terhadap golongan yang tetap bertahan pada apa yang sudah usang dan dapat
melayani golongan yang ingin mendatangkan pembaruan. Hukum Islam dapat
melayani ahl al-‘aql dan ahl an-naql, dapat melayani ahl al-kitâb wa assunnah,
sebagaimana dapat melayani ahl ar-ra’yi wa al-qiyâs dan mampu berasimilasi dengan
segala bentuk masyarakat dengan beragam tingkat kecerdasan. Di dalam
berasimilasi, hukum Islam memberi dan menerima, menolak dan membantah
menurut kaedahkaedah yang telah ditetapkan. Dengan teguh ia memelihara
kepribadiannya. Namun demikian ia tidak membeku, tidak jumud, dan tidak
berlebih-lebihan. Teori syumûl berwujud dalam dalam kemampuannya menampung
segala perkembangan dan segala kecenderungan serta dapat berjalan seiring dengan
perkembangan– perkembangan dan menuangkannya dalam suatu aturan. Hukum
Islam sanggup mempertemukan antara halhal yang bertentangan dengan luwes dan
lurus tanpa perlu memihak pada suatu pihak. Hukum Islam menghimpun antara
hidup secara kolegial dengan hidup secara individual, tanpa bertentangan antara

4
Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara book,2016)Hal 22-30

15
fardiyyah dan jamâ’iyyah. Manusia tersusun dari ruh dan mâddah (materi), fikir dan
hati. Dan Islam mempunyai azas mengawinkan antara rûhiy (kejiwaan) dan mâddiy
(kebendaan), tidak mempertentangkan antara keduanya. Karenanya hukum Islam
meliputi berbagai bidang kehidupan manusia: ibadat, muamalat, siyasah, jinayah,
dan lain-lain.
2. Bersifat Universal Hukum Islam bersifat universal, mencakup seluruh manusia di dunia
tidak dibatasi oleh faktor geografis atau batasan teritori. Hal ini terlihat dalam sumber utama
hukum Islam dalam konteks sejarah Rasul dengan memfokuskan dakwah mengenai tauhid
seperti panggilan yâ ayyuha an-nâs, walaupun pada persoalan hukum hanya khusus umat
Islam saja.
Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekalikali kebencian(mu)
kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya.” Al-Baqarah: 110 menguraikan pesan: Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
3. Moralitas (Akhlaqi) Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup di dunia ini.
Oleh karena itu, Allah sengaja mengutus Nabi untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Sebagaimana juga Allah memerintahkan umat Islam untuk mengambil contoh teladan dari
moral Nabi dalam surat al-Ahzâb: 21: Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Relasi antara moral dan
hukum adalah merupakan karakteristik terpenting dari kajian hukum Islam. Dalam hukum
Islam antara keduanya tidak ada pemisahan, jadi pembahasan hukum Islam juga di dalamnya
termasuk pembahasan moralitas. Berbeda halnya dalam kajian hukum Barat, yang jelas-jelas
memisahkandengan tegas antara hukum dan moral. Dari kedua perbedaan ini ternyata
mempunyai implikasi sangat besar dalam praktek hukum di masyarakat.
4. Sempurna Syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar
permasalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah sebab

16
perubahan masa dan tempat. Untuk hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan
kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad
ulama dan cendekia. Dengan menetapkan patokan tersebut, syariat Islam dapat benar-benar
menjadi petunjuk universal, dapat diterima di semua tempat dan saat. Setiap saat umat
manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis kebijakan al-Quran, sehingga
mereka tidak melenceng. Penetapan al-Quran tentang hukum dalam bentuk yang global dan
simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk
melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifatnya yang global itu
diharapkan hukum Islam dapat berlaku sepanjang masa. 5. Elastis dan sistematis Hukum
juga bersifat elastis (luwes), ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia.
Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk,
hubungan makhluk dengan khalik serta tuntutan hidup dunia akhirat terkandung dalam
ajarannya. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan, baik muamalah, ibadah,
jinayah, dan lainnya. Meski demikian ia tidaklah kaku, keras, dan memaksa. Ia hanya

memberikan kaidah umum yang seharusnya dijalankan oleh umat manusia. Dengan demikian
umat Islam dapat mennumbuhkan dan mengembangkan proses ijtihad, yang menurut Iqbal
disebut prinsip gerak dalam Islam. Ijtihad merupakan suatu teori yang aktif, produktif, dan
konstruktif. Hukum Islam juga bersifat sistematis. Dalam artian bahwa hukum Islam
mencerminkan sejumlah aturan yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling
berhubungan satu dengan yang lain. Perintah salat senantiasa diiringi dengan perintah zakat
dan lainnya. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa hukum Islam tidak mengajarkan
spiritual mandul. Dalam hukum Islam seseorang dilarang hanya bermuamalah dengan Allah
dan melupakan dunia. Seorang muslim diperintahkan mencari rizki, tetapi hukum Islam
melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rizki tersebut. Karena hukum Islam tidak
akan bisa dilakanakan apabila diterapkan sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lainnya.46
6. Harakah (bergerak) Dari segi harakah, hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak
dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan. Hukum Islam terpancar dari sumber yang luas dan dalam, yaitu
Islam yang memberikan sejumlah aturan hukum yang dapat dipergunakan dalam setiap masa
dan tempat oleh manusia. Hukum Islam dalam gerakannya menyertai perkembangan
manusia, mempunyai qâidah asâsiyyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan menjawab segala
tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian dan
nilai-nilai asasinya.Hukum Islam tidak memungkiri keyataan segala sesuatu yang terjadi

17
seiring perkembangan zaman, baik kenyataan pada diri pribadi seseorang, kehidupan suatu
masyarakat, maupun keadaan yang tetap memelihara pendirian pokok. Untuk menanggulangi
perkembangan tersebut hukum Islam menempuh jalan-jalan sebagai berikut:
a. Sistem istidlâl dalam hukum Islam ialah sistem istiqarab yakni mencari sesuatu
yang kulliy dari juz’iy dan mencari ‘illat dari ma’lul. Di dalam bidang ibadah,
hukum Islam menghargai kondisi seseorang, apakah dia telah sampai umur,
berakal, sehat, sakit, dalam keadaan bepergian, dalam keadaan tidur dan
masyaqqah. Dalam bidang ahwâl al-syahshiyyah (hukum keluarga) hukum Islam
senantiasa memelihara prinsip-prinsip yang menjamin kelangsungan perkawinan,
memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan seluruh anggota
keluarganya. Dalam bidang muamalah, hukum Islam senantiasa memelihara
keserasian hubungan antara para pihak yang terlibat, senantiasa menghindarkan
kezaliman dari suatu pihak kepada pihak lain. Hukum Islam menjamin kelancaran
hubungan baik, baik dalam bidang mu’âmalah maddiyyah maupun mu’âmalah
adabiyyah dikarenakan hukum Islam selalu menghindarkan
b. segala sesuatu yang mengguncang keseimbangan. Dalam bidang jinâiyyah
(tindakan-tindakan pidana) hukum Islam benar-benar mempertimbangkan berat-
ringannya jarîmah (pidana) dan ‘uqubah (sanksi), perpautannya dengan sesuatu
yang mempengaruhinya, serta kondisi pelakunya, di samping melindungi pihak
yang dirugikan, pihak yang dibunuh, dicuri hartanya, atau dilukai anggotanya.
Demikian pulalah garis yang ditempuh hukum Islam dalam bidang peradilan,
pemerintahan, hubungan internasional, dan lain-lain.
b. Islam senantiasa menghendaki kesempurnaan, keseimbangan dan senantiasa
memberi kesempatan bagi pengembangan dan perubahan menuju lebih baik. Hukum
Islam selalu menyatukan ilmu dengan amal. Ilmu sendiri tidaklah berguna apabila
tiada disertai dengan amal, begitupun sebaliknya. Al-Ghazali berkata, “Ilmu tanpa
amal adalah kegilaan, sedang amal tanpa ilmu tidak bisa terjadi.”
c. Hukum Islam selalu pula mempertemukan antara syara’ yang manqul dengan
hakikat yang ma’qul. Seorang muslim tidak diperbolehkan hanya berpegang kepada
harfiah nash saja, sebagaimana juga tidak boleh terlalu bebas menggunakan akal. Tak
ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan ketetapan agama meskipun berbeda
titik tolaknya.
d. Hukum Islam mempersatukan antara ilmu pengetahuan dengan unsur kejiwaan.

18
e. Hukum Islam tidak menghendaki materialisme yang terlepas bebas sebagaimana
tidak menghendaki idealisme yang tidak berwujud dalam kenyataan. Dalam
kehidupan masyarakat, individu dan masyarakat secara bersama saling
menyempurnakan, keduanya saling bekerja. Seorang manusia secara individual wajib
berfikir, tetapi secara berkelompok dalam bidang ilmu, wajib bekerjasama. Hukum
Islam adalah nidzâm jamâ’iy dan nidhâm fardliy. Hukum Islam tidak menghendaki
dua nidzâm tersebut diaplikasikan sendiri-sendiri, karena ringkasnya, nidzâm Islam
adalah nidzâm fardliy wa al-jamâ’i. Maka apabila setiap pribadi mendapat didikan
yang baik, baiklah masyarakat seluruhnya. Karena masyarakat itu sesungguhnya
adalah individu-individu yang berkumpul.
f. Hukum Islam tidak membenarkan kutub ekstrem baik marxisme maupun
kapitalisme. Hukum Islam menolak kaum kapitalis yang mengorbankan kepentingan
sosial demi kepentingan individu. Demikian halnya hukum Islam juga menolak kaum
marxis ekstrem yang mementingkan kepentingan sosial mengabaikan kepentingan

individu. Kedua paham diatas adalah paham yang mementingkan kebendaan. Hukum
Islam selalu membuat perimbangan dan mengambil jalan tengah antara jamâ’iyah
dengan fardliyyah.
g. Hukum Islam tidak mengenal sebuah pertentangan antara kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat. Pola pemikiran Islam mencakup realita dan idealita,
dan selalu mempertemukan keduanya, Islam tidak memisahkan yang satu dengan
yang lain, dalam menghadapi kenyataankenyataan yang tumbuh dalam masyarakat,
kaum ideal adalah penggaris, pembuka jalan untuk memperbarui halhal yang telah
usang. Hukum Islam dapat menerima segala pandangan kemanusiaan yang terus
tumbuh, karena ia juga tidak membatasi gerak-gerik manusia selama masih berada
dalam garis keislaman.
h. Hukum Islam layaknya sebuah pohon memiliki akar yang sangat kuat, sehingga
ranting dan batangnya terus berkembang. Sifat tersebut membuat Islam memiliki
karakter yang konstan dan stabil. Cabang-cabang tetap bergerak, berkembang sesuai
perkembangan masa dan keadaan itulah yang menjadikan hukum Islam memiliki daya
elastis dan fleksibel
.i. Hukum Islam tidak menceraikan antara agama dan kehidupan. Hal ini karena
apabila kehidupan dipisahkan dari sebuah esensi agama, maka kehidupan ini menjadi
tidak berjiwa. “Sesungguhnya menceraikan agama dari kehidupan masyarakat, berarti

19
menjauhkan Islam dalam pengertian yang hakiki. Apabila hal ini terjadi, niscaya
masyarakat surut mundur ke belakang. Kebudayaan Islam berdiri di atas dasar agama
yang dikombinasikan dalam kehidupan
.j. Hukum Islam tidak meletakkan individu di bawah tekanan masyarakat, sebagai
budak masyarakat, melainkan
dalam Islam terdapat unsur pembalasan sebagai bentuk tanggung jawab moral. Sebagaimana
doa sapu jagad yang sering dijadikan doa pamungkas setiap muslim, “Tuhan kami, berilah
kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lepaskan kami dari siksa neraka”
.n. Hukum Islam merupakan titik temu antara materialisme dengan idealisme.
Sebagaimana sabda Nabi saw., “Beramallah untuk duniamu seolah-olah kamu hidup
selama-lamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolaholah kamu mati besok pagi”.
Allah Taala berfirman dalam surat Al-Qashas ayat 77. Artinya: “Carilah apa yang
telah dianugerahkan Allah padamu (kebahagiaan) kampung akhirat dan janganlah
kamu melupakan bahagiamu di dunia

.o. Keistimewaan pola pemikiran Islam tampak dalam tawâzun (perimbangan) antara
akal dan ruh. Keseimbangan antara ruh dengan materi, serta imbangnya harakah
dalam perkembangan. Hukum Islam tidak berdiri di atas kuasa akal semata, tidak pula
atas dasar
kejiwaan semata, keduanya saling berimbang dan tidak ada yang saling mengungguli.
p. Hukum Islam dengan pola pemikirannya dapat membentuk dirinya sesuai dengan
kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, karena pola pemikiran Islam berdiri di atas
dasar perimbangan sesuai dengan mafhum fitrah.
q. Terdapat hubungan erat antara ilmu, kebudayaan, dan falsafah dalam hukum Islam.
Pola pemikiran Islam tidak membatasi gerak manusia, tetapi mengarahkan dan
menyalurkan. Manusia merdeka tetapi kemerdekaannya mempunyai berbagai
ketentuan.

Hukum Islam juga memiliki nilai-nilai estetika. Keindahan dan keistimewaan ini
menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang paling kaya dan dapat memenuhi
kebutuhan orang banyak serta dapat menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Hal
tersebut apabila dipraktekkan secara bersama-sama niscaya benarbenar akan membentuk
umat yang ideal. Estetika tersebut di antaranya adalah:
1. Hukum Islam mudah, jauh dari kesulitan dan kesempitan. Al-Mâidah: 7 Artinya:

20
“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjianNya yang telah diikat-Nya
dengan kamu, ketika kamu mengatakan: “Kami dengar dan kami taati”. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu).”
Beberapa hadits Nabi menjelaskan bahwa agama yang disukai adalah agama yang
mudah lagi lapang.
2. Tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dunia akhirat. Menolak
kemudharatan dan kemafsadatan serta mewujudkan keadilan yang mutlak. Segala hukum
Islam baik hukum yang tercantum dalam nash maupun hasil ijtihad tetap mendasarkan pada
tujuan yang luhur ini.
3. Membolehkan memakan makanan yang baik sebagai rizki dari Allah dan memakai
pakaian serta berhias diri selama tidak berlebihan dan tidak untuk membanggakan diri.
Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-A’râf: 31-32: Artinya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid; makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang

yang berlebih-lebihan. (31) Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang
yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.
Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.(32)”
4. Keseimbangan hak rohani dan jasmani dalam diri manusia. Islam mengajarkan kita dalam
memenuhi kebutuhan tubuh dan kebutuhan jiwa untuk menempuh jalan moderat
(wasathiyah). Hukum Islam menempatkan umatnya pada tempat yang terletak antara
kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat. Umat Islam tidak terlalu dipengaruhi oleh
kehidupan kebendaan, juga tidak dipengaruhi oleh ajaran rohaniah yang menyiksa tubuh dan
menjauhkan diri dari segala kenikmatan dunia. Keseimbangan hukum Islam nampak antara
lama dan baru, antara Barat dan Timur, antara masa dahulu dengan masa kini. Pohonnya
kokoh teguh, tidak guncang sedikit pun. Tidak berubah tetapi cabang dan rantingnya
senantiasa berkembang. Hukum Islam tidak beku dan cair. Hukum Islam terletak antara
pikiran-pikiran manusia yang cenderung kepada kebendaan dengan pikiran –pikiran yang
cenderung kepada kejiwaan. Hukum Islam tidak bersifat kapitalistis dan tidak marxistis. Oleh
karenanya, kebudayaan dan kesenian dalam hukum Islam tidak boleh menyalahi agama dan
norma akhlak.

21
5. Kaum wanita dilepaskan dari kezaliman yang membelenggu hak-hak asasi mereka di
zaman jahiliah. Mereka dibebaskan dari kesewenangan suami serta diberikan hak dan
kewajiban. Terangkatlah mereka dari kehinaan. Wanita dilibatkan dalam membina umat dan
membangun masyarakat. Mereka juga mendapat hak dan kewajiban secara adil dalam bidang
perkawinan dan warisan.
c. Adanya qawâid al-fiqhiyyah akan membuat hukum fiqih terlihat lebih arif dalam
pelaksanaannya mengingat waktu, tempat, keadaan, dan adat istiadat yang berbeda.
d. Tidak bisa dimungkiri bahwa kaidah-kaidah fiqih tersebut merupakan hasil cipta para
ulama, namun rujukan qawâid al-fiqhiyyah yang sudah mapan berasal dari al-Quran dan al-
Sunnah. Kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum mengharuskan kita untuk berhati-hati dan
lebih teliti dalam menggolongkan atau memasukkan permasalahan-permasalahan yang
memiliki kekhususan dan pengecualian. Seperti sejauh mana ruang lingkup kaidah tersebut,
materi-materi fiqih mana yang termasuk

22
F.Kaidah-Kaidah Hukum Islam
Kaidah-kaidah fiqih yang bersifat umum mengharuskan kita untuk berhati-hati dan lebih teliti
dalam menggolongkan atau memasukkan permasalahan-permasalahan yang memiliki
kekhususan dan pengecualian. Seperti sejauh mana ruang lingkup kaidah tersebut, materi-
materi fiqih mana yang termasuk dan atau berada di luar ruang lingkup kaidah–kaidah fiqih.
Terdapat lima kaidah fiqih yang menurut Al-Qadhi Husein merupakan kaidah induk, yakni:
1. ‫دها‬VV‫ور بمقاص‬VV‫( األم‬Setiap perkara itu menurut maksudnya) Kaidah ini merupakan
kaidah umum yang didasarkan kepada beberapa nash hadits, antara lain hadits Nabi saw.
riwayat Bukhari Muslim yang mengajarkan: “Sesungguhnya amal itu dikaitkan/bergantung
kepada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang, apa yang diniatkannya” Hadits Nabi
riwayat Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan alHakim menjelaskan:
“Barangsiapa berangkat tidur dengan niat akan bangun untuk melakukan salat malam, tetapi
tiba-tiba tertidur lelap hingga pagi hari, telah dituliskan baginya pahala yang telah
diniatkannya, dan tidur yang dinikmatinya itu adalah sedekah untuknya dari Tuhannya.”
Hadits Nabi riwayat Thabrani dari Ka’ab bin ‘Ujrah juga menyebutkan: “Orang yang mencari
harta dengan niat untuk berbanggabangga dan berkaya-kaya terhadap sesamanya, orang itu
berada di jalan setan.” Beberapa hadits di atas menunjukkan betapa penting peranan niat
dalam melakukan tindakan. Bahkan amal perbuatan manusia dinilai dari apa yang menjadi
niatnya. Azhar Basyir menjelaskan bahwa hal ini berlaku pada perbuatan halal. Dengan
demikian tindakan berjudi yang didasarkan atas niat atau tujuan jika memperoleh
kemenangan akan digunakan untuk membangun rumah perawatan anak terlantar tidak dapat
dibenarkan. Dalam beberapa kasus terdapat pengecualian. Misalnya, hukum asal berbohong
adalah dilarang, tetapi larangan ini tidak berlaku saat berada dalam peperangan agar jangan
sampai dikalahkan musuh, atau berbohongnya suami-istri guna menghindari pertengkaran.
2 . ‫(اليقين اليزال بالشك‬Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan) Kaidah ini juga
diangkat dari formulasi nash al-Quran di antaranya al-Quran al-A’râf ayat 32:
َ ِّ‫ ُل ق ِ اتَ اآليُل‬V‫ َل ةَي ِن زَ َّم َر حْ نَ ْم‬V‫ت ا ِل هّ ال‬
َّ ‫ي‬ِ َ‫ع لَج َ رْ َخ أ‬ ْ
‫ص ف ُ نب‬ ِ ِ ‫ا َد‬V‫ق ْق ِّز ال َر ِن ِماتَ ِّ يَّطا َل ِو ِه‬
ِ ‫ي ِ ْه ُل‬
ِ ‫ َونُ َم لْ َع يب ٍ ْم َو‬-- ‫ي حْ ي ا ِل ْواُ نَ آ َمي ِن َّذ ِل ل‬
‫قل‬ َ َ‫ ِداة‬VVVVV‫ااَل َخ يْنبُّ ال‬VVVVV‫َص‬
ِ ‫ال ْم َو يبً ة‬ َ ‫ي ْق‬ ِ ‫ َِك َل َذ‬Artinya:
ِ ‫ك ةَا َم‬
“Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-
Nya untuk hambahamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’
Katakanlah, ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orangorang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan

23
ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” Beserta hadits riwayat Muslim
menjelaskan bahwa, “Jika salah seorang di antara kamu merasakan sesuatu di perutnya,
kemudian meragukan apakah keluar angin dari perutnya atau tidak, ia jangan keluar dari
masjid hingga mendengar suara atau mencium bau.” Hadits riwayat Muslim lainnya, “Jika
salah seorang dari kamu ragu-ragu di dalam salatnya sehingga tidak tahu berapa rakaat yang
telah dilakukan apakah baru tiga atau telah empat rakaat, buanglah keraguan dan tetapkanlah
(bilangan rakaat) atas apa yang diyakininya.”
Kata yakin dalam hal ini adalah sesuatu yang menjadi mantap karena pandangan atau dengan
adanya dalil. Misalnya, ketika seseorang yang merasa wudlunya batal, maka seorang itu
harus yakin dengan kebatalannya, semisal dengan merasakan dan mendengar adanya angin
yang keluar. Dalam hal ibadah terdapat sebuah contoh, apabila ia yakin telah berwudlu,
kemudian dalam waktu yang lama datang keraguan apakah sudah batal atau belum, maka ia
tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya, apabila dia yakin belum wudlu sebelumnya,
kemudian dalam waktu yang lama timbul keraguan apakah sudah wudlu atau belum, maka ia
tetap dalam keadaan berhadats. Dalam bidang muamalah, apabila terdapat bukti kwitansi
bahwa seseorang berhutang. Kemudian, jika timbul perselisihan antara debitur dan kreditur,
apakah hutang sudah dilunasi atau belum, maka yang dipegang adalah pernyataan debitur,
sebab hal ini lebih meyakinkan, bahwa masih ada hutang dari bukti tersebut.
3. ‫( المشقة تجلب التيسير‬Kesukaran mendatangkan kemudahan) Kesukaran (kesulitan atau
kesempitan) mendatangkan kemudahan. Kaidah ini disebut sebagai kaidah rukhshah yang
berarti memberikan keringanan pelaksanaan aturanaturan syariat dalam keadaan khusus yang
menuntut adanya keringanan pelaksanaan. Rukhshah ini lain dengan dharûrah pada tingkat
mafsadah (kerusakan atau kesukaran) yang akan ditimbulkannya. Dalam rukhshah, mafsadah
yang ditimbulkan tidak sekuat mafsadah pada dharûrah yang senantiasa dikaitkan dengan
memelihara jiwa. Kaidah rukhshah dijadikan sebagai jalan alternatif agar syariat Islam dapat
dilaksanakan
wajib mengqadla salat, berbeda dengan kewajiban mengqadla puasa Ramadlan.f)
Kekurangsempurnaan. Orang gila dibebaskan dari kewajiban syariat karena kurang sempurna
akalnya. Kaidah rukshah ini didasarkan pada al-Quran surat al-Baqarah ayat 185: ِّ‫ى َ ُد ْه ا َل ن‬
ْ‫ص ي‬َ ‫انَن كَ َم ُو ْه ُم‬VV‫ا ِ َر َم‬V ‫س َل ْع َو أًيض‬ َ ‫َض َم ُر رْ هَ ش ٍ َر فَى‬ ِ َ‫ُآن ُر ْق الِي ِه َ لِن ُز أ‬
َ ‫ي َّذ ااَل ن‬ ْ ‫بب ِواسَّلنِّى ًل ُد ه‬َ ‫يب‬َ ِّ ‫ٍماتَ ن‬
‫ ِد ُر‬V ‫ك بُ هّ اللُي‬ ِ ‫ت َل َو رْ سُ ْع ا ُل ُم‬
ِ ‫ َل َو رْ سُ يْ ا ُل ُم‬V َ‫ك بُي ِد رُ ي‬ ِ ‫ك‬ُ ‫ش َم ِانَ ْق ُر ْفا َل و ْواُ ِل ْم‬ َ ‫ك َم ِد هَن‬ ِ ‫َل ب َ رْ هَّ الشُ ُمن‬
‫ال‬VVVVVVV‫ت َل َو ةَّ ِد ْع‬ِ ‫ك‬ ُ ‫ب‬ ْ ّ‫ك َل َع َل وْ ُم اكَ دَا هَى َم َل َع ه‬
َ ِّ‫واُ ر‬VVVVVVV‫الل‬ َّ ‫ت ُم‬ ْ ‫ش‬ َ ‫ َونُ ُر ْك‬-٥٨١- ‫ي ْأ نِّ ٌم ةَّ ِد َع‬ َ ‫ي َر ُخ أٍ ا َّم‬
َ
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, (bulan) yang di

24
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaknya ia berpuasa. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur. Al-Quran surat al-Hajj ayat 78: ِ ‫ينِّي ال ِد ْ ُم ْك‬
‫س ُو ه َِيم‬
َ ‫ك َم‬ ِ ‫ح هَّي ال ِل وا ُ ِداهَ َج و ا َ َذي ِه َ ُولْ َن قب ِ َم‬
َّ ‫مين لْ سُ ْم ا ُل ُما‬ ِ ‫ق‬ ْ َ‫ك‬
َ ‫ت ا َج ُو ِه ِها َد ِه َّج‬ َ ‫ي َل ع ََل عَا َج َم وْ ُما‬
َ
‫ب أَ ةَّ ِّل ٍم ج َ َر حْ ِن م‬ ِ ‫ب ْإ ُم‬
َ ‫يك‬ ِ ‫اهَ رْ ب‬
85Pengantar Hukum Islam

ِ ‫يرصَّ النَ ْم‬


َ‫ع‬ ِ ُ -٨٧ - ‫ي ل‬ ِ ‫ك‬َ ُ‫الرون‬
َ َّ‫ي َل عًيداِ َه شُ و ُل س‬ َ ‫ك تَ وْ ُم ْك‬ َ ُ‫ق أَ ِاسَّى النَ َل اء َع َد هُوا ُشون‬ ِ ‫ةَ الَّوا الص‬
َ ‫ُيم‬
ْ ‫ص‬
‫ ُزآتَ و‬VVVV‫ت ا َع َواةَ ك َّ وا ال‬ َ ‫ك لْ َو َم ُو ِه هَّاللِوا بُ ِم‬ ِ ‫ نَ ى َو لْ َو ْم ا َل ْم‬Artinya: “Dan berjihadlah
َ ‫ع نَ ْ ُم‬
kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orangtuamu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu
dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka
Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” Dan al-Quran surat an-Nisâ’ ayat
101 menyebutkan, ِ ‫ض ِذ‬
َ ‫بب َرا‬
َ ‫ت‬ْ ‫ي َل ب ِضْ َري ا ِأل ْ ُم‬ َ ‫الص ِن م ْ واُ رُصْ قَن تب َ أٌا َح نُ جْ ُم ْك‬
َ ْ‫ي َل َعس‬ َ َّ‫ةَال‬
١٠١- ‫ف ْخ ِن إ‬ ْ ‫ت فَن يب َ ْأ ُم‬
ِ ‫ت‬ ْ ‫ين َّذ ا ُل ُم كَ ِن‬ َ ‫ا ِ ُّ م ً اّ ُو َد ْع ُم‬V ‫إَ و ًين‬Artinya:
ِ ‫ك ل ْ واُانَ َكي ِن ِر اَ ْك ا َّل ِن إ ْ واُ َر فَ َك‬
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar54
sembahyangmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orangorang kafir
itu adalah musuh yang nyata bagimu.” 54 Menurut pendapat jumhur arti qashar ialah:
sembahyang yang empat rekaat dijadikan dua rekaat. Mengqasar di sini adakalanya dengan
mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, yaitu di waktu bepergian dalam keadaan aman
dan adakalanya meringankan rukun-rukun dari yang dua rakaat itu, yaitu di waktu dalam
perjalanan dalam keadaan khauf. Dan adakalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4
rakaat dalam keadaan khauf di waktu hadhar.
Demikian juga terdapat beberapa hadits yang memberikan keringanan dalam menjalankan
suatu hukum dikarenakan adanya kesulitan tertentu. Sabda Nabi saw.: “Mudahkanlah dan
jangan mempersukar.” (H.R. Bukhori).

25
4. ‫ادة محكمة‬VV‫( الع‬Adat itu bisa ditetapkan sebagai hukum) Kebiasaan yang telah
diketahui secara umum bisa mengikat atau menjadi hukum. Adat istiadat agar dapat
dikokohkan menjadi sebuah hukum haruslah memenuhi beberapa syarat: a. Dapat diterima
dengan kemantapan jiwa oleh masyarakat, didukung oleh pertimbangan akal yang sehat dan
sejalan dengan tuntutan watak pembawaan manusia.b. Benar-benar merata menjadi
kemantapan umum dalam masyarakat dan dijalankan terus-menerus.c. Tidak bertentangan
dengan nash al-Quran atau sunah Rasul.57 Kaidah ini berdasar kepada suatu hadits dari Ibn
Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin,
maka baik pula pada sisi Allah.” Oleh karenanya, kaidah fiqih berkaitan erat dengan dengan
sikap dan tingkah laku manusia, sehingga sering digunakan 57 Azhar Basyir, Hukum Adat
bagi Umat Islam, (Yogyakarta: FH UII, 1983), hlm. 7.
90 Dr. Rohidin, SH, M. Ag
secara luas, diperlukan dalam kehidupan, baik untuk diri sendiri

26
2. Ontologi Interaksi Agama dan Budaya di Indonesia

Kalangan ahli-ahli agama (islam) banyak menggunakan definisi agama yang lebih
menekan aturan (fiqih oriented), sehingga peran manusia sebagai pemeluk agama kurang
mendapatkan posisi yang kuat. Pengertian agama sebagai seperangkat aturan yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusa dengan
lingkungannya, berimplikasi pada kehidupan keberagamaan manusia yang kurang mendapat
sentuhan memadai. Seperti berkurang atau bertambahnya keyakinan, rasa berdosa, rasa
terpilih, perasaan damai setelah berdzikir, dan sebagainya, tidak ditemukan dalam definis
tersebut.

Agama, Religi, dan Din (pada umumnya) adalah satu sistem kredo atas adanya zat yang
mahamutlak tersebut, serta diikuti dengan sistem norma yang mengatur hubungan manusia
dengan sesama manusia dan hubungan manusa dengan alam lainnya,sesuai dan sejalan
dengan tata keimanan dan tata kepribadatan yang transndental. Konsepsi yang berbeda,
mendefinisikan agama sebagai satu simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-
perasaan dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, bertahan lama pada diri manusia.
Jadi, agama adalah sistem simbol yang berfungsi menguatkan dan memberi motivasi pada
diri seseorang melalui pola tindakan berupa konsepsi-konsepsi mengenai aturan (hukum) dan
kemudian mencerminkan pola tindakan yang mencerminkan kenyataan-kenyataan. Konsepsi
inilah yang digunakan oleh Geertz ketika mempetakan keberagamaan masyarakat Jawa
dengan membeginya kedalam tiga model : ambangan, santri,dan priyayi.

Adapun kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai


podoman atau menginterpretasikan keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah
pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenasannya oleh masyarakat terebut.
Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang dimilikioleh
manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model
pengetahuan yang secara selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan
lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang
dperlukan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan, kebudayaan adalah apa yang terjadi
didalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang berdasar pada pedoman yang diyakini
kebenarannya.

27
Kebudayaan dalam definisi yang semakna adalah hasil pengolahan, pengerahan, dan
pengarahan terhadap alam oleh manusia dengan kekuatan jiwa
(pikiran,perasaan,kemauan,intuisi,imajinasi dan berbagai dmensi ruhaniyah lainnya) dan
raganya, yang terwujudkan dalam berbagai segi kehidupan (ruhaniah) manusia. Hal ini
merupakan jawaban atas segala tantangan, tuntunan, dan dorongan dari dalam atau luar diri
manusia, demi terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia,
baik sebagai prbadi, masyarakat, maupun bangsa.

Suatu kebudayaan, dalam tataran praksisnya diungkapkan dengan upacara-upacara yang


merupakan perilaku pemujaan atau ketaatan yang dilakukan untuk menunjukan komitmen
terhadap suatu kepercayaan yang dianut. Dengan upacara-upacara tersebut, orang dibawah
keadaan dimana getaran-getaran jiwa terhadap keyakinan mereka menjadi leboh kuat dari
dalam. Dengan demikian, upacara tradisional pada dasarnya berfungsi sebagai media
komunikasi antara manusia dengan kekuatan lain yang ada diluar diri manusia.

Merunjuk dari uraian tersebut perlu dipahami bahwa untuk menghadapi tahap
pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya manusia juga memerlukan
“regenerasi” semangat kehidupan sosial. Oleh karena itu, rangkaian ritus dan upacara
sepanjang tahap-tahap pertumbuhan oleh banyak kebudayaan sangatlah penting, misalnya
dalam upacara hamil tua, upacara saat anak tumbuh, upacara memotong rambut pertama,
upacara menyentuh si bayi untuk pertama kali, upacara sunatan,upacara keluar gigi yang
pertama, upacara perkawinan, upacara kematian dan sebagainya.

Sebagai serangkaian ajaran atau doktrin, kebudayaan juga bukan sesuatu yang stagnan,
karena ia diwariskan dari satu orang atau generas kepada orang lain atau generasi berikutnya.
Akibatnya, akan terdapat perubahan-perubahan, baik dalam sekala besar maupun kecil.
Dengan kata lain, bahwa kebudayaan tidak hanya diwariskan tetapi juga dikostruksikan atau
invented. Proses pewarisan tersebut melahirkan ide atau gagasan-gagasan baru yang
dikembangkan dengan berpijak pada medan budaya setempat. Sehingga pemaknaan tersebut
hakekat suatu benda dan perilaku yang dirituskan menghasilkan modifikasi baru terhadap
budaya. Hal ini terjadi oleh karena dalam invinted culture, kebudayaan dinlai sebagai
serangkaian tindakan yang ditunjukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
melalui pengulangan (repetition) sehingga akhirnya menjadi tradisi, yang secara otomatis
mengacu kepada kesinambungan dengan masalalu.

28
Sebagian upacara adat tidak dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan oleh
umat manusia sendiri, sementara sebagian lain tidak jelas asalnya tetapi semuanya bernuansa
Islam. Aktivitas lainnya mengacu kepada upacara adat yang bukan berasal dari Islam tetapi
ditolerir dan dipertahankan setelah mengalami proses modifikasi islamisasi dari bentuk
aslinya. Ritual-ritual adat dalam bentuknya yang sekarang tidak membahayakan keyakinan
Islam, bahkan telah dgolongkan sebagai manifestasi keyakinan itu sendiri dan digunakan
sebagai syiar Islam khas daerah tertentu.

Budaya yang teraktualisasi dalam wujud adat mulai dipahami sebagai fenomena alam
yang kehadirannya secara umum dan inheren memberi konstribusi terhadap perilaku
manusia, hingga yang berkenan dengan cara melakukan sesuatu, seperti menjalankan
kewajiban agama dan perilaku sosial. Beberapa bentuk adat merupakan kreasi asli daerah,
sedangkan yang lain mungkin berasal dari luar. Sebagan bersifat ritual, dan sebagian lain
seremonial. Dari sudut pandang agama, ada adat yang baik (‘urf sahih) dan ada adat adat
yang jelek (‘urf fasid); sebagian sesuai denga syariat dan dinyatakan dalam kaidah fiqih ,
sebagain lagi sesuai dengan semangat tatasusila menurut Islam. Oleh karena itu, dalam suatu
perayaan religius, paling tidak ada tiga elemen yang terkombinasi bersamaan : perayaan itu
termasuk adat karena dilaksanakan secara teratur, juga bersfat ibadah karena seluruh yang
hadr memanfaatkannya untuk menggunakan identitas kemuslimannya, dan juga pemuliaan
pemikiran tentang umat dimana ikatan sosial internal didalam komonitas pemeluk lebih
diperkuat lagi.

Hal ini menjadi menarik karena ada praktek yang dicontohkan Nabi Salallahu
Alaihwassallam. Karena melegalisasikan kebiasaan-kebiasaan purwa Islam menjadi sebuah
sistem hukum. Hukum Islam selalu mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan
tuntunan dan peluangnya. Peluang transformasi ini sekalipun terbuka lebar namun kendali
efektif berjalan ketat sehingga keagamaan interpretasi menjadi fenomena yang konfiguratif
dalam wacana pemikiran hukum Islam tetap terjaga.

Mengambil kasus pada ranah keindonesiaan, tradisi yang dalam hal ini juga dimaknai sebagai
adat memiliki sejarah pergulatan dalam teori-teori keberlakuan hukum Islam di Indonesia
sejak masa kolonial. Hal ini dapat di lihat dari adanya perbedaan sengit dalam konsep
penerapan beberapa teori perberlakuan hukum Islam yang satu sama lain saling membantah,

29
yaitu : teori receptio in complexu, teori antagonis/reseptie, teori receotie exit/terori receptio a
contrario, dan teori existensi.

Kuntowijoyo dalam paradigma Islam, interpretasi untu aksi, telah memaparkan bagaimana
Islam sebagai sistem nilai yang berpjak pada konsep tauhid dapat mempengaruhi sistem
simbol kebudayaan apapun dan mewarnai kebudayaan tersebut. Kuntowijoyo kemudian
membahasakan format akulturas tersebut dalam istilah asimilasi kultural, asimilasi struktural,
dan asimilasi agama. Ketika mengangkat kasus keturunan Tionghoa, tanpa meninggalkan
kultur khas yang melekat pada tradisi mereka, etnis Tionghoa yang ada di Indonesia
misalnya, telah melebur asimlasi kultural melalui berbagai jalan, yaitu etnisisasi,
Indonesiasisasi, dan massifikasi. Pluralisme budaya yang mereka hadapi ketika berhadapan
dengan asimilasi agama menjadikan etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam tidak lagi
dikatakan memeluk agama mayoritas ataupun dianggap sebagai kemenangan ideologi
mayoritas, tetapi bagaimana mencairkan kebukaan tradisi mereka untuk bisa saling mewarnai
dengan ideologi lainnya.

Salah satu teori yang membahas tentang akulturasi telah di jelaskan oleh J.Powel yang
mengungkapkan bahwa akulturasi dapat di artikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya asing
kedalam budaya lokal tradisional. Budaya yang berbeda itu bertemu, yang luar
mempengaruhi yang telah mapan untuk menuju suatu keseimbangan. Koentjaraningrat juga
mengartikan akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh
suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan
asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam kebudayaan itu sendiri
tanpa kehilangan keprbadian dan kebudayaannya. Akulturasi antara suku yang berhubungan
dan berbeda kebudayaan biasanya salah salah satunya menduduki posisi yang dominan.
Begitupula yang terjadi dalam akulturasi sistem kepercayaan, salah satunya memungkinkan
untuk menghegemoni sistem kepercayaan lainnya. Dalam sejarah perkembangannya,
kebudayaan masyarakat di berbagai wilayah mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk
kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya
yang bermacam-macam, seperti animisme, dinamisme, hinduisme, budhisme, dan islamisme.
Maka ketika islam dipeluk oleh masyarakat suatu wilayah, kebudayaan dari mereka masih
tetep melestarikan unsur-unsur kepercayaan lama dalam berbagai wujud ritus atau upacara.

Malinowski dalam bukunya yang berjudul The Dinamic of Culture Change menggunakan
teori untuk meneliti suatu proses akulturasi dengan pendekatan fungsional terhadap akulturasi

30
(fungsional approach to acculturation). Merupakan suatu kerangka yang terdiri dari tiga
kolom : pertama, menjelaskan tentang keterangan mengenai kebutuhan, maksud,
kebijaksanaan, dan cara-cara yang dilakukan oleh agen atau ulama Islam yang didukung oleh
pemerintah, untuk memasukan pengaruh kebudayaan asing kedalam suatu kebudayaan
tradisional. Kedua, menjelaskan tentang jalannya proses akulturasi dalam suatu kebudayaan
tradisional. Ketiga, meeenjelaskan tentang reaksi masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan
Islam yang keluar dalam bentuk usaha atau gerakan untuk menghindari pengaruh tadi, atau
sebalimya untuk menerima dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing degan unsur-
unsur kebutuhan mereka sendiri.

Sebagai sistem yang menata kehidupan manusia, Islam bersikap terbuka terhadap budaya
lokal. Alquran sendiri turun dengan asbab al-nuzulnya yang tidak lepas dari kerangka budaya
Arab. Nilai-nilai moral dan tata pergaulan Arab yang dipertahankan, seperti karim atau
kedermawanan, muru’ah atau keperwiraan, wafa’ atau kesetiaan kepada janji, dan ‘iffah atau
memelihara kehormatan diri. Cara berpakaian, sebagian dari hukum keluarga dan sebagian
dari tradisi berpolitik bangsa Arabpun tidak dibuang, bahkan sistem politik Islam diadobsi
dari filosifi politik Arab, seperti akidah, kabilah, dan ganimah. Muhammad Salallahualaihi
Wasallam tidak datang dengan suatu peradaban lengkap yang sama sekali baru, tetap
melengkapi peradaban yang sudah ada dan mendorong untuk berkembang dengan semangat
dan orientasi baru. Hal-hal yang telah ada sebelumnya ada yang buang, ada yang diubah, dan
ada yang dibarkan berjalan sebagaimana adanya. Berdasarkan hal itu, sikap Islam terhadap
budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilih menjadi tiga, yaitu : menerima dan
mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi
pemuliaan kehidupan umat manusia. Misalnya, tradisi belajar dan mengembangkan ilmu
pengetahuan yang ditemui pada bangsa persi dan yunani. Para khalifah muslimin bahkan
mendorong ilmuwan untuk menggalakkan penelitian dan penemuan baru. Menolak tradisi
dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai contoh,
kebiasaan minum khamar dan beristr banyak pada bangsa Arab dan berbagai bangsa lainnya.
Membiarkan saja, seperti pada cara berpakaian sepanjang tidsk melanggar prinsip-prinsip
dasar Islam, yaitu menutup aurat dan tidak membahayakan pemakainya. Masalah model, dan
variasinya diberikan kebebasan untuk memilihnya.

Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat jelas dalam kajian
antropologi agama. Dalam perspektif ini,diyakini bahwa agama merupakan penjelmaan dari
sistem budaya suatu masyarakat muslim. Teori ini kemudian dikembangkan dapa aspek-

31
aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi
mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan muslim. Pada konteks kekinian,
pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh
para ahl hukum Islam yang peduli terhadap nasb syariah. Dalam pandangan mereka, jka
syariah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap
norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.

Persoalan interaksi agama dengan budaya pada intinya melibatkan suatu pertarungan atau
setidaknya ketegangan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolut karena berasal
dari tuhan dengan nilai-nlaii budaya, tradisi, adat istiadat produk manusia yang tidak selalu
selaras dengan ajaran-ajaran ilahiah.

Dengan kata lain, agama memberikan kepada manusia sejumlah konsepsi mengenai
konstruksi realitas yang didasarkan bukan pada pengetahuan dan pengalaman emprisis
kemanusiaan itu sendiri, melainkan dari otoritas ketuhanan. Tetapi konstruksi realitas yang
bersifat transenden ini tidak dapat sepenuhnya dipahami dan diwujudkan manusia karena
tidak jarang konsepsi yang diberikan tuhan ini disampikan melalui simbiolisme dan abiguitas,
yang pada gilirannya menciptakan perbedan-perbedaan interpretasi dan pemahaman diantara
individu-individu atau kelompok-kelompok manusia.

Sementara itu, konstruks realitas transenden itu bukan pula satu-satunya paradigma yang
membentuk atau mempengaruhi manusia. Melalui kemampuan nalar manusia yang
menghasilkan pengetahuan atau bahkan dari pengalaman empirisnya, membangun kostruksi
realitasnya sendiri, yang mungkin khas dan berbeda dengan agama yang dipahami secara
umum. Konstruksi realitas yang bersifat kemanusiaan inilah yang kemudian dikenal sebagai
tradisi, adat, atau secara umum sebagai budaya kemanusiaan. Tradisi atau adat berkaitan
dengan kenyataan bahwa mayoritas muslim memang memerlukan kepastian terutama dalam
dua hal : pertama, dalam bidang hukum atau aspek esoteris islam.

Persentuhan Islam dengan budaya lokal tidak menafikkan adanya akulturasi timbal balik-
balik atau saling mempengaruhi satu sama lain. Namun Harun Nasution menegaskan, jika
agama mempengaruhi kebudayaan, maka agama yang dimaksud ialah dalam arti ajaran-
ajaran dasar yang di wahyukan Tuhan. Ajaran-ajaran dasar itulah yang mempengaruhi
kebudayaan umat yang menganut agama bersangkutan. Sebaliknya, jika dikatakan
kebudayaan mempengaruhi agama, maka agama yang dimaksud ialah dalam arti ajaran-

32
ajaran yang dihasilkan pemikiran manusia tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran
yang bukan dasar ini manusia dipengaruhi oleh kebudayaan sendiri.

Disadari kemudian bahwa Islam sebagai agama tidak datang kepada komunitas manusia
dalam kondisi yang hampa budaya. Islam hadir kepada suatu masyarakat yang sudah sarat
dengan keyakinan, tradisi, dan praktek-praktek kehidupan sesuai dengan budaya yang
membingkainya. Kontek sosiologis yang dihadapi Islam membuktikan bahwa agama yang
beresensi kepasrahan dan ketundukan secara total kepada Tuhan dengan berbagai ajaran-nya,
keberadaannya tidak dapat dihindarkan dari kondidi sosial yang memang telah ada dalam
masyarakat. Meskipun dalam perjalanannya, Islam selalu berdialog dengan fenomena dan
realitas budaya dimana Iskam itu hadir. Kehadiran agama telah merambah keberbagai
dimensi budaya manusia : mulai dari tradisi bahasa, pakaian, pergaulan, pola penyembahan,
falsafah kearifan lokal, ritual kebahagian dan rasa syukur, prosesi kelahiran dan kematian,
pernikahan dan warisan, dan lain-lain sampai kepada hal yang bersifat privat seperti etiku
hubungan seksual.

Kesediaan Islam berdialog dengan budaya lokal masyarakat, selanjutnya mengantarkan di


apresiasinya secara kritis nilai-nilai lokalitas dari budaya masyarakat beserta karakteristik
yang mengiringi nilai-nilai itu. Selama nilai terebut sejalan dengan semangat yang
dikembangkan oleh Islam, selama itu pula diapresiasi secara positif namun kritis. Sadar atau
tidak sadar, manusia secara individu atau kolektif (masyarakat) akan terpengaruh dan
menerima berbagai warisan, ajaran, kepercayaan, dan ideologi tertentu dari hasil
komunitasnya melalui internalisasi dan sosialisasi sejak ia lahir dari rumah tangga, serta
pengaruh dari lingkungan hidupnya tempat manusia itu tumbuh. Jka tradisi budaya
masyarakat telah diresapi oleh setiap orang, maka prilaku yang dibingkai dalam bentuk tradsi
itu hampir menjadi otomatis dan tanpa disadari sudah diterima secara sosial pula.

Kontak antara budaya masyarakat yang diyakini sebagai suatu bentuk kearifan lokal dengan
ajaran dan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam tak jarang menghasilkan dnamika budaya
masyarakat setempat. Kemudian, yang terjadi ialah akulturasi dan mungkin sinkretisasi
budaya, seperti praktek meyakini iman di dalam ajaran Islam akan tetap masih mempercaya
berbagai keyakinan lokal. Dengan demikian, tradisi lokal diposisikan berlawanan dengan
tradisi purifikasi dilihat dari perspektif pola pengamalan dan penyebaran ajaran keagamaan di
antara keduanya. Tradisi Islam lokal sebagai pengamalan keagamaan yang memberikan
toleransi sedemikian rupa terhadap prektek-praktek keyaknan setempat, sedangkan tradisi

33
purifikasi menekankan pada pengalaman keagamaan yang dianggap harus bersumber dan
sama dengan tradisi besar Islam. Tidak dipungkiri pula, berbagai perbedaan ini berakibat
terhadap persoalan interaksi di antara mereka dalam bingkai sosial, budaya,dan politik.

Dibidang interaksi sosial jelas kelihatan bahwa perbedaan tradisi dan paham keaagamaan
tersebut berakibat adanya identifikasi sebagai “orang NU” dan “orang Muhammadiyah”.
Identifikasi seperti ini berdampak terhadap sekat-sekat interaksibahkan tak jarang berubah
menjadi halangan berkomunikasi. Dalam spektrum yang berbeda, kajian terhadap pertautan
agama dan budaya juga dapat dilihat dengan cara pandang lokalisasi untuk menolak konsep
sinkretisasi. Dengan menggunakan cara pandang lokalisasi, maka yang terjadi adalah agama
yang telah mengalami proses lokalisasi, yaitu penngaruh kekuatan budaya lokal terhadap
agama yang datang kepadanya. Artinya, islamlah lah kemudian yang menyerap tradisi atau
budaya lokal dan bukan sebaliknya budaya lokal yang menyerap nilai-nilai Islam. Didalam
proses lokalisasi, unsur Islam yang diposisikan sebaga pendatang harus menemukan lahannya
didalam budaya lokal. Pencangkokan ini terjadi denganbertemunya nilai-nilai yang dianggap
serasi satu sama lain dan meresap sedemikian jauh dalam tradisi yang terbentuk. Inilah
sebabnya, berbagai tradisi yang ada pada hakikatnya adalah Islam yang telah menyerap
tradisi lokal, sehingga meskipun kulitnya Islam namun ternyata di dalamnya ialah keyakinan
lokal.

Dakam laskap pertautan antara nilai-nilai Islam dengan budaya lokal inilah ditemukan suatu
perubahan yang signifkan, yaitu bergesernya tradisi lokal menjadi tradisi Islam lokal atau
tradisi Islam dalam konteks lokalitasnya. Perubahan ni mengarah kepada proses akulturasi
dan bukan adaptasi, sebab didalam perubahan itu tidak terjadi proses saling meniru atau
menyesuaikan, akan tetapi mengakomodasi dua elemen menjadi satu kesatuan yang baru.
Tentunya ada unsur yang dimasukan dan ada unsur yang dibuang. Salah satu yang tampak
jelas mempresentasikan nilai-nilai Islam misalnya berupa pembacaan ayat-ayat suci Alquran,
shalawat serta doa dalam berbagai variasinya. Sejalan dengan itu, arti penting kehadiran
Islam pada suatu tempat atau negeri sesungguhnya memiliki peran dalam mengeliminir unsur
jahiliyah setiap masyarakat yang senantiasa ada dan dimiliki oleh rumpun bagsa maupun
yang sebanding dengan jahiliyah yang pernah terjadi ditanah Arab. 5

A. HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL INDONESIA


5
Jurnal akulturasi islam dengan budaya lokal oleh : Muhammad Gazali Rahman

34
Islam sebagai ajaran keagamaan yang lengkap, memberi tempat pada dua jenis
penghayatan keagamaan, pertama,eksoterik (zhahiri) yaitu penghayatan agama yang
berorientasi pad formalitas atau pada norma-norma dan aturan agama yang
ketat.kedua,esoterik ( bathini ), yaitu penghayatan keagamaan yang berorientasi dan menitik
eratkan pada inti keberagamaan dan tujuan beragama. Tekanan yang berlebihan kepada salah
satu dari dua penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi ekuilibrium
(tawazun)dalam islam.

Alquran (Q.S.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam


komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri.manusia harus menerima
kenyataan keragaman budaya dan agama serta mamberikan toleransi kepada masing-masing
komunitas dalam menjalankan ibadahnya oleh karena itu kecurigaan tentang sifat islam yang
antiplural, sangatlah tidak beralasan dari segi ideologis. Bila setiap muslim memahami secara
mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Al-Quran, tidak perlu lagi ada ketegangan,
permusuhan dan konflik dengan agama-agama lain, selama mereka tidak saling memaksakan.

Selanjutnya didalam islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral
yang berisi ajaran bahwa tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus
mengabdika diri sepenuhnya kepadanya.menurut islam manusia harus memusatkan diri
kepada tuhan untuk kepentingan manusia itu sendiri,atau disebut sebagai humanisme
teosentris.6

Kebudayaan adalah alat kesetual untuk melakukan penafsiran dan analisas


(garna,2001:157). Jadi keberadaan kebudayaan sangatlah penting, karena akan menunjang
terhadap pembahasan mengenai eksistensi suatu masyarakat.kebudayaan sebagai suatu
system budaya, aktivitas dan hasil karya fisik manusia yang berada dalam suatu masyarakat.
Kebudayaan sebagai suatu system budaya,aktivitas dan hasil karya fisik manusia yang berada

dalam suatu proses belajar,baik itu formal maupun informal.hal ini menujukkan bahwa
kebudayaan tidak akan hadir dengan sendirinya, melainkan ada karena adanya manusia dalam
komunitas sosial.sehingga antar manusia,masyarakat dan kebudayaan saling mendukung.

6
Jurnal ilmu dakwah vol.6 no.19 edisi januari-juni 2012

35
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas unsur-unsur kecil yang
merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat suatu kesatuan. Budaya juga dibedakan
menjadi dua : yaitu budaya kecil (little culture ) dan budaya besar (great culture). Budaya
kecil adalah budaya yang berada pada suatu masyarakat yang lingkupnya kecil (dianut oleh
beberapa orang saja) atau juga disebut local culture. Sedangkan budaya besar adalah budaya
yang dianut oleh banyak orang dengan skala kepenganutanya luas.

Islam dan budaya lokal keduanya telah memainkan peranan masing-masing seperti
islam sebagai agama yang universal sangat menghargai akan ada budaya yang ada pada suatu
masyarakat, sehingga kehadiran islam ditengah-tengah masyarakat tindak bertantangan,
melainkan islam dekat dengan kehidupan masyarakat.disinilah sebenarnya bagaimana islam
mampu membuktika dirinya sebagai ajaran yang flexible didalam memahami kondisi
kehidupan suatu masyarakat.

Hal ini pun terjadi di indonesia,dimana islam yang ada di indonesia merupakan hasil
dari proses dakwah yang dilaksanakan secar cultural, sehingga islam di indonesia mampu
berkembang dan menyebar serta banya dianut oleh manyoritas masyarakat indonesia dalam
waktu yang cukup singkat. Karena kehadiran islam diindonesia mampu masuk secara halus
tnpa kekerasan, hal ini berkat dari ajaran islam yang sangat menghargai akan pluralitas suatu
masyarakat.

Banyak kajian sejarah dan kajian kebudayaaan yang mengungkap betapa besar peran
islam dalam perkembangan kebudayaan bangsa indonesia. Hal ini dapat dipahami, karena
islam merupakan agama bagi mayoritas penduduk indonesia. Bahkan dalam perkembangan
budaya daerah terlihat betapa nilai-nilai budaya islam telah menyatu dengan nilai-nilai
budaya disebagian daerah ditanah air.baik dalam wujud seni budaya,tradisi,maupun
peninggalan pisik.peran tersebut dikemukakan oleh presiden pada sambutan nasional budaya
bangsa 10 november 1995, bahwa “agama bukan saja telah menghindarkan berkembangnya
yang sempit, tetapi secara tidak langsung juga ikut meletakan dasar-dasar kebudayaan
nasional.7

7
Deden sumpena : islam budaya lokal.

36
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

37
Islam adalah agama yang bersifat universal, risalahnya diturunkan kepada seluruh
umat manusia tanpa mamandang suku,ras dan sebagainya.ia dapat diterima dimanapun dan
kapanpun( islam sholih likuli zaman wa makan).

Kebudayaaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai


mahluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat, model pengetahuan, yang secara
selekif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan
mendorong dan menciptakan tindakan tindakan yang diperlukan unsur kebudayaan :
kesenian, sistem teknologi dan peralatan, sistem organisasi masyarakat, bahasa sistem mata
pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem pengetahuan,sistem religi.

Sedangkan agama dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan,
sehingga kita mensikapinya dengan proposional, yaitu : memelihara unsur nilai dan norma
kebudayaan yang sudah ada danyang bersikap positif, menghilangkan nilai dan norma yang
walaupun sudah yang bersikap negatif.

B. SARAN

Dari materi yang sudah dibahas diharapkan dapat menambah pengetahuan baik untuk
penulis maupun pembaca. Kami mengharapkan masukan dari pembaca bahkan bisa
menambahkan informasi kepada kami baik langsung maupun tidak langsung. Mudah-
mudahan bisa menambah pengetahuan bagi kami.

Mohon dimaklumi apabila dalam penjelasan materi ini ada yang kurang tepat apalagi
tidak sesuai dengan pendapat narasumber, kami manusia biasa dan akan terbuka apabila ada
koreksi dari pihak manapun

C. PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami sajikan kehadapan pembaca sekalian, atas
berbagai kekurangan yang ada kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

 Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara


book,2016) Hal 1-4

 Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara


book,2016)Hal 5-13

38
 Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara
book,2016)Hal 13-15
 Dr.Rohidin,SH, M.Ag,Pengantar Hukum Islam,(Yogyakarta,Lintang Sari Aksara
book,2016)Hal 22-30
 Jurnal akulturasi islam dengan budaya lokal oleh : Muhammad Gazali Rahman
 Jurnal ilmu dakwah vol.6 no.19 edisi januari-juni 2012
 Deden sumpena : islam budaya lokal.

39

Anda mungkin juga menyukai