Anda di halaman 1dari 22

Makalah Ibadah Ahklaq Muamalah

“Muamalah”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas laporan mata kuliah Ibadah Akhlaq
Muamalah (IAM)

Disusun oleh:

Trisnadi Kholiq 2101100106

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga mak
alah ini dapat tersusun hingga selesai. Tak lupa kami ucapkan terima kasih terhadap pihak yan
g telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami menyusun makalah ini dengan judul “Muamalah” guna menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen pengampu Bpk Firdaus, M.Pd.I untuk mata kuliah Ibadah Akhlaq
Muamalah

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca tentang “Iman dan Pengaruhnya dalam Kehidupan”. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi siapa saja khususnya bagi diri kami sendiri, para pelajar dan semua yang memba
ca makalah ini, dan mudah mudahan dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pe
mbaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa masih banyak kekurangan dalam
penyususnan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu k
ami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan maka
lah ini.

Daftar Isi
2
BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Muamalah adalah sendi kehidupan dimana setiap muslim akan diuji nilai
keagamaan dan kehati-hatiannya, serta konsistensinya dalam ajaran-ajaran Allah
SWT. Sebagaimana diketahui harta adalah saudara kandung dari jiwa (roh),
yang didalamnya terdapat berbagai godaan dan rawan penyelewengan. Sehingga
wajar apabila seorang yang lemah agamanya akan sulit untuk berbuat adil
kepada orang lain dalam masalah meninggalkan harta yang bukan menjadi
haknya (harta haram), selagi ia mampu mendapatkannya walaupun dengan jalan
tipu daya dan pemaksaan.1 Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif)
yang mengatur aspek kehidupan manusia, baik akidah, ibadah, akhlak, maupun
muamalah2 . Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisaan
hubungan manusia dengan Khaliq-Nya. Ibadah juga merupakan sarana untuk
mengingatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi
ini. Adapun muamalah

diturunkan untuk sebagai rules of the game atau aturan main manusia dalam
kehidupan sosial. Di sisi lain, Islam menganut keadilan dan kejujuran di
lapangan ekonomi. Menurut Islam, manusia adalah khalifah atau wakil Tuhan
dalam seluruh rencana Tuhan, dan telah di beri hak pemilikan terbatas atas alat-
alat produksi. Islam mengakui adanya campur tangan negara dalam kegiatan
ekonomi demi menjamin kesejahteraan warganya.3 Manusia harus mengetahui
bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi yang
berbudaya. Ia membutuhkan orang lain, dan saling tukar menukar manfaat di
semua aspek kehidupan, baik bisnis atau jual beli, sewa menyewa, bekerja
dalam bidang pertanian, industri, jasa maupun bidang lainnya. Semua itu
membuat manusia berinteraksi, bersatu, berorganisasi, dan saling bantu
membantu dalam memenuhi kebutuan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.4
Al-Qur’an adalah sumber fiqih muamalah yang pertama dan utama dalam fiqih

4
muamalah (ekonomi Islam), di dalamnya dapat kita temui hal ihwal yang
berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang
diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual beli. Hadits adalah sumber
kedua dari dalam fiqih muamalah. Di dalamnya dapat kita temui khazanah
aturan perekonomian Islam. Di antaranya seperti hadits yang isinya
memerintahkan untuk menjaga dan melindungi harta, baik milik pribadi maupun
umum serta tidak boleh mengambil yang bukan miliknya.

5
Rumusan masalah

a. Hakekat muamalah
b. Pandangan islam tentang kehidupan dunia
c. Makna spiritual tentang kejayaan hidup
d. Ruang lingkup muamalah
e. Prinsip-prinsip bermuamalah
f. Akhlak bermuamalah.

Tujuan

a. Mengetahui pengertian tentang muamalah


b. Mengetahui Pandangan islam tentang kehidupan dunia
c. Mencari berbagai makna spiritual tentang kejayaan hidup
d. Mencari tahu berbagai ruang lingkup muamalah

6
BAB II

PEMBAHASAN

A.Hakekat Mualamah

Secara etimologi kata Muamalat yang kata tunggalnya muamalah (almu’amalah) yang berakar
pada kata ‗aamala secara arti kata mengandung arti ―saling berbuat‖ atau berbuat secara
timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti ―hubungan antara orang dan orang―. Muamalah
secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah yaitu saling berbuat. Kata ini,
menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau
beberapa orang falam memenuhi kebutuhan masing-masing. Atau muamalah secara etimologi
artinya saling bertinfak, atau saling mengamalkan. Secara terminologi, muamalah dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pengertian muamalah dalam arti luas ―menghasilkan duniawi supaya menjadi sebab
suksesnya masalah ukhrawy‖. Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Madjid:
―Muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia‖. ―muamalah adalah segala peraturan
yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan
kehidupan‖. Jadi, pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukumhukum)
Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan
sosial.

Adapun pengertian dalam arti sempit (khas), didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:

1. Menurut Hudhari yang dikutip Hendi Suhendi ―Muamalah adalah semua manfaat yang
membolehkan manusia saling menukar manfaatnya.

2. Menurut Rasyid Ridha, ―muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.

Dari definisi diatas daapt dipahami bahwa pengertian muamalah dalam arti sempit yaitu
semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya dengan cara-cara dan
aturan-aturan yang telah ditrentukan Allah dan manusia wajib menaati-Nya.Adapaun
pengertian muamalah yang sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah al-Sattar Fathullah
Sa‘ad yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu, ―hukum-hukum yang berkaitan dengan

7
tindakan manusia dalam persoalan jual-beli, utang piutang, kerjasama dagang, perserikatan,
kerjasama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewanya‖. Manusia dalam definisi diatas
adalah seseorang yang mukalaf, yang telah dikenai beban taklif, yaitu yang telah berakal balig
dan cerdas.

B.Pandangan Islam tentang kehidupan dunia

Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul (Q.S. Asy-Syura/42: 13),
sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin
kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang
diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul)
berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup
manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu’amalah
duniawiyah.

Setiap muslim yang berjiwa mu’min, muhsin, dan muttaqin, yang paripuma itu dituntut untuk
memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan tauhid yang istiqamah dan bersih dari syirk, bid’ah,
dan khurafat; memiliki cara berpikir (bayani), (burhani), dan (irfani); dan perilaku serta
tindakan yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq al karimah yang menjadi
rahmatan li-`alamin. Dalam kehidupan di dunia ini menuju kehidupan di akhirat nanti pada
hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan, diamati, ditunjukkan,
dibuktikan, dan membuahkan rahmat bagi semesta alam sebagai sebuah manhaj kehidupan
(sistem kehidupan) apabila sungguh-sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya.
Dengan demikian Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan sistem tindakan
yang menyatu dalam diri setiap muslim dan kaum muslimin sebagaimana menjadi pesan
utama risalah da’wah Islam. Da’wah Islam sebagai wujud menyeru dan membawa umat
manusia ke jalan Allah (Q.S. Yusuf/112: 108) pada dasarnya harus dimulai dari orang-orang
Islam sebagai pelaku da’wah itu sendiri (ibda binafsika) sebelum berda’wah kepada
orang/pihak lain sesuai dengan seruan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari siksa neraka….” (Q.S. At-Tahrim/66: 6). Upaya mewujudkan
Islam dalam kehidupan dilakukan melalui da’wah itu ialah mengajak kepada kebaikan (amar
ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu munkar), dan mengajak untuk beriman (tu’minuna

8
billah) guna terwujudnya umat yang sebaikbaiknya atau khairu ummah (Q.S. Ali Imran/3:
104, 110.

Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam dan
menyeluruh itu maka bagi segenap warga Muhammadiyah merupakan suatu kewajiban yang
mutlak untuk melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan
mempraktikkan hidup Islami dalam lingkungan sendiri sebelum menda’wahkan Islam kepada
pihak lain. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam maupun warga Muhammadiyah sebagai
muslim benar-benar dituntut keteladanannya dalam mengamalkan Islam di berbagai lingkup
kehidupan, sehingga Muhammadiyah secara kelembagaan dan orang-orang Muhammadiyah
secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku da’wah menjadi rahmatan lil `alamin dalam
kehidupan di muka bumi ini.

C. MAKNA SPIRITUAL TENTANG KEJAYAAN HIDUP

Pengertian Spiritual Islam

Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh,
jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam
perkembangan selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf,
mengonotasikan “spirit” dengan (1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada
cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3)
makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas,
kesucian atau keilahian).

Sementara itu, Allama Mirsa Ali Al-Qadhi dikutip dalam bukunya Dr.H.M.Ruslan,MA
mengatakan bahwa spiriritualitas adalah tahapan perjalanan batin seorang manusia untuk
mencari dunia yang lebih tinggi dengan bantuan riyadahat dan berbagai amalan pengekangan
diri sehingga perhatiannya tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak
kebahagiaan abadi.

Penjelasan Al-Qur’an tentang spiritual

Sebagaimana disebutkan bahwa ranah spiritual esensinya bukanlah materi atau jasadiah akan
tetapi ia merupakan konsep metafisika yang pengkajiannya melalui pendalaman kejiwaan
yang seringkali disandarkan pada wilayah agama. Islam sebagai salah satu agama yang
diturunkan oleh Allah SWT juga tidak terlepas dari ajaran spiritual yang melambangkan

9
kesalahenan pribadi seorang muslim. Dalam hal ini, Allah SWT menjelaskan dalam surat
Asy-Syams ayat 7-10 sebagai berikut:

١٠ ‫س ٰى َها‬ َ ‫ َوقَ ۡد َخ‬٩ ‫ قَ ۡد َأ ۡفلَ َح َمن زَ َّك ٰى َها‬٨ ‫ فََأ ۡل َه َم َها فُ ُجو َرهَا َوت َۡق َو ٰى َها‬٧ ‫س َّو ٰى َها‬
َّ ‫اب َمن َد‬ َ ‫س َو َما‬ ۡ
ٖ ‫َونَف‬

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan
sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams/91: 7-10).6

Pada ayat di atas, setelah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi,
Allah bersumpah atas nama jati diri/jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu
Allah mengilhamkan kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa/diri manusia. 

Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa dalam penciptaannya (jiwa) itu Allah telah
mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan kepadanya. Beruntunglah bagi orang yang mau
menjaga dan membina untuk kesucian jiwanya dan rugilah orang yang tidak mau menjaga dan
membina jiwanya, membiarkan dan mengotorinya. Jalan untuk menjaga dan membina jiwa
banyak tantangan dan godaan, sedangkan jalan untuk mengotorinya mudah dan tanpa
perjuangan.

Menjaga dan membina jiwa hanya dapat dengan tunduk kepada semua aturan Allah,
beribadah kepada-Nya, selalu ingat dan bertaqarrub kepada-Nya, melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan itulah jiwa terbina membentuk
pribadi yang teguh memegang kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesempurnaan hidup,
kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak, Insya Allah. Jiwa inilah yang akan mencapai
ketenangan dan ketentraman dan jiwa inilah yang akan mendapatkan penghormatan yang
tinggi dan agung mendapatkan panggilan yang penuh rindu dan kasih sayang-Nya. Seperti
yang difirmankan Allah dalam QS.Al-Fajr: 27-30:

٣٠ ‫ َو ۡٱد ُخلِي َجنَّتِي‬٢٩ ‫ فَ ۡٱد ُخلِي فِي ِع ٰبَ ِدي‬٢٨ ‫ضيَّ ٗة‬ ِ ‫ ۡٱر ِج ِع ٓي ِإلَ ٰى َربِّ ِك َرا‬٢٧ ُ‫س ۡٱل ُم ۡط َمِئنَّة‬
ِ ‫ضيَ ٗة َّم ۡر‬ ُ ‫ٰيََٓأيَّتُ َها ٱلنَّ ۡف‬

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang (27), kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela dan diridlai
(28), masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (29), masuklah ke dalam sorga-Ku
(30).

[Q. S. al-Fajr, 89: 27-30].10

10
Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini: “Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat
27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah
mencapai yakin: terhadap Tuhan.

Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi
bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya.

Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak
mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan
tenteram pula Allah terhadapnya.”

Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang
hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan
dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu
menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya,
dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang
kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari
kasturi.”

“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya:
setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau
kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha,
karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepadaNya dan tak pernah mengeluh.

“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). Di sana telah menunggu


hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu;
bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para
shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik
teman.

“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran
nikmat yang tidak akan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata
melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat
dikhayalkan oleh hati manusia. Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu
annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya
bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah
kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai

11
pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini
didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.

Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫ة فِي‬ٞ َّ‫ض َوِإ ۡذ َأنتُمۡ َأ ِجن‬


ِ ‫نش~َأ ُكم ِّمنَ ٱَأۡل ۡر‬ َ ‫س~ ُع ۡٱل َم ۡغفِ َر ۚ ِة ُه~ َو َأ ۡعلَ ُم بِ ُكمۡ ِإ ۡذ َأ‬ َ ‫ٱلَّ ِذينَ يَ ۡجتَنِبُونَ َك ٰبَِٓئ َر ٱِإۡل ۡث ِم َو ۡٱلفَ~ ٰ َو ِح‬
ِ ‫ش ِإاَّل ٱللَّ َم ۚ َم ِإنَّ َربَّكَ ٰ َو‬
٣٢ ‫س ُكمۡۖ ُه َو َأ ۡعلَ ُم بِ َم ِن ٱتَّقَ ٰ ٓى‬
َ ُ‫بُطُو ِن ُأ َّم ٰ َهتِ ُكمۡۖ فَاَل تُ َز ُّك ٓو ْا َأنف‬

“Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Allah lebih mengetahui tentang siapa
yang bertakwa.” (Qs. an-Najm/53: 32).

Serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

١٨ ‫ ٱلَّ ِذي يُ ۡؤتِي َمالَهۥُ َيتَزَ َّك ٰى‬١٧ ‫سيُ َجنَّبُ َها ٱَأۡل ۡتقَى‬
َ ‫َو‬

“Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang
menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya.” (Qs. al-Lail/92: 17-18).

Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan
kepada Allah. Dan memang tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah.

Makna spiritual Dalam Islam

Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia
tidak ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang
berbeda, yakni unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur
jiwa/roh yang menarik kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual).
Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan tidur;
sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia
(ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk
mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).

Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang
alami dan netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih
tinggi derajatnya dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan
memuaskan kebutuhan-kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam
pandangan Islam, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang
dijalankan sesuai petunjuk Islam, maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya,
jika kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan
Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela. Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi

12
dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela, namun jika dipenuhi dalam bingkai
pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah yang terpuji. Lantas apa yang
mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh Allah?
Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi
tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari sesuatu yang mendorongnya untuk taat kepada
Allah itu. Sebagian orang menyangka bahwa faktor yang mendorong manusia untuk taat
kepada Allah itu adalah roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya. Sebab jiwa/roh
merupakan kekuatan suci dan positif yang menarik manusia untuk mengorbit kepada
kepentingan ukhrowi. Anggapan ini sepenuhnya merupakan khayalan yang tidak bisa
dibuktikan.

Sebenarnya, sesuatu yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya bukanlah  unsur halus yang bersemayam dalam
diri manusia. Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan
hubungannya dengan Allah Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu
mengawasi inilah yang membuat manusia taat kepadaNya. Ia kesadaran tersebut akan
menguat tatkala mendengarkan nasehat yang sangat menyentuh, melihat fenomena yang
menampakkan keagungan Allah, atau tatkala termotivasi oleh orang lain yang melaksanakan
ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah atau hilang tatkala manusia
tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu kewajiban. Eksistensi ruh
dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh perbuatan yang
ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya, seorang
muslim kemanapun dia pergi akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api
yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk
melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’.
Hadirnya ruh juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang,
bekerja, bergaul, berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara’.

Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar
Ka’bah, tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-
kantor, bahkan di kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat islam tidak hanya
dimanifestasikan dalam sholat, puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan
dengan Allah juga teraktualisasikan dalam bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-
pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan suami-istri. Umat islam sepenuhnya
hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan yang serba material. Inilah

13
falsafah kehidupan dalam islam, yakni penyatuan antara materi dengan ruh. Yang demikian
itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum syara’ atas dasar
kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.

Dengan demikian, sebenarnya dalam Islam tidak ada dikotomi antara urusan dunia dengan
urusan akhirat. Pengawasan dan penilaian Allah atas seluruh amal perbuatan manusia yang
membawa konsekuensi pahala dan siksa merupakan benang merah yang menghubungkan
antara dunia dan akhirat. Semuanya adalah amalan dunia, namun semuanya akan membawa
dampak di akhirat.

Inilah spiritualitas dalam islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan
dinamika kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah
dimensi yang berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh yang kenyataannya adalah
kesadaran akan hubungan seorang muslim dengan Allah ini harus dibawa ke mana pun
seorang muslim itu pergi, dalam kondisi apapun, dan dalam menjalani aktivitas serta urusan
apa pun. Inilah makna sejati dari dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu
diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk
selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas sedikit pun. Demikianlah cara orang-orang yang
beriman untuk mentransendensikan seluruh aktivitas mereka di dunia dan “melayani” Allah
dalam setiap urusan yang mereka kerjakan.

D.Ruang Lingkup Muamalah

Berdasarkan pembagian fiqih muaamalah, muamalah terdiri atas muamalah al-madiyah dan
muamalah al-adabiyah. Berikut ini ruang lingkup dari muamalah tersebut.

a) . Muamalah al-madiyah

 Gadai (Rahn),

 Upah (ujroh al amah)

 Perseroan harta dan tenaga (mudharabah)

 Perseroan /perkongsian (asy syirkah),

 Sayembara (al ji’alah)

 Jual beli (al bai’ at tijarah)

 Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhamam),


14
 Pemindahan utang (hiwalah),

 Sewa menyewa tanah (musaqoh mukhabaroh),

 Pemberian (al hibbah),

b) . Muamalah al-adabiyah

Ruang lingkup dari muamalah al-adabiyah yaitu seperti ijab dan kabul, saling meridhoi, hak
dan kewajiban, tidak adanya paksaan dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia
dan yang ada kaitannya dengan peredaran harta.

E. Prinsip-prinsip bermuamalah

Secara general, terdapat dua prinsip atau asas dalam muamalah yakni prinsip umum dan
prinsip khusus. Dalam prinsip umum terdapat empat hal yang utama, yakni;

1) Setiap muamalah pada dasarnya adalah mubah kecuali ada dalil yang mengharamkannya;

2) Mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan;

3) Keseimbangan antara yang transendent dan immanent;

4) Keadilan dengan mengenyampingkan kezaliman.

Sementara itu prinsip khusus terbagi menjadi dua yakni yang diperintahkan dan yang
dilarang. Adapun yang diperintahkan terdapat tiga prinsip, yakni;

1) Objek transaksi haruslah yang halal

Artinya dilarang melakukan bisnis ataupun aktivitas ekonomi terkait yang haram. Sebagai
contoh Islam melarang menjual minuman keras, najis, alat-alat perjuadian, dan lain-lain.
Ketika barang yang telah Allah tetapkan haram, maka untuk menjualnya pun diharamkan.
Disebutkan dalam sebuah hadits yang bahwasanya orang yang tidak melakukan aktifitas
haram tetapi membantu terlaksananya perbuatan tersebut, maka haram pula.

2) Adanya kerihdaan semua pihak terkait

Dasar asas ini adalah kalimat an taradhin minkum (saling rela diantara kalian, QS. An-Nisa:
29). Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan
antara masing-masing pihak. Kerelaan antara pihakpihak yang berakad dianggap sebagai
prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi. Jika dalam transaski tidak terpenuhi asas ini,
maka itu artinya sama dengan memakan sesuatu dengan cara bathil yang dilarang Allah.

15
3) Pengelolaan dana yang amanah dan jujur

Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah merupakan cirri yang mesti ditunjukkan karena
merupakan sifat Nabi dan Rasul dalam kehidupan sehari-hari. Terkait ini Nabi bersabda :
Pedagang yang jujur dan amanah berada bersama para Nabi dan para syuhada. Amanah (trust)
adalah modal utama untuk terciptanya kondisi damai dan stabilitas di tengah masyarakat,
karena amanah sebagai landasan moral dan etika dalam bermuamalah dan berinteraksi sosial.

Sedangkan yang dilarang terdapat beberapa prinsip juga: 1) riba 2) gharar; 3) tadlis; 4)
berakad dengan orang-orang yang tidak cakap hukum seperti orang gila, anak kecil, terpaksa,
dan lain sebagainya.

1) Riba

Riba diharamkan karena terkait pada suatu tambahan yang berlipat ganda, hal tersebut
tertuang dalam QS. Ali Imran (130) yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.”

Dalam Al-qur’an juga ditunjukkan betapa kerasnya Allah dalam mengharamkan riba yaitu
dalam QS. Al Baqarah (278-279) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

Dari beberapa ayat di atas jelaslah bahwa riba sangatlah dilarang karena riba salah satu dari
tujuh dosa besar yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.

2) Gharar

Gharar adalah istilah dalam hukum Islam yang artinya keraguan, tipuan, atau tindakan dengan
tujuan merugikan orang lain. Gharar berupa akad yang mengandung unsur penipuan karena
tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah,
maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad tersebut.

3) Tadlis

16
Tadlis (penipuan) yakni penipuan atas adanya kecacatan barang yang diperjualbelikan. Tadlis
ada kalanya dari penjual dan ada kalanya dari pembeli. Tadlis dari penjual berupa
merahasiakan cacat barang dan mengurangi kuantitas atau kualitas barang tetapi seolah-olah
tidak berkurang. Tadlis pada pembeli berupa alat pemabayaran yang tidak sah.

Dalam ekonomi Islam kondisi ideal dalam pasar yaitu penjual dan pembeli mempunyai
informasi yang sama terhadap objek atau barang yang diperjualbelikan sehingga terjadi
kerelaan dari masing-masing pihak. Pada saat terjadi ketimpangan informasi terhadap objek
yang diperjualbelikan, maka besar kemungkinan terjadi penipuan. Oleh sebab itu tadlis ini
dilarang.

4) Berakad dengan orang yang tidak cakap hukum

Larangan lain yang dapat menyebabkan akad bisa dibatalkan seperti transaksi karena
persoalan kecakapan orang yang berakad seperti jual beli orang gila, anak kecil, terpaksa,
menjual barang orang lain tanpa seizinnya; atau bisa juga karena persoalan shigat seperti tidak
sesuai antara ijab dan kabul; dari segi objek seperti barang yang tidak ada atau dikhawatirkan
akan tidak ada. Dan lain sebagainya.

Prinsip-prinsip muamalah dalam Islam adalah;

 Harta milik Allah

Harta adalah milik Allah salah satu diantara sekian banyak anugrahNya yang diberikan
kepada manusiaunt kemanfaatan dan kemaslahatan manusia.

 Allah memberi kewenangan kepada manusia untuk mengelola harta

Allah memberi kewenangan kepada manusia untuk mengelola harta (istikhlaf al maal).
Sehingga ia akan mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah oleh karena itu didalam
penggunaan harta dan cara mendapatkannya harus tunduk kepada ketentuan-Nya.

 Kepemilikan harta bukan tujuan namun hanya sarana

Kepemilikan harta bukan tujuan namun ia sarana untuk menikmati perhiasan dunia yang
Allah berikan kepada hambaNya melalui rizki yang baik serta sarana untuk mewujudkan
maslahah umum.

 Kebolehan mengembangan harta dan larangan menimbunnya

17
Prinsip tersebut menjelaskan tentang memperluas cakupan manfaat harta sehingga
maslahatnya dirasakan oleh orang banyak.

 Pencatatan proses transaksi

Pencatatan proses transaksi. Diantara upaya penjagaan dalam sebuah transaksi dari terjadinya
sengketa, lupa, kehilangan dan lainnya maka syariah memerintahkan otentifikasi (tautsiq)
melalui pencatatan, kesaksian, jaminan gadai guna menjaga setiap hak dari pemiliknya.

 Mencari harta dan mendistribusikannya dengan cara yang halal

Islam mengharamkan setiap usaha mendapatkan harta yang akan menimbulkan kedengkian,
merusak hubungan sesama manusia, bertindak culas, curang (menipu) . Sebagaimana Islam
memerintahkan untuk berbuat adil dalam muamalah dan akad sehingga masyarakat terhindar
dari kerusakan sosial dan mental.

 Haramnya riba dan mendapatkan harta dengan cara batil

Keharaman riba dikarenakan penguasaan haq orang lain tanpa cara yang benar dan
dilarangnya mengambil harta dengan cara batil karena menimbulkan permusuhan dan
kebencian didalam masyarakat.

 Jujur dan amanah dalam transaksi muamalah

Sikap jujur dan amanah ini implementasi adalah tidak mengambil haknya melebihi apa yang
seharusnya dan tidak mengurangi hak orang lain dari porsi yang seharusnya.

 Berta’awun (tolong-menolong) dengan sesama dalam muamalah.

F. Akhlak dalam bermuamalah

Sebagai seorang pedagang perlu adanya ilmu agar ia terjaga dari sikap yang tidak baik atau
curang, saling merugikan dan tenggelam dalam lautan riba.

“Seorang pedagang jika tidak faham fikih akan tenggelam dalam riba, tenggelam dan makin
terbenam.” (Ali bin Abi Thalib)

“Barangsiapa yang belum belajar agama, jangan berdagang di pasar kami !.” (Umar bin
Khaththab)

18
Oleh karenanya belajar bab jual beli, muamalah, dan perdagangan serta akhlak didalam
berdagang perlu dipahami dan direnungkan sebelum terjun ke dunia perdagangan atau
wirausaha dikarenakan kemaslahatan yang besar bagi yang memahami dan mempraktikannya
dalam dunia perdagangan.

Di antara akhlak pedagang yang perlu dijaga ialah :

1. Jagalah Kejujuran

Jujur adalah mata uang yang berharga dan berlaku dimana-mana. Begitulah menurut kata
bijak yang sering kita dengar. Kejujuran didalam berdagang akan memberikan keberkahan
kepada penjual dan pembeli. Kejujuran adalah akhlak para nabi dan rasul. Semoga kita
dimudahkan untuk senantiasa jujur.

“Penjual dan pembeli boleh meneruskan/memutuskan transaksi selama belum berpisah. Jika
keduanya jujur, keduanya akan diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta dan saling
tertutup., hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq “alaihi).

2. Bersikap terbuka dan toleransi

Sikap keterbukaan dan toleransi didalam perdagangan adalah sikap yang penuh dengan
rahmat dan kasih sayang dari Allah. Semoga kita bisa meraihnya.

“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang bersikap penuh toleransi ketika menual,
membeli, dan menagih hutang.” (HR. Bukhari)

3. Janganlah menipu dan bersikap curang.

Menipu didalam perdagangan akan merugikan konsumen dan mampu menghilangkan tingkat
kepercayaan konsumen kepada penjual. Semoga Allah jauhkan dari sifat ini. Barangsiapa
yang menipu bukanlah golongan kami. Makar dan tipuan tempatnya adalah neraka.” (HR.
Thabrani)

4. Seringlah memberikan saran dan informasi

Sikap terbaik bagi penjual ialah memberi tahu kepada pembeli atau konsumen tentang
kelebihan dan kekurangan atau cacat barang yang akan dibelinya. Berikanlah saran dan
informasi kepada pembeli untuk memudahkan didalam memilih barang yang akan dibelinya.
Dan janganlah pelit informasi dan menyembunyikan kecacatan barang supaya laku keras.

19
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual
barang yang mengandung cacat kepada orang lain, kecuali jika ia menjelaskan.” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah)

5. Jangan mengurangi takaran

Marilah kita renungkan sejenak betapa keuntungan yang tidak seberapa dan kita berlaku
curang itu tidak sebanding dengan beratnya hukuman yang kita terima di akhirat kelak. Oleh
karenanya takarlah sesuai takaran, dan takarlah dengan baik serta janganlah mengurangi
takaran. “Celaka bagi orang-orang yang mengurangi takaran.” (QS. Al-Muthaffifin : 1)

6. Janganlah menimbun

Rasa senang ketika menimbun barang itu laksana berdiri diatas penderitaan orang lain dan ia
memanfaatkan rasa butuh orang lain atas barang tersebut dan mereka melepas barang yang ia
tinbun dengan harga tinggi. Semoga Allah lindungi kita dari praktik seperti ini. “Barang siapa
menimbun, maka ia berdosa.” (HR. Muslim)

7. Jauhi sumpah bohong

Menebar sumpah yang sebenarnya dusta kepada pembeli untuk meyakinkan pembeli agar
segera membeli adalah perbuatan yang tidak terpuji dan akan menghilangkan berkahnya
didalam berdagang. “Sumpah dusta itu melariskan barang dagangan, namun menghilangkan
berkah usaha.” (Muttafaq ‘Alaihi)

8. Janganlah mendekati riba

Teriring doa, semoga keluarga kita dijauhkan oleh Allah dari riba baik dalam praktiknya
maupun debu ribanya. Riba itu dosanya lebih berat dari pada 36 kali berzina dan bisa
menghilangkan indahnya keberkahan.

“Satu dirham hasil riba yang dimakan seseorang, padahal ia tahu lebih berat dosanya dari
pada 36 kali berzina.” (HR. Ahmad)

9. Menjauhkan diri keluarga kira dari harta haram

Teriring doa, semoga keluarga kita dijauhkan dari harta yang haram, dimudahkan dalam
menjemput harta yang halal, dan dimudahkan didalam menginfakkan harta yang halal tersebut
serta senantiasa diliputi oleh keberkahan dari harta yang halal.

20
BAB III

PENUTUP

2.1. Kesimpulan

2.2. Saran

Makalah ini kami buat masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran atau
penilaian dari pembaca sangat membantu untuk terbentuknya makalah ini menjadi lebih baik
kedepannya. Dan semoga ilmu ataupun materi yang tertuang dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tidak hanya itu, penulis harap pembaca juga dapat memahami
isinya dan dapat juga diterapkan dalam kehidupan sehari hari.

21
Daftar Pustaka

1. Munib, A. (2018). HUKUM ISLAM DANMUAMALAH (Asas-asas hukum Islam


dalam bidang muamalah). Al-Ulum Jurnal Pemikiran dan Penelitian ke
Islaman, 5(1), 72-80.
2. Rahman Ritonga, MA dan Zainuddin, MA. ,”Fiqh lbadah”, Penerbit Gaya Media
Pratama, Jakarta.2000
3. Abdul Hakim, “Antara lbadah dan Muamalah” seorang pemerhati sosial keagamaan
bermukim di Prabumulih, Sriwijaya Post 2002.
4. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqih Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2002
5. Sulaiman Rasjid. “Fiqh Islam” (Hukum Fiqh Lengkap), Penerbit Sinar Baru
Algesindo, Bandung. 2001
6. Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syari’at Islam, Tintamas,
Jakarta, 1992
7. Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari’ah, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2007
8. DR. H. Nasruh Haroen, MA, Fiqh Mua’malah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000
9.

22

Anda mungkin juga menyukai