Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Allah swt telah menjelaskan bahwa manusia seharusnya bermasyarakat, tunjang
menunjang, topang-menompang antara satu dengan yang lainnya, Muamalah adalah aspek
hukum Islam yang ruang lingkupnya luas. Pada dasarnya aspek hukum Islam yang bukan
termasuk kategori ibadah, seperti sholat, puasa, dan haji dapat disebut muamalah. Sedangkan
secara etimologi berasal dari kata („aamala-yu‟aamilu mu‟aamalatan ) yang artinya saling
bertindak, saling beramal. Menurut Muhammad Yusuf Musa sebagaimana yang dinukil Abdul
Majid berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan
ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Muamalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban Islam yang
maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian dari syariat Islam, yaitu yang mengatur kehidupan
manusia dalam hubungan dengan manusia, masyarakat dan alam berkenaan dengan kebendaan
dan kewajiban
Diantara permasalahan yang paling berkembang dalam kehidupan bermasyarakat hari ini
adalah masalah muamalah, khususnya muamalah maliyah atau interaksi sesama manusia yang
berkaitan dengan uang dan harta dengan segala bentuk macam transaksinya. Hal ini tidak dapat
kita bendung, sebab perubahan itu terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuan teknologi.
Dalam persoalan muamalah syariat Islam lebih banyak memberikan penjelasan terkait
prinsip dan kaidah secara umum dibandingkan jenis dan bentuk muamalah secara perinci.
Memang telah kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan
muamalah. . Namun tidak semua masyarakat mengetahui secara kaffah akan peraturan-
peraturan dalam bermuamalah.
Muamalat adalah urusan sesama manusia. Apabila ada sekelompok manusia di suatu
tempat, haruslah mereka saling berinteraksi satu sama lain, berjual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, utang piutang, baik konsisten maupun tidak konsisten, baik komitmen maupun tidak
komitmen, baik secara sederhana maupun kelebihan. Disinilah syariah hadir untuk
memperbaiki, membina, meluruskan dan menetapkan kaidah-kaidah menerangkan maksud-
maksud, menjelaskan syarat-syarat, menampakkan metode, melestarikan yang benar sesuai
dengan maksud-maksud dan menghapuskan yang bertentangan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. HAKEKAT MUAMALAH

Allah menciptakan manusia dan dunia ini bukan tanpa aturan. Ada hukum-hukum yang
harus dipatuhi dalam menjalani setiap aktivitas di dunia ini, mulai dari bangun tidur sampai
tidur lagi. Hukum-hukum Allah dalam muamalah pada hakikatnya adalah untuk kemaslahatan
kita dan menghilangkan segala kemudharatan.
Istilah muamalah  biasanya  juga dimaknai sebagai  hubungan sosial antar sesama
manusia. Hidup seorang manusia akan dipandang lebih baik ketika bisa memberikan manfaat
bagi banyak orang. Untuk itu seseorang perlu meningkatkan kualitas muamalahnya, yang dapat
dilakukan  dengan cara  mengevaluasi  dan  mengintrospeksi diri sendiri sudah sejauh  mana
kita melakukan  muamalah.  Selanjutnya harus berniat dan berjanji untuk lebih baik dalam
melakukan muamalah dan dalam melakukan muamalah hendaklah kita mempunyai
pengetahuan atau ilmu tentang muamalah yang sedang dilakukan tersebut. Dengan kita
memahami dan berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas muamalah, maka selain mendapat
pahala dan karunia dari Allah SWT, juga akan bermanfaat dalam menjaga hubungan antar
manusia yang lebih harmonis serta menjaga ketertiban hidup bermasyarakat.
Muamalah merupakan praktek ajaran Islam tentang hablum minannas yang berdimensi
sosial atau komunal. Ada bermacam macam muamalah. Sebagai contoh muamalah dalam
kehidupan sehari-hari antara lain kegiatan jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, kerjasama
dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak akan bisa berjalan dengan lancar tanpa 
berbagai aturan dan hukum sebagai pegangan.
Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT dan mahluk sosial sudah sepantasnya kita
mempelajari, memahami dan mempraktekkan hukum muamalah yang telah diatur sesuai syariat
Islam. Penerapan muamalah dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai syariat Islam, secara tidak
langsung berarti kita juga telah ikut serta dalam upaya menegakkan nilai-nilai Islam yang
merupakan misi sepanjang hidup setiap insan muslim.
Muamalah merupakan cabang dari  ilmu syariah dalam cakupan ilmu fiqih. Secara garis
besar kegiatan muamalah mencakup dua aspek, yaitu aspek adabiyah dan madiyah.
Aspek adabiyah mencakup kegiatan muamalah yang berkaitan dengan kegiatan adab dan
akhlak, misalnya menghargai sesama, saling meridhoi, hak dan kewajiban, kejujuran,
kesopanan, penipuan dan sebagainya. Sedangkan aspek madiyah adalah aspek yang berkaitan
dengan kebendaan, misalnya benda yang halal, haram dan subhat untuk dimiliki, diupayakan
dan diperjualbelikan, benda yang bisa mengakibatkan kemaslahatan, kemudharatan, dan lain
sebagainya.
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang artinya
saling melakukan, saling bertindak atau saling mengamalkan. Dengan demikian arti muamalah
melibatkan lebih dari satu orang dalam prakteknya, sehingga akan timbul adanya hak dan
kewajiban. Sedangkan dari segi  istilah, pengertian muamalah berdasarkan fiqih mempunyai
dua arti, yaitu pengertian dalam arti luas dan pengertian dalam arti sempit.
Dalam arti luas, muamalah merupakan aturan Allah yang mengatur masalah hubungan
manusia dan usaha mereka dalam mendapatkan kebutuhan jasmani dengan jalan yang terbaik.
Sedangkan dalam arti sempit, muamalah merupakan kegiatan tukar menukar suatu barang yang
bermanfaat dengan menggunakan cara-cara yang sesuai aturan Islam.
Jadi muamalah menyangkut  perbuatan seorang manusia sebagai hamba ciptaan Allah
SWT. Menurut pendapat lain, muamalah adalah hubungan kerjasama antar manusia yang
dilakukan atas suatu perikatan-perikatan dan perjanjian-perjanjian yang saling meridhoi demi
tercapainya kemaslahatan bersama. Ayat Alquran tentang muamalah yang sesuai kondisi ini,
yaitu : An Nisa’ ayat 29 :
“Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yg berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu”.

Muamalah dalam Islam merupakan aturan-aturan dan hukum yang mengatur tata cara
memenuhi kebutuhan dunia dengan cara yang benar menurut syariat Islam. Muamalah ini akan
membantu kita mengetahui mana yang haram dan mana yang halal. Maka dari itu kita harus
mempelajari apa saja syarat dan rukunnya, sehingga upaya kita dalam memenuhi kebutuhan
dunia tidak melanggar aturan dan hukum Islam.
Sedangkan pengertian fiqih muamalah adalah ilmu yang berkaitan dengan muamalah,
yaitu  kegiatan atau transaksi yang berdasarkan aturan-aturan dan hukum-hukum syariat, yang
berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupannya dan didasari oleh dalil-dalil Islam
secara rinci. Ruang lingkup fiqh muamalah adalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia
yang berupa perintah – perintah maupun larangan – larangan dalam bermuamalah,  berdasarkan
hukum-hukum Islam seperti wajib, sunnah, halal, haram, makruh dan mubah.
Kedudukan Muamalah dalam Islam
 Islam menetapkan aturan-aturan yang fleksibel dalam bidang muamalah, karena bidang
tersebut amat dinamis, mengalami perkembangan.
 Meskipun bersifat fleksibel, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang
muamalah tidak menimbulkan kemudharatan atau kerugian dalam masyarakat.
 Meskipun bidang muamalah berkaitan dengan kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan ukhrawi, sehingga dalam ketentuan-ketentuannya
mengandung aspek halal, haram, sah, batal, dsb.
Sumber Hukum Muamalah
Sumber hukum  fiqih muamalah  secara umum berasal dari tiga sumber utama, yaitu Al
Quran dan Hadits, dan ijtihad.
1. Al Qur’an
Seperti yang telah diketahui bahwa Al Qur’an merupakan referensi utama yang memuat 
pedoman dasar bagi umat manusia. Khususnya dalam menemukan dan menarik suatu perkara
dalam kehidupan. Sudah seharusnya setiap muslim selalu berpegang teguh kepada hukum-
hukum yang terdapat di dalam Al Qur’an sebagai petunjuk agar menjadi manusia yang taat
kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. 
Ayat tentang muamalah antara lain :
QS An Nisa’ Ayat 58 yang artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”
QS Al Muthaffifin ayat 1-6 yang artinya : “1). Celakalah bagi orang-orang yang curang
(dalam menakar dan menimbang), 2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, 3) dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk
orang lain), mereka mengurangi, 4) Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, 5) pada suatu hari yang besar, 6) (yaitu) pada hari (ketika) semua
orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam“
QS Ali Imran ayat 3 yang artinya : “Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan”
2. Hadits
Seperti yang telah diketahui bahwa Hadits merupakan sumber hukum bagi umat Islam yang kedua
setelah Al Qur’an. yang digunakan oleh umat Islam sebagai panduan dalam melaksanakan berbagai
macam aktivitas, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Hadits adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan (sabda), perbuatan,
maupun ketetapan yang dijadikan sebagai landasan syari’at Islam. Hadits tentang muamalah antara
lain :
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka Allah
mengharamkan pula hasil penjualannya” (HR. Abu Daud)
“Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali dengan keridhoan
darinya” (HR al-Baihaqi).
Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : Riba itu terdiri 73 pintu. Yang
paling ringan diantarannya adalah seperti seseorang laki-laki yang berzina dengan ibunya, dan
sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (HR. Ibnu Majah).
3. Ijtihad
Sumber hukum yang ketiga setelah Al Qur’an dan hadits adalah ijtihad, yaitu proses menetapkan
suatu perkara baru dengan akal sehat dan pertimbangan yang matang,  dimana perkara tersebut tidak
dibahas dalam Al Qur’an dan hadits. Ijtihad merupakan sumber yang sering digunakan dalam
perkembangan fiqih muamalah sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak ditemukan dalam Al Qur’an maupun Hadits.
B. PANDANGAN ISLAM TENTANG KEHIDUPAN DUNIA
Allah SWT menciptakan dunia beserta isinya dan terlepas dari itu semua, Allah menciptakan dunia
untuk tujuan tertentu. Kehidupan dunia seringkali membuat manusia terlena dan tidak mengingat
bahwa kehidupan tersebut tidaklah abadi. Dalam kehidupan dunia, manusia melewati fase-fase
tertentu dan dalam setiap fase kehidupan tersebut manusia mengalami berbagai macam hal. Manusia
sendiri tidak bisa mengatur apakah dirinya akan lahir didunia dan dimana ia akan dilahirkan,
semuanya sudah diatur oleh Allah SWT . Suka ataupun tidak, setiap . yang terlahir didunia harus
menjalani kehidupan dan berusaha untuk bertahan hidup dengan segala kemampuannya. Tapi,
apakah kita benar-benar mengerti apakah sebenarnya dunia itu dan bagaimana pandangan islam
tentang dunia? Untuk mengetahuinya dengan lebih jelas, simak penjelasan berikut ini mengenai
dunia menurut islam :
1. Hakikat Dunia Dalam Islam
Dunia menurut islam hakikatnya hanyalah permainan dan sifatnya fana atau tidak abadi. Dunia
adalah tempat dimana manusia hidup dan beraktifitas serta menjalankan segala urusannya terutama
untuk beribadah kepada Allah SWT. Dunia diciptakan oleh Allah beserta isinya untuk mendukung
kehidupan manusia dan memenuhi segala kebutuhannya, meskipun demikian keindahan dunia dan
segala yang ada didalamnya justru membuat manusia lupa atas tujuan penciptaannya dan melupakan
Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat Al hadid ayat 20 bahwa dunia ini sebenarnya hanya
permainan belaka, sebagaimana yang disebutkan berikut ini
ُ‫ب ْال ُكفَّا َر نَبَاتُ?هُ ثُ َّم يَ ِهي ُج فَتَ? َراه‬َ ‫ث أَ ْع َج‬ٍ ‫ال َواأْل َوْ اَل ِد ۖ َك َمثَ? ِل َغ ْي‬
ِ ‫ا ْعلَ ُموا أَنَّ َما ْال َحيَاةُ ال ُّد ْنيَا لَ ِعبٌ َولَ ْه ٌو َو ِزينَةٌ َوتَفَ??ا ُخ ٌر بَ ْينَ ُك ْم َوتَ َك??اثُ ٌر فِي اأْل َ ْم? َو‬
ِ ‫ع ْال ُغر‬
‫ُور‬ ُ ‫ان ۚ َو َما ْال َحيَاةُ ال ُّد ْنيَا إِاَّل َمتَا‬ٌ ‫?ًًّرا ثُ َّم يَ ُكونُ ُحطَا ًما ۖ َوفِي اآْل ِخ َر ِة َع َذابٌ َش ِدي ٌد َو َم ْغفِ َرةٌ ِمنَ هَّللا ِ َو ِرضْ َو‬ƒ َ‫ُمصْ ف‬
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Qs Al Hadid ; 20)”
2. Tipu daya Dunia
Sungguh dunia ini penuh dengan tipu daya dan muslihat dan membuat manusia terlena dibuatnya.
Bahkan Rasulullah SAW juga merasa khawatir apabila umatnya terpedaya oleh dunia dan
melupakan kehidupan akhirat sebagai tujuan hidupnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
berikut :
‫إِ َّن ِم َّما أَخَافُ َعلَ ْي ُك ْم من بعدي ما يفتح عليكم من زهرة الدنيا و زينتها‬
“Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah
dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian
3. Keutamaan Akhirat Dibandingkan Dunia
Saat ini manusia berlomba-lomba mengejar dunia dan berusaha untuk mencari kesenangan dunia
dengan berbagai cara termasuk dengan cara-cara yang diharamkan. Banyak manusia yang
terperdaya dunia dan tidak menganggap bahwa dunia sebenarnya hanya tempat singgah saja dan
akhirat adalah sesuatu yang seharusnya dikejar. Terlalu larut dalam dunia justru akan membuat
manusia lupa dengan akhirat dan akhirnya melupakan kewajibannya kepada Allah SWT termasuk
meninggalkan shalat wajib dan ibadah lainnya.. Dibandingkan dengan dunia, akhirat adalah tempat
yang kekal dan abadi jadi sudah selayaknya manusia lebih mendahulukan kepentingan akhirat
dibandingkan dengan kepentingan duniawi. Allah SWT berfirman :
‫َّمن َكانَ ي ُِري ُد ْال َعا ِجلَةَ َعج َّْلنَا لَهُ فِيهَا َما نَ َشا ُء لِ َمن نُّ ِري ُد ثُ َّم َج َع ْلنَا لَهُ َجهَنَّ َم يَصْ اَل هَا َم ْذ ُمو ًما َّم ْدحُورًا* َو َم ْن أَ َرا َد اآْل ِخ َرةَ َو َس َع ٰى لَهَا َس? ْعيَهَا‬
‫َوهُ َو ُم ْؤ ِم ٌن فَأُو ٰلَئِكَ َكانَ َس ْعيُهُم َّم ْش ُكورًا‬
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka
jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia
adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”  (QS
Al-Isra’: 18-19).
4. Balasan Bagi Mereka Yang Mementingkan Dunia
Seringkali manusia tidak sadar bahwa ia lebih mengutamakan dunia dibandingkat akhirat dan
manusia tersebut akhirnya melalaikan kewajiban kepada Allah SWT sebagaimana orang-orang kafir.
Orang-orang kafir didunia gemar berfoya-foya dan bersenang-senang dengan harta yang mereka
miliki dan terkadang mereka juga menertawakan mereka yang berbuat amal shaleh dan bersabar atas
segala ujian yang diberikan Allah SWT. Allah sendiri menjamin bahwa orang-orang mukmin yang
bersabar didunia untuk kehidupan diakhirat, mereka akan mendapat balasannya diakhirat kelak
demikian juga para kaum kafir. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam ayat
berikut :
‫ض? َح ُكونَ * َوإِ َذا َم??رُّ وا بِ ِه ْم يَتَ َغ??ا َم ُزونَ * َوإِ َذا انقَلَبُ??وا إِلَ ٰى أَ ْهلِ ِه ُم انقَلَبُ??وا فَ ِك ِهينَ * َوإِ َذا َرأَوْ هُ ْم‬ ْ َ‫إِ َّن الَّ ِذينَ أَجْ َر ُموا َك??انُوا ِمنَ الَّ ِذينَ آ َمنُ??وا ي‬
ِ ِ‫ار يَضْ َح ُكونَ * َعلَى اأْل َ َرائ‬ ُ َ َ‫قَالُوا إِ َّن ٰهَؤُاَل ِء ل‬
‫ب‬ ِّ ?ُ‫ك يَنظُرُونَ * هَ?لْ ث‬
َ ‫?و‬ ِ َّ‫ضالُّونَ * َو َما أرْ ِسلُوا َعلَ ْي ِه ْم َحافِ ِظينَ * فَ ْاليَوْ َم الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِمنَ ْال ُكف‬
َ‫ْال ُكفَّا ُر َما َكانُوا يَ ْف َعلُون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang
beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling
mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada
kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin,
mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”, padahal
orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.Maka pada
hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,mereka (duduk) di atas
dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap
apa yang dahulu mereka kerjakan.”  (QS Al-Muthaffifin: 29-36)
5. Berlomba-lomba Dalam kebaikan
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan dunia beserta isinya untuk manusia dan dengan tujuan agar
manusia beribadah kepada Allah SWT. Oleh sebab itu selama hidup di dunia selayaknya manusia
berlomba-lomba dalam kebaikan dan selalu menjalankan kewajiban dan menjauhi larangannya
sebagai bentuk rasa iman dan taqwa kepada Allah SWT (baca fungsi iman kepada
Allah dan manfaat beriman kepada Allah). Allah SWT berfirman :
ۚ ‫ض? ُل هَّللا ِ ي ُْؤتِي? ِه َم ْن يَ َش?ا ُء‬ َ ?ِ‫ُس?لِ ِه ۚ ٰ َذل‬
ْ َ‫ك ف‬ ْ ‫ض أُ ِع َّد‬
ُ ‫ت ِللَّ ِذينَ آ َمنُ?وا بِاهَّلل ِ َور‬ ِ ْ‫ض ال َّس َما ِء َواأْل َر‬ ُ ْ‫َسابِقُوا إِلَ ٰى َم ْغفِ َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َعر‬
ِ ْ‫ضهَا َك َعر‬
‫َوهَّللا ُ ُذو ْالفَضْ ِل ْال َع ِظ ِيم‬
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-
rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar” (QS Al Hadid 21)
Dunia ini memang nampak sangat menarik dan menggoda. Semoga kita senantiasa
bisa istiqomah untuk menjalankan kewajiban kita kepada Allah SWT.
C. MAKNA SPIRITUAL TENTANG KEJAYAAN HIDUP
Pengertian Spiritual Islam
Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti “roh, jiwa,
sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam perkembangan
selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengonotasikan “spirit” dengan
(1) kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos, (2) kesadaran yang berkaitan
dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi, (3) makhluk immaterial, (4) wujud ideal akal
pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian).
Sementara itu, Allama Mirsa Ali Al-Qadhi dikutip dalam bukunya Dr.H.M.Ruslan,MA mengatakan
bahwa spiriritualitas adalah tahapan perjalanan batin seorang manusia untuk mencari dunia yang
lebih tinggi dengan bantuan riyadahat dan berbagai amalan pengekangan diri sehingga perhatiannya
tidak berpaling dari Allah, semata-mata untuk mencapai puncak kebahagiaan abadi.
Selain itu, dikutip pada buku yang sama, Sayyed Hosseein Nash salah seorang spiritualis Islam
mendefinisikan spiritual sebagai sesuatu yang mengacu pada apa yang terkait dengan dunia ruh,
dekat dengan Ilahi, mengandung kebatinan dan interioritas yang disamakan dengan yang hakiki.
Spiritualitas menurut Ibn ‘Arabi adalah pengerahan segenap potensi rohaniyah dalam diri manusia
yang harus tunduk pada ketentuan syar’I dalam melihat segala macam bentuk realitas baik dalam
dunia empiris maupun dalam dunia kebatinan.
Penjelasan Al-Qur’an tentang spiritual
Sebagaimana disebutkan bahwa ranah spiritual esensinya bukanlah materi atau jasadiah akan tetapi
ia merupakan konsep metafisika yang pengkajiannya melalui pendalaman kejiwaan yang seringkali
disandarkan pada wilayah agama. Islam sebagai salah satu agama yang diturunkan oleh Allah SWT
juga tidak terlepas dari ajaran spiritual yang melambangkan kesalahenan pribadi seorang muslim.
Dalam hal ini, Allah SWT menjelaskan dalam surat Asy-Syams ayat 7-10 sebagai berikut:
‫خَاب َم ْن َدسَّاهَا‬
َ ‫ قَ ْد أَ ْفلَ َح َمن زَ َّكاهَا ) َوقَ ْد‬. ‫ فَأ َ ْلهَ َمهَا فُجُو َرهَا َوتَ ْق َواهَا‬. ‫س َو َما َسوَّاهَا‬
ٍ ‫َونَ ْف‬
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan
sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (Qs. asy-Syams/91: 7-10).6
Pada ayat di atas, setelah bersumpah dengan matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi, Allah
bersumpah atas nama jati diri/jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Allah
mengilhamkan kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa/diri manusia. 
Al-Qurthubi mengatakan bahwa sebagian ulama mengartikan kata ‘nafs’ sebagai Nabi Adam,
namun sebagian yang lain mengartikannya secara umum, yaitu jati diri manusia itu sendiri.
Menurut Ibn ‘Asyur, kata ‘nafs’ dalam ayat berbentuk nakirah (tanpa alif lam ta‘rif), ini
menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia. Hal ini senada dengan
penggunaan kata yang sama secara nakirah dalam ayat 5 surat al-Infithar:
ْ ‫ت َوأَ َّخ َر‬
)5 :]82[ ‫ت (االنفطار‬ ْ ‫ت نَ ْفسٌ َما قَ َّد َم‬
ْ ‫َعلِ َم‬
“Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya. (Q. S. al-
Infithar [82]:8.
Oleh karena itu kata ‘wa ma sawwaha’ mengandung penjelasan bahwa Allah menciptakan diri setiap
manusia dalam kondisi yang sama, tidak berbeda antar satu dengan lainnya. Sebab kesempurnaan
bentuk manusia (taswiyyah) tercapai setelah proses pembentukan janin sempurna, yaitu pada awal
masa kanak-kanak. Karena taswiyyah merupakan pembentukan fisik manusia, penyiapan
kemampuan motorik, dan intelektual. Seiring pertumbuhannya, potensi dalam diri manusia
meningkat sehingga ia siap menerima ilham dari Allah.
Kata ilham sebagaimana pengertian dalam ayat tidak dikenal di kalangan orang Arab sebelum Islam,
sehingga penjelasan untuk kata ilham tidak bisa dicari dalam syair-syair Arab kuno. Tidak diketahui
kapan pertama kali kata ini muncul, namun diyakini Alquran lah yang menghidupkan kata ini, sebab
ia adalah kata yang mendalam dan mengandung makna kejiwaan. Menurut Ibn Asyur, kata ilham
diambil dari kata “allahm“ yang berarti tegukan dalam sekali gerak. Secara terminologis, kata ilham
digunakan untuk menyatakan konsep keilmuan tertentu di kalangan para ahli sufi. Ia diartikan
sebagai hadirnya pengetahuan dalam diri manusia tanpa harus melalui usaha belajar dan penalaran.
Dengan kata lain, ini merupakan ilmu yang tidak berdasar dalil, yaitu ilmu yang hadir seumpama
insting bagi manusia. Bandingannya, seperti hadirnya pengetahuan pada seseorang agar segera
menghindar saat berhadapan dengan hal yang tidak baik baginya.
Dengan pengertian seperti di atas, Ibn Abbas menafsirkan kata “fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,”
bahwa Allah mengajarkan manusia (‘arrafaha) tentang jalan fasik, dan jalan takwa. Tidak jauh
berbeda, Mujahid juga menafsirkan kata alhamaha sebagai ‘arrafaha; bahwa Allah memperkenalkan
jalan taat dan jalan maksiat bagi manusia. Penafsiran serupa juga dinyatakan oleh al-Farra’, namun
ada juga ulama yang melakukan penafsiran berbeda. Tanpa pengilhaman kedua hal itu, akal tidak
akan mampu memahami apa itu fasik dan takwa, demikian pula manusia tidak akan mampu
memahami apa itu dosa dan pahala. Hal ini lah yang mempertautkan pernyataan ayat 8 dengan
konsekuensinya dalam ayat 9 dan Redaksi dan munasabah menunjukkan bahwa kedua ayat ini
merupakan kesatuan dengan ayat sebelumnya, jadi tidak bisa ditafsirkan secara terpenggal. Logika
yang terbangun; setelah Allah menjelaskan adanya pengilhaman fujur dan taqwa dalam diri
manusia, lalu Allah menyatakan konsekuensinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Logika ini cukup relevan dengan redaksi ayat, sebab ayat 8 menggunakan waw‘athaf yang berarti
fujur dan taqwa sama-sama diilhamkan dalam jiwa manusia, maka pernyataan dalam ayat 9 dan 10
menunjukkan akibat dari fujur dan taqwa itu.Dari itu manusia patut disifatkan sebagai orang yang
beruntung atau rugi, karena ia sendiri yang memilih untuk menyucikan, atau mengotori jiwanya.
Sebab sebelumnya ia telah diberi ilham sehingga dapat membedakan antara fujur dantaqwa, bahkan
para nabi pun telah diutus untuk memberinya pengajaran. Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa
dalam penciptaannya (jiwa) itu Allah telah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan
kepadanya. Beruntunglah bagi orang yang mau menjaga dan membina untuk kesucian jiwanya dan
rugilah orang yang tidak mau menjaga dan membina jiwanya, membiarkan dan mengotorinya. Jalan
untuk menjaga dan membina jiwa banyak tantangan dan godaan, sedangkan jalan untuk
mengotorinya mudah dan tanpa perjuangan.
Menjaga dan membina jiwa hanya dapat dengan tunduk kepada semua aturan Allah, beribadah
kepada-Nya, selalu ingat dan bertaqarrub kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Dengan itulah jiwa terbina membentuk pribadi yang teguh
memegang kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesempurnaan hidup, kebahagiaan di dunia dan
akhirat kelak, Insya Allah. Jiwa inilah yang akan mencapai ketenangan dan ketentraman dan jiwa
inilah yang akan mendapatkan penghormatan yang tinggi dan agung mendapatkan panggilan yang
penuh rindu dan kasih sayang-Nya. Seperti yang difirmankan Allah dalam QS.Al-Fajr: 27-30:
)28(‫) ارجعى إلى ربك راضية مرضية‬27( ‫يأيتها النفس المطمئنة‬
)30(  ‫) فادخلى جنتى‬29( ‫فادخلى فى عبادى‬
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang (27), kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela dan diridlai (28),
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (29), masuklah ke dalam sorga-Ku (30).
[Q. S. al-Fajr, 89: 27-30].10
Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini: “Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27).
Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai
yakin: terhadap Tuhan.
Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari
Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya.
Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil
nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah
terhadapnya.”
Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang
beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta
keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya:
“Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah.
Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.”
Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”
“Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah
payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali
kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah
menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepadaNya dan tak pernah mengeluh.
“Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). Di sana telah menunggu
hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama
di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa
hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman.
“Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran
nikmat yang tidak akan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya,
belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati
manusia. Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh
manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat
ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu
telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa
dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas,
Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil.
Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫فَالَ تُ َز ُّكوا أَنفُ َس ُك ْم ه َُو أَ ْعلَ ُم بِ َم ِن اتَّقَى‬
“Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Allah lebih mengetahui tentang siapa yang
bertakwa.” (Qs. an-Najm/53: 32).
Serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫ الَّ ِذي ي ُْؤتِي َمالَهُ يَتَ َز َّكى‬. ‫َو َسيُ َجنَّبُهَا ْاألَ ْتقَى‬
“Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang menginfakkan
hartanya serta menyucikan dirinya.” (Qs. al-Lail/92: 17-18).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan kepada
Allah. Dan memang tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah.
Di sini perlu juga dipahami dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,
‫ رواه مسلم‬.‫ أَ ْنتَ َولِيُّهَا َو َموْ الَهَا‬،‫ َو َز ِّكهَا أَ ْنتَ خَ ْي ُر َم ْن زَ َّكاهَا‬،‫ت نَ ْف ِسي تَ ْق َواهَا‬
ِ ‫اَللَّهُ َّم آ‬
“Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik
yang membersihkan jiwa. Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya.” (HR. Muslim).
Dengan qalbu serta jiwa yang bersih dan bertakwa, akan tercapailah maksud diciptakannya manusia.
Yaitu hanya beribadah dan menyembah kepada Allah saja. Allah berfirman,
َ ‫ت ْال ِج َّن َو ْا ِإل‬
ِ ‫نس إِالَّلِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ُ ‫َو َماخَ لَ ْق‬
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku saja.” (Qs. adz-
Dzaariyaat/51: 56).
Makna spiritual Dalam Islam
Manusia memang memiliki ruh dalam arti nyawa. Namun pada faktanya, dalam diri manusia tidak
ada dua unsur pembentuk yang menarik manusia kepada dua kecenderungan yang berbeda, yakni
unsur jasad menarik kearah pemenuhan kepentingan duniawi dan unsur jiwa/roh yang menarik
kepada pemenuhan kepentingan ukhrowi (moral dan ritual). Kenyataannya, semua perbuatan
manusia dipengaruhi oleh dorongan kebutuhan-kebutuhan fisik (al-hajatul ‘udlwiyah) dan naluriah
(al-ghoro’iz). Kebutuhan fisik contohnya adalah kebutuhan untuk makan, minum, buang hajat dan
tidur; sedangkan kebutuhan naluri contohnya adalah naluri untuk melestarikan jenis manusia
(ghorizatun nau’), naluri untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqo’), dan kebutuhan untuk
mensucikan dan mengagungkan dzat yang lebih agung dan sempurna (ghorizatut tadayyun).
Menurut Islam, kebutuhan-kebutuhan fisik dan naluriah tersebut merupakan sesuatu yang alami dan
netral, tidak bisa dengan sendirinya dikatakan bahwa kebutuhan yang satu lebih tinggi derajatnya
dari kebutuhan yang lain. Justru cara manusia dalam mengatur dan memuaskan kebutuhan-
kebutuhan itulah yang dapat diberi predikat terpuji atau tercela. Dalam pandangan Islam, jika
kebutuhan-kebutuhan tersebut dipenuhi dengan perbuatan yang dijalankan sesuai petunjuk Islam,
maka ia akan menjadi perbuatan yang terpuji. Sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan tersebut
dipenuhi dengan perbuatan yang melanggar tuntunan Islam maka ia menjadi perbuatan yang tercela.
Kebutuhan akan seks, misalnya, jika dipenuhi dengan berzina maka menjadi suatu hal yang tercela,
namun jika dipenuhi dalam bingkai pernikahan yang sah maka akan menjadi bagian dari ibadah
yang terpuji. Naluri alami untuk mensucikan dzat yang lebih agung yang mendorong aktivitas ritual
keagamaan –yang sering dianggap sebagai aktivitas ruhaniyah itu- jika dijalankan tanpa petunjuk
Islam maka akan menjadi bid’ah yang tercela, namun jika dijalankan berdasarkan petunjuk Al
Qur’an dan As Sunnah maka akan menjadi ibadah yang terpuji, berpahala dan diridhoi oleh Allah.
Lantas apa yang mengarahkan manusia kepada aktivitas pemenuhan kebutuhan yang diridhoi oleh
Allah? Inilah yang menjadi misteri bagi kebanyakan orang. Mereka merasakan kehadirannya, tapi
tidak mampu mengidentifikasi hakekat dari sesuatu yang mendorongnya untuk taat kepada Allah itu.
Sebagian orang menyangka bahwa faktor yang mendorong manusia untuk taat kepada Allah itu
adalah roh atau jiwa yang bersemayam di dalam badannya. Sebab jiwa/roh merupakan kekuatan suci
dan positif yang menarik manusia untuk mengorbit kepada kepentingan ukhrowi. Anggapan ini
sepenuhnya merupakan khayalan yang tidak bisa dibuktikan.
Sebenarnya, sesuatu yang mendorong manusia untuk cenderung melakukan perbuatan terpuji dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya bukanlah  unsur halus yang bersemayam dalam diri manusia.
Dorongan itu sebenarnya berasal dari kesadaran yang ia miliki akan hubungannya dengan Allah
Ta’ala (al idrok lishillatihi billah). Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi inilah yang membuat
manusia taat kepadaNya. Ia kesadaran tersebut akan menguat tatkala mendengarkan nasehat yang
sangat menyentuh, melihat fenomena yang menampakkan keagungan Allah, atau tatkala termotivasi
oleh orang lain yang melaksanakan ibadah dengan lebih baik. Kesadaran itu pula yang melemah
atau hilang tatkala manusia tergoda untuk melaksanakan maksiat atau meninggalkan suatu
kewajiban. Kesadaran yang kadang menguat dan kadang pula melemah inilah sebenarnya yang
mereka sebut dengan ruh. Disebut ruh karena secara rancu kesadaran ini dianggap sebagai salah satu
unsur penyusun manusia, berupa jiwa yang bersemayam di dalam diri manusia. Padahal, keberadaan
ruh yang berarti kesadaran itu jelas bukan merupakan unsur penyusun manusia melainkan hasil 
prestasi manusia dalam memahami, menyadari dan memunculkan kesadaran bahwa dirinya selalu
diawasi dan dinilai oleh Allah.
Eksistensi ruh dalam diri seorang muslim menuntutnya untuk selalu mengendalikan seluruh
perbuatan yang ia lakukan dengan hukum-hukum syara’. Maka selama ruh itu ada dalam benaknya,
seorang muslim kemanapun dia pergi akan selalu berjalan di atas hukum syara’ laksana kereta api
yang selalu berjalan di atas relnya. Kehadiran ruh tersebut mendorong seorang muslim untuk
melaksanakan sholat, haji, puasa dan aktivitas ritual lain sesuai dengan hukum syara’. Hadirnya ruh
juga mendorong manusia untuk melaksanakan bisnis, jual-beli, hutang-piutang, bekerja, bergaul,
berumah-tangga, sampai menata pemerintahan menggunakan hukum syara’.
Atas dasar itu, ruh tidak hanya hadir di tempat-tempat sujud, tidak hanya hadir di sekitar Ka’bah,
tidak hanya hadir di masjid-masjid, namun ia juga hadir di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan di
kamar kecil sekali pun. Aktivitas spiritual umat islam tidak hanya dimanifestasikan dalam sholat,
puasa, haji dan dzikir, namun spiritualitas dan kedekatan dengan Allah juga teraktualisasikan dalam
bisnis, pekerjaan, pergaulan, hukum, politik-pemerintahan bahkan juga terwujud dalam hubungan
suami-istri. Umat islam sepenuhnya hidup dalam dimensi spiritual sekaligus menjalani kehidupan
yang serba material. Inilah falsafah kehidupan dalam islam, yakni penyatuan antara materi dengan
ruh. Yang demikian itu terjadi tatkala semua aktivitas manusia dijalankan dengan hukum-hukum
syara’ atas dasar kesadaran akan hubungan mereka dengan Allah.
Dengan demikian, sebenarnya dalam Islam tidak ada dikotomi antara urusan dunia dengan urusan
akhirat. Pengawasan dan penilaian Allah atas seluruh amal perbuatan manusia yang membawa
konsekuensi pahala dan siksa merupakan benang merah yang menghubungkan antara dunia dan
akhirat. Semuanya adalah amalan dunia, namun semuanya akan membawa dampak di akhirat. Dr.
Abdul Qodir ‘Audah menyatakan:
“hukum-hukum Islam dengan segala jenis dan macamnya diturunkan untuk kebahagiaan manusia di
dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap aktivitas duniawi selalu memiliki aspek ukhrowi. Maka
aktivitas ibadah, sosial kemasyarakatan, persanksian, perundang-undangan atau pun kenegaraan
semuanya memiliki pengaruh yang dapat dirasakan di dunia akan tetapi, perbuatan yang memiliki
pengaruh di dunia ini juga memiliki pengaruh lain di akhirat, yaitu pahala dan sanksi akhirat“
Inilah spiritualitas dalam islam. Ia adalah spiritualitas yang membumi, menyatu dengan dinamika
kehidupan manusia dalam kesehariannya. Kerohanian dalam islam bukanlah dimensi yang
berseberangan dengan kehidupan dunia. Bahkan, ruh yang kenyataannya adalah kesadaran akan
hubungan seorang muslim dengan Allah ini harus dibawa ke mana pun seorang muslim itu pergi,
dalam kondisi apapun, dan dalam menjalani aktivitas serta urusan apa pun. Inilah makna sejati dari
dzikrullah (mengingat Allah), yakni sadar bahwa ia selalu diawasi oleh Allah dalam segenap gerak-
geriknya sehingga mendorong seorang muslim untuk selalu hidup dengan syariat Islam tanpa lepas
sedikit pun. Demikianlah cara orang-orang yang beriman untuk mentransendensikan seluruh
aktivitas mereka di dunia dan “melayani” Allah dalam setiap urusan yang mereka kerjakan.
D. RUANG LINGKUP MUAMALAH
Pada ruang lingkup fiqih muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan
hukum-hukum Islam, baik berupa perintah maupun larangan-larangannya yang terkait dengan
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa berdasarkan aspeknya,
muamalah dibagi menjadi dua jenis, yaitu muamalah adabiyah dan madiyah.
1. Muamalah Adabiyah
Penjelasan muamalah adabiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan bagaimana cara tukar
menukar benda ditinjau dari segi subjeknya, yaitu manusia. Muamalah adabiyah mengatur tentang
batasan-batasan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh manusia terhadap benda yang
berkaitan dengan adab dan akhlak, seperti kejujuran, kesopanan, menghargai sesama, saling
meridhoi, dengki, dendam, penipuan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas manusia
dalam hidup bermasyarakat dalam mengelola suatu benda Pada muamalah adabiyah memberikan
panduan yang syara’ bagi perilaku manusia untuk melakukan tindakan hukum terhadap sebuah
benda. Semua perilaku manusia harus memenuhi prasyarat etis normatif sehingga perilaku tersebut
dianggap layak untuk dilakukan.
2.  Muamalah Madiyah
Sedangkan muamalah madiyah adalah muamalah yang berkaitan dengan objek muamalah atau
bendanya. Muamalah madiyah menetapkan aturan secara syara’ terkait dengan objek bendanya.
Apakah suatu benda halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diupayakan dan diperjualbelikan,
apakah suatu benda bisa menyebabkan kemaslahatan atau kemudharatan bagi manusia, dan
beberapa segi lainnya. Dengan kata lain, muamalah madiyah bertujuan untuk memberikan panduan
kepada manusia bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat kebendaan dan bersifat
sementara bukan sekedar memperoleh keuntungan semata, tetapi juga bertujuan untuk memperoleh
ridha Allah SWT, dengan cara melakukan muamalah sesuai dengan aturan main yang sesuai dengan
aturan-aturan yang ditetapkan secara syara’. Ruang lingkup muamalah yang bersifat madiyah antara
lain adalah sebagai berikut :
 Jual-beli ( bai’ )
 Gadai ( rahn )
 Jaminan dan tanggungan ( Kafalah dan Dhaman )
 Pemindahan hutang ( hiwalah )
 Pailit ( taflis )
 Perseroan atau perkongsian ( syirkah )
 Perseroan harta dan tenaga ( mudharabah )
 Sewa menyewa tanah (mukhabarah)
 Upah (ujral al-amah)
 Gugatan (asy syuf’ah)
 Sayembara (al ji’alah)
 Batas bertindak (al hajru)
 Pembagian kekayaan bersama (al qisamah)
 Pemberian (al hibbah)
 Pembebasan (al ibra’), damai (ash shulhu)
 Masalah-masalah seperti bunga bank, kredit, asuransi dan masalah-masalah baru lainnya.
Perlu diketahui bahwa ruang lingkup muamalah juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
seperti bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Menurut Abdul Wahhab Khallaf,
berdasarkan tujuannya, muamalah dalam Islam memiliki ruang lingkup yang meliputi :
1. Hukum Keluarga (Ahkam Al Ahwal Al-Syakhiyyah)
Merupakan hukum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan
untuk membangun dan memelihara keluarga sebagai bagian terkecil. Meliputi hukum tentang hak
maupun kewajiban suami, istri, dan anak serta hubungan keluarga satu dengan lainnya
2. Hukum Perdata (Al Ahkam Al Maliyah)
Merupakan hukum yang mengatur hubungan individu-individu dalam bermuamalah serta bentuk-
bentuk hubungannya, seperti jual beli, sewa-menyewa, hutang piutang, perjanjian, perserikatan dan
lain sebagainya. Jadi hukum perdata berkaitan dengan kekayaan dan hak-hak atas pemeliharaannya
sehingga tercipta hubungan yang harmonis di dalam masyarakat.
3. Hukum Pidana (Al-Ahkam Al-Jinaiyyah)
Merupakan hukum yang berkaitan dengan segala bentuk kejahatan, pelanggaran hukum dan
ketentuan sanksi-sanksi hukumnya. Tujuannya adalah untuk menjaga ketentraman dan keamanan
hidup umat manusia termasuk harta kekayaannya, kehormatannya, dan membatasi hubungan antara
pelaku tindak pidana kejahatan dengan masyarakat maupun korban.
4. Hukum Acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at)
Definisi hukum acara adalah hukum yang berkaitan dengan sumpah, persaksian, tata cara
mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang terbukti bersalah, sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Pada hukum ini bertujuan untuk mengatur dan merealisasikan keadilan di dalam
kehidupan masyarakat.
5. Hukum Perundang-Undangan (Al-Ahkam Al-Dusturiyyah)
Merupakan hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan yang berlaku untuk membatasi
hubungan hakim dengan terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.
6. Hukum Kenegaraan (Al-Ahkam Al-Duwaliyyah)
Merupakan hukum yang berkaitan dengan hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan
rakyatnya, hubungan antar kelompok masyarakat dalam suatu negara maupun antar negara. Hukum
ini bertujuan untuk mengatur mengatur hubungan di antara umat Islam dengan yang lainnya yang
ada dalam suatu Negara, hubungan pemerintah dan rakyatnya serta hubungan yang terjadi antar
negara pada masa damai dan masa perang.
7. Hukum Keuangan dan Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wa Al-Maliyyah)
Merupakan hukum yang berkaitan dengan hak-hak dari fakir miskin di dalam harta orang kaya,
mengatur sumber keuangan negara, pendistribusian serta permasalahan pembelanjaan negara dalam
rangka untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya.
E. PRINSIP-PRINSIP BERMUAMALAH
Hakikat diturunkannya syari’at Islam adalah mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kerusakan, yang tercermin dalam bentuk perintah dan larangan dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Setiap bentuk perintah yang mesti dikerjakan, pasti di situ juga mengandung kemaslahatan bagi
manusia. Sebaliknya, setiap bentuk larangan yang mesti ditinggalkan, pasti juga mengandung
kemudharatan bagi manusia. Walaupun seringkali hikmah dari perintah dan larangan tersebut
terungkap jauh setelah dalilnya diturunkan. Demikian pula dengan ketentuan dalam muamalah,
adalah jelas untuk kemaslahatan manusia secara umum. Ketentuan-ketentuan muamalah secara
syari’at Islam yang tidak akan mengabaikan aspek penting dalam kesinambungan hidup manusia.
Secara ga
ris besar, terdapat dua prinsip dalam muamalah yakni prinsip umum dan prinsip khusus.
Prinsip Umum
Dalam prinsip umum muamalah terdapat empat hal yang utama, yaitu :
 Hukum asal dalam muamalah pada dasarnya adalah mubah kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
 Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan kemaslahatan / manfaat dan
menghindarkan mudharat dalam masyarakat.
 Pelaksanaan Muamalah didasarkan dengan tujuan memelihara nilai keseimbangan (tawazun)
berbagai segi kehidupan, yang antara lain meliputi keseimbangan antara pembangunan
material dan spiritual, pemanfaatan serta pelestarian sumber daya.
 Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsur-unsur
kezaliman.
Perinsip khusus
Sementara itu prinsip khusus muamalah dibagi menjadi dua, yaitu yang diperintahkan dan yang
dilarang.
Adapun yang diperintahkan dalam muamalah terdapat tiga prinsip, yaitu :
 Objek transaksi harus yang halal, artinya dilarang melakukan aktivitas ekonomi atau bisnis
terkait yang haram.
 Adanya keridhaan semua pihak terkait muamalah tersebut, tanpa ada paksaan.
 Pengelolaan dana / aset yang amanah dan jujur.
Sedangkan yang dilarang dalam muamalah antara lain :
 Riba, merupakan setiap tambahan / manfaat yang berasal dari kelebihan nilai pokok
pinjaman yang diberikan peminjam. Riba juga sebagai suatu kegiatan yang menimbulkan
eksploitasi dan ketidakadilan yang secara ekonomi menimbulkan dampak sangat merugikan
masyarakat
 Gharar, adalah mengandung ketidakjelasan, spekulasi, taruhan, bahaya, cenderung pada
kerusa kan.
 Tadlis (penipuan), misalnya penipuan dalam transaksi jual beli dengan menyembunyikan
atas adanya kecacatan barang yang diperjualbelikan.
 Berakad dengan orang-orang yang tidak cakap dalam hokum, seperti orang gila, anak kecil,
terpaksa, dan lain sebagainya.
F. AKHLAK BERMUAMALAH
“Nasihatilah diriku di kala aku sendiri, Jangan kau nasihati aku di tengah keramaian Karena
nasihat di muka umum adalah bagian dari penghinaan yang tak suka aku mendengarnya, Jika
engkau enggan dan tetap melanggar kata-kataku Maka jangan menyesal jika aku enggan
menurutimu.” (Imam syafi’i)
AGAMA islam adalah nasihat, yakni nasihat yang berkaitan mengenai kebenaran dan kesabaran.
Nasihat mengenai ketakwaan. Nasihat mengenai amar ma’ruf nahi mungkar. Nasihat laksana telaga
yang diminum airnya ditengah kehausan dalam pengembaraan. Nasihat adalah sedekah laksana
senyuman dan laksana perkataan yang baik. Oleh karenanya nasihat itu akan bermanfaat. Nasihat
adalah amal shalih namun letakkanlah nasihat itu pada tempatnya dan situasinya agar ia menyentuh
hati.
Nasihat tidak selamanya berupa perkataan namun perilaku yang baik juga merupakan nasihat atau
pelajaran yang berharga. Dalam bermuamalah hendaklah memperhatikan beberapa nasehat berikut
ini :
1. Menghindari tirani, sombong, syaitan, serakah dan jelek
2. Menjamin hak kepemilikan dan kebebasan
3. Bekerjasama saat susah dan senang.
4. Mematuhi peraturan dalam setiap perjanjian.
5. Membeli secara sopan dan sederhana.
6. Tidak menipu/berbohong dalam setiap perjanjian.
7. Memahami transaksi.
8. Menghindari transaksi yang tidak sesuai syari’at Islam.
9. Memberi toleransi bagi yang sulit membayar utang.
10. Jangan menunda2 bayar utang jika mampu.
11. Tidak menjual barang yang dilarang.
12. Memakai alat timbangan/ukur yang benar.
13. Jangan melakukan pembelian didepan.
14. Tidak membeli/menjual barang yang dicuri.
15. Jangan berjudi.
16. Jangan memakan riba.
Akhlak pedagang yang perlu dijaga antara lain :
1.  Jagalah Kejujuran
Jujur adalah mata uang yang berharga dan berlaku dimana-mana. Begitulah menurut kata bijak yang
sering kita dengar. Kejujuran didalam berdagang akan memberikan keberkahan kepada penjual dan
pembeli. Kejujuran adalah akhlak para nabi dan rasul. Semoga kita dimudahkan untuk senantiasa
jujur.
“Penjual dan pembeli boleh meneruskan/memutuskan transaksi selama belum berpisah. Jika
keduanya jujur, keduanya akan diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta dan saling tertutup.,
hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq “alaihi).
2. Bersikap terbuka dan toleransi
Sikap keterbukaan dan toleransi didalam perdagangan adalah sikap yang penuh dengan rahmat dan
kasih sayang dari Allah. Semoga kita bisa meraihnya.
“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang bersikap penuh toleransi ketika menual, membeli,
dan menagih hutang.” (HR. Bukhari)
3. Janganlah menipu dan bersikap curang.
Menipu didalam perdagangan akan merugikan konsumen dan mampu menghilangkan tingkat
kepercayaan konsumen kepada penjual. Semoga Allah jauhkan dari sifat ini.
“Barangsiapa yang menipu bukanlah golongan kami. Makar dan tipuan tempatnya adalah neraka.”
(HR. Thabrani)
4. Seringlah memberikan saran dan informasi
Sikap terbaik bagi penjual ialah memberi tahu kepada pembeli atau konsumen tentang kelebihan dan
kekurangan atau cacat barang yang akan dibelinya. Berikanlah saran dan informasi kepada pembeli
untuk memudahkan didalam memilih barang yang akan dibelinya. Dan janganlah pelit informasi dan
menyembunyikan kecacatan barang supaya laku keras.
“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang
yang mengandung cacat kepada orang lain, kecuali jika ia menjelaskan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
4. Jangan mengurangi takaran
Marilah kita renungkan sejenak betapa keuntungan yang tidak seberapa dan kita berlaku curang itu
tidak sebanding dengan beratnya hukuman yang kita terima di akhirat kelak. Oleh karenanya
takarlah sesuai takaran, dan takarlah dengan baik serta janganlah mengurangi takaran.
“Celaka bagi orang-orang yang mengurangi takaran.” (QS. Al-Muthaffifin : 1)
5. Janganlah menimbun
Rasa senang ketika menimbun barang itu laksana berdiri diatas penderitaan orang lain dan ia
memanfaatkan rasa butuh orang lain atas barang tersebut dan mereka melepas barang yang ia tinbun
dengan harga tinggi. Semoga Allah lindungi kita dari praktik seperti ini.
“Barangsiapa menimbun, maka ia berdosa.” (HR. Muslim)
6. Jauhi sumpah bohong
Menebar sumpah yang sebenarnya dusta kepada pembeli untuk meyakinkan pembeli agar segera
membeli adalah perbuatan yang tidak terpuji dan akan menghilangkan berkahnya didalam
berdagang.
“Sumpah dusta itu melariskan barang dagangan, namun menghilangkan berkah usaha.” (Muttafaq
‘Alaihi)
7. Janganlah mendekati riba
Teriring doa, semoga keluarga kita dijauhkan oleh Allah dari riba baik dalam praktiknya maupun
debu ribanya. Riba itu dosanya lebih berat dari pada 36 kali berzina dan bisa menghilangkan
indahnya keberkahan.
“Satu dirham hasil riba yang dimakan seseorang, padahal ia tahu lebih berat dosanya dari pada 36
kali berzina.” (HR. Ahmad )
8. Menjauhkan diri keluarga dari harta haram
Teriring doa, semoga keluarga kita dijauhkan dari harta yang haram, dimudahkan dalam menjemput
harta yang halal, dan dimudahkan didalam menginfakkan harta yang halal tersebut serta senantiasa
diliputi oleh keberkahan dari harta yang halal.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Mata pencaharian yang halal lebih sulit dari pada
memindah gunung.” Dagang adalah satu diantara tegaknya agama dan dunia.
Nasr bin Yahya berkata, Telah sampai kepada kami sebagian nasihat para ahli ilmu, “Tak akan tegak
agama dan dunia, kecuali dengan empat perkara : ulama, umara (pemimpin), prajurit, dan pengusaha
(Dagang).”
Sebagai seorang pedagang perlu adanya ilmu agar ia terjaga dari sikap yang tidak baik atau curang,
saling merugikan dan tenggelam dalam lautan riba.
“Seorang pedagang jika tidak faham fikih akan tenggelam dalam riba, tenggelam dan makin
terbenam.” (Ali bin Abi Thalib)
Barangsiapa yang belum belajar agama, jangan berdagang di pasar kami.” (Umar bin Khaththab)
Oleh karenanya belajar bab jual beli, muamalah, dan perdagangan serta akhlak didalam berdagang
perlu dipahami dan direnungkan sebelum terjun ke dunia perdagangan atau wirausaha dikarenakan
kemaslahatan yang besar bagi yang memahami dan mempraktikannya dalam dunia perdagangan.
DAFTAR PUSTAKA

https://subair3.wordpress.com/2020/05/07/12-muamalah/

Adam, Panji.2018. Fiqh Muamalah Adabiyah. Bandung: Refika Aditama.

Harun.2017. Fiqh Muamalah. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai