Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336225554

KONSEP FIKIH MUAMALAH

Article · October 2019

CITATIONS READS

0 12,242

3 authors, including:

M. ALI Rusdi Bedong


Institut Agama Islam Negeri Parepare, Indonesia
24 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hukum Islam View project

All content following this page was uploaded by M. ALI Rusdi Bedong on 03 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KONSEP FIKIH MUAMALAH

MEGAWATI, ARLIANAH

IAIN Parepare

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamiin yang mengatur hubungan antara

Sang Khaliq (Allah SWT) dengan makhluk, melalui ibadah untuk membersihkan

jiwa dan mensucikan hati. Islam pun datang dengan mengatur hubungan antar

sesama makhluk, sebagian mereka kepada sebagian yang lain.

Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi

kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya

berdasarkan kesepakatan. Aturan tersebut salah satunya yakni terdapat dalam kajian

tentang fikih muamalah yang mana dalamnya mencakup seluruh aturan sisi

kehidupan individu dan masyarakat.

Fikih muamalah adalah cabang ilmu fikih yang pokok bahasannya meliputi

harta benda, hak-hak kebendaan dan distribusinya. Disamping itu, fikih muamalah

juga sebagai sebuah disiplin ilmu akan terus berkembang dan harus berkembang.

Perkembangan tersebut sangat tergantung pada perkembangan manusia dan umat

Islam itu sendiri.

1
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa pengertian, prinsip-prinsip muamalah dan konsep muamalah dalam

perubahan sosial ?

1.2.2 Bagaimana hak dalam pandangan Islam, pengertian hak paksa

(haksyuf’ah) itu sendiri dan status kepemilikannya menurut hukum Islam ?

1.2.3 Bagaimana menghidupkan tanah tandus dan harta dalam pandangan

ekonomi syariah ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian, prinsip-prinsip muamalah dan konsep

muamalah dalam perubahan sosial

1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana hak dalam pandangan Islam, pengertian

hak paksa (haksyuf’ah) itu sendiri dan status kepemilikannya menurut

hukum Islam

1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana menghidupkan tanah tandus dan harta

dalam pandangan ekonomi syariah

2
II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian, Prinsip-prinsip Muamalah dan Konsep Muamalah Dalam

Perubahan Sosial

2.1.1 Pengertian Muamalah

Muamalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antara

manusia. Dalam pengertian harfiah yang bersifat umum ini, muamalah berarti

perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Muamalah merupakan perbuatan

manusia dalam menjalin hubungan atau pergaulan antar sesama manusia. 1

Muamalah secara terminologi muamalah dapat dibagi menjadi dua macam,

yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.

Pengertian muamalah dalam arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya

menjadi sebab suksesnya urusan ukhrawy”.

Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Majjid : “Muamalah

adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup

bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”.

1
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada,
2002) h. 1.

3
“Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur

hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan”.

Jadi, pengertian muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-

hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi

dalam pergaulan sosial.

Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit, didefinisikan oleh para

ulama sebagai berikut:

Menurut Hudhari Beik yang dikutip oleh Hendi Suhendi, “muamalah adalah

semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.

Menurut Rasyid Ridda, “muamalah adalah tukar menukar barang atau

sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan”.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian muamalah dalam arti

sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya

dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib

mentaati-Nya.

Adapun pengertian fiqh muamalah, sebagaimana dikemukakan oleh

Abdullah al-Sattar Fathullah Said yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu“hukum-

hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan

keduniaan, misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerja sama dagang,

perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa”.2

2.1.2 Prinsip-prinsip Muamalah

2
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), h. 3-4.

4
Prinsip dalam muamalah adalah setiap muslim bebas melakukan apa saja

yang dikehendakinya sepanjang tidak dilarang oleh Allah berdasarkan Al-Qur’an

dan As-Sunnah.

1. Prinsip Umum Muamalah

Dalam fikih muamalah, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan,

yaitu:

Pertama, kaidah fikih (hukum Islam) yang menyatakan: “pada dasarnya,

segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Ini mengandung arti, bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas bagi

perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai dengan perkembangan

kebutuhan hidup masyarakat.

Kedua, mu’amalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan

manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid) atau

sering disebut maslahah (kemaslahatan). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa

segala bentuk muamalah yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan

masyarakat tidak dibenarkan, seperti perjudian, penjualan narkotika, prostitusi dan

sebagainya.

Ketiga, muamalah dilaksanakan dengan memilahara nilai keseimbangan

(tawazun) dalam pembangunan.

Konsep keseimbangan dalam konsep syariah/muamalah Islam meliputi

berbagai segi, antara lain meliputi keseimbangan antara pembangunan material dan

spiritual; pengembangan sektor keuangan dan sektor riil; dan pemanfaatan serta

pelestarian sumber daya.

Keempat, muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai adil dan

menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk muamalah yang mengandung


unsur penindasan tidak dibenarkan

5
Keadilan adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan

memberikan sesuatu hanya pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai

posisinya.

2. Prinsip Khusus Muamalah

Secara khusus prinsip dalam muamalah ini dapat dikategorikan pada dua

hal, yaitu hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kegiatan muamalah dan

hal-hal yang di perintahkan untuk dilakukan dalam bidang muamalah.

a. Hal-hal yang Diperintahkan untuk Dilakukan

Beberapa prinsip muamalah yang diperintahkan antara lain: objek perniagan

harus halal dan thayyib, didasarkan pada kerelaan (an-taradhin), dan

pengelolaan yang amanah. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing

tersebut.

1) Objek perniagaan halal

Prinsip dalam muamalah adalah mesti halal dan bukan berbisnis barang-

barang yang diharamkan oleh Islam. Islam memerintahkan pemeluknya

untuk melaksanakan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang

dibenci Allah. Dalam perdagangan tidak dibenarkan memperjualbelikan

atau melakukan tindakan haram. Umpanya Islam melarang menjual

minuman keras, najis, alat-alat perjudian, dan lain-lain.

2) Adanya kerelaan (arridhaiyyah)

Dasar asas ini adalah kalimat “antaradhin minkum” (saling rela diantara

kalian) sebagaimana terdapat dalam Alquran surah Annisa ayat 29. Asas ini

6
menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar

kerelaan antara masing-masing pihak. Kerelaan antara pihak-pihak yang

berakad dianngap sebagai prasyarat bagi terwujudnya semua transaksi. Jika

dalam transaksi tidak terpenuhi asa ini, maka itu sama artinya dengan

memakan sesuatu dengan cara yang bathil (al-akl bil bathil).

3) Pengurusan dana yang amanah

Dalam berbisnis, nilai kejujuran dan amanah dalam mengurus dana

merupakan ciri yang mesti ditunjukkan karena merupakan sifat Nabi dan

rasul dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah bersabda: pedaganfg yang

jujur danamanah berada bersama para nabi dan para suhada.

Kejujuran dan amanah merupakan sifat-sifat yang hampir bersamaan, antara

satu dengan yang lain saling memperkuat. Nilai-nilai amanah ini, banyak

dijelaskan Alquran, antara lain: “dan orang-orang yang memelihara

amanah-amanah (yang dipikulnya) dan (juga) janji-janji”.

b. Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan

Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan dalam kegiatan muamalah adalah

berupa kegiatan transaksi yang didasarkan pada riba, gharar atau taghrir,

tadlis, tahkir atau ihtikar, bai, al-najasy, maysir, dan risywah.3

2.1.2 Muamalah dan Perubahan Sosial

Suatu hal yang membuat persoalan muamalah dalam hal-hal yang tidak

secara jelas ditentukan oleh Nash-nash sangat luas disebabkan bentuk dan jenis

muamalah tersebut akan berkembangnya sesuai dengan perkembangan zaman

tempat dan kondisi sosial. Para pakar ilmu sosial menyebutkan bahwa perubahan

3
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 152-159.

7
sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam

suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya

nilai-nilai, sikap, dan pola-pola prilaku diantara kelompok-kelompok didalam

masyarakat.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Ar-raad ayat 11:

‫اَّللَ ََل يُغَيِّ ُر َما بِّقَ ْو ٍم َحت ه ٰى يُغَيِّ ُروا‬


‫اَّللِّ ۗ إِّ هن ه‬ ُ َ‫لهُ ُمعَ ِّقبَاتٌ ِّم ْن بَي ِّْن يَدَ ْي ِّه َو ِّم ْن خ َْل ِّف ِّه يَحْ ف‬
‫ظونَهُ ِّم ْن أ َ ْم ِّر ه‬
‫سو ًءا فَ ََل َم َرده لَهُ ۚ َو َما لَ ُه ْم ِّم ْن دُونِّ ِّه ِّم ْن َوا ٍل‬ ‫َما بِّأ َ ْنفُ ِّس ِّه ْم ۗ َوإِّذَا أ َ َرادَ ه‬
ُ ‫اَّللُ بِّقَ ْو ٍم‬

Terjemahnya:

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka

dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah

tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada

pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap

sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada

pelindung bagi mereka selain Dia.”

Kandungan hadis yang menyatakan haram hukumnya ikut campur dalam

masalah harga ketika kenaikan harga itu disebabkan banyaknya permintaan

konsumen sedangkan stok barang sedikit. Dengan demikian pengaruh perubahan

sosial amat berpengaruh terhadap perkembangan bentuk suatu muamalah dalam

Islam. Disinilah letaknya bahwa hukum Islam itu sangat elastis dan fleksibel. Tapi

jika perubahan tempat dan masa juga amat berpengaruh terhadap perkembangan

peranan sosial karena suatu tempat dan masa bisa terjadi perbedaan nilai-nilai

struktur sosialnya.4

4
Nur Mardhiah, http://dhiahpotter.blogspot.co.id/2014/09/makalah-fiqh-muamalah.html,
di akses pada tanggal 17 Maret 2017.

8
Untuk mengantisipasi nilai-nilai negatif yang terkandung dan dibawa oleh

perubahan sosial dalam perubahan sosial dalam persoalan muamalah inilah, syariat

iaslam mengemukakan berbagai prinsip-prinsip dan kaidah yang dijadikan patokan

untuk keabhsahan suatu bentuk muamalah yang tercipta akibat perubahan sosial

tersebut. Bentuk muamalah yang didasarkan atas kreasi manusia yang diciptakan

sesuai dengan perubahan sosial yang lainnya.

Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai

terjadinya perubahan, yaitu faktor tempat, faktor zaman, faktor kondisi sosial,
faktor niat, dan faktor adat kebiasaan. Faktor-faktor ini amat berpengaruh dalam

menetapkan hukum bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum bidang

muamalah. Dalam menghadapi perubahan sosial yang disebabkan kelima faktor ini,

yang akan di jadikan acuan dalam menetapkan hukum suatu persoalan muamalah

adalah tercapainya maqashid asy-syari`ah(tujuan yang hendak dicapai dalam

mensyariatkan suatu hukum, sesuai dengan kehendak syara`). Atas dasar itu,

maqasyid asy-syaari`ah lah yang menjadi ukuran keabsahan suatu akad/transaksi

muamalah.5

2.2 Hak Dalam Pandangan Islam, Pengertian Hak Paksa (hak syuf’ah) dan

Status Kepemilikannya Menurut Hukum Islam

2.2.1 Hak Dalam Pandangan Islam

Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi

mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik,

ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaskan, bagian (kewajiban), dan

kebenaran.

5
Musli Afrizona Rahmad, http://afrizona.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-
muamalah.html, di akses pada tanggal 17 Maret 2017.

9
Dalam terminologi fiqh terdapat bebrapa pengertian al-haqq yang

dikemukakan oleh ulama fiqh, diantaranya menurut Wahbah al-Zuhaily, yang

menyatakan bahwa:” hakadalah suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara”.

Dalam fikih (hukum Islam) hak secara garis besarnya dibedakan menjadi:

(1) Hak maliy, yakni hak yang berkaitan dengan harta benda, seperti milkiyah (hak

milik), dan (2) hak ghairu maliy, yakni hak yang tidak berkaitan dengan harta

benda, seperti hak seorang wali terhadap pemeliharaan anak kecil. Yang menjadi

obyek pembahasan fikih muamalah adalah hak yang berkaitan dengan harta benda.

Hak Allah dan Hak Manusia

Dari segi pemiliknya hak atau dari segi sifatnya pemanfaatannya, hak

dibedakan menjadi Hak Allah dan Hak manusia. Hak Allah adalah hak yang

kemanfaatannya ditujukan untuk melindungi kepentingan umum (al-mashlahah al-

‘ammah). Hak ini dihubungkan dengan Asma Allah karena kemanfaatannya yang

sangat besar untuk melindungi ketertiban umum seperti aturan sanksi pidana

tergolong hak Allah.

Hak manusia adalah hak yang ditujukan untuk melindungi kepentingan

manusia secara pribadi-pribadi sebagai pemilik. Contoh hak manusia yang paling

penting adalah milkiyah (hak milik). Hak manusia inilah yang menjadi obyek

bahasan fikih muamalah.

Hak Syahsiy dan Hak ‘Ainiy

Dari segi substansinya hak dibedakan menjadi hak syahsi (hak atas orang)

dan hak ‘ainiy (hak atas benda). Pembagian hak dari sisi substansinya ini tersirat

dalam pengertian hak.

Dalam hak syahsyi terdapat dua pihak yang saling berhadapan:

10
Pertama, adalah pihak yang mempunyai kewajiban (multazim), dan dalam akad

mu’awwadhah ia sekaligus mempunyai hak atas pihak lain sebagai imbangan atas

kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Kedua, adalah pihak yang mempunyai hak (multazamlah atau disebut juga syahibu

haq), dan dalam akad mu’awwadhah ia sekaligus terbebani suatu kewajiban sebagai

imbangan atas hak.

Hak ainiy adalah kewenangan (al-syulthah) dan keistimewaannya (al-

ihtishab) yang timbul karena hubungan antara seseorang dengan benda tertentu

secara langsung.

Hak Diyaniy dan Hak Qadla’iy

Dari segi sifat kewenangan hakim, hak dibedakan menjadi haqqul diyaniy

(hak keagamaan) dan haqqul qadla’iy (hak kehakiman). haqqul diyaniy adalah hak-

hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diinterfensi oleh kekuasaan

negara (atau kekuasaan kehakiman). Misalnya dalam hal utang atau transaksi

lainnya yang tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan.

Sedang haqqul qadla’iy adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturan

kekuasaan kehakiman sepanjang pemilik hak tersebut mampu menuntut dan

membuktikan haknya di depan pengadilan.6

2.2.2 Hak Paksa (Hak Syuf’ah)

Al-Syuf’ah menurut bahasa artinya al-Dham, al-Taqwiyah dan al-I’anah.

Sedangkan menurut istilah, para ulama menafsirkan al-syuf’ah sebagai berikut.

6
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 44-52.

11
Menurut Syeikh Ibrahim al-Bajuri, bahwa yang dimaksud dengan al-

syuf’ah ialah hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terlebih

dahulu atau syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian

(i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.

Menurut Sayyid Shabiq, al-Syuf’ah ialah pemilikan benda-benda syuf’ah

oleh syafi’i sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada

pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.

2.2.3 Rukun dan Syarat Hak Paksa

Rukun dan syarat hak paksa adalah sebagai berikut.

1. Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-syuf’ah.

Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang dijadikan

benda syuf’ah.

a. Barang yang disyuf’ah kan berbentuk barang tetap (‘Uqar), seperti tanah,

rumah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman,

bangunan, pintu-pintu, pagar, atap rumah, dan semua yang termasuk dalam

penjualan pada saat dilepas.

2. Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah. Syarat-

syaratnya ialah sebagai berikut.

a. Orang yang membeli secara Syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang

tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak

adanya perbedaan batasan di antara keduanya sehingga benda itu menjadi

milik mereka berdua secara bersamaan.

b. Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’i meminta dengan segara.

12
Maksudnya, Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan

segara jika hal itu memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya, kemudian

memperlambatpermintaan tanpa adanya unsur, maka haknya gugur. Alasannya

ialah jika Syafi’i memperlambat permintaannya niscaya hal ini berbahaya buat

pembeli, karena pemilikannya terhadap barang yang dibeli tidak mantap (labil) dan

tidak memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya karena takut tersia-sianya

usaha dan takut di-syuf’ah.

c. Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan


ketika akad, kemudian Syafi’i mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual

beli itu mitslian atau dengan suatu nilai jika dihargakan.

d. Syafi’i mengambil kesuluruhan barang.

Maksudnya, jika Syafi’i meminta untuk mengambil sebagian, maka semua

haknya gugur. Apabila syuf’ah terjadi antara dua Syafi’i atau lebih, sebagian Syafi’i

melepaskannya, maka Syafi’i yang lain harus menerima semuanya. Hal ini

dimaksudkan agar benda Syuf’ah tidak terpilah-pilih atas pembeli.

3. Masyfu’min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah

Disyaratkan pada masyfu ‘min hu bahwa ia memiliki benda terlebih dahulu secara

syarikat, contohnya ialah Umur dan Rahmat memiliki sebuah rumah secara

syarikat. Umar menjual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya hingga tanggal

20 Januari 1992. Kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah. Maka

Zakaria dapat melakukan tindakan syuf’ah pada Fatimah.7

2.2.3 Status Kepemilikan Menurut Islam

Ketika membicarakan tentang kepemilikan maka pada saat yang sama juga

memperbincangkan tentang hak, mengingat kepemilikan berarti hak yang

diperoleh oleh seseorang atas sesuatu. Secara bahasa, dalam Alquran, kata hak

7
Hendi Suhendi, Fiqh muamalah, 2005, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), h. 161-167.

13
memiliki pengertian, yaitu milik, ketetapan, kepastian, dan kebenaran. Secara

terminologi, hak adalah suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu

kekuasaan.

Menurut An-Nabhaniy (1990), kepemilikan merupakan izin As-

Syari’(Allah SWT) untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu,

kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’

(Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya.

2.2.4 Kategori Kepemilikan

Kepemilikan dalam Islam dapat dibedakan pada tiga kelompok,

yaitu: (1) kepemilikan individual (private property); (2) kepemilikan umum

(collective property); dan (3) kepemilikan negara (state property).

a. Kepemilikan Individu (Private Property)

Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat

ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang

mendapatkannya untuk memanfaatkan tersebut. Pengertian lain dari kepemilikan

individu adalah mengujukan kekuasahan pada seseorang terhadap kekayaan yang

di milikinya dengan mengunakan mekanisme tertentu seingah menjadikan

kepemilikan tersebut sebagai As-syaria di berikan ke pada seseorang, oleh karena

itu setiap orang memiliki kekayaan dengan sebab-sebab ( dengan cara cara)

kepemilikan tertentu.

b. Kepemilikan umum ( collentive propetry )

Kepemilikan umum adalah isi As-syari pada 1 kemunitas untuk sama-sama

pemenfatkan benda . benda-benda yang termasuk dalam kata gori kepemilikan

umum adalah benda benda yang telah di nyatakan oleh Allah dan Saw bawah

benda-benda tersebut untuk suatu komunitaas di mana mereka masing-masing

saling membutuhkan.

14
c. Kepemilikan negara (State property)

Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang merupatkan hak

seluru kaun muslimin yang pengolahanya menjadi wewenan negara , di mana

negara dapat memberikan ke pada sebagian warga negara , sesuai dengan

kebijakannya . makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasan yang di

miliki negara untuk mengelolanya.8

2.3 Menghidupkan Tanah Tandus (Ihya al-Mawat) dan Harta Dalam

Pandangan Ekonomi Syariah

2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Ihya al-Mawat

Secara etimologi kata Ihya artinya menjadikan sesuatu menjadi hidup, dan

al-Mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah yang

tidak dimiliki seseorang dan belum digarap.

Secara terminologi, ulama fiqh mendefinisikan Ihya al-Mawat sebagai

berikut:

1. Asy-Syarbaini al-Khatib berpendapat bahwa Ihya al-Mawat adalah

menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang

memanfaatkan seorang pun.

2. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud Ihya al-Mawat adalah

memanfaatkan tanah kosong untuk dijadikan kebun, sawah, dan yang lainnya.9

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Ihya al-Mawat adalah

memanfaatkan tanah kosong yang tidak seorangpun memilikinya untuk

dimanfaatkan menjadi kebun, sawah, dan lainnya.

8
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam(Sejarah , Teori dan Konsep), h. 195-208.
9
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat, h. 291.

15
Adapun yang mendasari konsep Ihya al-Mawat adalah hadis-hadis

Rasulullah Saw. Hadis-hadis tersebut sebagai berikut:

Rasulullah Saw. Bersabda yang terjemahnya: “Barang siapa yang

membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang, maka dialah yang berhak

atas tanah itu”. (HR. Imam al-bukhari).

Rasulullah Saw. Bersabda yang terjemahnya: “Barang siapa yang membuka

tanah yang kosong, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Ahmad dan Imam at-

Tirmidzi).10

Membuka tanah mati hukumnya ja’iz (boleh) ddengan syarat bahwa tanah

tersebut masih bebas, belum dimiliki oleh siapapun. Sifat pembukaan tanah mati

ialah menurut tradisi yang berlaku, yakni berupa pemakmuran bagi tanah yang

dibuka. Jika dalam membuka tanah itu terdapat air yang melebihi, maka wajib bagi

orang yang membuka tanah itu menyerahkan air tersebut bagi siapa saja yang

memerlukan dengan syarat orang lain juga membutuhkan dan air tersebut

dari mata air.11

2.3.1.1 Cara-cara Ihya al-mawat

Para ulama berbeda pendapat tentang cara mengolah lahan yang menjadi

objek Ihya al-Mawat. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, cara

pengolahannya adalah dengan menggarapnya sebagai lahan pertanian. Untuk itu

perlu dibersihkan pepohonan yang ada di dalamnya, mencangkul lahannya,

membuat saluran irigasinya, baik dengan menggali sumur, maupun dengan mencari

sumber air lainnya, menanaminya dengan pepohonan atau tanaman-tanaman

produktif serta memagarinya. Sementara ulam Syafi’iyah menyatakan bahwa cara

10
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat, h. 292.
11
A. Zainuddin, Muhammad Jamhari, Al-Islam 2 (Muamalah dan Akhlaq), 1999,
(Bandung: CV Pustaka Setia), h. 27.

16
untuk mengolah lahan kosong, dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlaku di

daerah itu. Jika lahan ini dimaksudkan untuk lahan tempat tinggal, maka lahan itu

perlu dipagar dan dibangun rumah di atasnya. Jika dimaksudkan untuk pertanian

maka lahannya diolah, irigasinya dibuat, dan menanaminya dengan tanaman yang

produktif. Adapun menurut ulama Hanabilah cara pengolahannya adalah cukup

dilakukan dengan memagar lahan yang digarap, baik untuk lahan pertanian, tempat

gembala hewan, maupun untuk perumahan.

2.3.1.2 Izin Penguasa dalam Ihya al-Mawat

Para ulama berbeda pendapat tentang perlunya izin penguasa/pemerintah

untuk membuka lahan baru dan memfungsikan lahan yang gersang. Pendapat

mereka terbagi dua golongan besar yakni Ulama Hanafiyah dan Malikiyah.

Hanafiyah berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan membuka atau

menghidupkan lahan yang kurang berfungsi, diwajibkan meminta izin kepada

penguasa/pemerintah berdasarkan sabda Raulullah Saw yang terjemahnya: “Barang

siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia akan menjadi

pemiliknya”.(HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Hanafiyah meahami bahwa ketika hadis ini disabdakan, Nabi Muhammad

Saw. Ketika itu selain berfungsi sebagai Rasulullah juga sebagai penguasa. Oleh

karena itulah, pembuka lahan tersebut harus meminta izin kepada

penguasa/pemerintah.

Sementara itu Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang akan

membuka lahan baru atau memfungsikan lahan mati atau gersang, tidak

wajibmeminta izin kepada penguasa/pemerintah, sebab ketika Nabi Muhammad

17
Saw. Berbicara seperti yang termuat dalam hadis di atas tadi, Nabi Muhammad

Saw. Hanya berposisi sebagai Nabi/Rasulullah bukan sebagai penguasa.12

2.3.2 Harta dalam Pandangan Ekonomi Islam

Harta dalam bahasa Arab disebut, al-mal yang berarti condong, cenderung

dan miring. Sedangkan harta(al-mal) menurut istilah imam Hanafiyah ialah

“sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan


hingga dibutuhkan”.

Hanafiyah menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang berwujud dan

dapat disimpan sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan

tidak termasuk harta, seperti hak dan manfaat.13

Menurut para ulama, terdapat empat ciri harta, yaitu (1) harus memiliki

nilai; (2) harus merupakan barang yang boleh dimanfaatkan; (3) harus dimiliki, dan

(4) bisa disimpan.

Fuqaha kontemporer, mendefinisikan harta/benda secara umum dan luas

yaitu, segala sesuatu yang dapat menjadi hak milik seseorang dan dapat diambil

manfaatnya.

Oleh karena itu, dalam draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHEI)

tentang harta (amwal) diartikan sebagai sesuatu benda yang dapat dimiliki,

dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud,

baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak

maupun benda yang tidak bergerak, dan hak mempunyai nilai ekonomis.

12
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat, h. 292-295.
13
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h. 9-11.

18
Benda berwujud adalah segala sesuatu yang dapat diindera. Benda tidak

berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat diindera. Benda bergerak adalah

segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain. Benda tidak

bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat

ketempat lain yang menurut sifatnya ditentukan oleh undang-undang. Benda

terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat

yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Benda tiak terdaftar adalah segala

sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau

pengalihan diantara pihak-pihak. Kepemilikan benda adalah hak yang dimiliki

seseorang, kelompok orang, atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak

berbadan hukum untuk melakukan perbuatan hukum.14

14
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islami, h. 173-175.

19
III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Muamalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antara

manusia. Dalam pengertian harfiah yang bersifat umum ini, muamalah berarti

perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Muamalah merupakan perbuatan

manusia dalam menjalin hubungan atau pergaulan antar sesama manusia.

Muamalah dalam arti luas yaitu aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk

mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.

Muamalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia saling

menukar manfaatnya dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan

Allah dan manusia wajib mentaati-Nya. Fiqh muamalah yaitu “hukum-hukum yang

berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan,

misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerja sama dagang,

perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, dan sewa-menyewa”. Prinsip-

prinsip Muamalah ada dua yaitu : 1. Prinsip umum, 2. Prinsip khusus.

3.1.2 Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam

menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor tempat, faktor zaman, faktor kondisi

sosial, faktor niat, dan faktor adat kebiasaan. Faktor-faktor ini amat berpengaruh

dalam menetapkan hukum bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum bidang

muamalah.

20
3.1.3 Dalam fikih (hukum Islam) hak secara garis besarnya dibedakan

menjadi: (1) Hak maliy, dan (2) hak ghairu maliy.

3.1.4 al-Syuf’ah ialah pemilikan benda-benda syuf’ah oleh syafi’i sebagai

pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai

dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.

3.1.5 Kepemilikan merupakan izin As-Syari’(Allah SWT) untuk

memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya

ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT) terhadap zat

tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya.

3.1.6 Secara etimologi kata Ihya artinya menjadikan sesuatu menjadi hidup,

dan al-Mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam konteks ini ialah tanah

yang tidak dimiliki seseorang dan belum digarap. Secara terminologi Ihya al-

Mawat adalah memanfaatkan tanah kosong yang tidak seorangpun memilikinya

untuk dimanfaatkan menjadi kebun, sawah, dan lainnya.

3.1.7 Draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam (KHEI) tentang harta

(amwal) diartikan sebagai sesuatu benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan,

dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang

terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun benda

yang tidak bergerak, dan hak mempunyai nilai ekonomis.

21
REFERENCES

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil, Fathurrahman. 2015. Hukum Ekonomi Islam (Sejarah, Teori, dan

Konsep). Jakarta: Sinar Grafika.

2. Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Prenada

Media Group.

3. Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstuali. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada.

4. Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

5. Zainuddin, A dan Muhammad Jamhari. 1999. Al-Islam 2 (Muamalah dan

Akhlaq). Bandung: CV Pustaka Setia.

6. Nurdiah, http://dhiahpotter.blogspot.co.id/2014/09/makalah-fiqh-

muamalah.html

7. Musli Afrizona Rahmad, http://afrizona.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-

muamalah.html

8. Rusdi, M. A. (2017). Maslahat Sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum

Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, 15(2), 151-168.

22
9. Rusdi, M. A. (2016). Status Hukum Pernikahan Kontroversial Di Indonesia (Telaah

Terhadap Nikah Siri, Usia Dini dan Mut'ah). Al-'Adl, 9(1), 37-56.

10. Haq, I., Bedong, M. A. R., & Syatar, A. (2018). Effect Of Young Age in Murder

Felony (Comparative Study Between Islamic Jurisprudence and Indonesian

Law). Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, 3(2), 151-170.

11. Bedong, M. A. R., & Ahmad, F. (2018). Kepemimpinan Wanita di Dunia Publik

(Kajian Tematik Hadis). AL-MAIYYAH: Media Transformasi Gender dalam

Paradigma Sosial Keagamaan, 11(2), 214-231.

12. Rusdi, M. A. (2019). WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH. Jurnal

Tafsere, 2(1).

13. Bedong, M. A. R. (2018). METODOLOGI IJTIHAD IMAM MUJTAHIDIN (Corak

Pemikiran dan Aliran). Al-'Adl, 11(2), 130-148.

23

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai