Anda di halaman 1dari 12

KAIDAH FIQH MUAMALAH DAN PENERAPANNYA

Disusun oleh :

Kelompok 10

Farah Fadhila Lubis (2005161038)

Siti Nurintan Isnaini Siregar (2005161056)

Dosen Pembimbing:

Hubbul Wathan, M.A

USHUL FIQH

KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH

POLITEKNIK NEGERI MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamduliah, puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt


atas segala karunia dan rahmatnya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan dengan baik yang
berjudul “Kaidah Fiqh Muamalah Dan Penerapannya”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh oleh bapak Hubbul Wathan,
M.A.

Makalah ini disusun berdasarkan informasi dari maeri dan internet yang berhungan
dengan “Kaidah Fiqh Muamalah Dan Penerapannya”. Kami menyadari penyusunan makalah ini
tidak sempurna dan banyak kekurangan disebabkan terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran kepada seluruh pihak yang sifatnya membangun guna
memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.

Medan, Februari 2022

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 1

1.3 Tujuan Masalah ....................................................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN ......................................................................................................... 2

2.1 Kaidah Fikih Khusus Di Bidang Muamalah Atau Transaksi .................................. 2

2.2 Kaidah Khusus Di Bidang Muamalah ..................................................................... 2

BAB III : PENUTUP ................................................................................................................. 8

3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 8

3.2 Saran ........................................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fiqh muamalah yaitu syariat (ajaran) Islam yang mengatur cara manjalin hubungan
manusia dengan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan lahiriyah yang dijalankan
berdasarkan prinsip din al-Islam.

Muamalah yaitu segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia,
dan antara manusia dan alam sekitarnya tanpa melihat perbedaan. Hukum asal mumalah ialah
boleh (ibahah).

Qowaid Fikhiyyah (Kaidah fikih) adalah kaidah fikih yang sifatnya umum untuk
mencakup hukum syara' secara menyeluruh. Kaidah fiqh lahir dari al-quran, al-hadis, dan ijma’.
Salah satu manfaat kaidah fikih untuk menjawab berbagai permasalahan yang rumit dalam waktu
singkat, hingga dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang diinginkan.

Kaidah fikih di bidang muamalah bermula dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah
umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifahan
Turki Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang terdapat dalam majalah al-ahkam al-adliyah.
Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari 1851 pasal tentang
transaksi yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu fiqh muamalah?

2. Apa saja kaidah khusus di bidang muamalah?

3. Bagaimana contoh penerapan kaidah fiqh di bidang muamalah?

1.3 Tujuan Masalah

1. Mengetahui apa itu fiqh muamalah

2. Mengetahui Apa saja kaidah khusus di bidang muamalah

3. Mengetahui bagaimana contoh penerapan kaidah fiqh di bidang muamalah

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kaidah Fikih Khusus Di Bidang Muamalah Atau Transaksi

Al-Qur'an dan Al-Hadits hanya mendefinisikan pola yang tercermin dalam


perdebatan kulli (umum), maqashid syariah (tujuan hukum), semangat ajaran, dan aturan
kulliya, di samping ibadah mahdhah dan hukum keluarga Islam. . Tampak erat kaitannya
dengan fungsi mereka yang menjadi hamba Allah sekaligus khalifah Fi alardh.
Manusia sebagai hamba Allah yang wajib diberi tuntutan langsung agar hidupnya
tidak menyimpang dan senantiasa diingatkan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah
kepada Allah (QS. Adz-Dzaariyaat;56). Sebagai khalifah fi al-ardh, manusia bertugas
untuk menyejahterakan kehidupan di dunia ini (QS. Huud:61).
Kedua fungsi ini sesuai dengan amanah dari Allah (QS. Al-Ahzab:72) yakni harus
dilaksanakan dalam kehidupannya di dunia agar tercapai kesejahteraan dunia maupun
akhirat (QS. Al- Baqarah:201), yang memiliki tujuan akhir untuk mendapatkan keridhaan
Allah SWT. (QS. Al-Baqarah:207 dan 265; an-nisaa:114; al-Lil:20; dan al-Fajr:28).
Manusia sebagai khalifah fi al-ardh harus kreatif, inovatif, bekerja keras dan
berjuang untuk menyejahterakan kehidupan di dunia. Hidup ini adalah perjuangan untuk
selalu menunaikan amanah Allah tersebut, yang juga bertujuan untuk memberikan
manfaat bagi umat manusia.
Usaha-usaha manusia berkaitan dengan barang dan jasa. Menurut para ulama,
dalam proses transaksi tidak kurang dari 25 macam. Selain barang, perkembangan IPTEK,
serta tuntutan masyarakat yang semakin tinggi, mendatangkan model-model transaksi baru
yang membutuhkan penyelesaian dalam hukum yang di satu sisi menjaga Islami dan di
sisi lain mampu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan dunia yaitu dengan
menggunakan kaidah-kaidah.
Kaidah-kaidah fikih muamalah mulai dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah
umum dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama zaman
kekhalifahan Turki Utsmani yang tidak kurang dari 99 kaidah, yang dimuat dalam majalah
al- Ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh sembilan kaidah tadi adalah acuan dan jiwa dari
1851 pasal tentang transaksi yang ada di dalam majalah al-ahkam al-adliyah.

2.2 Kaidah Khusus Di Bidang Muamalah


Diantara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah:

‫الباكل ال يقبل اإلجازة‬. ١


“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

2
Dalam hukum Islam, akad yang batal dianggap tidak pernah terjadi. Maka, tidak
sah akad yang batal walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, Bank syariah
tidak boleh membuat akad dengan lembaga keuangan konvensional lainnya yang memakai
sistem bunga, karena sistem bunga dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN). Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain itu bersedia memakai akad-akad
yang berlaku pada perbankan syariah, yaitu transaksi tanpa menerapkan sistem bunga.

‫ْا لصل يف املعاملة اإالبحة إال أن يدل دليل علىِ ترميها‬. ٢


“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya”
Maksudnya adalah bahwa dalam muamalah dan transaksi, pada dasarnya adalah
boleh, seperti sewa menyewa, jual beli gadai kerjasama (mudharabah dan musyarakah)
perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang secara jelas diharamkan karena menimbulkan
kemudaratan, judi, riba dan tipuan.

‫اإلجازة االلحقة كالوكالة السابقة‬. ٦


“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah
dilakukan lebih dahulu”
Seperti kaidah nomor 3, bahwa pada dasaranya seseorang dilarang bertindak
hukum pada harta milik orang lain tanpa adanya izin dari pemiliknya. Tetapi, berdasarkan
kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain dan si
pemilik harta memberikan izin, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tersebut
dianggap sebagai wakil dari si pemilik harta.

Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan ini:


‫ْالصل يف العادة العفو فال حيظر منه إال ما حرم هلال‬
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidaka ada yang diharamkan
kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
‫ْالصل يف العقود رضا املتعاقدين‬
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
‫الَ يوزْ لحد أن يصرف يف ملك غريه بال إذنه‬. ٣
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa
izin si pemilik harta”
Atas dasar kaidah ini, maka penjual harus merupakan pemilik dari barang yang
dijual atau wakil dari pemilik barang yang diberi wasiat. Orang lain tidak memiliki hak
atas barang yang dijual.
‫ْا لصل يف العقد رضى املتعاقدين ونتيجته ما التزماه ابلتعاقد‬. ٤
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad,

3
hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Maksudnya adalah, Prinsip dalam transaksi adalah keridhaan manusia. Maka,
transaksi akan sah apabila berdasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak yang
bermuamalah. Itu berarti, apabila salah satu pihak merasa terpaksa atau dipakasa
ataupun tertipu maka suatu akad tidak sah. Bisa jadi saat akad sudah saling meridhai,
tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya keridhaannya hilang, maka
akad tersebut bisa batal. Contohnya adalah pembeli yang tertipu karena merasa
mengalami kerugian oleh penjual karena terdapat barang yang cacat.

‫ْالجر والضمان الَ يتمعان‬. ٥


“pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan
bersamaan”
Dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut yaitu mengganti dengan barang
yang sama. Apabila barang itu terdapat di pasaran ataupun membayar seharga barang
tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran (Majalah Ahkam al-Adliyah pasal 416).

Contohnya, Pak Hasan menyewa becak untuk membawa keluarganya jalan-


jalan, tetapi Pak Hasan menggunakannya untuk membawa barang-barang yang cukup
berat sehingga mengakibatkan kendaraan tersebut rusak total. Maka, Pak Hasan harus
mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membawa sewaannya. (Majalah Ahkam
al-adliyah pasal 550).

‫اإلجازة االلحقة كالوكالة السابقة‬. ٦


“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah
dilakukan lebih dahulu”
Seperti kaidah nomor 3, bahwa pada dasaranya seseorang dilarang bertindak
hukum pada harta milik orang lain tanpa adanya izin dari pemiliknya. Tetapi,
berdasarkan kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang
lain dan si pemilik harta memberikan izin, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan
orang tersebut dianggap sebagai wakil dari si pemilik harta.

Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:


‫ْالصل يف العقود رضا املتعاقدين‬
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”

‫إذا بطل شيئ بطل ما يف ضمنه‬. ٧

“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melakukan akad jual beli. Si pembeli
telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Jika kedua belah pihak
sama-sama membatalkan jual beli tersebut maka, hak pembeli terhadap barang menjadi
4
batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Ini berarti si pembeli harus
mengembalikan barangnya dan si penjual juga harus mengembalikan harga barangnya.

‫اْلراج ابلضمان‬. ٨

“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”

Al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun


pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu.
Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat.


Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab,
penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli. Contoh lainnya lihat pasal 891
dan 903 Majalah al- Ahkam al-Adliyah.

‫الغرم ابلغمن‬. ٩

“Risiko itu menyertai manfaat”

Maksudnya adalah saat seseorang memanfaatkan dan menggunakan sesuatu


harus menanggung risiko. Biaya notaris merupakan tanggung jawab pembeli kecuali
penjual memberikan keridhaan atau ditanggung bersama. Demikian pula jika seseorang
meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang tersebut beserta risiko
ongkos-ongkos saat pengembaliannya. Sedangkan ongkos untuk mengangkut dan
memelihara barang dibebankan kepada pemilik barang. Contoh lainnya dapat dilihat
MAA pasal 292 dan 1308.

‫ْالمر ابلتصرف يف ملك الغري ابطل‬. ١٠

“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah
batal”

Maksud kaidah ini adalah jika seseorang memerintahkan untuk bertransaksi


terhadap milik orang lain dan dikerjakan seperti miliknya sendiri, maka hukumnya batal.
Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memberikan perintah kepada para
bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut
adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam fiqh siyasah, apabila dilihat dari sisi
kewenangan memerintah dari atasan kepada bawahannya.

‫العقد على ْالعيان كالعقد على منافعها‬. ١١

“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat
benda tersebut”

5
Objek akad dapat berupa barang tertentu, misalnya jual beli, ataupun berupa
manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan, objeknya dapat berupa jasa.
Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang
adalah rukun dan syaratnya sama.

‫كل ما يصح أتبيده من العقود املعاوضات فال يصح توقيته‬. ١٢

“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”

Akad mu’awadhah yaitu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang
masing-masing mepunyai hak dan kewajiban, seperti jual beli. Si penjual berkewajiban
memberikan barang dan memiliki hak terhadap harga barang. Si pembeli berkewajiban
memberikan harga barang dan berhak terhadap barang yang telah dibelinya. Apabila
waktunya dibatasi, maka akad tidak sah karena akad jual beli tidak dibatasi waktunya.
Apabila waktuya dibatasi, maka sewa menyewa.

Kadi Abd al-Wahab al-Maliki dalam kitabnya, al-Isyraf, mengungkapkannya


dengan:

‫كل قرض جر نفعا فهو حرام‬ ١٣

“Setiap pinjaman dengan menaarik manfaat (oleh kredior) adalah haram”

‫كل قبول جائز أن يكون قبلت‬. ١٤

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”

Berdasarkan kaidah di atas, dalam akad jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya
sah, akad untuk menyebut “qabiltu” (saya telah terima) dengan tidak mengulangi
penjelasan dari ijab. Penjelasan ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian
dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.

‫ْالواز السرعي ينايف الضمان‬١. ١٥

“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan
ganti rugi”

Maksud kaidah ini adalah hal-hal yang diperbolehkan oleh syariah baik
melakukan maupun tidak melakukannya, tidak bisa dijadikan keharusan ganti rugi.
Contohnya, Pak Ahmad menggali sumur di tempatnya sendiri. Lalu, binatang
tetangganya tidak sengaja jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga
tersebut tidak bisa meminta ganti rugi kepada Pak Ahmad karena menggali sumur
ditempatnya sendiri diperbolehkan oleh syariah. Contoh lainnya dapat dilihat MAA
pasal 605 dan 882.

6
‫ال يتم الَّتبع إال ابلقبض‬. ١٦

“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

Akad tabarru adalah akad yang dilakukan hanya demi melakukan kebajikan
seperti hibah atau hadiah. Hibah atau hadiah tersebut sifatnya belum terikat sampai
dilakukan penyerahan barang.

‫ال ينزع شيئ من يد أحد إال حبق اثبت‬. ١٧

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar
ketentuan hukum yang telah tetap.”

‫كل قرض جر منفعة فهو راب‬. ١٨

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan
riba”
‫كل شرط كان من مضلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز‬. ١٩

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,
maka syarat tersebut dibolehkan”

Contohnya adalah menggadai emas kemudian ada syarat bahwa jika barang
gadai tidak ditebus dalam waktu beberapa bulan, maka penerima gadai berhak untuk
menjualnya.

‫كل ما صح الرهن به صح ضمانه‬. ٢٠

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan”

.‫ما جاز بيعه جاز رهنه‬

“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”

Manfaat barang boleh disewakan tetapi dilarang digadaikan karena tidak dapat
diserah terimakan.

Kaidah no. 19 dan 20 ini sering pula disebut dhabith karena merupakan bab
tertentu dari satu bidang hukum. Tetapi ada pula yang menyebutnya kaidah seperti dalam
al-Subki. Akan lebih tepat disebut dengan kaidah tafshiliyah yaitu kaidah yang detail.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang
lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum
jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum
pemerintahan
Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala
tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya). Ini berarti bahwa segala hal yang berhubungan dengan muamalah yang
tidak ada ketentuannya baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an
maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

3.2 Saran

Penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami Kaidah Fiqh
Muamalah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih
komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://trainingictsusilawati.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqih-muamalah.html?m=1

https://www.gustani.id/2020/05/5-kaidah-fikih-pokok-dan-contoh.html

https://www.ilmuips.my.id/2020/01/makalah-tentang-fiqih-muamalah.html

C:\Users\user\Downloads\USHUL FIQIH EKONOMI.pdf

Anda mungkin juga menyukai