Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM ASAL SEMUA BENTUK MUAMALAH ADALAH BOLEH


DILAKUKAN, KECUALI ADA DALIL YANG MENGHARAMKANNYA.

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaidh Fiqhiyah

Disusun Oleh:

Usama bin laden ( 22208402331019 )

Ahmad zainuddin Amin ( 22208402331022 )

Dosen Pengampu :

Muhammad Hasbulloh Huda, M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QOLAM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu
guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fiqhiyah yang dibimbing oleh
Bapak Muhammad Hasbulloh Huda, M.Ag. Semoga dengan adanya makalah ini
dapat memberi manfaat untuk kita semua terutama personil HES semester 2 IAI
Al Qolam Malang.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari banyaknya


ketidaksempurnaan dikarenakan terbatasnya pengetahuan yang kami miliki. Kritik
dan saran yang membangun selalu kami tunggu demi tersusunnya makalah ini
dengan baik.

Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan


digunakan sebagaimana semestinya serta dapat memenuhi salah satu kriteria
tugas.

Wassalamualakum wr.wb.

Malang, 14 juni 2023

Kelompok X

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Masalah....................................................................................2
D. Manfaat Pembahasan............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Kidah Fiqih...........................................................................................3
B. Makna Kaidah.......................................................................................3
C. Penerapan kaidah..................................................................................4

BAB III PENUTUP.........................................................................................8

A. Kesimpulan...........................................................................................8
B. Saran ....................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam setiap transaksi syariah, seperti transaksi jual-beli atau sejenisnya
dan mu’amalah yang lain, baik antara orang perorangan atau lebih, perorangan
dengan lembaga atau antar lembaga, sudah barang tentu harus ada jalinan ikatan
(akad) yang jelas diantara mereka, dalam hal apa mereka bertransaksi dan
bagaimana perikatan yang dibangun antara para pihak untuk dapat mewujudkan
obyek yang berkait dengan perikatan tersebut. Akad (perikatan) tersebut memberi
informasi dan formulasi yang menggambarkan tentang hak dan kewajiban
masing-masing fihak dan peranannya dalam merealisir obyek perjanjian yang
menjadi tujuan dengan masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang
mengikat atas obyek prikatan sampai pada hal yang menyangkut proses
penyelesaian bila mana terjadi kegagalan atau wanprestasi diantara para pihak.
Akad/perjanjian mengatur hubungan keterikatan antara para pihak mengenai
hak dan kewajiban yang memuat tentang identitas pihak-pihak terkait, di satu
pihak dapat bertindak atas nama hukum atas hal-hal yang berkaitan dengan
akad/perjanjian dimaksud dan di lain pihak bila tidak dapat melaksanakan janjinya
maka akan menerima sanksi hukum sesuai dengan materi akad perjanjian yang
telah disepakati bersama.
Kedua belah pihak masing-masing telah terikat dengan perjanjian dan
kesepakatan bersama sehingga para pihak dapat bertindak atas nama hukum dan
memiliki status yang mengikat dalam suatu perjanjian dan akan mendapat sanksi
bila ternyata terjadi hal-hal di luar kemampuan atau adanya dugaan pelanggaran
atas akad.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah?
2. Apa maksud dari kaidah?
3. Apa contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari ?
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan maksud Kaidah Fiqih
2. Menjelaskan pengertian Kaidah
3. Memberikan contoh penerapan dari kaidah
D. Manfaat pembahasan
Mahahsiswa mampu mengetahui terkait kaidah muamalah kedua.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah Fiqih

Jual beli dalam Islam tidak dilarang, namun Islam sangat memperhatikan

unsur-unsur dalam transaksi jual beli. Itu artinya bahwa semua kegiatan

bermuamalah termasuk jual beli pada dasarnya diperbolehkan selama tidak ada

dalil yang mengharamkannya, hal ini sesuai kaidah fikih:

‫ وفي المضار التحريم‬، ‫األصل في المنافع اإلباحة‬

Artinya:

“Hukum asal semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali


ada dalil yang Mengharamkannya”.

Atau yang serupa dengan itu:


‫أن األصل في األشياء المخلوقة اإلباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا األصل‬
Artinya:
“ Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai
tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy
Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)”

Dalil kaidah ini adalah:

‫ُهَو اَّلِذ ي َخ َلَق َلُك ْم َم ا ِفي اَأْلْر ِض َجِم يًعا ُثَّم اْسَتَو ى ِإَلى الَّسَم اِء َفَس َّواُهَّن َس ْبَع َس َم َو اٍت َو ُهَو ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليٌم‬

Artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

Dalil As Sunnah:
‫الحالل ما أحل هللا في كتابه والحرام ما حرم هللا في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه‬
Artinya:
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang
haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di

vi
diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726,)

juga sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat/ 4:29 :

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل ِآاَّل َاْن َتُك ْو َن ِتَج اَر ًة َع ْن َتَر اٍض ِّم ْنُك ْم ۗ َو اَل َتْقُتُلْٓو ا‬

‫َاْنُفَس ُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن ِبُك ْم َر ِح ْيًم ا‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-sukadi antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang
kepadamu"3.

B. Makna Kaidah.

Maksud kaidah tsb. adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi,

pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama

(mudharabah atau musyarakah), perwakilan (wakalah), dan lain-lain, kecuali

yang tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan seperti tipuan

(tadlis), ketidakpastian (taghrir), perjudian dan riba.

Dari kaidah tersebut dapat dipahami bahwa dalam urusan dunia termasuk

di dalamnya muamalah, Islam meberikan kebebasan kepada manusia untuk

mengaturnya sesuai dengan kemaslahatan mereka, dengan syarat tidak

melanggar ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’

Kajian tentang jual beli merupakan bagian dari muamalah yang terus

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, bentuk, dan model dalam

sisem jual beli. Sehingga dengan perkembangan zaman, hukum Islam dalam hal

jual beli berkembang pula karena hukum Islam bersifat fleksibel, elastis, dan adil

vii
demi mencapai kemaslahatan.

Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan

bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan

orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang

dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.4

Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syarat-syarat

yang di perlukan. Demikian hukum ini di sepakati para ahli dan tidak ada

perbedaan pendapat. Al-quran menerangkan bahwa menjual itu halal, Sedangkan

riba itu di haramkan.

C. Penerapan Kaidah

Adapun contoh penerapan dari kaidah di atas seperti :

kaidah fiqih yang diterapkan dalam transaksi ekonomi di lembaga

keuangan syariah sebagai berikut:

1. Kaidah - kaidah Fiqh dalam Transaksi (‘Aqad)

‫ىف لصاا دقاعتالب هامزتإلام هتجيتنو نيدق اعتمال ىضردقعال‬

“Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak yang

mengadakan akad dan hasilnya apa yang salingditentukan dalam akad tersebut ”.

Maksud kaidah diatas adalah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas
kebebasan dan kerelaan, tidak ada unsur paksaan atau kekecewaan salah satu
pihak, bila itu terjadi maka transaksinya tidak sah. 20 Contohnya pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat
yang disembunyikan.

‫ةزاجإا لبقيا لطابال‬


“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

viii
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah
terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh
salah satu pihak.
Contohnya, lembaga keuangan syariah tidak boleh melakukan
akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun
sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan
haram oleh DSN, akad baru sah apabila lembaga keuangan lain mau
menggunakan akad yang diberlakukan pada lembaga keuangan syariah, yaitu
akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.

‫هنمض يفام لطب ئيشال لطب اذإ‬


“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam
tanggungannya.”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si


pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian
kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap
barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal.
Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus
mengembalikan uang (harga barangnya).

2. Kaidah-kaidah Fiqh tentang al-Maal (Aset Kekayaan)

. ‫ح ر ما‬ ‫ط ل‬ ‫ب ال ب ا‬ ‫ال م ال‬ ‫أ ك ل‬

“Mengkonsumsi materi yang berasal dari pendapatan yang dilarang oleh syâri’at

adalah haram hukumnya”.

Contohnya membelanjakan harta dari hasil korupsi, kolusi, merampok,

menipu, upah perbuatan zina, keuntungan berdagang barang haram dan lain-lain

adalah haram untuk memakannya.

ix
‫ب ال ع م‬ ‫ت ض م ن‬ ‫ك ما‬ ‫ب ال خ ط أ‬ ‫ت ض م ن‬ ‫أا م و ال‬

‫د‬

“Aset kekayaan menjadi tanggungjawab seseorang untuk menggantinya

manakala karena faktor kesalahan sama dengan tanggungjawabnya bila

merusaknya secara sengaja.”

Contohnya, bila seorang supir mobil rental yang merental mobil, dalam

perjalanan ia menabrak atau ditabrak oleh mobil lainnya, maka ia menanggung

biaya perbaikan atau mengganti mobil yang direntalnya.

‫ب أ م ث ال ه ا‬ ‫ت ق ىض‬ ‫إ ن ما‬ ‫دال ي و ن‬

“ Hutang-hutang dapat dilunasi dengan (nilai barang yang dihutang) yang

semisalnya (senilai).”

Contohnya bila seseorang berhutang seekor kambing jantan pada orang

lain, maka ia membayar hutang tersebut dengan jenis dan spesifikasi kambing

yang sama kepada pihak yang memberi piutang tersebut dan tidak harus dengan

kambing yang dahulu dihutangkan kepadanya dengan catatan kambing yang

dibayarkan nilainya sama.

Contoh lain penerapan kaidah ini :

– Misalnya, seorang wanita ingin mengendalikan haidnya agar bisa full berpuasa
Ramadhan. Lalu dia minum pil tertentu setelah konsultasi dengan dokter yang
merekomendasikannya. Terbukti memang tidak ada efek samping apa pun bagi
dirinya. Hal ini, sama sekali tidak ada dalil khusus dan dalil umum yang
melarangnya, dan yang dia lakukan bukanlah menghilangkan haid sama sekali,
tetapi hanya mengaturnya saat itu saja, sehingga dia pun tidak dikatakan telah

x
mengubah ciptaan Allah Ta’ala. Ditambah lagi, tidak ada dampak buruk apa pun
bagi kesehatannya, sehingga tidak pula dikatakan bahwa dia sedang menciptakan
dharar (kerusakan) bagi dirinya. Namun, jika terbukti berpotensi membawa dharar
bagi dirinya, maka tidak boleh melakukannya, walau tidak ada dalil khusus dan
umum yang melarangnya. Sebab, mencegah mudharat lebih diutamakan
dibanding meraih maslahat.

– Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang
menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang
menyebabkannya masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun
tidak membahayakan bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh,
bukan hewan buas bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan
menakutkan manusia. Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan
tersebut secara penampilan ‘tidak enak’ dilihat.

wallahua’lam.

xi
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia.
Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam
perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak
ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula
boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak
seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan
larangan tersebut.

B. SARAN
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu
kami membutuhkan saran yang membangun agar senantiasa menjadi lebih baik
dan lebih berkembang dalam menyusun sebuah makalah.

DAFTAR PUSTAKA

xii
Abd . Rahman Dahlan, 2005, Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah

Ad-da’asi, Azat ubaid. 1989, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ma’a syarhi al-Mujaz,


cet. 3, Damaskus: dar at-Tarmizi

Al-Nadwy, Ahmad, 2000, Jamharah al-Qawâid al-Fiqhiyyah,


Damakus: Dar al-kalam,

Al-Sayid, Muhammad Ali, 1996, Tafsir ayat al-Ahkam, Bayrut: Dar

al-Fikr Al-Zarqa, Musthafa Ahmad, 1983, al-Madkhal al-Fiqh

al-‘Amm,
Damakus:Mathba’ah jami’ah

Al-Zarqa’, Syaikh ahmad bin syaikh muhammad. 1989, syarhu al-


Qawaid al- Fiqhiyyah, , cet. 2 Damaskus: dar al-Qalam

Andiko, Toha. Dr. H. M.Ag. 2011. Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan


Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam, Yogyakarta :
Teras.
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktek, Jakarta: Gema Insani

Arfan, Abbas, 2013, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah,


Malang: UIN Maliki Press

Dahlan, Abdul Aziz, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV,


Jakarta: Ichtiar Baru van Houve

xiii

Anda mungkin juga menyukai