TRANSAKSI
DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH :
1. Saifullah ( 742012020011 )
2. Ahmad Nuruddin ( 742012020013 )
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT dengan berkat, rahmat dan
hidayah- Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini yang membahas tentang
“Transaksi Jual Beli dalam Islam” sebagai salah satu syarat dalam penilaian mata kuliah
Hukum Waris dan Ekonomi Islam.
Sholawat serta salam semoga senantiasa dihaturkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, para sahabat dan para pengikutnya.
Tentunya dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu
sangat diharapkan kritik dan saran dari Muh. Hendra,S.Pd.I,.M.Pd.I,. selaku dosen
pembimbing mata kuliah yang bersifat membangun dari bidang studi ini. Semoga dengan
adanya kritik dan saran tersebut dapat bermanfaat dan menjadi pedoman bagi saya dalam
penyusunan makalah ini pada khususnya dan para pembaca, segala kelebihan hanya milik
Allah SWT semata dan segala kesalahan dan kekurangan milik hambanya.
Penulis
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDU
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN
BAB 2. PEMBAHASAN
BAB 3. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN.....................................................................................11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.1LATAR BELAKANG
Jual beli (bisnis) dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang
dilakukan setiap waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut
hukum Islam belum tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada
pula yang tidak tahu sama sekali tentang ketentuan-ketentuan yang di tetapkan
oleh hukum Islam dalam hal jual beli (bisnis). Di dalam al-Qur’an dan Hadist
yang merupakan sumber hukum Islam banyak memberikan contoh atau mengatur
bisnis yang benar menurut Islam. Bukan hanya untuk penjual saja tetapi juga
untuk pembeli. Sekarang ini lebih banyak penjual yang lebih mengutamakan
keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum Islam.
Mereka cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa mengharapkan barokah
kerja dari apa yang sudah dikerjakan.
Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti saling membutuhkan orang
lain, aka selalu melakukan tolong–menolong dalam menghadapi berbagai
kebutuhan yang beraneka ragam, salah satunya dilakukan dengan cara berbisnis
atau jual beli. Jual beli merupakan interaksi sosial antar manusia yang berdasarkan
rukun dan syarat yang telah di tentukan. Jual beli diartikan “al-bai’, al-Tijarah dan
al-Mubadalah”. Pada intinya jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar
barang atau benda yang mempunyai manfaat untuk penggunanya, kedua belah
pihak sudah menyepakati perjanjian yang telah dibuat.
A.2RUMUSAN MASALAH
1. Apa dasar hukum transaksi jual beli ?
2. Apa pengertian dari transaksi jual beli ?
3. Bagaimanakah struktur transaksi jual beli dalam islam ?
1
A.3TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Pembuatan makalah ini mempunyai beberapa tujuan yaitu;
1. Mengetahui tentang dasar hukum dari transkasi jual beli.
2. Mengetahui tentang pengertian dari transkasi jual beli.
3. Mengetahui tentang syarat dan rukun transaksi jual beli.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.Albaqarah: 275)
)٢٩ : (النساء.يا أيها الذين ءامنوا ال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجارة عن تراض منكم
أي ال غش فيه وال خيانة، عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور: أي الكسب أطيب؟ فقال:سىئل النبي
Nabi saw. ditanya, pekerjaan apa yang terbaik? Beliau menjawab, kerja
seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yangbaik. Artinya, yang
tidak terdapat unsur manipulasi dan khianat.(HR. Alhakim)
Sesungguhnya jual beli itu hanya (legal) atas dasar saling rela. (HR.Albaihaqi)
2.2 PENGERTIAN
3
a) Pembelian manfa'ah berupa hak melintas (haqq al-mamar). Contoh,
seseorang memiliki kebun yang dikelilingi lahan milik orang lain,sehingga
ketika hendak masuk atau keluar kebun, harus melewati lahan milik orang
lain. Lalu ia membeli manfa'ah lahan orang laintersebut untuk digunakan
melintas atau lewat menuju atau keluarkebun.
b) Pembelian manfa'ah berupa hak mengalirkan air (haqq al-majâri). Seperti
contoh di atas, namun pembelian manfaat lahan orang lain untuk
digunakan saluran irigasi dari tempat lain menuju kebunnya.
c) Pembelian manfa'ah berupa hak membangun (haqq al-binâ`).
Contoh,seseorang membeli bagian atap sebuah gedung, untuk dibagun
rumahdi atasnya.
4
muqayyadah, dan terbatas pada tasaruf yang terbaik (anfâ) jika wakalah
muthlaqah.
Penerima pesan wasiat (washi). Wilayah legalitas tasaruf washi hanya tertentu
atau terbatas pada tasaruf yang diwasiatkan oleh orang yang mewasiatkan
(mushi).
Istilah ahli at-tasharruf berbeda dengan istilah muthlaq at-tasharruf.
Muthlaq at-tasharruf ialah orang yang bebas dalam membelanjakan hartanya tanpa
terikat dengan batasan-batasan tertentu: tasaruf maslahat atau tidak, dan tasaruf
yang bersifat komersial (mu'âwadlah) atau non-komersial (majanan). Karena itu,
orang yang muthlaq at-tasharruf sah membelanjakan hartanya dengan 'tidak
maslahat, seperti menjual barang di bawah harga standar (mitsli), atau
membelanjakan hartanya secara gratis atau non-komersial (tabarru), seperti
hibbah, sedekah, waqaf, dll., sehingga orang yang muthlaq at-tasharruf juga
disebut sebagai ahli at-tabarru'."
Syarat 'aqidain berupa ahli at-tasharruf ini, akan menafikan orang yang
ghair ar-rusyd. Yaitu orang yang tidak memiliki profesionalisme dalam urusan
membelanjakan harta. Menurut versi lain, adalah orang yang tidak profesional
dalam urusan harta dan agama."
Orang yang ghair ar-rusyd meliputi:
Anak kecil (shabl) dan orang gila (majnún). Keduanya disebut ghairar-
rusyd karena tidak diakui ucapan dan otoritas atau kewenangannya secara
syar'i (maslúb al-'ibarah wa al-wilayah).
Orang yang dibekukan tasarufnya karena safih (mahjur 'alaih bi safah).
Mahjûr 'alaih ini disebut ghair ar-rusyd karena tidak diakui ucapannya
dalam tasaruf harta yang tidak terdapat unsur ibadah wajib (maslûb
al-'ibârah ft at-tasharruf al-måll).
Dalil dari syarat ahli at-tasharruf ini adalah firman Allah swt. Dan Hadits Nabi
saw.."
)6 :فإن أنستم منهم رشدأ فادفعوا إليهم أموالهم (النساء
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. Annisa': 6)
رفع القلم عن ثالثة عن التجنون المغلوب على عقله حتى يبرأ وعن القائم حتى يستيقظ وعن الصبي
5
)حتى يحتلم (رواه أبو داود
Pena telah diangkat dari tiga orang, dari orang gila yang hilang akalnya sampai
sembuh, dari orang tidur sampai terbangun, dan dari anak kecil sampai keluar
sperma. (HR. Abu Dawud)
b) Mukhtår
Mukhtar adalah seorang yang melakukan transaksi atas dasar inisiatif
pribadi, tanpa tekanan atau paksaan (ikrâh) dari pihak lain. Dalil kriteria mukhtar
ini ialah Alquran dan Hadits yang menjadi dalil legislasi transaksi jual beli di atas,
di mana jual beli dilakukan harus atas dasar saling rela (tarâdlin)."
2) Ma’qud A’laih
Ma'qúd 'alaih adalah komoditi dalam transaksi jual beli, yang mencakup
barang dagangan (mutsman) dan alat pembayaran (tsaman). Syarat ma'qüd 'alaih
dalam akad jual beli adalah: mutaqawwim atau mutamawwal, muntafa'bih,
maqdûr alâ taslim, li al-'âqid wilâyah, dan ma'lum.
a) Mutaqawwim atau Mutamawwal
Menurut satu versi, mutaqawwim atau mutamawwal ialah barang yang
memiliki nilai intrinsik yang dapat terpengaruh oleh fluktuasi harga.Versi lain
mendefinisikan, barang yang memiliki nilai manfaat secara konkrit (dhahir)."
Barang yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga dalam kondisi normal, karena
faktor minimalis (qillah), seperti dua biji beras, maka tidak sah dijadikan komoditi
dalam transasksi jual beli, sebab tidak termasuk mutamawwal." Dalam madzhab
Syafi'iyah, sebuah barang bisa dikategorikan sebagai mutamawwal, juga
disyaratkan harus bersifat suci. Barang najis atau barang suci yang terkena najis
dan tidak memungkinkan disucikan melalui metode cuci atau membasuh (ghaslu),
meskipun bisa disucikan melalui metode memperbanyak volume air (takâtsur)
seperti air najis, atau melalui metode ekstraksi (istihalah) seperti kulit bangkai
yang bisa disamak (dzabghu), maka bukan termasuk barang mutamawwal, sebab
dianggap sama dengan barang najis itu sendiri (fi ma'nâ najs al-'ain), sehingga
tidak sah dijadikan komoditi dalam transaksi jual beli.
Syarat komoditi harus berupa barang yang bersifat suci ini berdasarkan
hadits Nabi saw.:
6
)إن هللا تعالى حرم بيع الخمر والميتة والخنزير و األصنام (رواه الشيخان
Sesungguhnya Nabi saw. melarang harga dari (penjualan) anjing. (HR. Bukhari
Muslim)
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS.
Albaqarah: 29)
b) Muntafa’ Bih
Muntafa' bih adalah barang yang memiliki nilai kemanfaatan. Tinjauan
muntafa' bih sebuah komoditi dilihat melalui dua perspektif,syar'i dan 'urfi.
Perspektif Syar'i
Dalam persepktif syart, barang diakui sebagai muntafa' bih jika
pemanfaatannya dilegalkan secara syar'i (mubahan syar'an).
Perspektif 'Urfi
Dalam perspektif 'urfi, barang diakui sebagai muntafa' bih jika sudah lumrah
dimanfaatkan, sehingga diakui secara publik memiliki nilai ekonomis dan layak
dikomersialkan (maqshûdan 'urfan), meskipun hanya berupa bentuk pemanfaatan
yang tidak semestinya," seperti baju bergambar yang dimanfaatkan untuk alas.
7
Barang dengan nilai kemanfaatan yang berlaku terbatas pada
individutertentu, seperti manfaat barang yang hanya diketahui orang-orang
khusus, atau seperti binatang buas yang biasa dipelihara sebagian penguasa untuk
mencitrakan kewibawaan, maka tidak sah dijadikan komoditi dalam akad jual
beli. Sebab nilai kemanfaatan yang bersifat terbatas, tidak diakui secara publik
('urfi) memiliki nilai ekonomis yang dalam kategori layak dikomersialkan,
sehingga tidak masuk mutamawwal."
Menjual-belikan barang yang tidak memiliki nilai kemanfaatan (ghair
muntafa' bih), secara hukum tidak sah. Sebab termasuk tindakan menyia-nyiakan
harta (idla'ah al-mál) yang dilarang dalam Hadits.
c) Maqdûr 'alá Taslim
Maqdûr 'ala taslim adalah ma'qûd 'alaih mampu diserah-terimakan.
Kriteria ini ditinjau dari dua perspektif, empiris (hissi) dan hukum (syar'i). Ketika
penjual mampu menyerahkan komoditi (imkân taslim), maka ulama sepakat jual
beli sah. Dan apabila penjual tidak mampu menyerahkan (ghair imkân taslim),
namun pembeli mampu menerima (imkân tasallum), menurut qaul shahth jual beli
sah, karena yang dinilai menjadi orientasi adalah imkân tasallum." Sedangkan
menurut muqabil shahih tidak sah, karena yang dinilai menjadi orientasi adalah
imkân taslim.
d) Li Al-'Aqid Wilayah
Yaitu pelaku transaksi harus memiliki otoritas atau kewenangan atas
ma'qûd 'alaih (tsaman atau mutsman). Wilayah atau otoritas pelaku transaksi atas
komoditi, bisa didapatkan melalui salah satu dari empat hal:
Kepemilikan (milk);
Perwakilan (wakâlah);
Kekuasaan (wilayah), karena berperan sebagai wali, seperti wali anak
kecil, anak yatim, orang gila, penerima wasiat (washt), dll.;
Legitimasi syariat (idznu asy-syâri), seperti penemu barang hilang
(multaqith) dan orang yang mengambil haknya (dhâfir).
Pelaku transaksi yang tidak memiliki salah satu dari empat otoritas ini,
maka jual beli yang dilakukannya termasuk transaksi fudlūli, yang batal secara
8
hukum. Hanya saja, jika pada saat transaksi menduga tidak memiliki otoritas,
namun selanjutnya ternyata terbukti memiliki otoritas, maka jual belinya sah
secara hukum. Sebab dalam konteks muamalah, yang menjadi pertimbangan
hukum adalah realitas yang sebenarnya (nafsal-amr), bukan asumsi (dhann al-
mukallaf).
Dua terakhir dari syarat ma'qud 'alaih ini berdasarkan hadits:
) (رواه الترمذي.ال تبع ما ليس عندك
e) Ma'lum
Malum adalah keberadaan ma'qûd 'alaih diketahui secara transparan.
Pengetahuan terhadap komoditi ini bisa melalui salah satu dari dua metode:
Melihat langsung (ru'yah)
Malùm dicukupkan dengan metode sekedar melihat komoditi secara
langsung (ru'yah), meskipun tidak mengetahui kadar atau nominalnya, jika
komoditi bersifat tertentu secara fisik (mu'ayyan) dan tidak tercampur dengan
selain komoditi.
Spesifikasi (shifah)
Apabila komoditi tertentu (mu'ayyan) tercampur dengan selain komoditi,
atau komoditi dalam tanggungan (ft dzimmah), maka untuk mengetahuinya harus
melalui metode spesifikasi ciri-cirinya (shifah), plus nominal atau neracanya
(qadr)."
Dalil kriteria ini adalah hadits Nabi saw.:
) (روه مسلم:انه ﷺ نهىعن بيع الفرر
Sesungguhnya Nabi saw. melarang jual beli spekulatif. (HR.Muslim)
3. Shighah
Shighah adalah bahasa interaktif dalam sebuah transaksi, yang meliputi
penawaran (tjåb) dan persetujuan (qabûl). Dalam transaksi jual beli, shighah
diperlukan karena jual beli adalah akad yang berorientasi pada kerelaan hati
(taradlin), dan tjäb qabûl merupakan ekspresi paling representatif untuk
pernyataan tarâdlin.
9
Shighah dalam transaksi jual beli bisa dilakukan secara eksplisit (sharth),
yakni pernyataan yang tidak mengandung ambiguitas makna selain jual beli, atau
secara implisit (kinayah), yaitu pernyataan yang ambigu. Dalam shighah kinayah,
keabsahan transaksi disyaratkan harus disertai niat (qashdu) mengadakan akad
jual beli, agar menghilangkan ambiguitas makna shighah.
Termasuk kategori shtghah yang kinayah adalah transaksi menggunakan
tulisan (kitabah) dan isyarat.
Shighah dalam transaksi jual beli disyaratkan:
a) Muttashil. Yakni Ijab dan qabál, harus berkesinambungan. Artinya, tidak ada
jeda waktu yang mencerminkan qabûl bukan lagi sebagai respon dari ljáb.
b) Muwafaqah fi al-ma'na (kesesuaian maksud) meskipun beda redaksi (lafadh):
c) Tidak terdapat ta'liq bi syarth (penangguhan pada syarat tertentu);
d) Tidak terdapat ta`qit (limitasi waktu kepemilikan).
Larangan dua poin terakhir ini, karena dalam penangguhan (ta’liq)
terdapat muatan syarat yang merefleksikan kesangsian ridla dalam mengadakan
transaksi yang berorientasi pada kerelaan hati (tarådlin). Di samping itu, transaksi
yang berorientasi pada kepemilikan (milkiyyah), harus bersifat pasti (jâzimah) dan
bebas dari unsur spekulatif, agar tidak menyerupai perjudian (qimâr)." Sedangkan
dalam limitasi waktu (ta'qit). Karena bertentangan dengan konsekuensi jual beli
yang mengharuskan kepemilikan
secara permanen (ta'bid)."
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dasar hukum legalitas jual beli berdasarkan al-Qur’an, hadist dan ijmak.
Jual beli dalam syariat Islam memiliki arti “transaksi tukar-menukar (mu'âwadlah)
materi (mâliyyah) yang memberikan konsekuensi kepemilikan barang ('ain) atau
jasa (manfa'ah) secara permanen (mu`abbad) dengan kesepakatan bersama”.
Praktik jual beli dalam Islam sangat penting kedudukannya. Hal ini dapat dilihat
dari banyaknya aturan dan larangan yang tertulis dalam Al-Qur'an mengenai
rukun dan syarat jual beli dalam Islam. Rukun Jual beli meliputi Pihak penjual
dan pembeli yang bertransaksi, Barang atau jasa yang akan diperjualbelikan,
Harga yang dapat diukur dengan nilai uang atau barang lainnya, dan Serah terima
barang. Sedangkan syarat jual beli meliputi Kesepakatan bersama, Menggunakan
akal sehat, Barang yang diperjualbelikan harus milik sang penjual, serta harga dan
jenis barang harus diketahui.
11
DAFTAR PUSTAKA
12