Anda di halaman 1dari 16

KAIDAH-KAIDAH FIQIH YANG KHUSUS DIBIDANG MUAMALAH

Diajukan Guna Menenuhi Tugas Mata Kuliah

Dosen Pengampu:

Oleh :

Fakhrur Rozi : 021020061

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ARAFAH

DELI SERDANG-SUMATERA UTARA

T.A 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................... i

BAB I: PENDAHULUAN...............................................................................` 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................. 3

C. Tujuan Penulisan.................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3

A. Kaidah-Kaidah Khusus Dibidang Muamalah Atau Transaksi.............. 3

BAB II PENUTUP........................................................................................... 10

A. Kesimpulan........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 11

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak kaidah fiqih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan
isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam
cabang-cabang fiqih tertentu, dan disebut al-qawaid al-fiqhiyah al-khashshah atau
juga disebut al-dhabith oleh Sebagian ulama. Kemudian dalam pembandingannya
pun berbeda, ada yang membidangkan kepada empat bidang saja, yaitu bidang
ibadah, bidang jual beli, bidang pengakuan dan bidang munakahat.

Dalam buku ini, kaidah-kaidah fikih yang khusus (al-qawaid al-fiqhiyah


al-khashshah) dicoba dikelompok kepada a). bidang ibadah mahdhah b). Bidang ,
al-ahwal al-syakhshiyah, meliputi pernikahan dan waris, c). bidang muamalah
dalam arti sempit yaitu tentang transaksi, d). bidang jinayah yaitu tentang hukum
pidana, e). bidang siyasah meliputi hukum tata negara, ekonomi dan hukum
internasional (dusturiyah, Maliyah dan dauliyah), f). Bidang al-aqliyah yaitu
peradilan dan pembuktian dipengadilan atau hukum acara.

Pembandingan ini pun bisa dikembangkan lagi sesuai dengan


perkembangan ilmu hukum islam dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Dalam penerapannya, baik kaidah asasi dan cabangnya,
maupun kaidah-kaidah umum, tetap juga berlaku pada bidang-bidang tersebut
diatas, tetapi tidak sebaliknya, artinya, kaidah-kaidah asasi dan kaidah-kaidah
umum berlaku di bidang ibadah, mahdhah, ahwal al-syakhshiyah, muamalah,
jinayah, siasah dan aqdiyah. Tetapi, kaidah jinayah misalnya tidak masuk dalam
kaidah muamalah. Kaidah-kaidah hukum material tidak termasuk dalam kaidah-
kaidah hukum formil. Masing-masing kaidah tersebut berdiri sendiri.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan maslaah


pada pembahasan makalah ini adalah Kaidah-Kaidah Khusus Dibidang Muamalah
Atau Transaksi

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui Kaidah-Kaidah


Khusus Dibidang Muamalah Atau Transaksi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah-Kaidah Khusus Dibidang Muamalah Atau Transaksi

Seperti telah dijelaskan bahwa di bidang ibadah mahdhah dan hukum


keluarga islam, aturan al-qur’an dan hadist lebih rinci dibandingkan dengan fikih-
fikih lainnya. Akibatnya, dibidang fikih selain ibadah mahdhah dan hukum
keluarga islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan materi-materi fiqih
sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.

Al-Qur’an dan hadis untuk bidang selain ibadah mahdhah dan hukum
keluarga islam hanya menentukan garis-garis besarnya yang tercermin dalam
dalil-dalil kulli (bersifat umum), maqashid al-syariah (tujuan hukum), semangat
ajaran dan kaidah-kaidah kulliyah. Hal ini tampak erat kaitannya dengan fungsi
manusia yang selain sebagai hamba Allah juga sebagai khalifa fi al-ardh.

Sebagai hamba Allah manusia harus diberi tuntutan langsung agar


hidupnya tidak menyimpang dan selalu diingatkan bahwa manusia diciptakan
untuk beribadah kepada-Nya. Dalam qur’an surah adz-dzaariyat:56)

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. Dikutip dari situs Pengadilan Agama Jepara,
Asbabun Nuzul surat Az Zariyat ayat 56 adalah ketika para malaikat mengetahui
rencana Allah SWT menciptakan khalifah di bumi.(qs. Adz-Dzariyaat:56)

3
Artinya: Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah
menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. (Qs-Hud:61)

Maksudnya sebagai khalifah fi al-ardh manusia ditugasi untuk


memakmurkan kehidupan ini.

Kedua fungsi ini sebagai Amanah dari Allah (Qs. Ahzab:72) harus
ditunaikan dalam kehidupannya didunia agar tercapai kebahagiaan dunia dan
akhirat (Qs. Al-Baqarah:201), yang tujuan akhirnya meraih keridhoan Allah swt
(Qs.Al-Baqarah: 207 dan 265; Qs An-Nisa’ 114; al-Lail:20 dan Al-Fajr:28).

Dalam kerangka itulah manusia diberi kebebasan berusaha dimuka bumi


ini. Untuk memakmurkan kehidupan dunia ini, manusia sebagai khalifah fi ardh
harus kreatif, inovatif dan kerja keras dan berjuang. Bukan berjuang untuk hidup,
tapi hidup ini adalah perjuangan untuk melaksanakan Amanah Allah tersebut
diatas, yang pada hakikatnya untuk kemashlahatan manusia itu juga.

Banyak sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan


jasa. Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari 25 macam.
(Mustafa, 1965:30). Sudah barang tentu sekarang dengan perkembangan ilmu dan
teknologi, serta tuntutan masyarakat yang makin meningkat, melahirkan model-
model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum islam.
Penyelesaian yang disatu sisi tetap islam dan sisi lain maupun menyelesaikan
masalah kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan
kaidah-kaidah.

4
Kaidah-kaidah fikih dibidang muamalah mulai dari kaidah asasi dan
cabangnya, kaidah umum dan kaidah khusus yang kemudia di himpun oleh
ulama-ulama turki zaman kekhalifahan zaman turkey Usmani tidak kurang dari 99
kaidah, yang termuat dalam majalah al-ahkam al-adliyah. Kesembilan puluh
Sembilan tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari 1851 pasal tentang transaksi
yang tercantum dalam majalah al-ahkam al-adliyah.

Dalam bab ini akan disimpulkan beberapa kaidah fikih yang khusus
dibidang muamalah, karena kaidah asasi dan cabang-cabangnya serta kaidah
umum, telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya. Di antara kaidah khusus di
bidang muamalah ini adalah:

1. ‫احةُ اِالَّ َأ ْن يَ ُد ٌل َدلِ ْي ٌل َعلَي تَحْ ِر ْي ِمهَا‬ ِ ‫اَألصْ ُل ِفي ال ُم َعا َملَ ِة‬
َ َ‫اال ب‬
“hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi
pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama
(mudharabah atau musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-
tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan judi dan riba.

Ibnu taymiyah menggunakan ungkapan lain:

َ ‫ت اَ ْل َع ْف ُو فَاَل يَحْ ظَر ِم ْنهُ اِااَّل َم‬


ُ‫اح َّر َم هللا‬ َ ‫اَأل‬
ِ ‫ص ُل ِفي ال َع َدا‬
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang
diharamkan kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”.

َ ‫اَألصْ ُل ِف ْي ال َع ْق ِد ِر‬
2. ‫ض الُتَ َعا ِق َدي ِْن َونَتِ َجتُهُ َما اِلتَ َز َماهُ بِاالتَ َعاقُ ِد‬
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhoan kedua belah pihak yang
berakad, hasilnya adalah berlaku sah yang diakad kan”

5
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak.
Artinya, tidak sah akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling
meridhoi, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang
keridhoaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli merasa
tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.

Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:

َ ‫اَألصْ ُل فِي ال ُعقُو ْد ِر‬


‫ض ال ُمتَ َعا قِ َدي ِْن‬
“Dasar dari akad adalah keridhoan dari dua belah pihak”

Atas dasar kaidah ini, maka sipenjual harus memiliki barang yang dijual
atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada
hak orang lain pada barang yang dijual

3. ‫َّف فِ ْي ِم ْل ِك َغي ِْر ِه بِ َل اِ ْذ نِ ِه‬


َ ‫صر‬َ َ‫الَ يَحُو ُز اِل َ َح ٍد َأ ْن يَت‬
“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang
lain tanpa izin sipemilik harta”

4. َ‫ازة‬ ِ ‫اَلبا َِط ُل الَ يَ ْقبَ ُل‬


َ ‫اال َج‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah
terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh
salah satu pihak. Contohnya Bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan
Lembaga keuangan yang lain yang menggunakan system bunga, meskipun system
bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena system bunga sudah dinyatakan haram
oleh dewan syariah Nasional. Akad baru sah apabila Lembaga itu mau

6
menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-
akad atau transaksi tanpa menggunakan system bunga.

5. ‫ت‬ ِ َ ‫ازةُ الالَ ِح َق ُة كا‬


ِ ‫لو َكا َل ِة السَّا ِب َق‬ َ ‫االِ َج‬

“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang


telah dilakukan terlebih dahulu”

Seperti telah dikemukakan pada kaidah no.3 bahwa pada dasarnya


seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa
seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah diatas apabila seseorang bertindak
hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta
mengizinkannya, maka Tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi di
anggap sebagai perwakilan dari sipemilik harta.

ِ ‫اَألجْ ُر َوالضَّما َ ُ‡ن الَيَجْ تَ ِم َع‬


6. ‫ان‬
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak
berjalan bersamaan”

Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah
mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada dipasaran atau
membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada dipasaran
(Majalah ahkam al-Adliyah pasal 416)

Contoh seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa


keluarganya, tetapi sipenyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang
yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, sipenyewa
harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

ُ ‫ض َم‬
7. ‫ان‬ َ
َّ ‫الخ َرا ُج بِال‬
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”

7
Asal Al-Kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda
maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah, atau Binatang
mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor Binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan


cacat. Sipenjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan Binatang tadi.
Sebab, penggunaan Binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.

8. ‫الخ ْن ِم‬
َ ِ‫الخرْ ُم ب‬
َ
“Resiko itu menyertai manfaat”

Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus


menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada
keridhoan dari penjual untuk ditanggung Bersama. Demikian pula halnya,
seseorang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan
resikonya ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut
dan pemeliharaan barang, dibebankan kepada pemilik barang.

َ ‫اِ َذابَطَ َل ال َّشْئ بَطَ َل َما فِي‬


9. ‫ض ْمنِ ِه‬
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam
tanggungannya”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si


pembeli telah menerima barang dan sipenjual telah menerima uang. Kemudia
kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka hak pembeli terhadap barang
menjadi batal dan hal penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si
pembeli harus mengembalikan barangnya dan sipenjual harus mengembalikan
harga barangnya.

8
ِ َ‫ال َع ْق ُد َعلَى اَأل ْعي‬
10. ‫ان كا َ ل َع ْق ِد َعلَى َمانَفِ ِع ِه‬
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap
manfaat benda tersebut”.

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa
pula manfaat berupa suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang
objeknya bisa berupa seperti jasa seperti jasa broker. Maka pengaruh hukum dari
akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti
hukum dan sayaratnya sama.

11. ُ‫ص َّح تَ ْوقِتُه‬


ِ َ‫ت فَاَل ي‬ َ ‫صحُّ تَابِ ْي ُدهُ ِم َن ال ُعقُ ِد ال ُم َعا َو‬
‡ِ ‫ضا‬ ِ َ‫ُكلُّ َماي‬
“setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah di
berlakukan sementara”

Akad mu’awadhah adalah akad yang diberlakukan oleh dua pihak yang
masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli, satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang yang
dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya,
sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi maka
bukan jual beli tapi sewa menyewa.

ِ ‫صرُّ فِي ِم ْل‬


12. ‫ك ال َغي ِْر بَا ِط ٌل‬ َ َّ‫اَأل ْم ُر بِالت‬
“Setiap Perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah
batal”

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi


terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri,
maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala keamanan memerintah kepada
bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah

9
tersebut adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam fikih syasyah, apabila
dilihat dari sisi kewenangan dari atasan kepada bawahannya

ِ ‫ع ِإالَّ بِا القَب‬


13. ‫ْض‬ ُ ُّ‫الَيَتِ ُّم التَّبَر‬

“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata
seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum n=mengikat sampai penyerahan
barangnya dilaksanakan.

14. ‫ان‬ َّ ‫ال َج َوا ُز ال َّشرْ ِعى ينَافِى ال‬


ِ ‫ض َم‬
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti
rugi”

Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik
melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi.
Contohnya si A menggali sumur ditempat miliknya sendiri. Kemudia Binatang
tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka tetangga tadi tidak bisa
menuntut rugi kepada si A, sebab menggali sumur ditempatnya sendiri dibolehkan
oleh syariah.

َّ ‫ع َش ْي ٌء ِم ْن يَ ٍد َأ َح ٍد ِإالَّ بِ َح‬
ٍ ِ‫ق ثَاب‬
15. ‫ت‬ ُ ‫الَ يَ ْن َز‬

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar
ketentuan hukum yang telah ditetapkan”

ُ ‫ُكلُّ قَب ٍُل َجا ْى ٌز َأ ْن يَ ُك َن قَبِ ْل‬


16. ‫ت‬
“Setiap Kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”

Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual
beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu” (saya telah
terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab.rincian ijab itu, seperti saya jual

10
barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya
terima”

َ ‫ان ِم ْن َمصْ لَ َح ِة ال َع ْق ِد َأو ِم ْن ُم ْقتض‬


17. ‫ضاهُ فَهُ َو َجائ ٌز‬ َ ‫ُكلُّ شَرْ ِط َك‬
“Setiap Syarat untuk kemaslahatan akad akan diperlukan oleh akad tersebut, maka
syarat tersebut dibolehkan”

Contohnya, seperti dalam hal gadai emas kemudia ada syarat bahwa
apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima
gadai berhak untuk menjualnya atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat
dinotaris.

18. ُ‫ض َمنُه‬ َ ‫ُكلُّ َما‬


َ ‫ص َّح ال َّر ْه ُن بِ ِه‬
َ ‫ص َّح‬
“Setipa yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan”

19. ُ‫از َر ْهنُه‬


َ ‫از بَ ْي ُعهُ َج‬
َ ‫اج‬
َ ‫َم‬
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadai”

Sudah barang tentu ada kekecualian, seperti manfaat barang boleh


disewakan tapi tidak boleh digadaikan karna tidak bisa diserahterimakan.

Kaidah no. 17 dan 18 ini sering pula disebut dhabith karena merupakan
bab tertentu dari satu budang hukum. Tetapi ada pula yang menyebutnya kaidah
seperti dalam al-subki. Tampaknya lebih tepat disebut kaidah tafshiliyah atau
kaidah yang detail.

20. ‫ض َج َّر َم ْنفَ َعهُ فَهُ َو ِربَا‬


ٍ ْ‫قُلُّ فَر‬

“ Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan
riba”

Kadi Abd al-Waha Al-Maliki dalam kitabnya, al-Isyraf, mengungkapkan dengan:

11
‫ض َج َّر نَ ْفعًافَهُ َو َح َر ٌم‬
ٍ ْ‫قُلُّ فَر‬
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram”

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam buku ini, kaidah-kaidah fikih yang khusus (al-qawaid al-fiqhiyah


al-khashshah) dicoba dikelompok kepada a). bidang ibadah mahdhah b). Bidang ,
al-ahwal al-syakhshiyah, meliputi pernikahan dan waris, c). bidang muamalah
dalam arti sempit yaitu tentang transaksi, d). bidang jinayah yaitu tentang hukum
pidana, e). bidang siyasah meliputi hukum tata negara, ekonomi dan hukum
internasional (dusturiyah, Maliyah dan dauliyah), f). Bidang al-aqliyah yaitu
peradilan dan pembuktian dipengadilan atau hukum acara.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad Al- Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyah, cet.V, Beirut: Dar al-Qalam, 1420
H/1998 M, hlm. 95.

Dewan Syariah Nasional (DSN) selaku menggunakan kaidah ini dalam


keputusan-keputusannya, Lihat Himpunan Fatwa Edisi Kedua Tahun
2003.

Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh, Al-Ihsan fi Tsaubihi al-Jadid, Beirut: Dar al-
Fikr, 1965, Lihat juga Al- Djazulu, Hukum Perdata Islam, hlm. Xxx

Ibnu Taimiyah, Juz II, hlm. 36

14

Anda mungkin juga menyukai