Anda di halaman 1dari 22

TEORI GHARAR

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah

Study Islam di Indonesia Dosen Pengampu: Ainun Habibi

Disusun Oleh:

1. Risma Dwi Lestari 2020230015


2. Nurjanah 2020230017

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN WONOSOBO JAWA
TENGAH
2020/2021
Kata pengantar

Puji syukur khadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Teori Gharar ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Dosen pada mata kuliah Fiqih Muamalah. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Teori Gharar bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ainun Habibi, selaku


Dosen Fiqih Muamalah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangunkan akan
kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini

Wonosobo 12 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman sampul..............................................................................................

Kata pengantar.................................................................................................

Daftar isi..........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
.........................................................................................................................

A. Latar belakang.......................................................................................
B. Rumusan masalah..................................................................................
C. Tujuan....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

1. Pengertian Gharar..................................................................................
2. Hukum Gharar.......................................................................................
3. Jenis-jenis Gharar..................................................................................
4. Gharar dalam Transaksi Ekonomi.........................................................
5. Rukun dan Syarat Jual Beli...................................................................
6. Ruang lingkup Gharar dalam akad jual beli..........................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................

Daftar Pustaka.................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai ad-din mengandung yang komprehensif dan
sempurnaa (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
bukan hanya aspekibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya
Ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnan Islam
tersebut dalam banyak ayat, antara lain: QS. 5:3, QS. 6: 38, dan QS.
16:89)
Salah satu ajaran islam yang mengatur kehidupan manusia adalah
aspek ekonomi ( mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang
ekonomi cukup banyak ini menunjukan bahwa perhatian Islam dalam
masalah ekonomi sangat besar. Ayat terpanjang dalam Al- Qur’an justru
berisikan tentang masalah perekonomian bukan masalah ibadah
(mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu adalah ayat 282 surat
al- Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ii mengandung 52
hukum/masalah ekonomi.
Sejak zaman rasulullah saw, semua bentuk perdagangan yang
tidak pasti (uncertainty) telah dilarang, berkaitan dengan jumlah yang
tidak ditetukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan
atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam
(Bani Ummayyah dan Bani Abbasyiah) dimana kontribusi islam adalah
mengindentifikasi praktek bisnis yang telah dilakukan harus sesuai
dengan islam, selain itu mengkodifikasikan, menistemasis dan
mempormalisasikan praktek bisnis dan keuangan ke standar legal yang
didasarkan pada hukum islam yaitu al-Qur’an dan sunah. Pelanggaran
Gharar semakin relevan untuk era modern ini karena pasar modern
banyak mengandung usaha memindahkan resiko (bahaya) pada pihak
lain dalam asuransi konversual, pasar modal dan berbagai transaksi
keuangan yang mengandung unsur perjudian. Dimana setiap usaha bisnis
pasti memiliki resiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang
dihapus oleh islam agar proses trasaksi tetap terjaga dengan baik dan
persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi
yang melakukan transaksi dalam pasar keuangan. Dalam makalah ini
akan membahas lebih lanjut tentang konsep dasar dan definisi dari
berbagai istilah yang berkaitan dengan “Gharar”

A. Rumusan Maslah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum gharar dan jenisnya ?


2. Gharar dalam Transaksi Ekonomi ?
3. Rukun dan Syarat Jual Beli ?
4. Ruang lingkup Gharar dalam akad jual beli

B. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan

dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian gharar


2. Untuk mengetahui Hukum Gharar
3. Untuk mengetahui jenis-jenis Gharar
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Hukum, dan Jenis-jenis Ghrar


1. Pengertian gharar
Gharar merupakan larangan utama kedua dalam transaksi muamalah
setelah riba. Penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia no.
10/16/pbi/2008 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia no.
9/19/PBI?2007 tentang pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan
penghimpunan Dana dalam penyaluran Dana seta pelayanan Jasa Bank
Syari’ah memberikan pengertian mengenai Gharar sebagai transaksi yang
objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau
tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain
dalam syari’ah. Gharar mengacu pada ketidakpastian yang disebabkan
karena ketidakjelasan berkaitan dengan objek perjanjian atau harga objek
yang diperjanjikan dalam akad. Sedangkan definisi menurut beberapa
Ulama:
a. Imam Syafi’i : Gharar adalah apa-apa yang diakibatkannya tersembunyi
dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang
paling kita akui (tidak dihkehendaki).
b. Wahbah al-ZuhailiL: Gharar adalah peneampilan yang menimbulkan
kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenagkan tetapi hakikatnya
menimbulkan kebencian.
c. Ibnu Qayyim: Gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaanya, baik
barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri
dari unta yang liar
d. Imam Malik mendefinisikan Gharar sebagai jual beli objek hyang belum
ada dan dengan demikian belum dapat diketahui kualitasnya oleh pembeli.
Contohnya: jual beli budak yang melarikan diri; jual beli binatang yang telah
lepas dari tangan pemiliknya, atau jual beli anak binatang yang masih dalam
kandungan induknya. Menurut Imam Malik, jual beli tersebut adalah jual
beli yang haram karena mengandung unsur untung-untungan.
1. Jenis-jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual beli Gharar yang diharamkan bisa ditinjau
dari tiga sisi, yaitu:
a. Jual-beli barang yang belum ada (Ma’dum), seperti jual-beli habal al-
habalah (janin dari hewan ternak)
b. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhu) baik yang mutlak, seperti
pertanyaan seseorang “saya hanya menjual barang dengan harga seribu
rupiah,” tetapi barangnya tidak kitehaui secara jelas, atau seperti ucapan
seseorang “aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,”
namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas, seperti ucapan seseorang: “aku
jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak
diketahui.
c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan. Seperti jual-beli
budak yang kabur, atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga
terjadi pada harga, barang dan pada akad jual-belinya.
2. Hukum Gharar
Dalam syari’at islam, jual-beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda
Rasulullah shallahu’alaihi wa sallama dalam hadist Abu Hurairah yang
artinya: “Rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gahah.”
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga.
a. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok
( al- gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindari dan tidak perlu
dilakukan. Contoh jual-beli mulamasah, munabadzahm bai’ al-hashah, bai’
al-malaqih, bai’ al- madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan
pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad sperti ini.
b. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-
yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak
berpengaruh untuk membatalkan akad. Contoh seseorang membeli rumah
dan tanahnya
c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian pertama
atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam
ditanah, seperti wartel, kacang tanah, bawang dan yang lain-lainnya. Para
ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual beli tersebut, namun
masih berbeda dlam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan
sebagian mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan,
atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual,
sehingga memperbolehkannya. Karena nampak adanya pertaruhan dan
menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang rugikan. Yakni bisa
menimbulkan kerugian yang besar pada pihak lain. Oleh karena itu dapat
dilihat adanya hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (gharar).
Dimana dalam larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar
tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang
akibat dari jenis jual beli ini
2. Gharar dalam Transaksi Ekonomi
Transaksi perdagangan umumnya mengandung risiki untung dan
rugi. Hal yang wajar bagi setiap orang berharap untuk selalu mendapatkan
keuntungan, tapi belum tentu dalam setiap usahanya akan mendapatkan
keuntungan. Menurut Imam Ghazali bahwa motivasi seorang pedagang
adalah keuntungan akhirat. Risiko untung dan rugi merupakan kondisi
yang tidak pasti dalan setiap usaha. Dapat ditekankan bahwa Islam tidak
melarang suatu akad yang hanya terkait dengan risiko atau ketidakpastian.
Menurut Ibnu Taimiyah sudah jelas bahwa Allah Swt dan
Rasulullah Saw tidak melarang setiap jenis risiko. Begitu juga tidak
melarang semua jenis transaksi yang kemungkinan mendapatkan
keuntungan atau kerugian ataupun netral (tidak untung dan tidak rugi).
Yang dilarang dari kegiatan semacam itu ialah memakan harta orang lain
secara tidak benar, bahkan bila tidak terdapat risiko, bukan risikonya yang
dilarang. Yang menjadikan Gharar dilarang adalah karena keterkaitannya
dengan cara tidak benar. Karena hal ini akan mengakibatkan merugikan
bagi pihak lain.
Dalam transaksi modern, banyak ditemukan model transaksi yang
dilakukan oleh lembaga keuangan. Umum terjadi, lembaga keuangan
modern merupakan lembaga usaha yang bertujuan untyk mendapatkan
keuntungan. Gharar dalam lembaga keuangan modern terdapat pada cara
mereka melakukan usaha dan mendapatkan keuntungan.
A) Perbankan
Lembaga perbankan merupakan pilar dari ekonomi modern. Hingga
tingkat kemajuan dari perbankan mampu mempengaruhi kondisi ekonomi
suatu bangsa. Berkembang atau tidaknya suatu kondisi ekonomi suatu
bangsa. Namun,dilihat dari syariat Islam, lembaga perbankan umum yang
telah berkembang dengan unsur unsur Gharar, maisir dan riba, yang jelas
dilarang dalam aturan syariat Islam.
Gharar dalam perbankan dapat dilihat dari sistim bunga yang bebankan
pada setiap transaksi, baik dalam transaksi pinjaman maupun simpanan.
Beban bunga yang ditetapkan aldalah merupakan jenis gharar yang
mempertukarkan kewajiban antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Contoh: Disaat melakukan pengajuan pinjaman pada bank untuk suatu
usaha dengan beban bunga sebesar 10%. Jika usaha yang dilakukan
mendapat keuntungan 100% atau lebih, maka pihak peminjam akan
untung, karena hanya membayar sebesar 10%. Sedangkan bila usaha
mengalami kerugian maka akan ditanggung sendiri, dan pihak bank tidak
akan peduli dengan kondisi tersebut, saat masa jatuh tempo pihak
peminjam harus mengembalikan dana pinjamannya beserta bunga yang
dibebankan, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Jadi risikolah yang
diprtukarkan.
B) Asurasni
Asuransi merupakan bentuk pertanggungan yang dilakukan antara satu
pihak dengan pihak lain. Dalam UU RI No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian, Asuransi atau pertanggungan merupakan perjnjian antara
dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan.
Gharar terjadi dalam asuransi apabila kedua belah pihak (misalnya:
peserta asuransi, pemegang polis, dan perusahaan) saling tidak
mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa. Kontrak
yang dilakukan pada kondisi tersebut adalah suatu kontrak yang dibuat
berasaskan pada penggadaikan (ihtimal) semata. Hal inilaah yang disebut
gharar ‘ketidakjelasan’ yang dilarang dalam syariat islam. Karena bentuk
dari kontrak tersebut akan mengakibatkan terjadinya saling mendzalimi.
Meskipun kedua belah pihak saling meridhoi, kontrak tersebut secara
dzatnya tetap termasuk dalam kategori gharar yang diharamkan.
Walaupun nisbah/ presentase atau kadar bayarnya telah ditentukan agar
peserta asuransi/ pemegang polis maklum, ia tetap tidak tahu kapan
musibah akan terjadi, disinilah gharar terjadi. Secara konvensional,
kontrak/ perjanjian dalam asuransi jiwa dapat. Dikategorikan sebagai akad
tabaduli atau akad pertukaran,yaitu pertukaran. Pembayaran premi
dengan uang pertanggungan. Secara syariah, dalam. Akad pertukaran
harus jelas berapa yang dibayarkan dan berapa yang. Harus diterima.
Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita. Tahu berapa yang
akan diterima (sejumlah uang petanggungan), tetapi. Tidak tahu berapa
yang akan dibayarkan (jumlah seluruh premi). Disinilah Terjadinya gharar
pada asuransi konvensional.Gambaran dari bentuk gharar tersebut adalah
jika seseorang ,Mengambil paket asuransi 10 tahun dengan besar uang
pertanggungan misalnya 10 juta. Apabila pada tahun keempat orang yang
bersangkutan meninggal dan baru bayar premi sebesar 4 juta, maka ahli
warisnya mendapatkan jumlah yang penuh 10 juta. Pertanyaan yang
muncul, dari mana sisa 6 juta diperoleh. Uang 6 juta yang di dapat ahli
waris tersebut merupakan bentuk gharar.
C) Bursa Saham
Bursa saham adalah pasar yang di dalamnya berjalan usaha jual beli
Saham. Target bursa adalah menciptakan pasar simultan dan kontinyu
dimana penawaran dan permintaan serta
orang orang yang hendak melakukan perjanjian jual beli dipertemukan.
Tentunya dalam hal ini akan mendapatkan berbagai keuntungan bagi
pihak pelaku.Dalam bursa saham, bentuk gharar banyak ditemukan dalam
setiap Transaksinya.
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Adapun rukun dan syarat jual beli serta bentuk jual beli itu sendiri sebagai
berikut:
1. Rukun dan Syarat jual beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, namun
dalam menentukan rukun jual beli ini terdapat perbedaan pendapat ulama.
Menurut Ulama Hanafiyah rukun jual beli itu hanya satu, yaitu Ijab
(ungkapan membel dari Pembeli) dan Qabul (ungkapan menjual dari
penjual). Menurut mereka yang mnjadi rukun dalan jual beli hanyalah
kerelaan (rida’/taradhi) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual
beli. Akan tetapi karena unsure kereaan merupakan unsure hati yang sulit
untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan transaksi yang
menunjukan kerelaan kedua belah pihak yang meakukan transaksi jual
beli, menurut mereka, boleh tergambar oleh Ijab dan Qabul, atau melalui
cara saling memberikan barang (ta’ati). Sedangkan menurut Jumhur
ulama menyatakan rukun jual beli itu ada empat yaitu:
a. Ada orang yang berakad atau Al-muta’qidain (penjual) dan
pembeli.
b. Ada shigat (lafal Ijab dan Qabul)
c. Ada barang yang dibeli.
d. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang-barang yang dibeli dan
nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual
Beli.

Adapun syarat-syarat jual beli yang harus dipenuhi yaitu:

a. Tentang Subjeknya
Kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli haruslah:
1. Berakal, agar dia tidak terkecoh, orang gila atau bodoh tidak sah
jual belinya.
2. Dengan kehenak sendiri (bukan dipaksa).
3. Keduanya tidak mubazir.
4. Balig.
b. Tentang Objeknya
Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli ini haruslah memenuhi
syarat- syarat sebagai berikut:
1. Bersih barangnya.
2. Dapat dimanfaatkan.
3. Memiliki orang yang melakukan akad.
4. Mampu menyerahkan.
5. Mengetahui (hitungan, ukuran, timbangan atau kwalitasnya dan
tentang jumlah.
6. Pembayaran maupun jangka waktu pembayaran.
7. Barang yang diakadkan sedang berada di tangan.
c. Adapun syarat-syarat Ijab dan Qabul menurut kesepakatan ulama, yaitu:
1. Keadaan Ijab dan Qabul berhubungan
2. Adanya kemufakatan keduanya walaupun lafadz keduanya belainan.
3. Keadaan keduanya tidak sangkut pautkan dengan urusan yang lain
seperti: kalu Saya jadi pergi saya jual barang ini sekalian.
4. Waktunya tidak dibatasi.

Sehubungan dengan pendapat ulama Hanafiyah tentang bentuk-bentuk jual


Beli ini, berbeda dengan pendapat jumhur ulama, yang mana mereka tidak
Membedakan antara Fasid dan Batal. Dengan kata lain menurut jumhur ulama,
Hukum jual beli terbagi dua, yaitu jual beli sahih dan jual beli Fasid.

Gharar yang dilarang secara umum menurut Ibnu Ja’I Maliki, yaitu:

a) Tidak dapat diserah terimakan, seperti menjual anak hewan yang masih
dalam kandungan induknya.
b) Tidak diketahui harga dan barang.
c) Tidak diketahui sifat barang atau harga.
d) Tidak diketahui ukuran barang dan harga.
e) Tidak diketahui masa yang akan datang.
f) Menghargakan dua kali pada suatu barang.
g) Menjual barang yang diharapkan selamat.
h) Jual beli usaha, misalnya pembeli memegang tongkat jika tongkat jatuh
wajib membeli.
i) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-meempar.
j) Jual beli mulamasah, apabila mengusap baju atau kain maka wajib
membelinya.

Disini ada beberapa macam jua beli yang menghimpun kebanyakan perkara-
perkara tersebut dan sebagainya. Diantara jual beli yang megandung berbagai
macam kesamaran ialah jual beli yang diperkatakan, dan jual beli yang
didiamkan oleh Syara.

Akan halnya jual beli yang dperkatakan, maka kebanyakan telah disepakati,dan
hanya ada perselisiahan berkenaan dengan penjelasan tentang nama-namanya.
Sedang jual beli yang didiamkan masih diperselisihkan. Objek jual beli gharar
khususnya hasil pertanian

1) Jual beli yang diperkatakan


a. Menjual buah-buahan sebelum terjadi.
Menjual buah-buahan sebelum terjadi, para ulama sepakat melarangnya
karena termasuk dalam larangan menjual sesuatu yang belum jadi.

b. Menjual buah-buahan sesudah terjadi

Menjual buah-buahan setelah terjadi adalah menjual buah-buahan Yang


telah matang walaupun masih berada di pohonya atau belum dipetik.
Sedangkan menjual buah-buahan yang masih dipohon ini terbagi lagi dalam
dua bagian yaitu: menjual buah-buahan yang sudah Nampak kebaikannya
dan menjual buah yang belum Nampak kebaikannya. Penjualannya yang
Nampak kebaikannya atau yang sudah matang, para ulama membolehkan
dengan syarat dipetik, hal ini sedikit berbeda dengan pendapat Abu Hanifah
walaupun sama-sama membolehkan menjual buah yang sudah matang.
Namun beliau juga membolehkan menjual buah yang telah dipetik walaupun
belum matang, maksudnya buah yang belum matang tersebut telah dipetik
langsung menjadi tanggung jawab pembeli. Dan Imam Syafi’I membolehkan
menjual buah-buahan yang telah matang, mengenai jual beli buah yang
belum ranum, Syafi’I tidak membolehkan sesuadah terjadi atau yang telah
matang. Jika dilihat dari penjelasan di atas yang menjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama adalah penjual buah yang belum Nampak
kebaikannya,adapun yang belum matang dan yang sudah matang serta
menjual buah yang ssudah bercahaya telah ranum dengan buah yang belum
ranum. Adapun ulama yang membolehkannya tetapi denga syarat sudah
dipetik, menurut pandang penulis karena ada juga buah yang dapat
dimanfaatkan dua keadaan, pada saat masak dan pada saat masih hijau,
misalnya buah papaya, pada saat masak bisa dimakan sebagai makanan
penutup dan pada saat masih hijau dapat dibuat sayur

c. Menjual buah pada tangkainya


Menjual buah pada tangkainya, maksudnya buah yang belumd
ikeluarkarkan dari tangkainya, seperti gandum, jenis kacang-kacangan atau
Buncis dan padi, dalam hal ini imam syafii berpendapat, bahwa menjual
tangkai Itu sendiri itu tidak boleh, meski sudah keras, karena penjualan
tersebut masuk dalam bab gharar (kesamaran), dan dikiaskan pada menjual
biji yang dicampurkan dengan jerami setelah digiling. Lain halnya dengan
pendapat berikut dalam hal jual tangkai itu sendiri bersama bijinya dimana
Imam Malik, Imam Hanifah membolehkannya walaupun ada ulama yang
megkategorikan jual beli seperti itu termasukGharar.
Mengenai menjual buah yang semestinya masih berada di tangkainya atau
belum waktunya dipetik dan ketika menjual tidak disertai dengan
tangkainya, dalam hal ini Abu Hanifah dan para ulama lainnya sepakat tidak
membolehkannya, seperti menjual sesuatu yang belum diketahui kualitas
dan kuantitas barangnya. Akan halnya penjualan tangkai yang sudah digosok
tetapi belum kuat, maka Imam Malik tidak membolehkannya, dengan syarat
dipotong dan penjual tangkai tanpa dipetik, Imam Malik merepukan tentang
kebolehannya
d. Jual beli yang didiamkan
a. Jual beli barang yang tidak ada
b. Jual beli dengan penyerahan kemudian
c. Jual beli buah-buahan dalam satu atau beberapa lembah.
Dalam hal jual beli barang yang tidak ada dan jual beli buah- buahan dalam
satu atau beberapa lembah, yang menjadi silang pendapat di
kalangan ulama adalah apakah kesamaran itu termasuk kesamaran besar
ataukah kesamaran keci (ringan) yang dimaafkan. Sedangkan dalam hal jual
beli dengan penyerahan kemudian, yang menjadi silang pendapat di
kalangan Ulama adalah pada syarat penyerahan barang, selain itu silang
pendapat ini Pada hal pandanganhutang dengan hutang

4. Ruang Lingkup Gharar dalam akad jual beli


Gharar bisa terjadi dalam akad, objek akad, dan waktu pelunasan
kewajiban.
a. Gharar dalam akad jual beli

Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya
dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal secara kredit
kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad
tadi (mau tunai ataukah kredit), jual beli semacam ini mengandung gharar
dalam akad. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَ ْي َعتَي ِْن فِي بَ ْي َعة‬


َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi
dalam satu akad” (HR. An-Nasai, no. 4632; Tirmidzi, no. 1231; dan
Ahmad, 2:174. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih
sebagaimana dalam Al-Jaami’ Ash-Shahih, no. 6943). Lihat penjelasan di
atas dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa
Al-Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab
Saudi), Pertanyaan 15-169, 15/6/1393 H.
b. Gharar dalam objek akad (barang atau harga)
Fisik barang tidak jelas. Contoh: menjual barang dalam kotak dengan
harga Rp.100.000,Sifat barang tidak jelas. Contoh: menjual mobil dengan
harga Rp.50.000.000,-, di mana pembeli belum pernah melihat mobil dan
belum dijelaskan spesifikasinya. Ukuran barang tidak jelas. Contoh:
menjual tanah Rp.10.000.000,- tanpa menentukan ukuran batasannya.
Barang bukan milik penjual. Contoh: seorang calo tanah membuat
transaksi jual beli dengan pihak ketiga tanpa mendapatkan izin dari
pemilik tanah sebelumnya. Hakim bin Hizam pernah bertanya pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫ْس ِع ْن ِدي َأبِي ُعهُ ِم ْنهُ ثُ َّم َأ ْبتَا ُعهُ لَهُ ِم ْن الس‬
َ َ‫ُّوق ق‬
‫ال اَل تَبِ ْع َما‬ َ ‫ُول هَّللا ِ يَْأتِينِي ال َّر ُج ُل فَيَ ْسَألُنِي ْالبَ ْي َع لَي‬
َ ‫يَا َرس‬
َ‫ْس ِع ْندَك‬ َ ‫لَي‬
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta
agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan
terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Janganlah engkau menjual
sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no.
4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani
mengatakan hadits ini sahih). Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda
َ‫ْس ِع ْندَك‬ َ ‫ف َوبَ ْي ٌع َوالَ شَرْ طَا ِن فِى بَي ٍْع َوالَ ِر ْب ُح َما لَ ْم تَضْ َم ْن َوالَ بَ ْي ُع َما لَي‬ ٌ َ‫الَ يَ ِحلُّ َسل‬
“Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual beli. Tidak
halal dua persyaratan dalam jual beli. Tidak halal keuntungan barang yang
tidak dalam jaminanmu. Tidak halal menjual barang yang bukan
milikmu.” (HR. Abu Daud, no. 3504 dan Tirmidzi, no. 1234. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual
pertama. Contoh: A membeli motor dari B. Sebelum A menerima motor
dari B, A menjual kepada C. A menerima uang dari C dan meminta B
untuk menyerahkan langsung motor ke C. Ini termasuk bai’ gharar karena
motor tersebut bisa jadi lenyap dari B dan tidak bisa diserahterimakan
kepada C.
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
. َ‫ فَال‬، ‫ا‬ŠŠ‫ت ََريْتَ بَ ْي ًع‬Š‫اش‬ ْ ‫ِإ َذا‬Šَ‫ ف‬: ‫ي قَا َل‬ َّ َ‫ َو َما ي َُح َّر ُم َعل‬، ‫ ِإنِّي َأ ْشت َِري بُيُوعًا فَ َما يَ ِحلُّ لِي ِم ْنهَا‬، ِ‫ُول هللا‬ َ ‫َرس‬
‫ضه‬ َ ِ‫تَبِ ْعهُ َحتَّى تَ ْقب‬
“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang
halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah
engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’” (HR. Ahmad,
3:402. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih
dilihat dari jalur lainnya, secara sanad hadits ini hasan).
c. Barang tidak dapat diserahterimakan.
Contoh: barang di luar negeridan ia menjualnya di Indonesia. Ini
termasuk jual beli gharar, karena barang tersebut kemungkinan tidak
diizinkan masuk ke Indonesia. Gharar pada harga disebabkan penjual
tidak menentukan harga. Contoh: Aku jual mobil dengan harga
sesukamu. Namun masih boleh jual beli dengan penetapan harga pasar.
Gharar dalam jangka waktu pembayaran Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

‫ َو َكانَ بَ ْيعًا يَتَبَايَ ُعهُ َأ ْه ُل‬، ‫َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – نَهَى ع َْن بَي ِْع َحبَ ِل ْال َحبَلَ ِة‬
ُ‫ور ِإلَى َأ ْن تُ ْنت ََج النَّاقَة‬ Šَ ‫ع ْال َج ُز‬ ُ ‫ َكانَ ال َّر ُج ُل يَ ْبتَا‬، ‫ْال َجا ِهلِيَّ ِة‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli
yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang
dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual
beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta
secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari
seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no. 2143
dan Muslim, no. 3883).
Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya.
Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan
tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.
Masalah: Bayar nanti ketika sudah mampu
Adapun menyatakan pembayaran dengan ucapan “dibayar kapan
mampu”, seperti ini dibolehkan berdasarkan hadits yang disebutkan
dalam Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah.
Ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
ْ ‫ فََأ‬، ‫ فَلَوْ بَ َع ْثتَ إلَ ْي ِه‬، ‫إن فُاَل نًا قَ ِد َم لَهُ بِ ٌّز ِم ْن ال َّش ِام‬
ً‫يَئة‬Š‫وْ بَ ْي ِن ن َِس‬ŠŠَ‫هُ ث‬Š‫خَذت ِم ْن‬ َ ‫ يَا َرس‬: ‫قُ ْلت‬
َّ ، ِ ‫ُول هَّللا‬
‫ات‬ ٌ َ‫ َو ِر َجالُهُ ثِق‬، ‫ع } َأ ْخ َر َجهُ ْال َحا ِك ُم َو ْالبَ ْيهَقِ ُّي‬Šَ َ‫فَا ْمتَن‬. ‫ث إلَ ْي ِه‬
َ ‫إلَى َم ْي َس َر ٍة ؟ فَبَ َع‬

“Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang telah


datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang
kepadanya, baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan
pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang
kepadanya, namun pemiliknya menolak.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi,
perawinya tsiqqah). [HR. Tirmidzi, no. 1213; An-Nasai, 7:294; Ahmad,
42:70; Al-Hakim, 2:23, 24; Al-Baihaqi, 6:25. Tirmidzi mengatakan bahwa
hadits ini hasan gharib sahih. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini
sahih sesuai syarat Bukhari, tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari –
Muslim].
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh
Al-Maram(6:261) berkata, “Jual beli secara tertunda itu boleh dan sah
pula jika pembayaran sampai waktu yang dimudahkan.”
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan
dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak
dikehendaki). Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar
sabda Rasulallah shallallahu’alaihi wa sallama dalam hadist Abu Hurairah
yang artinya: “rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gharar.”
Transaksi perdagangan umumnya mengandung risiki untung dan rugi.
Hal yang wajar bagi setiap orang berharap untuk selalu mendapatkan
keuntungan, tapi belum tentu dalam setiap usahanya akan mendapatkan
keuntungan. Menurut Imam Ghazali bahwa motivasi seorang pedagang adalah
keuntungan akhirat. Risiko untung dan rugi merupakan kondisi yang tidak pasti
dalan setiap usaha. Dapat ditekankan bahwa Islam tidak melarang suatu akad
yang hanya terkait dengan risiko atau ketidakpastian.
Jual beli mempunyai rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi,
namun dalam menentukan rukun jual beli ini terdapat perbedaan pendapat
ulama. Menurut Ulama Hanafiyah rukun jual beli itu hanya satu, yaitu Ijab
(ungkapan membel dari Pembeli) dan Qabul (ungkapan menjual dari penjual).
Menurut mereka yang mnjadi rukun dalan jual beli hanyalah kerelaan
(rida’/taradhi) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.
Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya
dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal secara kredit
kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad tadi
(mau tunai ataukah kredit), jual beli semacam ini mengandung gharar dalam
akad
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shawi, Muhammad Shalah. 2008. Problematika Investasi pada Bank Islam


Solusi Ekonom.

Jakarta: Migunani.

Azzam Abdul, Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat System Transaksi


dalam

Islam. Jakarta: AMZAH.

Sula, M. Syakir, Asuransi Syariah, konsep dan sistem operasional,


Jakarta, Gema Insani, 2004

Sumber https://rumaysho.com/24660-jual-beli-gharar-yang-barangkali-
ada-di-sekitar-kita.html

Anda mungkin juga menyukai