Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TRANSAKSI YANG DILARANG DALAM PEMASARAN SYARIAH

Dosen Pengampu: MUHAMMAD SYATIR,SE,ME

Disusun Oleh:

Anugrah Septiani
Akmal
Fiqra Khaikal
Ahmad Fathir Maarif

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN BONE)
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Konsep Pemasaran Syari’ah meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Dosen Muhammad
Syatir,SE,.ME
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Bone, 24 Mei 2023

Tim Penulis
(Kelompok 1)

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1

B. Rumus Masalah...............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Transaksi yang mengandung unsur Riba ...............................................................2-4

B. Gharar, Transaksi Najasy ............................................................................4-6

C. Talaqqi Rukban, Money Laundering..........................................................7-11

BAB III PENUTUP ................................................................................................12

A. Kesimpulan .....................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Halal dan haram dala islam adalah dua hukum yang saling bertentangan.
Halal adalah suatu atau kondisi dimana dapat dilakukan menurut hukum syar'i.
Sebaliknya haram adalah sesuatu atau tindakan yang dilarang untuk dilakukan
menurut hukum syar'i. Sesuatu yang halal jika dikonsumsi akan membawa
dampak kebaikan dan keberkahan, kebaikan dan keberkahan ini meliputi kesucian
dalam berfikir, kejernihan hati, kesopanan dan keramahan dalam bertindak.
Semua itu akibat dari halalnya upaya. proses, objek yang dikonsumsi secara halal.
Sebaliknya, makanan atau perbuatan yang telah di hukumi haram maka implikasi
yang timbul adalah sisi negatif yang ditampakkan oleh para pelaku, misalnya: hati
yang keras, pola pikir yang sempit dan tindakan yang terbiasa melanggar norma
dan aturan agama."

B. Rumus Masalah
1. Transaksi yang mengandung unsur Riba
2. Gharar, Transaksi Najasy
3. Talqqi Rukban,Money Laundering

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Transaksi yang mengandung unsur Riba


Permasalahan riba muncul sejak zaman sebelum Rasulullah Saw bahkan
hingga Rasulullah Saw wafat pun pembahasan tentang riba juga belum berakhir.
Kaum Muslim perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung
didalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke
berbagai transaksi ribawi. Risalah ini juga merupakan penjelasan dan peringatan
bagi mereka yang telah bergelut dan pernah berinteraksi dengan riba agar segera
menyadari kesalahannya, bertaubat dan "mencuci tangan" dari transaksi ribawi.
Secara lughawi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau
tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu
dirham dengan dua dirham. Adapun secara istilahi riba berarti adanya tambahan
dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba,
yaitu riba fadl dan riba nasi’ah.1

Dalam Al-Quran, riba secara tegas dilarang atau diharamkan sebagaimana


Firman Allah Swt,
ۗ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الر ِّٰب‬
‫وا‬

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah [2]:

275).

Dalam Hadis, Rasulullah Saw juga bersabda, “Rasulullah


salallahu„ alaihi wasalam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan
dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka
itu semuanya sama” (HR Muslim).2

1
Muhammad Nashiruddin Al Albani, Mukhtashar Shahih Bhukhari III, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2012), h. 289

2
Dalam ilmu fiqih dikenal 3 jenis riba yaitu:

1) Riba Fadhl

Riba Fadl disebut juga Riba Belu' atan riba yang timbul akibat
tukar barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya
(mislanbi misilin ), kuantitasnya sawaa-an bi sawaa-
di)danwaktupenyerahannya( yadan duayadin). Pertukaran seperti ini
mengandung gharar atau ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai
masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat
menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak. pihak kedua,
dan pihak-pihak lain.

2) Riba Nasi'ah

Riba Nasi'ah disebut juga Riba Duyum atan riba yang timbul
akibatutangpiutang yangtidakmemenuhikriteria al-Ghumubil Gharm
(untung muncul bersama risiko) dan al-Kharay dua Dhamana (hasil
usaha muncul bersama biaya). Transaksi seperti ini mengandung tukar
kewajiban menanggung beban hanya karena berjalannya waktu.
Nasi'ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba
Nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atan tambahan
antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan
Kemudian

3) Riba Jahiliyah
Riba Jahulyah adalah utang yang dibayar melebihi pokok
pinjaman karena ya pinjaman tidak mampu mengembalikan pinjaman
pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliah dilarang karena terjadi
pelanggaran kaidah “Kullu Qarkeriuhan Jarra Monfa’alan Fahina
Riba” (setiap pinjaman yang ambil manfaat adalah riba). Memberi
2
Idris, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Persfektif Hadis Nabi), (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2015), h. 190

3
pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta
alasan adalah transaksi bisnis (nijrah). Jadi, transaksi yang semula
diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi
transaksi yang bermotif bisnis. Dari segi tertunda waktu
penyerahannya, riba jahiliyah tergolong riba nasi ah sedangkan dari
segi objek yang dipermkarkan tergolong riba fadhl.
B. Gharah/taghrir (ketidakpastian) , Transaksi Najasy
1. Gharar
secara etimologi adalah keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan
untuk merugikan pihak lain. Para Ahli Fiqih mengemukakan beberapa definisi
gharar yang bervariasi dan saling melengkapi. Terdapat beberapa pendapat
ahli ulama.
a. Ibn Taimiyah mengemukakan, “Gharar adalah konsekuensi yang
tidak diketahui (the unknow consequences)”.
b. Ibn Qayyim mengemukakan, "Gharar adalah sesuatu yang tidak
diketahui hasilnya, atau dikenal hakikat dan ukurannya"

c. Abu Ya'la mengemukakan, "Gharar ada Gharar lah hal yang


meragukan antara 2 perkara, dimana tidak ada yang lebih
tampak/jelas".

Dengan demikian, praktik gharar merupakan mekanisme transaksi dalam


bisnis mengandung unsur penipuan akibat dari ketidakjelasan, Bisnis yang serba
tidak jelas sangat tegas dilarang dalam Islam, bahkan dikuatkan oleh sabda
Rasulullah Saw, "Rasulullah salallahu 'alaihi wa salam melarang jual beli al-
hashahdan jual beli gharar" (HR Abu Hurairah). Dalam Hadis lain disebutkan
"Rasulullah Saw telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan
lemparan batu kecil) dan jual beli barang secara gharar" (HR. Muslim). Jual beli
secara gharar (tidak jelas sifatnya) adalah segala bentuk jual beli yang didalamnya
terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan) atau didalamnya terdapat unsur judi
(maysir) sehingga dihukumi haram karna melanggar prinsip la tazhlimuuna wa la
tuchlamun."

4
Secara umum Bentuk Gharar diantaranya:

a. Gharar dalam Kuantitas

Gharar dalam Jumlah terjadi dalam kasus ijon, dimana penjual


menyatakan akan membeli buah yang belum tampak di pohon untuk X.
Dalam hal ini terjadi derajat mengenai berapa kuantitas buah yang dijual,
karena memang tidak disetujui sejak awal. Bila panennya 100 kg, harga
Rp X. Bila panennya 50 kg, harganya Rp Xpula. Bahkan bila tidak panen
harganya Rp X juga.

b. Gharar dalam Kualitas

Contoh dari gharar dalam kualitas adalah seorang pembuat yang


menjual anak sapi yang masih dalam kandungan ibunya. Dalam kasus ini
terjadi derajat dalam hal kualitas sbagai objek transaksi, karena tidak ada
Jaminan bahwa anak sapi tersebut akan lahir dengan cacat, normal atau
spesifikasi tertentu. Bagaimana kondisi anak sapi tersebut maka harus
diterima oleh pembeli dengan harga yang sudah disepakati

c. Gharar dalam Harga

Gharar dalam harga terjadi misalnya seorang penjual menyatakan


bahwa dia akan menjual suatu satuan panci merek ABC untuk Rp
10.000,00 bila dibayar tunai, atau Rp 50.000.00 bila membayar kredit
selama 5 bulan, kemudian ya pembeli menjawab "setuju". Ketidakpastian
muncul karena adanya doa harga dalam satu akad. Tidak lebih jelasnya
harga mana yang berlaku, yang Rp 10.000,00 atau yang Rp 50.000,00.
Katakanlah ada pembeli yang membayar lunas pada bulan ke-3. berapa
harga yang berlaku?. Dalam kasus ini, meskipun kuantitas dan kualit
sebagai barang sudah ditentukan, tetapi terjadi derajat dalam harga barang
karenaya penjual danya pembeli menyepakati satu harga dalam satu akad.

d. Gharar dalam Waktu Penyerahan

5
Gharar dalam waktu penyerahan contohnya bila seseorang menjual
mobil X nya yang hilang seharga Rp 100 juta. Harga pasar mobil tersebut
Rp 200 juta. Mobil akan diserahkan kepada pembeli jika barang itu sudah
ditemukan. Dalam transaksi ini terjadi ketidakpastian menyangkut waktu
penyerahan barang. Karena barang yang dijual tidak diketahui
keberadaannya, Mungkin saja barang tersebut akan ditemukan satu bulan
lagi, atau satu tahun bahkan tidak ditemukan.

2. Transaksi Najasy

An-najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga suatu barang


dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak
padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang (satu grup dengan
penjual) datang dan meninggikan harga barang agar pembeli lain
mengikutinya, kemudian saling melakukan penawaran setinggi-tingginya yang
efeknya adalah konsumen lain terpedaya karnanya. Bai' najasy atau najsy
adalah tindakan menawar barang dengan harga yang lebih tinggi oleh pihak
yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak
yang berminat membelinya strategi jual beli model ini diharamkankarena
berisi kezhaliman Sabda Rasulullah Saw "sesungguhnya Rasulullah salalahu
'alaihi wa salam melarang an-najasy" (HR Ibnu Majah).3

Secara umum jual beli najasy merupakan suatu taktik yang dilakukan
oleh pedagang untuk melariskan dagangannya melalui "promosi yang
berlebihan atau menipu agar orang menjadi tertarik untuk membeli barangnya,
atau orang membeli barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari
sesungguhnya. Singkatnya disebut dengan kerekayasaan permintaan "flase
demand".
Berdasarkan keterangan tersebut maka jual beli najasy memiliki
dua definisi berdasarkan modelnya:
a. Memuji-muji daganganya sendiri secara berlebihan agar laris

3
Abdullah Shonhaji, Sunan Ibnu Majah, Terj. Sunan Ibnu Majah jilid III, (Semarang: CV
Asy Syifa, 1993), h. 31

6
b. Bersekongkol dengan orang lain yang berpura-pura menawar
barang dengan Harga tinggi agar orang lain merasa tidak
kemahalan, lalu terpengaruh untuk Membelinya.4
C. Sistem Jual Beli Talaqqi Rukban,

1. Pengertian Sistem Jual Beli Talaqqi Rukban

‫سو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬-‫ض َي هَّللَا ُ َع ْن ُه َما‬ِ ‫ر‬-َ ‫س‬ٍ ‫ َع ِن اِ ْب ِن َعبَّا‬,‫س‬ ٍ ‫َوعَنْ طَا ُو‬
‫ َواَل يَبِي ُع‬ :ُ‫ َما قَ ْولُه‬:‫س‬ ٍ ‫ض ٌر ِلبَا ٍد قُ ْلتُ اِل ْب ِن َعبَّا‬ ُّ َ‫وسلم ( اَل تَلَقَّ ْوا ا‬
ِ ‫ َواَل يَبِي ُع َحا‬, َ‫لر ْكبَان‬
‫ي‬ِّ ‫ق َعلَ ْي ِه َواللَّ ْفظُ ِل ْلبُ َخا ِر‬
ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) ‫سا ًرا‬َ ‫س ْم‬ِ ُ‫ اَل يَ ُكونُ لَه‬:‫ض ٌر لِبَا ٍد? قَا َل‬ ِ ‫َحا‬
Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau mengha
dang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangannya),
dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa." Aku bertanya
kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau "Janganlah orang kita
menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab: Janganlah menjadi
makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat
Bukhari.5
Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak

memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat

mengakibatkan kerugian bagi para pedagang. Maka sistem jual beli Talaqqi

rukban adalah cara jual beli dengan mencegat pedagang yang hendak menjualkan

barang dagangannya di pasar dan tidak mengetahui informasi harga yang benar

dipasar.6

Talaqqi Rukban juga disebut sebagai Talaqqi as-Silai', suatu peristilahan

dalam fiqh muamalah yang menggambarkan proses pembelian komoditi/barang

dengan cara mencegat orang desa (kafilah), yang membawa barang dagangannya

(hasil pertanian, seperti: beras, jagung, dan gula) sebelum sampai di pasar agar ia

5
Dani Hidayat, Terjemahan Bulughul Maram Versi 2.0 (Surabaya: Pustaka Al-hidayah, 2008),
Hadits No. 828

6
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Edisi
II (Surabaya: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005), hal. 229

7
dapat membeli barang di bawah harga yang berlaku di pasar. Praktik ini dapat

mendatangkan kerugian bagi orang desa yang belum mengetahui/buta dengan

harga yang berlaku di pasar.7 Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits yang

diriwayatkan oleh Ibnu Umar :

“Dari Abdullah bin thawus dari ayahnya dari Ibn Abbas ra berkata,
Nabi SAW pernah bersabda :Janganlah kalian menjemput / menyambut
kafilah dagang dan janganlah orang kota membeli barang dagangan
orang desa. Lalu aku bertanya pada Ibn Abbas apa yang dimaksud tidak
boleh membeli barang dari orang desa? Ia berkata dalam jual-beli tidak
ada simsar”.8

Hadits tersebut menerangkan bahwa, seseorang yang membawa barang

dagangan dari daerah lain, dengan alasan adanya perbedaan harga barang

dagangan di dua daerah tersebut, atau banyaknya permintaan pasar di daerah yang

akan di datangi. Kemudian penduduk asli daerah tersebut menyambut mereka

dengan tujuan untuk membeli barang dagangan tersebut dengan harga yang lebih

rendah dari harga ketika masuk ke pasar, demi memperoleh keuntungan sebanyak-

banyaknya dengan tidak memberitahukan harga yang sedang berlaku.9

Praktik transaksi ini secara konkrit adalah seorang penjual datang ke pasar

dan pembeli menghadangnya sebelum penjual sampai ke pasar. Kemudian

7
Asyari, Kamus Istilah Ekonomi Syariah, (Padang, PT. Al-Ma’arif, 2003) , h. 100
8
Bukhāri, al-Imam, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’īl bin Ibrāhīm ibnu al-Mugīrah
bin Bardizbah, al-Ja’fy, Saḥiḥ Bukhari, Juz 3, Beirut, Dar al-Fikri, 1401 H / 1981 M), h. 27
9
Syihabu al-Din Aḥmad bin ‘Ali bin Ḥajr al-‘Asqalany, Ibanatu al-Ahkam Syarhu Bulugu al-
Maram Qismu al-Mu’amalah, (Juz III) , h. 40

8
pembeli tersebut membeli barang dagangannya dengan harga dibawah standar

pasar karena penjual tidak tahu harga standar yang berlaku di pasar.

Sebagai kesimpulan Talaqqi rukban adalah suatu tindakan yang dilakukan

oleh pedagang yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang

terjadi di pasar. Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal : pertama,

rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier),

kedua, mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang

berlaku.

Adanya pelarangan ini dikarenakan adanya unsur ketidakadilan atas

tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga

yang sesungguhnya terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah

tidaklah dilarang, namun apabila transaksi jual-beli antara dua pihak dimana yang

satu memiliki informasi yang lengkap sementara pihak lain tidak tahu berapa

harga di pasar yang sesungguhnya, ini sangatlah tidak adil dan merugikan salah

satu pihak.

2. Bentuk Sistem Jual Beli Talaqqi Rukban

Mengenai sistem jual beli talaqqi rukban yang terjadi dalam masyarakat

Indonesia, hal ini nampak jelas bahwa sistem jual beli Talaqqi rukban yang biasa

dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan tidak memiliki suatu kejanggalan,

dengan praktek mencegat sejumlah penjual yang akan menjual barang

dagangannya ke pasar dan para penjual ini belum mengetahui harga yang ada

dipasar, yang menyebabkan kerugian sedangkan pihak pembeli barang dagangan

ini mendapatkan keuntungan yang besar.

9
Substansi dari larangan Talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan

yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang

sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah

tidaklah dilarang. Talaqqi Rukban ini dilarang, karena satu pihak memiliki

informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar

sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan

yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang

dari desa.

3. Money Laundering

Praktik money laundering merupakan perbuatan yang nyata sekali unsur


mafasid dan dlarar-nya, sebab tindakan tersebut bersumber dan beroreintasi pada
upaya melegalkan serta mengembangkan berbagai macam kejahatan yang tentu
bersifat destruktif secara sosial baik fisik maupun non-fisik. Oleh karena itu,
pandangan Islam tentang kebijakan pelarangan terhadap perbuatan pencucian
money laundering sangat bertentangan dengan hukum Islam.
Hukum pidana Islam secara eksplisit tidak pernah menyebutkan
pelarangan perbuatan pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan
mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak
miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya
dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Namun,
berangkat dari kenyataan yang meresahkan, membahayakan, dan merusak, maka
hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa
diklasifikasikan sebagai jarimah ta’zier.
Jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat yakni meninggalkan perintah yang
diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan, di mana perbuatan itu
dikenakan hukuman had maupun kifarat. Maka, tindak pidana pencucian uang
masuk dalam kategori jarimah ta’zir. Kejahatan model ini merupakan suatu
penyalahgunaan kewenangan (publik) untuk kepentingan pribadi yang merugikan
kepentingan umum. Sebab uang adalah benda, dan benda tidak dapat

10
disifati/dihukumi dengan halal atau haram, yang dapat disifati/dihukumi halal atau
haram adalah perbuatan (perilaku) manusia.
Pencucian uang merupakan perbuatan yang tercela dan dapat merusak,
membahayakan, dan merugikan kepentingan umum. Hal ini jelas bertentangan
dengan tujuan hukum Islam. Para pelaku kejahatan pencucian uang membawa
luka dan mengganggu ketertiban, kedamaian serta ketentraman hajat hidup orang
banyak, hal inilah yang dikatakan sebagai jarimah ta’zir.  Di samping itu, money
laundering juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonomi, timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi, hilangnya pendapatan
negara, menimbulkan rusaknya reputasi negara, dan menimbulkan biaya sosial
yang tinggi. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat besar terhadap kehidupan
manusia.
Dalam kajian sumber penggalian hukum pada al qur’an dan as sunnah
sudah jelas bahwa pencucian uang melanggar syariat islam dan mengandung
kedholiman. Dengan demikian, pemidanaan terhadap perbuatan pencucian
uang  yang terkandung di dalam Undang-undang No. 25 di atas dapat dikatakan
telah memenuhi kriteria penalisasi jarimah ta’zir dalam syariat hukum islam.
 

11
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara lughawi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau
tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu
dirham dengan dua dirham. Adapun secara istilahi riba berarti adanya tambahan
dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba,
yaitu riba fadl dan riba nasi’ah. Secara etimologi adalah keraguan, tipuan, atau
tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Para Ahli Fiqih
mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan saling melengkapi.

Praktik gharar merupakan mekanisme transaksi dalam bisnis mengandung


unsur penipuan akibat dari ketidakjelasan, Bisnis yang serba tidak jelas sangat
tegas dilarang dalam Islam, bahkan dikuatkan oleh sabda Rasulullah Saw,
“Rasulullah salallahu ‘alaihi wa salam melarang jual beli al-hashahdan jual beli
gharar” (HR Abu Hurairah). Jual beli najasy memiliki dua definisi berdasarkan
modelnya: a).Memuji-muji daganganya sendiri secara berlebihan agar laris

12
b).Bersekongkol dengan orang lain yang berpura-pura menawar barang dengan
Harga tinggi agar orang lain merasa tidak kemahalan, lalu terpengaruh untuk
Membelinya.

Talaqqi rukban adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pedagang yang
tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar.
Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal : pertama, rekayasa penawaran
yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry barrier), kedua, mencegah
penjual dari luar kota untuk mengetahui harga pasar yang berlaku. Praktik money
laundering merupakan perbuatan yang nyata sekali unsur mafasid dan dlarar-nya,
sebab tindakan tersebut bersumber dan beroreintasi pada upaya melegalkan serta
mengembangkan berbagai macam kejahatan yang tentu bersifat destruktif secara
sosial baik fisik maupun non-fisik

DAFTAR PUSTAKA
Philip Kotler dan Kevin Lane Keller. 2007. Manajemen Pemasaran. Jakarta
Muhammad Syakir Sula dan Hermawan Kertajaya. 2005. Syariah Marketing.
Jakarta. Mizan
Shonhaji, Abdullah. Sunan Ibnu Majah, Terj. Sunan Ibnu Majah jilid III,
Semarang: CV Asy Syifa, 1993

13

Anda mungkin juga menyukai