Anda di halaman 1dari 13

GLOBALISASI DAN PERMASALAHAN RIBA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah


Manajemen Bisnis Syariah
Dosen Pengampu: M. Anissul fata SE, ME

Disusun oleh :
Kelompok 13

Khoerunnisa (1908203194)
Muzakky Aziz Rahman (1908203175)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2020
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang
senantiasa mencurahkan Rahmat dan Hidayahnya kepada kita semua. Sholawat serta salam
kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat hingga kami
umatnya sampai akhir zaman.

Manfaat yang dapat diperoleh pembaca khususnya Mahasiswa/i setelah membaca


makalah ini diantaranya, mereka dapat mengetahui tentang isi makalah . Kami menyadari
bahwa isi makalah yang kami buat jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah
milik Allah SWT. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca, karena melalui kritik dan saran yang membangunlah
kesuksesan itu berawal. Semoga Materi yang saya sampaikan dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca dimasa yang sekarang maupun masa yang akan datang.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh sumber dan referensi dari buku, karena
itu penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat sehat sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa kepada orang tua yang selalu
mendo’akan dan mendukung semua kegiatan kami. Semua ini tidak akan dapat terselesaikan
apabila tanpa kerja sama dari masing-masing pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.

Cirebon, 18 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB 1 : PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan................................................................................................ 1

BAB 2 : PEMBAHASAN.................................................................................................. 2

A. masalah dan jenis-jenis riba..................................................................................... 2


B. macam-macam riba.................................................................................................. 2
C. kebalauan panangan tentang riba............................................................................. 3
D. beberapa pandangan tentang bunga bank ............................................................... 4
E. fatwa MUI tentang riba dan bunga.......................................................................... 6

BAB 3 : PENUTUP............................................................................................................ 9

A. Kesimpulan.............................................................................................................. 9
B. Saran........................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengenai riba, Islam bersikap keras dalam persoalan ini karena semata-mata demi

melindungi kemslahatan manusia baik dari segi akhlak, masyarakat maupun

perekonomiannya. Karena, Pada hakekatnya riba (kredit lunak berbunga besar), atau

pinjaman yang salah penerapannya akan berakibat “meningkatnya harga barang yang

normal menjadi sangat tinggi, atau berpengaruh besar terhadap neraca pembayaran

antar bangsa, kemudian berakibat melejitnya laju inflasi, akibatnya akan dirasakan

pada semua orang pada semua tingkah penghidupan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa jenis jenis riba ?
2. Bagaimana kebalauan pandangan tentang riba ?
3. seperti apa pandangan tentang bunga bank ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui jenis jenis riba
2. Memahamin bagaimana kebalauan pandangan tentang riba
3. Mengetahui pandangan tentang bunga bank

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Masalah dan jenis jenis Riba


A) Jenis-jenis Riba:
a. Riba hutang-piutang
Riba yang mengambil keuntungan lebih dari suatu hutang, contohnya riba
qardh dan riba jahiliyah.
b. Riba jual beli
Penambahan nilai barang yang dibeli oleh konsumen, contohnya riba fadhl
dan riba nasi’ah.

B) Macam-macam Riba:
 Riba Fadhl
Riba fadhl adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau
takaran berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam
jenis barang atau komoditi ribawi.1 Barang ribawi itu sendiri disebutkan dalam
hadits sebagai emas, perak, gandum, gandum merah, garam, dan kurma.
Dalam hadits lain disebutkan sebagai emas, perak, dan bahan makanan.
Sehingga dalam Islam, untuk barang barang tersebut pertukaran yang
dilakukan harus lah memenuhi jumlah dan kualitas yang sama. Contoh praktik
riba fadhl misalnya seseorang menukar 12 gram emas (21 karat) dengan 13
gram emas (20 karat). Contoh lainnya 1 kilo gandum berkualitas baik ditukar
dengan 3 kilo gandum berkualitas buruk.
 Riba Qardh
Adanya persyaratan kelebihan pengembalian pinjaman yang dilakukan
di awal akad perjanjian hutang-piutang oleh pemberi pinjaman terhadap yang
berhutang tanpa tahu untuk apa kelebihan tersebut digunakan. Contohnya
seperti rentenir yang meminjamkan uang 10 juta kepada peminjam, kemudian
peminjam harus mengembalikan 11 juta tanpa dijelaskan kelebihan dana
tersebut untuk apa. Tambahan 1 juta pada kasus inilah yang disebut sebagai
riba qardh dan hanya akan merugikan peminjam plus menguntungkan si
rentenir.
 Riba Jahiliyah
Adanya tambahan nilai hutang karena adanya tambahan tempo
pembayaran hutang disebabkan peminjam tidak mampu membayar hutang
tepat pada waktunya. Praktik riba seperti ini banyak diterapkan pada masa
jahiliyah. Contohnya pemberi hutang berkata kepada pihak penerima hutang
saat jatuh tempo, “kamu lunasi hutang sekarang sesuai jumlah kamu berhutang
atau membayar dikemudian hari dengan syarat adanya tambahan jumlah
hutang”. Contoh lainnya adalah penggunaan kartu kredit. Saat pengguna kartu
kredit membeli barang senilai 2 juta dan tidak mampu membayar penuh saat

1
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001),hal.
41

2
jatuh tempo, maka penguna diharuskan membayar bunga atas tunggakan kartu
kreditnya tersebut.
 Riba Yad
Transaksi yang tidak menegaskan berapa nominal harga pembayaran
atau ketika seseorang berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima
antara penjual dan pembeli. Contoh misalnya seorang penjual menawarkan
mobil dengan harga 90 juta jika membayar tunai dan 95 juta jika membayar
dengan cicilan. Kemudian ada seseorang yang ingin membeli, tetapi sampai
akhir transaksi tidak ada kesepakatan antara keduanya berapakah harga yang
harus dibayarkan.
 Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian. 2 Riba ini mirip
dengan riba fadhl hanya saja ada perbedaan pada serah terima barang jual beli.

2. Kebalauan pandangan tentang Riba


Secara bahasa (lughah), menurut al-Razi, riba berarti tambahan. Hal ini
didukung dengan sebuah ungkapan rabā al-syay’ yarbū; arbā al-rajul idzā „amala fī al-
ribā. Di samping itu juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]:5: ......‫…( وربت اهت‬hiduplah
bumi itu dan suburlah…).3 Sependapat dengan al-Razi, al-Shabuni berpendapat bahwa
riba adalah tambahan secara mutlak.4 Demikian pula al-Jurjani dalam kitab al-
Ta„rīfāt-nya menjelaskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyādah (tambahan).5

Menurut Quraish Shihab, kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Kalau
kita hanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para
penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Ketika itu mereka berkata
(sebagaimana diungkapkan al-Qur‟an –bahwa “jual beli sama saja dengan riba” (QS.
al-Baqarah [2]:275), Allah menjawab mereka dengan tegas bahwa “Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Penegasan ini dikemukakan-Nya
tanpa menyebut alasan secara eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa tentu ada
alasan atau hikmah sehingga riba diharamkan dan jual beli dihalalkan.6

Sementara Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitāb al-Fiqh alā Madzāhib al-


Arba„ah menjelaskan bahwa riba menurut istilah fukaha adalah tambahan pada salah
satu dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan/imbangan terhadap
tambahan tersebut.7 Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan
2
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001),hal.
41
3
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Penerbit
Teraju, 2002, hal. 202
4
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid 1, Beirut:
Dār al-Fikr, t.tt., hal. 383.
5
Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta„rifāt, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tt., hlm. 109.
6
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung:
Penerbit Mizan, 1998, hal. 413
7
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitāb al-Fiqh „alā Madzāhib al-Arba„ah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hal. 193-

3
imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya
kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang
dipertukarkan atau salah satunya.8

Pengertian yang hampir sama juga disampaikan oleh beberapa ulama antara
lain, Badruddin al-Ayni yang berpendapat bahwa prinsip utama dalam riba adalah
penambahan. Menurut syari‟ah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil.9 Menurut Zaid bin Aslam, yang dimaksud riba Jahiliyyah
yang berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang
memiliki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia berkata, “bayar sekarang
atau tambah”.10 Dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba, ia
menjawab, “sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu
melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman) atas penambahan
waktu yang diberikan”.11

3. Beberapa pandangan tentang Bunga Bank


 Bunga di Kalangan Yahudi
Umat Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan ini
banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian
Lama) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat
25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang umatku,
orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih
hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan: “Janganlah
engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan,
atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 menyatakan: “Janganlah engkau
mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan
Tuhanmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi
uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau
berikan dengan meminta riba.”

Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi,


terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga
selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan
hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan
berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga,

198
8
al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t., hal. 403-404
9
Badruddin Al-Ayni, „Umdah al-Qārī, Konstantinopel: Mathba„ah al-Amira, vol V, 1310, hal. 436
10
al-Qurthubi, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz IV, Kairo: Dār al-Katib al-„Arabi, 1387/1967, hal.
202; al-Thabari, Jāmi„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz VII, Mesir: Musthafā al-Bābi al-Halabi, 1388/1968, hal.
204.
11
Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, I„lām al-Muwaqi„īn, jilid 2, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t, hal.
132.

4
tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double
countable).

Banyak tokoh filsafat Romawi pada saat itu seperti Plato, Aristoteles dan Cato
mengecam terhadap praktik pengambilan bunga karena dinilai keji dan hina.

 Konsep Bunga di Kalangan Kristen


Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas.
Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam
Lukas 6: 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat
tersebut menyatakan:
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap
akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama
banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan
pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan
kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha tinggi, sebab Ia baik terhadap
orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan


dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang
Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan
pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu
pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan
bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII–XVI) yang berkeinginan agar
bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI–tahun
1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-
undang (Canon): pertama, Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan
Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga.
Barang siapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Kedua, Council
of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja
gereja mempraktekkan pengambilan bunga. Ketiga, First Council of Nicaea
(tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja
gereja yang mempraktekkan bunga. Keempat, larangan pemberlakuan bunga
untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang
menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak
berdosa maka ia telah keluar dari Kristen.

 Pendapat ulama mengenai bunga bank menurut syariah Islam:


1. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Menurut lembaga ini, hukum tentang bunga bank dan riba dijelaskan sebagai
berikut:
- Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah,

5
- Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
- Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau
sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat (masih samar-
samar, belum jelas hukumnya sehingga butuh penelitian lebih lanjut)

2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama


Menurut lembaga yang berfungsi dalam memberikan fatwa atas permasalahan
umat ini, hukum bank dengan praktek bunga di dalamnya sama seperti hukum
gadai. Terdapat 3 pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini yaitu:
- Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rentenir,
- Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad atau perjanjian kredit
- Syubhat (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat
tentangnya. Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa
pilihan yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga
bank adalah haram.12

4. Fatwa MUI tentang Riba dan Bunga


Sesuai dengan Fatwa MUI no.1 tahun 2004

Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba


1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman
uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan
pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara
pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (‫ )بال ع^^وض‬yang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran (‫ )زيادة األجل‬yang diperjanjikan sebelumnya, (‫اشتر ط‬
‫)مقدما‬. Dan inilah yang disebut riba nasi'ah

Kedua : Hukum Bunga (Interest)


1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan
uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya
maupun dilakukan oleh individu.

Ketiga : Bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional.

12
Abdurrohman Kasdi, “ANALISIS BUNGA BANK DALAM PANDANGAN FIQIH”. Iqtishadia,
Vol. 6, No. 2, September 2013, hal. 324-329

6
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan
mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada
perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga Keuangan Syariah,
diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional
berdasarkan prinsip dharurat/hajat.13

Telah adanya ketetapan akan keharaman bunga bank oleh tiga forum ulama
Internasional, yaitu:
1. Majmu’ul Buhut al-Islamiyah di al-Azhar Mesir pada bulan Mei 1965, keputusan
penting muktamar yang telah disepakati (ijma’) diantaranya:
a. Bunga (interest) dari semua jenis pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan.
Tidak ada perbedaan antara “pinjaman konsumtif” dan “pinjaman produktif”,
karena nash al-Qur’an dan Sunnah secara utama dengan tegas dan jelas
mengharamkan kedua jenis itu.
b. Riba (bunga yang banyak dan sedikit sama haramnya). Sebagaimana dipahami
secara benar dari firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, jangan lah
kamu memakan riba berlipat ganda “.
c. Meminjamkan sesuatu dengan bunga (riba) tidak dibenarkan apapun alasannya,
baik karena keperluan maupun darurat. Meminjamkan dengan bunga juga
diharamkan. Dosanya tidak terikat melainkan karena terpaksa (darurat) dan setiap
orang tergantung imannya dalam menentukan batas daruratnya.

2. Majma’ al-Fiqh al-Islami, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah


tanggal 10-16 Rabiul Awal 1406 H / 22-28 Desember 1985. majma’ Fiqh rabithah
al-Alam al-Islamy keputusan enam sidang satu kali yang diselenggarakan di
Makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.

3. Fatwa Dewan Syari’ah Nasinal (DSN) MUI tahun 2000 yang menyatakan bahwa
bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah.

4. Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidioarjo yang menyarankan


kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya kompensasi sistem
perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan aqidah Islam.14

Mengapa Riba bisa dikatakan haram? Karena pertama, larangan mengenai Riba
sudah jelas dalam Al-Qur'an yaitu surat al-Baqarah: 278, an-Nisa’: 160, ali-Imran:
130, ar-Rum: 3. Kedua, pengertian Riba tersebut berpatok kepada Nasi'ah dan
Jahiliyah. Mekanisme penetapan Fatwa MUI bahwa bunga bank haram sudah menjadi
keptusan final. Adapun tiga tahap penetapan Fatwa MUI yaitu, pertama, sifatnya
wacana, kedua, tidak dibenarkan syara’, ketiga, haram darurat. MUI mengambil

13
Fatwa MUI Indonesia, 24 Januari 2004 M, Jakarta, hal. 434-435
14
Aidi Sugiarto, Skripsi: "FATWA MUI TENTANG BUNGA BANK", Yogyakarta: Universitas Islam Negeri
Surakarta, 2005, hal. 52-53

7
keputusan bahwa bunga bank haram, sebab bunga memiliki unsur riba, sedangkan
riba hukumnya haram.15

15
Adiwarman Azwar Karim, dkk., “Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan, Teori, Praktek dan Realitas
Ekonomi Islam, cet. I, Yogyakarta: Insania Press, 2004, hal. 123.

8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Jenis-jenis Riba:
- Riba hutang-piutang
Riba yang mengambil keuntungan lebih dari suatu hutang, contohnya riba qardh dan riba
jahiliyah.
- Riba jual beli
Penambahan nilai barang yang dibeli oleh konsumen, contohnya riba fadhl dan riba
nasi’ah.
Secara bahasa (lughah), menurut al-Razi, riba berarti tambahan. Hal ini didukung dengan
sebuah ungkapan rabā al-syay’ yarbū; arbā al-rajul idzā „amala fī al-ribā. Di samping itu
juga dikuatkan oleh QS. al-Hajj [22]:5: ......‫…( وربت اهت‬hiduplah bumi itu dan
suburlah…).16 Sependapat dengan al-Razi, al-Shabuni berpendapat bahwa riba adalah
tambahan secara mutlak.17 Demikian pula al-Jurjani dalam kitab al-Ta„rīfāt-nya
menjelaskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyādah (tambahan).

B. SARAN
Agar kita tetap menjadi muslim yang berpegang teguh pada syariat Islam, kita sebaiknya
dapat menahan diri dan menjauhi segala larangan Allah swt. Dengan memperkuat iman kita
pada Allah swt, kita dapat hidup dengan tenang, bahagia di dunia maupun di akhirat.

16
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Penerbit
Teraju, 2002, hal. 202
17
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-Qur‟ān, jilid 1, Beirut:
Dār al-Fikr, t.tt., hal. 383.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ayni Badruddin, „Umdah al-Qārī, Konstantinopel: Mathba„ah al-Amira, vol V, 1310.


Al-Jaziri Abdurrahman, Kitāb al-Fiqh „alā Madzāhib al-Arba„ah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
al-Jawziyyah Qayyim Ibnul Qayyim, I„lām al-Muwaqi„īn, jilid 2, Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyah, t.t.
Al-Jurjani Muhammad bin Ali, Kitab al-Ta„rifāt, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.tt.
Al-Nawawi, al-Majmū‟, jilid IX, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Shabuni Ali Muhammad Ali al-Shabuni, Rawā‟i, al-Bayān Tafsīr Ayāt al-Ahkām min al-
Qur‟ān, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, t.tt.
Al-Qurthubi, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz IV, Kairo: Dār al-Katib al-„Arabi, 1387/1967;
al-Thabari, Jāmi„ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz VII, Mesir: Musthafā al-Bābi al-
Halabi, 1388/1968
Antonio Syafi’i Muhammad, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,
2001),
Fatwa MUI Indonesia, 24 Januari 2004 M, Jakarta.
Gusmian Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta:
Penerbit Teraju, 2002.
Karim Azwar Adiwarman, dkk., “Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan, Teori, Praktek dan
Realitas Ekonomi Islam, cet. I, Yogyakarta: Insania Press, 2004.
Kasdi Abdurrohman, “ANALISIS BUNGA BANK DALAM PANDANGAN FIQIH”.
Iqtishadia, Vol. 6, No. 2, September 2013.
Shihab Quraisy M, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Maudhu‟i atas berbagai Persoalan Umat,
Bandung: Penerbit Mizan, 1998
Sugiarto Aidi, Skripsi: "FATWA MUI TENTANG BUNGA BANK", Yogyakarta:
Universitas
Islam Negeri Surakarta, 2005.

10

Anda mungkin juga menyukai