Anda di halaman 1dari 15

RIBA, BUNGA BANK, DAN BAGI HASIL

Makalah Ini Dibuat Sebagai Salah Satu Untuk Memenuhi Tugas Klompok Mata
Kuliah Fiqh Kontemporer

DOSEN PENGAMPU:

GIBTIAH S Ag, M Ag

Kelompok 5

DISUSUN OLEH:

DHONI SAPUTRA 2110101012

MELODY LINGUA FRANCA 2110101102

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................i
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................1
BAB II................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................2
A. Riba.......................................................................................................................2
B. Bunga bank...........................................................................................................4
C. Sistem Bagi Hasil..................................................................................................8
BAB III.............................................................................................................................12
PENUTUP.........................................................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................13

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Riba dilarang dalam islam untuk menghindari adanya ketidakadilan


dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Riba merupakan tambahan
yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perumbangan dari
masa (meminjam). Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau
kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang berakad. 1
Kegiatan perbankan selalu dikaitkan dengan masalah uang dan bunga. Bunga
bank adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan
dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.2 Sistem bagi hasil yaitu
system yang dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan
kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil
atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih.3
B. Rumusan masalah
1. Apa saja pengertian riba dan jenisnya?
2. Apa pengertian bunga bank?
3. Bagaimana cara sistem bagi hasil?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian riba dan jenisnya.
2. Untuk mengetahui pengertian bunga bank.
3. Untuk mengetahui sistem bagi hasil.

BAB II

1
Abdul Ghofur, “Konsep Riba Dalam Al-Qur’an,” Economica: Jurnal Ekonomi Islam 7, no. 1 (2016): 1–
26.
2
Ummi Kalsum, “Dan Para Ekonom Muslim. Ada Perbedaan Pendapat Di Antara,” Jurnal Al-’Adl 7, no.
2 (2014): 67–83, U Kalsum - Al-’Adl, 2014 - ejournal.iainkendari.ac.id.
3
Muh. Ilyas, “Konsep Bagi Hasil Dalam Perbankan Syariah,” Jurnal Muamalah IV, no. 1 (2014): 99–
105.

1
PEMBAHASAN

A. Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah),berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat
(al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada
ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan
idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di
dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min
syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan
dengan cara berlebih dari apa yangdiberikan).
Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar. Secara istilah syar’i menurut A.Hassan, riba adalah suatu
tambahan yang diharamkan didalam urusan pinjam meminjam. Menurut
Jumhur ulama prinsip utama dalam riba adalah penambahan, penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Ada beberapa pendapat lain
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam. Kata riba tidak hanya berhenti kepada arti
"kelebihan".
Pengharaman riba dan penghalalan jual beli tentunya tidak dilakukan
tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang
menjadi penyebab keharamannya. Sebagaimana dalam firma-Nya Surat Al-
Baqarah ayat 275:7 Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente,
sering kita dengar ditengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan
riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena
mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama
yaitu haram.

2
Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat
hutang piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an,
dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam
bertransaksi dalam as- Sunnah.
1. Riba akibat hutang-piutang yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba
Jahiliyah, yaitu hutang yangdibayar dari pokoknya, karena si peminjam
tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
2. Riba akibat jual-beli yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam
jenis barang ribawi. Riba utang piutang terbagi menjadi dua yaitu riba
qardh dan riba jahiliyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadl
dan riba nasi’ah.
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan yang disyaratkan terhadap yang
berhutang. Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi.
Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya
kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
2. Riba jahiliyah
Utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak
mampu membayar utangnya pada waktu yang ditentukan, dan biasa disebut
juga dengan riba yad. Biasanya tambahan ini bertambah sesuai dengan lama
waktu si peminjam dan membayar utangnya.
3. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang ditukarkan itu termasuk barang ribawi (emas,

3
perak,gandum, tepung, kurma dan garam). Contohnya tukar menukar emas
dengan emas,perak dengan perak.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
ditukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, riba ini muncul karena adanya
perbedaan atau tambahan antara yang diserahkan hari ini dan yang diserahkan
kemudian. Contoh :Seseorang meminjam sekilo gandum dalam jangka waktu
tertentu. Apabila saat pembayaran tiba, pihak yang mempunyai hutang tidak
dapat membayarnya maka ia harus menambah menjadi 1.5 kilo. Yang
maksudnya menambah pembayaran utangnya sesuai dengan pengunduran
waktu pembayaran.4

B. Bunga bank
Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Kemudian apakah
bunga termasuk riba, ada dua pendapat; pertama, menurut ijma ulama di
kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala bentuknya termasuk
kategori riba. Dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga tidak
termasuk kategori riba.
Ada beberapa hal yang menjadi masalah kontroversial seputar bunga
yang terjadi di kalangan para tokoh Islam antara argumen terhadap
pembenaran konsep bunga dikemas dalam bentuk bersifat ilmiah dan argumen
sebagai bantahan dan kritikan terhadap teori-teori yang dikemukan kalangan
yang membenarkan adanya bunga.
Pertama, pada persoalan tingkat bunga, pada tingkat yang wajar maka
bunga dibolehkan. Namun tingkat bunga wajar sangat subjektif tergantung
pada waktu, tempat, jangka waktu, jenis usaha dan skala usaha. Aspek ini juga

4
Henry Alejos, “No Title‫ جرائم تتغذى على طفرة «التواصل ال‬..‫االبتزاز اإللكتروني‬,” Universitas Nusantara PGRI
Kediri 01, no. 1 (2017): 1–7, http://www.albayan.ae.

4
terdapat pada ayat pelarangan riba tahap ketiga yang terdapat pada Q.S. Ali
Imran [3]: 130 merupakan ayat pertama yang menyatakan secara tegas
terhadap pengharaman riba bagi orang Islam. Larangan ini merujuk kepada
apa yang dipraktekkan oleh orang-orang Arab pada masa itu, dengan cara
menambah bayaran jika hutang tidak bisa dibayar ketika jatuh tempo.
Perkataan berlipat ganda dalam ayat ini merupakan ciri hutang zaman jahiliah
yang senantiasa bertambah sehingga menjadi berlipat ganda. Bukan berarti
bunga yang dikenakan yang tidak berlipat ganda menjadi halal. Quraish
Shihab juga menafsirkan bahwa ad’afan muda afatan pada ayat ini bukan
merupakan syarat. Jadi walaupun tidak berlipat ganda berarti bunga tetap
tidak halal. Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang
selanjutnya Q.S. al-Baqarah [2]: 275-276 dan 278-279 (ayat terakhir turun
tentang proses pengharaman riba), telah secara tegas menyatakan setiap
tambahan melebihi pokok pinjaman termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap
bunga baik bersuku rendah, berlipat ganda, tetap maupun berubah-ubah
bahkan sisa-sisa riba sekalipun dilarang. Ayat ini secara total mengharamkan
riba dalam bentuk apapun.
Kedua, adanya pembenaran unsur bunga dengan cara apa pun sebagai
kompensasi atas terjadinya inflasi dan ini merupakan pendapat umum yang
diadopsi dari teori agio. Namun argumen ini lemah ketika adanya suku bunga
yang lebih tinggi dari inflasi yang diperkirakan atau tingkat inflasi dapat
mencapai nol atau negatif (deflasi). Justru keberadaan bunga memicu
penyebab terjadinya inflasi. Jika alasan untuk menjaga nilai uang yang
terkikis oleh inflasi maka kompensasinya tidak mesti dengan bunga tetapi
dengan instrumen lain.
Ketiga, konsep marginal utility, yaitu konsumsi menurun menurut
waktu. Artinya unit konsumsi di masa yang akan datang memiliki nilai guna
yang lebih kecil dibanding dengan nilai guna saat ini. Konsep ini muncul
sebagai akibat dari proses perbandingan antara nilai guna pada masa sekarang

5
dengan masa yang akan datang. Konsep ini dikritisi dengan argumen bahwa
pendapatan di masa akan datang tidak selalu meningkat. Untuk itu marginal
utility di masa yang akan datang tidak pasti selalu lebih rendah. Jika kondisi
seperti ini maka mencari nilai diskonto dari nilai kegunaan di masa yang akan
menjadi tidak relevan. Di samping itu, pendekatan marginal utility yang
mengandalkan pada identifikasi yang tepat mengenai pendapatan mana yang
akan dianalisis ketika menghitung pertumbuhan pendapatan, apakah
pendapatan orang miskin, orang kaya, atau rata-rata pendapatan secara
nasional.
Keempat, konsep yang memandang bunga sebagai sewa dari uang.
Pendapat ini ditentang kebanyakan pakar ekonom muslim. Sebab menurut
mereka istilah sewa untuk uang tidak relevan sebab sewa digunakan hanya
untuk benda yang diambil manfaatnya tanpa kehilangan hak kepemilikannya.
Sedangkan pada kasus meminjamkan uang manfaat diperoleh tetapi
kepemilikan terhadap uang hilang.
Kelima, pembenaran bunga atas dasar darurah (dire necessity) dan
hajah (need). Salah satu unsur penting dalam perekonomian adalah bank, yang
di dalamnya terkandung sistem bunga. Bunga bank (interest) yang dianggap
sama dengan riba akan sulit untuk dihentikan, karena jika bank dilarang akan
menimbulkan kemacetan ekonomi. Oleh karena itu, dapat dikatakan kondisi
semacam ini adalah darurat, yaitu membolehkan yang dilarang atas dasar
darurat sehingga tercipta suatu sistem yang tidak menimbulkan kemacetan
ekonomi. Namun konsep ini harus melihat kondisi riilnya apakah termasuk
kategori darurah (dire necessity) dan hajah (need). Contohnya kondisi darurah
tidak terpenuhi karena menyimpan uang tidak mesti di bank atau pada saat ini,
lembaga keuangan syariah telah tersebar di tanah air.5
Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti
hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
5
Kalsum, “Dan Para Ekonom Muslim. Ada Perbedaan Pendapat Di Antara.”

6
Para musyawirin masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank
konvensional sebagai berikut (Ka’bah, 1999).
1. Pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara
mutlak, sehingga hukumnya haram. Sebab termasuk hutang yang dipungut
rente. Pendapat ini terdiri dari beberapa variasi antara lain:
1) Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga
hukumnya haram.
2) Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh
dipungut sementara belum beroperasinya sistem perbankan yang
Islami (tanpa bunga).
3) Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh
dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
2. Pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga
hukumya boleh. Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat
yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. Pendapat kedua ini
juga dengan beberapa variasi antara lain:
1) Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga
produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
2) Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan
riba, hukumnya halal.
3) Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank
hukumnya boleh.
4) Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif
bunganya terlebih dahulu secara umum.
3. pendapat yang mengatakan hukumnya shubhat (diragukan tentang halal
atau haramnya). Sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.6

C. Sistem Bagi Hasil


6
Abdurrohman Kasdi, “Analisis Bunga Bank Dalam Pandangan Fiqih” 6, no. 2 (n.d.): 319–342.

7
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau
ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut
diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat
antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan
syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di
dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus
ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya
penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-
Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan
syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu: Profit Sharing dan Revenue Sharing
dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan
syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal
ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan
yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Sistem profit and loss
sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama
antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam
menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat
kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi
kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila
usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-
masing.
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya
secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak
mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah
dilakukannya. Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan

8
dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas
biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha
dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka
lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara
pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah
keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas
pengurangan total cost terhadap total revenue.
Dari perspektif Islam, tujuan utama konsep bagi hasil pada perbankan
islam sebagai berikut:
1. Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan
semua aktifitas lembaga keuangan agar sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam;.
2. Pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar; dan
3. Promosi pembangunan ekonomi.7

a) Jenis-jenis Akad Bagi Hasil


Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah
secara umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah,
Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip
yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah
menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
1. Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)
Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya
sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain

7
Institut Pesantren, K H Abdul, and Chalim Mojokerto, “View Metadata, Citation and Similar Papers at
Core.Ac.Uk” (2019): 1–19.

9
musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Penerapan yang dilakukan
Bank Syariah, musyarakah adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah
dan bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara bersama-sama
dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan
prosentase tertentu dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian
keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha atau proyek tersebut
berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
2. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang
memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan
perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian,
sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Kontrak mudharabah dalam
pelaksanaannya pada Bank Syariah nasabah bertindak sebagai mudharib yang
mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak mudharabah. Mudharib
menerima dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib
dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang
dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar memperoleh
keuntungan (profit).
Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan
syariah dari penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
a. Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya
dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
b. Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan
pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya
dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan
mendapat imbalan bagi hasil.

10
c. Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi
jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah
berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan
kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA)
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.8

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Riba adalah suatu tambahan yang diharamkan didalam urusan pinjam
meminjam. Menurut Jumhur ulama prinsip utama dalam riba adalah
penambahan, penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
Bunga termasuk riba, namun ada dua pendapat; pertama, menurut ijma ulama
di kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala bentuknya
termasuk kategori riba. Dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga
tidak termasuk kategori riba.

8
Ilyas, “Konsep Bagi Hasil Dalam Perbankan Syariah.”

11
Dari perspektif Islam, tujuan utama konsep bagi hasil pada perbankan
islam sebagai berikut:
1. Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan
semua aktifitas lembaga keuangan agar sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam;.
2. Pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar; dan
3. Promosi pembangunan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Alejos, Henry. “No Title‫ جرائم تتغذى على طفرة «التواصل ال‬..‫االبتزاز اإللكتروني‬.” Universitas
Nusantara PGRI Kediri 01, no. 1 (2017): 1–7. http://www.albayan.ae.

Ghofur, Abdul. “Konsep Riba Dalam Al-Qur’an.” Economica: Jurnal Ekonomi Islam
7, no. 1 (2016): 1–26.

Ilyas, Muh. “Konsep Bagi Hasil Dalam Perbankan Syariah.” Jurnal Muamalah IV,
no. 1 (2014): 99–105.

Kalsum, Ummi. “Dan Para Ekonom Muslim. Ada Perbedaan Pendapat Di Antara.”

12
Jurnal Al-’Adl 7, no. 2 (2014): 67–83. U Kalsum - Al-’Adl, 2014 -
ejournal.iainkendari.ac.id.

Kasdi, Abdurrohman. “Analisis Bunga Bank Dalam Pandangan Fiqih” 6, no. 2 (n.d.):
319–342.

Pesantren, Institut, K H Abdul, and Chalim Mojokerto. “View Metadata, Citation and
Similar Papers at Core.Ac.Uk” (2019): 1–19.

13

Anda mungkin juga menyukai