Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

RIBA DALAM JUAL BELI

DI SUSUN OLEH;
Nur Muallim
222350015
Manajemen A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PARE PARE
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Riba Dalam Jual Beli“ dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas EKONOMI ISLAM. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan tentang ekonomi islam bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing mata kuliah ekonomi islam. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Pare pare,28 mei 2023

Nur Muallim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia
untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari'at
Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia
dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang
mengandung riba. Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini
disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi dibidang
perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh
manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari
transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qard1 dan
lain sebagainya. Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan
riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang
lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama.
Bebarapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai sesuatu
yang tidak bermoral akan tetapi merupakan sesuatu yang menghambat aktifitas
perekonomian masyarakat, sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan orang
miskin akan semakin miskin dan tertindas. Manusia merupakan makhluk yang "rakus",
mempunyai hawa nafsu yang bergejolak dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan
watak dan karakteristiknya, tidak pernah merasa puas, sehingga transaksi-transaksi
yang halal susah didapatkan karena disebabkan keuntungannya yang sangat minim,
maka harampun jadi (riba). Ironis memang, justru yang banyak melakukan transaksi
yang berbau riba adalah dikalangan umat Muslim. Riba merupakan suatu tambahan
lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba sering dijumpai dalam transaksi hutang
piutang dimana peminjam meminta tambahan dari modal asal kepada yang dipinjami.
Tidak dapat dinafikkan bahwa dalam jual beli juga sering terjadi praktek riba, seperti
menukar barang yang tidak sejenis, melebihkan atau mengurangkan timbangan atau
dalam takaran.
B . Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud riba dalam jual ?
2. Apa saja riba dalam jual ?
c. Tujuan masalah
1. Mengetahui apa maksud dari riba jual dalam jual beli ?
2. Mengetahui apa saja riba dalam jual beli ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dari riba dalam jual


Secara leksikal, kata riba berarti tambah dan tumbuh. Yakni segala sesuatu yang
tumbuh dan bertambah itu dinamakan riba.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“riba” diartikan dengan “pelepas uang: lintah darat, bunga uang dan rente”.5 Menurut
Sayyid Sabiq, kata riba berarti al-ziyadah (tambahan). Tambahan dimaksud adalah
tambahan atas modal, baik tambahan itu sedikit ataupun banyak.6 Pengertian “riba”
menurut istilah syara‘ (agama) adalah tambahan yang disyaratkan kepada seseorang dalam
suatu transaksi jual beli, utang piutang dari semua jenis barang, baik berupa perhiasan,
makanan, tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, maupun benda-benda tertentu yang bisa
dipertukarkan dengan cara tertentu.7 Ulama fiqh mendefinisikan riba dengan kelebihan
harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.8 Al-Jurjani mengatakan,
bahwa yang dimaksud riba adalah “kelebihan tambahan pembayaran tanpa ada
ganti/imbalan, disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad.9 Secara
letterlijk, kata riba sama artinya dengan kata zakat. Keduanya diartikan dengan tumbuh dan
bertambah. Tambahan yang dimaksud pada kata zakat, ialah tambahan yang
berkonotasipada rezeki seseorang yang diberi berkah bagi yang menerimanya, dan untuk
riba dinamai al-zhulm. 10 Ibn Juraij mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan riba
ialah semua jual beli yang hukumnya diharamkan dalam agama. Di sini Ibn Juraij
memandang dari segi konsekuensi dan akibat yang ditimbulkan dalam muamalah ribawiyah
tersebut.11 Jika dilihat secara sepintas dari segi pelaksanaannya, riba agak mirip dengan
praktek jual beli. Bahkan dapat dikatakan keduanya, maka dapat ditemukan
perbedaanperbedaannya, antara lain bahwa dalam praktek jual beli, harga yang dihasilkan
itu sepadan antara si pembeli dan si penjual, serta dengan kesepakatan bersama. Berbeda
dengan riba, bila memberikan atau meminjamkan satu dirham uang, atau lainnya dengan
mengambil lebih pada suatu saat. Pengambilan tersebut bukan atas rela sama rela, akan
tetapi dalam keadaan benci atau paksaan.12 Demikian pula dalam hal muamalah ribawi ini,
si pemberi pinjaman selalu saja beruntung dalam segala bentuk kegiatannya, sementara
yang menerima pinjaman senantiasa dihadapkan pada satu pilihan antara untung dan rugi.
Dengan demikian, secara matematis, semua harta pada akhirnya pasti berpindah milik
kepada para pelaku riba yang terus-menerus beruntung.
B. Apa saja riba dalam jual
Dari pelbagai literatur fiqh di atas mengenai definisi riba, jenis dan macam riba
dapatlah diklasifikasikan menjadi 2 kelompok besar. 12 Jenis riba itu terbagi kepada riba
hutang-piutang dan riba jual beli. Kemudian, jika dikaji lebih jauh secara mendalam,
masing-masing jenis riba itu dapat diklasifikasi lagi menjadi jenis dan kelompok yang lebih
spesifik. Maka dalam perkara riba hutang-piutang bisa dikelompokkan menjadi:
a) Jenis pertama dikenal dengan sebutan Riba Qardh: yakni penetapan riba berupa
tambahan, manfaat atau tingkat lebihan tertentu yang diprasyaratkan terhadap pihak yang
berhutang (muqtaridh) sedari awal. Artinya, penetapan tambahan itu telah ditentukan
sejak awal transaksi. Untuk konteks kontemporer, cara ini persis dengan penetapan suku
bunga seperti dipraktikkan bank konvensional terhadap kreditor ketika menarik kredit.
b) Jenis lainnya adalah Riba Jahiliyyah: riba ini sebenarnya punya landasan kuat sebab
disebutkan langsung pada salah satu ayat Al-Qur’an sebagai riba yang berkali kali lipat, di
mana tambahan hutang nantinya dibayarkan lebih besar dari harta pokoknya akibat si
pengutang tidak mampu melunasi hutangnya sampai jatuh tempo. Hal ini dikenal dengan
sebutan riba jahiliyyah, karena riba ini yang jamak dipraktikkan oleh masyarakat di masa
Jahiliyyah dahulu, tatkala seseorang yang berhutang diberi tangguh waktu untuk melunasi
hutangnya. Bila masa pelunasannya telah tiba, sedangkan dia masih saja tidak sanggup
melunasi, maka si pengutang mesti memberi tambahan hutang atas penangguhan
tersebut. Jenis tambahan (riba) atas hutang ini sama persis dengan praktik yang dikenal
dalam budaya masyarakat Melayu, dilakukan oleh rentenir, tengkulak maupun lintah darat.

Sedangkan jenis riba lainnya, yaitu riba jual-beli. Riba jenis ini sangat mungkin terjadi
pada ‘iwadh (pertukaran) komoditi tertentu (yaitu emas, perak, gandum, tepung, kurma,
garam – sesuai yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, riba jual beli
juga diklasifikasikan menjadi:

a) Riba Fadhl: pertukaran antar barang ribawi (enam komoditi di atas) sama jenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda. Maka lebihan dari pertukaran itu disebut dengan riba
fadhl. Dalam hal ini, setidaknya terdapat empat elemen penting yang mengklasifikasikan
suatu jual-beli itu memuat riba fadhl, sebagai berikut:

• Ketika ditransaksikan, kedua komoditi yang dipertukarkan itu adalah jenis benda ribawi
• Kedua barang itu dari jenis yang sama (benda ribawi)
• Terdapat lebihan yang bernilai menurut pandangan syariat Islam pada salah satu komoditi
• Penyerahterimaan komoditi itu pada saat akad, tanpa ditangguhkan

b) Riba Nasi’ah: sesuai makna kata nasi’ah berarti penundaan, maka riba nasi’ah ini adalah
penyerahan yang ditangguhkan pada penerimaan jenis barang ribawi yang ditransaksikan
dengan jenis benda ribawi lainnya. Jadi, sedikitnya dalam riba nasi’ah itu terdapat dua
unsur penting:

• Komoditi yang dipertukarkan tersebut keduanya adalah barang ribawi yang ‘illat-nya
sama, tanpa perlu memandang apakah satu jenis atau tidak.
• Penyerahterimaan yang ditangguhkan (ta’khir), baik pada kedua komoditi atau di salah
satunya. Selanjutnya, dalam pembahasan hadis-hadis riba di atas, di mana disebutkan
terdapat enam jenis barang (emas, perak, gandum, tepung, kurma, garam) yang dapat
terkena riba manakala ditransaksikan. Sebagian ulama berpandangan bahwa riba jual-beli
hanya terbatas pada keenam benda tersebut. Lain halnya mayoritas ulama yang
berpandangan bahwa riba juga dapat terjadi pada selain keenam komoditi tersebut,
asalkan barang itu mengandung ‘illat (rasio legis) sebagaimana salah satu barang yang
disebutkan dalam hadis Nabi Saw. Di atas. Secara sederhana, ‘illat dapatlah dipahami
sebagai titik temu berupa sifat zahir yang pasti dan konsisten serta menampakkan suatu
hukum. Dalam hal ini, kesimpulan umum dari pendapat mayoritas ulama tentang ‘illat pada
benda ribawi di atas adalah sebagai berikut: 1) Pada jenis harta emas dan perak, maka ‘illat
nya adalah berupa berharga/mata uang (tsamaniyyah), artinya: nilai kedua logam mulia itu
dianggap sebagai harga barangbarang. Dengan demikian, segala sesuatu yang dijadikan
atau bernilai ‘harga’, maka dapat diqiyaskan kepada emas dan perak pada haramnya riba,
baik benda itu terbuat dari kertas (uang), dll. 2) Sedangkan pada barang-barang yang lain,
maka ‘illat nya adalah bahan makanan yang bisa disimpan (qut) seperti garam, tepung,
gandum, kurma, dll. Pembahasan ‘illat ini merupakan pengetahuan yang sangat penting
dan urgen dalam penetapan qiyas (analogi) terhadap barang atau komoditi dalam suatu
transaksi jual-beli,

a. Sesuai dengan hadis Nabi Saw., maka dalam hal jual beli antara komoditi ribawi yang
sejenis, haruslah dalam jumlah, takaran dan kadar yang sama serta bersifat tunai. Tidak
hanya itu, serah terima barang tersebut juga harus terjadi saat transaksi jual beli. Jika salah
satunya terlambat/ditangguhkan diserahkan atau bukan di dalam majelis (saat transaksi
dilakukan), maka ia termasuk ke dalam jenis riba nasi’ah. Namun bila benda ribawi itu
ditukar, dengan berat atau kadar salah satunya lebih besar dari yang lain kala bertransaksi,
maka ia terkena riba fadhl.
b. Jika terjadi jual beli antara barang ribawi yang berlainan jenis tapi masih satu ‘illat, maka
diperbolehkan lebih kadar salah satunya tapi harus diserahterimakan pada saat transaksi.
Misal: kurma dengan beras. Begitu halnya pertukaran valuta asing (money exchange),
diperbolehkan berbeda jumlahnya, asalkan diserahkan saat akad dilakukan, supaya tidak
terkena riba nasi’ah (akibat ditangguhkan penyerahterimaan).
c. Dalam kasus jual beli antara barang ribawi yang berbeda ‘illat-nya, dan sudah tentu pasti
berbeda pula jenisnya, maka dalam hal ini tidak disyaratkan sama sekali persamaan kadar
ataupun harus diserahterimakan pada saat akad. Misalnya: antara mata uang (emas, perak,
uang kertas) dengan beras, boleh dengan kadar yang berbeda, serta bisa pula ditangguhkan
penyerahannya. D. Terakhir, pertukaran antara komoditi tidak ribawi dengan komoditi
tidak ribawi lain, misalnya pakaian dengan barang elektronik, maka itu tidaklah
mengandung riba fadhl maupun riba nasi’ah. Jadi, boleh dipertukarkan bagaimanapun
caranya. Kecuali menurut pandangan sebagian ulama yang berpendapat tidak boleh
menukar barang dengan sejenisnya dengan kelebihan salah satunya meski barang tersebut
bukanlah dari jenis barang ribawi.
DAFTAR PUSTAKA

M. Taufan B, Eksistensi Bunga dan Riba pada Bank Konvensional: Perspektif Ekonomi Syariah
(Ringkasan Disertasi) (Makassar: Pascasarjana UNHAS, 2010),
4Tim Majma‘ al-Lugah al-‘Arabiyah, AlMu‘jam al-Wasith, Jilid 1 (Kairo: Majma‘ alLugah
al-‘Arabiyah, t.th.),
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai
Pustaka, 1994)
6Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1971)
7Muhammad Rifai, et al., Terjemah Kifayat al-Akhyar (Semarang: Toha Putra, 1978),
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2003,
H. Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990)
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press,
Uqinu Attaqi, “Riba Menurut Fikih Islam”, Tim PAKEIS (ed.), Produk-produk Investasi Bank Islam
Teori dan Praktek, Cairo: PAKEIS ICMI Orsat Cairo, 2005,
Al-Bukhari, Abdillah Muhammad bin Isma'il. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ihya' al-Turath
al-'Arabiy,
Al-Kasani. Badaa’i al-Shanaa’i fi Tartiib al-Syaraa’i. Beirut: Daar el-Kitab el-‘Arabiy, t.t.,5/184

Al-Ramli. Nihayatul Muhtaaj. Kairo: Maktabah wa Mathba’ah al-Bab al-Halabiy, t.t, 3/409

Attaqi, Uqinu. 2005. “Riba Menurut Fikih Islam”, Tim PAKEIS (ed.), Produk-produk

Investasi Bank Islam Teori dan Praktek, Cairo: PAKEIS ICMI Orsat Cairo

Ibnu Mandzur. 1990. Lisaan al-‘Arab, Beyrut: Daar el-Shaadir

Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husain. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-'Arabiy,
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: GemaInsani
Press
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalah. Amzah, Jakarta, 2010, Cet Ke-1,
Sayyid Sabiq, Alih Bahasa Oleh, Kamaluddin A. Marzuki, Fikih Sunnah,Alma’rif,
Bandung, 1997,
Ahmad Wardi Muslich, Op., Cit.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1987,
Dapatemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV. Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000,
Abdullah Bin Muhammad, Alu Syikh, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1,Kairo, Pustaka Imam 1994.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid II, Gema Insani, Jakarta 2001,

Anda mungkin juga menyukai