Anda di halaman 1dari 18

RIBA DALAM FIQH MUAMALAH DAN KETENTUANNYA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah


Dosen Pengampu : Devi Nilam Sari, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

1. Aldi Irfansyah (192111216)


2. Oscar Maulana (192111219)
3. Yuyun (192111245)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kita berhasil menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya yang berjudul “Riba Dalam Fiqh Muamalah Dan
Ketentuannya”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada Dosen Fiqh Muamalah Ibu
Devi Nilam Sari, S.H., M.H. yang telah membimbing kami dalam merancang
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaan bagi kita semua yang
membacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I : Pendahuluan .............................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1

C. Penyelesaian Masalah .....................................................................................1

BAB II : Pembahasan ............................................................................................2

A. Pengertian Riba ..............................................................................................2

B. Macam-Macam Riba .....................................................................................3

C. Dasar Hukum Pelarangan Riba ......................................................................4

D. Hakikat Kandungan Makna Riba ...................................................................9

BAB III : Penutup ................................................................................................14

A. Kesimpulan ...................................................................................................14

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hidup, manusia dituntut untuk saling bermuamalah. Muamalah
sendiri berarti aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia lainnya dalam masalah duniawi. Dalam masalah muamalah
ini, manusia tidak bisa lepas dari yang namanya transaksi dan transaksi pasti
melibatkan barang yang memiliki nilai, dan dalam bertransaksi pasti ada hal
yang namanya riba.
Dewasa ini riba telah menjadi teman bahkan sahabat yang sulit dipisahkan
bagi kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
tentang riba, hukum-hukum yang mendasari riba, sebab-sebab pengharamanya
riba, hal-hal yang menyebabkan riba serta dampak yang diakibatkan oleh riba.
Oleh karena itu perlu adanya pemahaman tentang riba agar tidak semakin
terjerumus kedalam riba dan atau berhenti dari riba. Karena riba hanyalah
kesenangan yang semu dan menyebabkan ketidak sejahteraannya rakyat.
Makalah ini dibuat untuk memberikan pemahaman terhadap riba sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian riba?
2. Apa macam-macam riba?
3. Apa dasar hukum pelarangan riba?
4. Apa hakikat kandungan makna riba?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian riba.
2. Untuk mengetahui macam-macam riba.
3. Untuk mengetahui dasar hukum pelarangan riba.
4. Untuk mengetahui hakikat kandungan makna riba.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam QS. al-Hajj/22:5 yang artinya
“…hiduplah bumi itu dan suburlah…”, kata riba disini diartikan sebagai
bertambahnya kesuburan atas tanah. Sejalan dengan ayat ini, QS. an-
Nahl/16:92: “…disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak
jumlahnya dari golongan yang lain.”. Demikian pula al-Jurjani dalam kitab al-
Ta'rīfat-nya menjelaskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyadah
(tambahan).
Sedangkan secara terminologis, menurut al-Shabuni, riba adalah tambahan
yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai biaya tambahan
dari masa (meminjam). Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau
kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu orang yang berakad. Dalam
madzhab Syafi'i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu yang
tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan terjadi
transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau
salah satunya.
Dalam istilah hukum Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai,
benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar
selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada
hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.1
Kata yang digunakan Al-Quran untuk menyatakan bunga adalah riba, yang
secara harfiah berati meningkat. Dalam pengertian fiqih Islam, itu didefinisikan
sebagai tambahan sejumlah uang atau barang tanpa imbalan apapun, dalam
sejumlah transaksi. Jika tambahan itu melebihi atau di atas jumlah uang yang
dipinjamkan, seluruh ahli fiqih Islam setuju, itulah yang disebut dengan riba.
Istilah riba meliputi pengertian riba maupun bunga, yang dikenakan dalam
pengertian ekonomi modern. Juga meliputi sejumtah kasus barter, yang

1
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2012), hlm. 217
2
melibatkan pertukaran nilai yang tak setara, baik dalam pengertian kuantitas
maupun waktu pengiriman.
Dengan demikian, riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada
salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak
semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam
sebuah perdagangan dan tidak riba didalamnya hanya saja tambahan yang
diistilabkan dengan nama riba dan al-Quran datang menerangkan
pengharamannya adalah tambahan tempo.2
B. Macam-Macam Riba
Ulama Fiqh membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba al-fadhi dan riba
al-nasi’ah.
1. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah riba yang terjadi pada jual beli barter, yaitu
kelebihan pada salah satu jenis harta yang diperjualbelikan dengan ukuran
syara'. Nasrun Haroen mengutip pendapat Imam al-Kasani dala bukunya
"al-bada'lush shona'" ukuran syara' di sini adalah timbangan atau takaran
tertentu (Haroen, 2000). Misainya, satu kilogram beras rajalele dijual
dengan satu setengah kilogram beras yang sama. Kelebihan setengah
kilogram dalam jual bell ini disebut dengan riba fadhl. Apabila jenis yang
diperjualbelikan berbeda, maka kelebihannya tidak dipandang riba asalkan
dengan cara tunal. Misalnya, satu kilogram beras ditukar dengan dua
kilogram jagung, maka kelebihan satu kilogram jagung tidak dipandang
sebagai riba fadhl.
Hal ini sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwa
"memperjualbelikan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam
dengan garam (haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang
diperjualbelikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakrmu (boleh
berlebih) asal dengan tunal" (Hadits Riwayat Muslim dari Ubadah bin

2
A. A. Islah, Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah (Surabaya: PT Bina llmu, 1997), hlm. 159.
3
ghomid). Menurut Ulama Hanafiyah dan Hanabilah, dalam berjual beli,
prinsip keadilan dan keseimbangan harus ada. Kalau tidak adil dan
seimbang, maka akan muncul kadzliman Oleh sebab itu kelebihan salah
satu barang dalam jual bel barang sejenis merupakan kelebihan tanpa
imbalan yang sangat menugkan pihak lain. Praktik seperti ini menjurus
kepada kedzaliman (Qayyim, 1973)3
2. Riba Nasi’ah
Riba al-Nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang
yang berutang kepada pemilik modal (pemberi utang) ketika waktu yang
disepakati jatuh tempo (Qayyim, 1973). Tambahan (bunga) itu sebagai
imbangan tenggang waktu jatuh tempo, ini yang dinamakan nasi'ah.
Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata yang berutang
tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya dapat
diperpanjang dan jumlah utang akan bertambah pula. Mengacu pada
pengertian riba sebagaimana yang telah disebutkan di muka, riba an-
nasi'ah tidak hanya terjadi pada utang piutang saja, melainkan juga bisa
terjadi pada jual beli barter barang yang sejenis atau pun tidak sejenis.
Misal dalam barter barang yang sejenis, membeli satu kilogram beras
dengan dua kilogram beras yang akan dibayarkan satu bulan yang akan
datang. Barter dalam barang yang tidak sejenis, seperti membeli satu
kilogram terigu dengan dua kilogram beras akan dibayarkan dua bulan yak
akan datang. Kelebihan salah satu barang, sejenis atau tidak, yang
dibarengi dengan penundaan pembayaran pada waktu tertentu, termasuk
riba an-nasi'ah (Qayyim, 1973).
C. Dasar Hukum Pelarangan Riba
Para ulama menawarkan satu cara agar pemahaman terhadap al-Qur’an
agar tidak parsial, yaitu dengan pendekatan munâsabah. Munâsabah adalah
berbagai hubungan antara ayat atau surat yang sedang dipahami maksudnya;
ada munâsabah antara awal surat dengan akhir surat sebelumnya, antara awal

3
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University press, 2017), hlm. 154
4
dengan akhir surat yang sama, antara kandungan surat dengan namanya, antara
kelompok ayat dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, dan lain-lain.
Munasabah ini diperlukan karena ayat-ayat tentang riba dalam al-Qur’an
terdapat pada beberapa tempat dan masa turunnya berbeda-beda. Ayat pertama
turun di Makkah, dan ayat-ayat selanjutnya turun di Madinah. Tahapan
turunnya ayat riba ini mirip seperti tahapan turunnya ayat khamr. 4
Menurut al-Maraghi tahap-tahap pembicaraan al-Quran tentang riba sama
dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yakni ada empat
tahap dalam pengharamannya.
Tahap pertama, riba diungkap pertama kali oleh al-Qur’an pada periode
Makkah, dalam surat ar-Rum: 39.

ٓ‫للٓ َو َما‬ ٓ ِّ َّ‫آليَ ۡرب َُوآْفِّيٓأَمۡ َٰ َو ِّلٓٱلن‬


ِّٓ‫اسٓفَ ََلٓيَ ۡربُوآْ ِّعن َدٓٱ َّه‬ ِّ ٗ‫نٓرب‬
ِّ ‫مٓم‬ ِّ ُ ‫َو َمآٓ َءات َۡيت‬
٣٩َٓٓ‫ض ِّعفُون‬ ۡ ‫للٓفَأ ُ ْو َٰلَئِّ َكٓ ُه ُمٓٱ ۡل ُم‬ َ َ‫مٓمنٓزَ َك َٰو ٖةٓت ُ ِّريدُون‬
َِّّٓ ‫ٓو ۡجهَٓٱ‬ ِّ ُ ‫َءات َۡيت‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).”
Dari ayat itu diketahui bahwa masyarakat Makkah dan sekitarnya sebagian
telah mempraktekkan riba dan sebagian telah membayar zakat. Agaknya
mereka menghendaki agar harta yang mereka miliki dapat menjadi banyak, dan
jalan yang ditempuh adalah praktek riba. Tetapi pada saat itu Allah Swt. belum
mengharamkan riba.
Allah tidak mengatakan bahwa orang yang mengambil riba akan mendapat
siksa. Allah hanya mengingatkan bahwa zakatlah yang menghasilkan lipat
ganda seperti yang mereka kehendaki, bukan riba. Ayat ini mengisyaratkan
kebencian Allah terhadap riba, dengan mengatakan bahwa riba tidak akan

4
bprsbmp.com/2014/05/empat-tahapan-pelanggaran-riba-dalam-al_30.html. diakses 17/2021
5
mendapat pahala di sisi Allah. Jadi, ayat pertama ini hanya berupa peringatan
bahwa riba adalah suatu yang negatif.
Tahap kedua, ayat tentang riba turun di Madinah, dalam surat an-Nisâ`:
160-161.

ٓ‫ص ِّد ِّه ۡم‬ َ ‫ٓو ِّب‬َ ‫ط ِّي َٰ َبتٍٓأ ُ ِّحلَّ ۡتٓ لَ ُه ۡم‬ َ ٓ‫ظ ۡل ٖٓم ٓ ِّمنَ ٓٱلَّذِّينَٓ ٓهَادُوآْ َح َّرمۡ نَا‬
َ ٓ‫علَ ۡي ِّه ۡم‬ ُ ‫فَ ِّب‬
ٓ‫ُٓوأ َ ۡك ِّل ِّه ۡم‬ َ ْٓ‫ ٓ َوأ َ ۡخ ِّذ ِّه ُٓم ٓٱ ِّلربَ َٰوٓاْ ٓ َوقَ ۡدٓ نُ ُهوا‬١٦٠ٓ ‫لل ٓ َكثِّ ٗيرا‬
َ ‫ع ۡنه‬ َِّّٓ ‫سبِّي ِّل ٓٱ‬
َ ٓ‫عن‬ َ
ٓ١٦١ٓ‫عذَابًآأ َ ِّل ٗيما‬ َ ٓ‫ٓم ۡن ُه ۡم‬ ِّ َ‫لٓ َوأ َ ۡعت َۡدنَآ ِّل ۡل َٰ َك ِّف ِّرين‬
ِّٓ ‫اسِّٓٓبٱ ۡل َٰبَ ِّط‬ ٓ ِّ َّ‫أ َ ۡم َٰ َو َلٓٱلن‬
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan
yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.”
Dalam ayat ini meskipun Allah tidak secara tegas melarang orang Islam
mengambil riba, tetapi melalui ayat ini Allah hendak memberi pelajaran atau
‘ibrah, dengan menceritakan sikap orang-orang Yahudi terhadap riba yang
telah Allah haramkan kepada mereka, tapi mereka justru melanggarnya. Maka
mereka berhak mendapat laknat dan siksa. Jadi, tahapan yang kedua ini adalah
tahapan pengharaman dengan isyarat dan sindiran, belum secara terang-
terangan. Karena kisah tentang haramnya riba yang ditujukan kepada orang-
orang Yahudi tidak secara qath’i berarti riba juga diharamkan kepada orang-
orang Islam.
Tahap ketiga. Pelarangan praktek riba baru disebut secara eksplisit dalam
surat Al-Imran: 130.

‫َٰ ه‬ ۡ َ ‫َٰ َيأَيُّ َهآٱلَّذِّينَٓٓ َءا َمنُواْ ََٓلٓت َۡأ ُكلُوآْٱ ِّلر َب َٰوٓآْأ‬
ٓ‫للٓلَٓ َعلَّ ُك ۡم‬ َٓ ‫ض َعفَ ٗة‬
ََّٓ ‫ٓوٱتَّقُوٓآْٱ‬ َ ‫ض َٰ َع ٗفآ ُّم‬
ٓ ٓ١٣٠ٓ َ‫ت ُ ۡف ِّل ُحون‬

6
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
Ayat ini turun di Madinah pada tahun ke-3 Hijriyah. Tentang sebab
turunnya ayat tersebut, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering
mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan
pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan
waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan
juga menjadi bertambah, maka Allah menurunkan ayat di atas.
Dalam ayat ini pengharaman riba sudah jelas, tapi baru bersifat parsial,
yaitu yang dikaitkan dengan tambahan yang terus bertambah hingga mencapai
berlipat ganda atau yang dinamakan dengan ar-riba al-fahisy (riba yang keji).
Tetapi ayat ini bukan merupakan syarat dari terjadinya riba (jika berlipat ganda
maka riba, tetapi jika kecil maka bukan riba). Ayat ini merupakan sifat umum
dari praktek pembungaan uang yang umum terjadi pada masa itu. Pada masa
jahiliyah, riba memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1. Pertama, riba pinjaman, yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa
jahiliyah, “tangguhkanlah hutangku, dan aku akan menambahnya”.
Misalnya seseorang memiliki hutang. Ketika tiba waktu pembayaran,
orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata,
“tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan”. Maksudnya,
perlambatlah masa pembayarannya, dan aku akan menambah jumlah
hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara
melipatgandakan hutang, atau (bila berupa hewan) dengan menambah
umur hewan. Wahbah az-Zuhailî menjelaskan dalam tafsirnya bahwa
diantara bentuk riba dalam pinjaman adalah mensyaratkan adanya
tambahan dalam pinjaman ketika habis masa pinjamannya, karena adanya
tempo waktu tertentu. Riba seperti inilah yang biasanya terjadi pada masa
Jahiliyah di kalangan orang-orang Arab. Mereka tidak mengenal selain
riba ini. Mereka biasanya membayar utang yang telah mereka pinjam tiap
bulan dengan jumlah tertentu (menyicil). Jika masa tempo sudah habis,

7
semua utang mereka akan ditagih. Dan jika tidak bisa membayar maka
utang akan ditambah (riba) dan tempo pun akan diperpanjang. Biasanya
mereka memberi opsi “apakah akan dilunasi atau utangnya ditambah?”
Artinya, utang akan bertambah dengan bertambahnya tempo.
2. Kedua, pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat
harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat
berakhirnya masa pembayaran. Al-Jashshâsh menyatakan, “riba yang
dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk
pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan
bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan
kesepakatan bersama.”
3. Ketiga¸ pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan
(secara berkala). Ibn Hajar al-Haitsamî menyatakan, “riba nasiah adalah
riba yang populer di masa jahiliyah. Karena biasanya seseorang
meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda,
dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari
orang yang berhutang, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu
pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang ia hutangkan. Kalau
mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia
harus menambah jumlah uang yang harus dibayar.” Tampaknya,
pelarangan ini merupakan jumlah mu’taridhah dalam rangkaian besar
ayat-ayat antara 121-138.
Tahap Keempat. Ayat terakhir yang turun berbicara tentang riba adalah surat
al Baqarah: 278-279.

ٓ‫ٓمنَ ٓٱ ِّلر َب َٰوٓاْ ٓ ِّإنٓ ُكنتُم‬ ِّ ‫ي‬َ ‫لل ٓ َوذَ ُروآْ َمآ َب ِّق‬ََّٓ ‫َٰ َيأَيُّ َها ٓٱلَّذِّينَٓ ٓ َءا َمنُواْ ٓٱتَّقُوٓاْ ٓٱ‬
ٓ‫سو ِّل ِّٓهۦهٓ َو ِّإن‬ َِّّٓ ‫ٓمنَ ٓٱ‬
ُ ‫للٓ َو َر‬ ِّ ‫ب‬ ٖ ‫ٓفَإِّنٓلَّ ۡمٓت َۡفعَلُوآْفَ ۡأذَنُوآْبِّ َح ۡر‬٢٧٨ٓ َ‫ُّم ۡؤ ِّمنِّين‬
ٓ ٓ٢٧٩ٓ َ‫ٓو ََلٓت ُ ۡظلَ ُمون‬ َ َ‫َٓلٓت َۡظ ِّل ُمون‬ َ ‫وسٓأ َ ۡم َٰ َو ِّل ُك ۡم‬ ُ ‫ت ُ ۡبت ُ ۡمٓفَلَ ُك ۡم‬
ُ ‫ٓر ُء‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka

8
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Dalam kelompok ayat ini Allah Swt. sudah secara tegas mengharamkan
riba secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Jika dilihat dari ayat 261, al-
Qur’an memulai pembicaraan tentang riba dengan menegaskan bahwa orang
yang berinfak di jalan Allah berarti melipatgandakan harta. Al-Qur’an memuji
mereka yang menginfakkan tanpa embel-embel (Qs. al-Baqarah: 262). Dalam
infak tidak ada pembatasan jenis barang. Pandangan bahwa infak membuat
jatuh miskin ditolak oleh al-Qur’an, dengan mengatakan bahwa justru infak
menguntungkan pelakunya (Qs. al-Baqarah: 272). Ia dijamin pahala berlipat
ganda dan dijauhkan dari rasa takut dan gelisah (Qs. al-Baqarah: 274).
Jaminan yang sama diulang kembali dalam ayat 277 sesudah Allah
mempertentangkan riba dengan sedekah (Qs. al-Baqarah: 276-277), karena orang
menyangka bahwa riba sama halalnya dengan jual beli (Qs. al-Baqarah: 275).
Berdasarkan munasabah di atas diketahui bahwa setiap kali al-Quran berbicara tentang
riba, istilah zakat atau padanannya selalu diiringi antitesanya. Di surat ar-Rum, an-
Nisa dan Al-Imran, antitesa tersebut disebutkan setelah al-Qur’an berbicara tentang
riba, dan pada kelompok surat al-Baqarah, antitesa itu disebut sebelumnya. Dengan
praktek riba maka fungsi sosial harta kekayaan menjadi tidak ada, sehingga
kesenjangan antara kaya dan miskin menonjol. Sedangkan dalam zakat dan sedekah,
fungsi sosial harta diperankan sehingga hubungan antara orang kaya dan miskin
terjalin baik. Riba dikontraskan dengan zakat terkand ung isyarat yang harus dipahami
bahwa keduanya memiliki sifat yang sama sekali bertentangan. Dalam zakat
terkandung pemberian ikhlas, dalam riba terkandung pemerasan.
D. Hakikat Kandungan Makna Riba
Dalam al-Quran kata riba ditemukan sebanyak delapan kali dalam empat
surat. Di antaranya ada yang diturunkan di Makkah dan di Madinah. QS. ar-
Rum/30:39 merupakan surat yang turun di Makkah yang pertama kali
menyinggung tentang riba. Ulama sepakat bahwa kata riba dalam surat ini
bukanlah riba yang haram karena ia diartikan sebagai bentuk pemberian atau

9
imbalan. Oleh karena itu dalam memahami maksud dari riba adalah dengan
memahami ayat-ayat riba yang turun di Madinah.
1. Dialektika Pemahaman Makna Adh'āfan Mudhā'afah dalam Ayat Riba
Dalam empat tahap penurunan ayat riba sebagaimana dijelaskan di
atas, para ulama memberikan perhatian khusus mengenai kata adh'āfan
mudhā'afah (berlipat ganda) dalam QS al-Imran/3:130. Dari penjelasan
tersebut muncul 2 kelompok besar. Pertama, ulama yang memegangi
bahwa penyebutan kata tersebut hanya merupakan informasi tentang
perilaku orang Arab pra Islam, dan tidak menjadi syarat keharaman riba.
Sebaliknya, kelompok kedua menjadikan lipat ganda sebagai syarat
haramnya riba.
Al-Jashshash (m. 370 H), ulama Hanafiyah mengharamkan semua
jenis riba tanpa kecuali. Ia berpendapat bahwa sifat lipat ganda adh'āfan
mudhā'afah yang ada dalam QS. al-Imran ini bukan berarti sebagai syarat
keharaman riba. Dengan turunnya QS. al-Baqarah/2:275-279, maka
hukum riba, dengan segala jenisnya menjadi haram.5
Al-Qurthubi, juga mengharamkan segala jenis riba. Adapun kata
adh'āfan mudhā'afah, menurutnya selain memberitahu tentang perilaku
orang Arab pra-Islam, tetapi juga menunjukan betapa mengerikannya
perbuatan riba nasiah tersebut. Sejalan dengan pandangan al-Jashshash
dan al-Qurthubi, pandangan al-Syaukani mengenai kata adh'āfan
mudhā'afah bukan menjadi kriteria mejadikannya riba, tetapi baik sedikit
ataupun banyak, segala bentuk riba tetaplah haram.
Al-Shabuni juga membantah bahwa berlipat ganda (adh'āfan
mudhā'afah) menjadi syarat menjadikannya riba dengan alasan-alasan
sebagai berikut. Pertama, adh'āfan mudhā'afah bukanlah sebuah syarat,
tujuan ayat ini hanyalah sebatas memberikan gambaran tentang praktik
yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah. Kedua, kaum muslim telah
sepakat (ijma) bahwasannya riba baik sedikit ataupun banyak tetaplah

5
Al-Jashshash, Aḥkam al-Quran, juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t, hlm. 37
10
haram. Ketiga, ayat terakhir yang membahas riba yakni QS. al-Baqarah/2:
275-281 tidak membedakan atara yang sedikit dengan yang banyak. Sebab
yang sedikit di samping jumlahnya yang relative, juga mengarah kepada
yang banyak.
Berbeda dengan pandangan di atas yang mengharamkan segala bentuk
riba bak sedikit maupun banyak, Muhammad Rasyid Ridha memahami
bahwa riba yang diharamkan oleh al-Quran hanyalah riba yang berlipat
ganda. Lipat ganda yang dimaksud adalah pelipatgandaan yang berkali-
kali. Demikian pula dalam pandangan Muhammad Abduh (w. 1905), tidak
semua riba adalah haram. Riba yang diharamkan adalah bentuk riba yang
dipraktikkan pada zaman pra-Islam yang cenderung berlipat ganda
adh'āfan mudhā'afah. Oleh sebab itu, menurutnya, penambahan yang
pertama dalam suatu utang tertentu adalah halal, tetapi jika pada saat jatuh
tempo, ditetapkan untuk menunda jatuh tempo tersebut dengan imbalan
suatu tambahan lagi, maka tambahan kedua ini yang diharamkan.6
Sejalan dengan pandangan tersebut, at-Thabari ketika membahas QS.
al-Imran/3:130 menjelaskan rangkaian sejarah perilaku masyarakat Arab
Jahilyah tentang seseorang yang memiliki hutang. Ketika tiba waktu
pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya.
Akhirnya ia berkata, “tangguhkan hutangku, aku akan memberikan
tambahan”. Maksudnya, perlambatlah masa pembayarannya, dan aku
akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu
dengan cara melipatgandakan hutang. Selanjutnya at-Thabari mengatakan,
inilah riba yang berlipat ganda (adh'āfan mudhā'afah) yang diharamkan
Allah. Maka riba yang haram menurutnya adalah riba yang dipraktikan di
masa Jahiliyah.
2. Pandangan Ulama Terhadap Bunga Bank

6
Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari'ah; Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-
Revivalis, Terj. Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 63
11
Lajnah Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama dalam beberapa kali
musyawarah mengenai pembahasan bank dan pembungaan uang masih
terdapat perbedaan pandangan. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan
dengan masalah ini. Pertama, pendapat yang menyamakan antara bunga
bank dengan riba secara mutlak. Kedua, pendapat yang tidak
mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
Pendapat ini menyertai juga beberapa catatan antara lain yang dimaksud
riba adalah bunga konsumtif sedangkan bunga produktif bukan riba, bunga
yang diperoleh dari tabungan giro bukan termasuk riba, bunga yang
diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh, dan
jika bank menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum maka
hukumnya tidak haram. Pendapat ketiga mengatakan hukumnya shubhat.
Sebab para aldi masih memperselisihkan pendapat tentangnya.
KKID (Konsul Kajian Islam Dunia) adalah tempat dimana ulama-
ulama besar dunia terhimpun. Dalam Konferensi II KKID yang
diselenggarakan di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir pada bulan
Muharram 1385 H/ Mei 1965 menetapkan bahwa tidak ada sedikit pun
keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang
dilakukan bank-bank konvensional. Namun dalam memperinci
pemanfaatan bunga bank, terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat
pertama mengatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasiah yang sudah
jelas haramnya dalam Islam. Pendapat ini disampaikan oleh Prof. Abu
Zahrah (Guru Besar Fakultas Syari’ah Universitas Cairo), Abu a’la al-
Maududi di Pakistan, dan Yusuf Qardawi. Pendapat kedua, berpendapat
bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlaku pada masyarakat
Jahiliyah, yang mana terdapat unsur berlipat ganda, eksploitasi, konsumtif,
dan ada yang terdzolimi. Pendapat ini disampaikan oleh Prof. Mustafa
Ahmad az-Zarqa (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Fakultas
Syari’ah Universitas Damaskus)
Sidang OKI (Organisasi Konferensi Islam) ke-2 yang berlangsung di
Karachi, Pakistan, pada Desember 1970 telah menyepakati dua hal utama

12
yaitu: pertama, praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai
dengan syariah Islam. Kedua, perlu segera didirikan bank-bank alternatif
yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hasil
kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank
Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara bahasa, riba berarti tambahan, sedangkan dalam istilah hukum
Islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang
mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang
dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu
mengembalikan uang pinjaman itu. Kata yang digunakan Al-Quran untuk
menyatakan bunga adalah riba, yang secara harfiah berati meningkat.
Macam-macam riba ada dua. Pertama, riba fadhl riba yang terjadi pada
jual beli barter, Hal ini sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwa
"memperjualbelikan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam
(haruslah) sama, seimbang dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan
berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakrmu (boleh berlebih) asal
dengan tunal" (Hadits Riwayat Muslim dari Ubadah binghomid).
Kedua, Riba al-Nasi’ah, yaitu kelebihan atas piutang yang diberikan orang
yang berutang kepada pemilik modal (pemberi utang) ketika waktu yang
disepakati jatuh tempo. Apabila pada waktunya sudah jatuh tempo, ternyata
yang berutang tidak sanggup membayar utang dan kelebihannya, maka
waktunya dapat diperpanjang dan jumlah utang akan bertambah pula.
Ulama membagi tahapan penurunan ayat-ayat riba menjadi empat. Tahap
pertama, QS ar-Rum/30:39, tahap kedua, QS an-Nisa/4:160-161, tahap ketiga,
QS. al-Imran/3:130, tahap keempat, QS. Al-Baqarah/2:278-279
Dalam memahami kata adh'āfan mudhā'afah (berlipat ganda) pada QS Al-
Imran 130, Ada ulama yang mengatakan kata itu bukan sebagai syarat
keharaman riba, dan ada juga ulama yang menjadikannya syarat haramnya riba.

14
DAFTAR PUSTAKA

A. A. Islah. 1997. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya. PT Bina llmu.

Al-Jashshash, Aḥkam al-Quran, juz II, Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah,


t.t.

Ghofur, Abdul. 2016. Konsep Riba Dalam Al-Quran. Economica, Vol.7,


Edisi 1. hlm. 1-29.

Ghazaly, Abdul Rahman, dkk. 2012. Fiqh Muamalat. Jakarta. Kencana


Prenada Media Grup.

Harun. 2017. Fiqh Muamalah. Surakarta. Muhammadiyah University press.

Kasdi, Abdurrahman. 2013. Analisis Bunga Bank Dalam Pandangan Fiqih.


Iqtishadia, Vol.6, No.2. hlm. 319-342

Saeed, Abdullah. Menyoal Bank Syari'ah; Kritik atas Interpretasi Bunga


Bank Kaum Neo-Revivalis, Terj. Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina,

bprsbmp.com/2014/05/empat-tahapan-pelanggaran-riba-dalam-al_30.html.
diakses 17/2021

Anda mungkin juga menyukai