KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
3.1 Kesimpulan.................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10
i
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Sampai-sampai Umar ibn Khattab dikabarkan menyatakan : “Ada tiga perkara
yang sangat aku sukai seandainya Rasulullah meninggalkan wasiat untuk kita,
yakni persoalan pewarisan kakek (datuk), kalâlah, dan persoalan riba,
sayangRasulullah telah meninggal sebelum beliau menerangkannya. Oleh
karena itu, tinggalkanlah ribâ dan ribah (hal-hal yang meragukan).”
BAB II
2
PEMBAHASAN
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam
perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena
pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba
karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan
jangka waktu (riba nasi’ah).4
3
Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan riba,
demikian pula hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan yang
menerangkan siksa bagi pelaku riba.
Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :
“bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual- beli dan
mengharamkan riba”. (Q.S Al Baqarah, ayat 275).
Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan : Nabi Muhammad SAW. bersabda
yang artinya :
Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknati orang- orang yang
suka makan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang yang
menyaksikan riba. Rasulullah selanjut bersabda : “mereka semuanya sama”.
(dalam berlaku maksiat dan dosa).5
3. Riba yad
4
Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Misalnya orang
yang membeli sepeda motor, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari
si penjual, si penjual tidak boleh menjual sepeda motor itu kepada
siapapun, sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih dalam
ikatan jual-beli yang pertama.
4. Riba nasa’
Riba nasa’, misalnya dipersyaratkan salah satu dari kedua barang yang
dipertukarkan ditangguhkan pembayarannya. Umpama, membeli barang
kalau tunai Rp. 100.000,- tetapi kalau tidak tunai harganya Rp.125.000,-.
Kelebihan membayar Rp. 25.000,- inilah yang dinamakan riba nasa’6
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.7
a. Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta pada akad
jual-beli yang diukur dan sejenis.
Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba
pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antarbarang yang sejenis,
tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.
b. Riba Nasi’ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak, dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu
tengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-
beli yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua
buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain
berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah.
Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas jenis :
5
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu
pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal
dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti
menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.
b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai
antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap
sempurna jual-beli antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling
menyerahkan dan menerima di tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah
yang tampak dari utang.
c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi
ditambahkan harganya.
Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama- sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan
pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika
akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-
Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya
manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada ribs fadhl.8
6
Dasar pemikiran dari mengapa Al-Qur’an mewahyukan ayt yang tegas
mmelarang riba adalah karena Islam menentang setiap bentuk eksploitasi dan
mendukung sistem ekonomi yang bertujuan mengamankan sosioekonomi yang
luas. Karena itu Islam mengutuk semua bentuk eksploitasi, khususnya
ketidakadilan yakni dimana pemberi pinjaman dijamin mendapatkn pengembalian
positif tanpa mempertimbangkan pembagian risiko dengan peminjam, atau
dengan kata lain peminjam menanggung semua jenis risiko.Dengan pertimbangan
bahwa kekayaan yang dimilliki oleh individu sebenarnya merupkan amanah dari
Allah swt. sebagaimana kehidupan seseorang, maka amanah kekayaan merupakan
hal yang sakral.9
Al-Qur’an dengan tegas dan jelas melarang akuisisi terhadap milik orang lain
dengan cara yang tidak benar.10 Isalam mengenal dua tipe hak milik :
a. Hak milik yang merupakan hasil kombinasi kerja individual dengan
sumber daya alam
b. Hak atau klaim hak milik yang didapat melalui pertukaran, pembayaran
yang dalam Islam disebut sebagai hak orang miskin untuk menggunakan
sumber daya yang menjadi hak mereka (zakat dan infak), bantuan tunai
dan warisan.
Uang mempresentasikan klaim tunai pemiliknya kepada hak milik yang
diciptakan oleh aset yang diperoleh melalui poin a dan/atau b. Akibatnya
meminjamkan uang adalah pengalihan hak milik dari pemberi pinjaman kepada
yang meminjam dan yang dapat diklaim untuk dikembalikan adalah yang
berjumlah setara dengan pinjaman tersebut, tidak boleh lebih.
Dalam islam, instrumen keuangan untuk tujuan perdagangan dan produksi
didasarkan atas pembagian risiko dan pembagian keuntungan sebagai
pengembalian atas usaha bisnis dan modal finansial. Pemberi pinjaman yang
meminjamkan uang untuk berdagang dan berproduksi dapat membuat akad untuk
menerima pembagian keuntungan. Dengan melakukan hal tersebut, dia menjadi
bagian dari pemilik modal dan berbagi dalam risiko usaha bukan sebagai kreditor.
9 Menurut salah satu sabda Rasulullah saw., “Kekayaan seseorang adalah sama sucinya dengan
darah seseorang. ”
10 Lihat QS.2 : 188, 4 : 29, 4 : 161 dan 9 : 34.
7
2.5 Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh Islam
memiliki 2 dimensi :
1. Menghadirkan akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang
setara
2. Menganggap tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan kebajikan
dengan alasan untuk membantu seseorang yang sedang membutuhkan.
Menurut yusuf qardhawi, para ulama telah menjelaskan panjang lebar hikmah
diharamkannya riba secara rasional, antara lain :
a. Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi
manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat
membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat.
b. Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan
yang di peroleh si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau
jerih payahnya. Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras tenaga
orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari padanya.
c. Keharaman riba dapat membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat
lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tingggi.
d. Biasanya orang yang memberi utang adalah orang yang kaya dan orang
yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utanag dari
orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt.
Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial.
BAB III
8
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
9
Al-Maududi, Abul A’la, Bicara Tentang Bunga dan Riba, Jakarta: Pustaka
Qalami, 2003.
Chapra, M. Umer, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Iqbal, Zamir, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Kencana,
2008.
Muslim, Muslihun, Fiqih Ekonomi, Mataram: Lembaga Kajian Islam dan
Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2005.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
A.Mas’adi Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2002.
Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008. Suhendi
Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001. Rifai Moh,
Mutiara Fiqih, Semarang : CV Wicaksana, 1998.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2011.
Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syariah, Jakarta : Gema Insani, 2001. Nur
Diana Ilfi, Hadis-hadis Ekonomi, Malang : UIN-Maliki Press, 2012.
Ismanto Kuat, Manajemen Syari’ah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.
Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Jakarta : Darul Haq, 2004.
10