Anda di halaman 1dari 31

JUAL BELI YANG DILARANG

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Fikih Aktual

Dosen Pembimbing :
Dr. Latief Awaluddin, MA., ME

Disusun Oleh :
Anisa Fitriany Sholehah (NIM 18.03.2026)
Bilal Zakawali Al-Fathoni (NIM 19.03.2603)
Widia Mukholashin (NIM 18.03.2024)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI PERSIS BANDUNG
Jl. Ciganitri No.2 Cipagalo, Bojongsoang, Bandung Jawa Barat
Bandung
2021
BAB I
A. Latar Belakang
Syari’at Islam membolehkan jual beli. Pada dasarnya hukum jual beli adalah sah
sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa jual beli (transaksi) tersebut dilarang dan
rusak (fasid). Teks-teks al-Qur’an dan hadits secara jelas mengharamkan sebagian bentuk
jual beli yang akan dijelaskan. Kadang-kadang jual beli mengandung sebagian hal-hal
yang diharamkan atau dimakruhkan tanpa adanya pembatasan tertentu. Oleh karena
masalah ini sangat penting dan banyak dipraktikkan oleh pedagang da pihak-pihak yang
terlibat dalam jual beli. Maka kami jelaskan hal tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah ini adalah: Apa saja jual
beli yang dilarang menurut fiqh?
C. Tujuan
Untuk dapat mengetahui tentang apa saja jual beli yang dilarang menurut Fiqh 4
madzhab.
BAB II

A. Jual Beli Yang Dilarang


Menurut buku Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam pandangan 4 madzhab, setidaknya
ada 21 jenis jual beli yang dilarang menurut fiqh, yaitu:
1. Jual beli yang mengandung riba.
Salah satu jual beli cacat hukum yang dilarang keras ialah transaksi riba, yang
maknanya secara etimologi adalah Ziyadah (menambah, tambahan).
Allah Ta'ala berfirman: "...Kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah (Al-Hajj: 5).
Itulah makna ziyadah. Subur merupakan ziyadah (pertambahan dan peningkatan)
pada bumi. Juga firman-Nya: "...disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak
jumlahnya dari golongan yang lain” (An-Nahl: 92)
Sedangkan arti istilah (terminologi), "Riba adalah menambah salah satu dari dua
benda yang dipertukarkan yang jenisnya sama (sehingga lebih banyak) tetapi
tambahan ini tidak ada imbalannya.
Riba terbagi dua:
A. Riba An. Nosi'ah, “Tambahan tersebut sebagai imbalan atas
ditangguhkannya pembayaran atau pelunasan. Contoh, membeli satu gandum
gama dengan satu liter pada musim penghujan dengan satu Setengah liter
tersebut merupakan setengah later yang dibayar pada musim panas.
tambahan atas harga dan tidak ada padanya tambahan (imbalan) dari barang
(qamh). Setengah liter tersebut sebagai imbalan (Kompensasi) atas
penundaan pelunasan. Maka, riba ini dinamakan "Riba an-nasi’ah. Nas’ih
artinya penundaan
B. Riba Al-Fadhl. Yaitu, Semata-mata tambahan karena penundaan dan tidak
ada imbalan apapun. Misalnya, seseorang membeli gandum aqmh satu liter
dengan satu liter ditambah satu liter qamh lain yang satu jenis dengan sistim
barter dimana masingmasing penjual dan pembeli menyerahkan barangnya.
Contoh lain ialah membeli emas dengan berat 10 mitsqal dengan emas
seperti itu pula yang beratnya 1 mitsqal.
Menurut madzhab Asy-Syafi'i, riba terbagi tiga macam:
A. Riba al-fadhl di antaranya riba qardh (riba dalam utang). Seperti mengutangi
200 Pound dengan syarat ia mendapat manfaat yaitu membeli barangnya atau
menikahi anak perempuannya, atau membayar dengan tambahan.
B. Riba an-nasi'ah yang telah disebutkan.
C. Riba al-yad. Maknanya jual beli dua barang satu jenis tanpa taqabudh (serah
terima langsung).
Ulama sepakat bahwa riba An-nasi`ah hukumnya haram. Itu tergolong kabirah
(dosa besar). Dalilnya sangat jelas yaitu ayat, hadits dan ijma' kaum Muslimin.
Ayatnya ialah "...... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya."
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman." Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba)
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
(Al-Baqarah: 275-279)
Demikianlah ayat telah melarang keras praktek riba dengan larangan yang
menggetarkan tubuh orang yang beriman kepada Rabb-nya yang takut akan siksa-
Nya. Adakah larangan keras yang melebihi larangan keras ini di mana larangan keras
ini telah menegaskan bahwa orang yang malakukan riba adalah memerangi Allah dan
Rasul-Nya. Camkan bagaimana manusia sebagai makhluk lemah memerangi Allah
Yang Mahakuat dan Mahakuasa yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun, baik di
langit maupun di bumi? Tentu ia akan hancur dan binasa?
Sedang makna "Riba” yang diambil dari ayat ini ialah riba yang dikenal di
kalangan masyarakat arab jahiliyah.
Lebih dari seorang ahli tafsir menjelaskan, "Seseorang saat jahiliyah ketika jatuh
tempo pembayaran utang tiba maka yang mengutangi berkata kepada yang diberi
utang, “lunasilah utang atau perpanjanglah." Maknanya, "seolah-olah ia berkata
kepadanya, "Engkau melunasi atau memperpanjang tempo pembayaran dengan
memberi lebihan (tambahan) yang telah dimaklumi di antara kita.
Misalnya, menunda waktu pembayaran satu ekor onta dengan menyerahkan 2
ekor onta, atau memperpanjang tempo pembayaran satu ekor kambing berusia
setahun dengan memberikan satu ekor kambing berumur 2 atau 3 tahun Atau
seseorang utang kepada orang lain dan yang mengutangi mengambil jumlah tertentu
setiap bulan dari yang berutang.
Ketika jatuh tempo tiba dan ia tidak dapat melunasi modal yang diberikan
tersebut maka yang mengutangi memberi perpanjangan tempo pembayaran dengan
bunga yang mereka sepakati. Inilah riba yang berjalan dewasa ini di bank-bank di
dunia. Allah Ta'ala telah mengharamkan cara-cara seperti ini bagi kaum Muslimin
dan umat Yahudi dan Nasrani karena membebani orang yang tidak mampu dan
menghilangkan nilai nilai kasih sayang, kelembutan dan tolong menolong sesama
manusia. Karena yang namanya manusia dari sisi ia sebagai manusia tidak boleh
menjadi materialistis dalam artian ia tidak memiliki kasih sayang dan empati kepada
saudaranya melalui cara memanfaatkan kesempatan untuk melakukan praktek riba
seperti itu, padahal Allah telah mengingatkan orang-orang kaya bahwa pada mereka
ada hak fakir miskin juga Allah telah mensyariatkan utang piutang untuk menolong
yang butuh dan yang kesulitan. Selain mudarat yang disebutkan di atas, riba memiliki
mudarat lain yakni berhimpunnya harta hanya pada pemberi utang dengan cara riba
dan terbukanya pintu-pintu hawa nafsu bagi mereka yang lemah kemauan untuk
mendapatkan kekayaan dengan cara seperti itu. Masih ada kekerugianan atau bahaya
lain di balik sistem riba yang tidak mungkin disebutkan di sini. Kami telah
menguraikannya dengan sangat jelas pada jilid II kitab akhlak agama dalam hikmah
disyariatkannya jual beli.
Ayat di atas secara qath'i (tegas dan pasti) menunjukkan atas haramnya riba an-
nasi`ah, termasuk yang dikenal di era kita sekarang yaitu memberi jatuh tempo
dengan bunga tahunan atau bulanan dan adanya pemutarbalikan paham tentang
agama oleh sebagaian orang yang membolehkan sistem ini, padahal ia sangat jauh
dari agama dan hikmah pensyariatan syariat Islam. Ada juga yang memahami bahwa
yang diharamkan adalah makan riba secara berlipat ganda sepeti disebutkan dalam
ayat:
‫يكأيها الذين ءامنوا ال تأكلوا الربوا أضعفا مضعفة واتقوا‬
‫هللا لعلكم تفلحون‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."
(Ali Imran: 130)
Paham tersebut jelas-jelas salah karena tujuan ayat ini ialah mengingatkan agar
kita menjauhi riba dan mengingatkan para pelaku riba yang memberikan pelipat
gandaan sebagai bentuk riba yang hal itu akan membuat si miskin yang mempunyai
utang semakin miskin karena cara-cara buruk seperti ini. Ini tidak samar merusak
sistem membangun. Orang yang berakal hampir tidak memahami jika ada yang
mengatakan bahwa Allah melarang tiga pelipat gandaan tetapi tidak melarang satu
atau dua pelipatgandaan. Orang yang berakal tidak akan punya paham seperti ini
setelah ayat:
‫وإن تبتم فلكم روش أمولكم ال تظلمون وال تظلموت‬
"Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Al-Baqarah: 279)
Yang lebih aneh dari pamahaman ini adalah ada sebagian ulama yang
menyatakan bahwa utang dengan bunga bukan tergolong riba. Karena riba adalah
akad jual beli yang harus dengan shighat (ucapan, ijab kabul). Utang piutang yang
dilakukan oleh masyarakat dengan bunga dewasa ini bukanlah riba. Ada ulama
madzhab Asy-Syafi'i menegaskan hal ini. Tetapi sekalipun punya paham demikian,
menurut mereka ia termasuk memakan harta orang dengan cara bathil (tidak sah)
yang hukumnya haram ssebagaimana haramnya riba. Ia berdosa seperti dosa riba.
Jadi di sini yang berbeda adalah bentukn hukumnya.
Dalil atas haramnya riba an-nasi`ah adalah sejumlah sunnah yang shahih antara
lain ucapan Nabi, "Emas dengan emas adalah riba kecuali masing-masing dari
keduanya (penjual dan pembeli) langsung memberikan tanpa jeda waktu". Maka,
tidak boleh tukarannya diberikan belakangan.
Hadits ini jelas menunjukkan haramnya riba an-nasi`ah, juga riba al fadhl pada
emas, perak, dan makanan.
Riba al-fadhl ialah transaksi suatu barang dengan barang lain yang sejenis tanpa
ada penundaan dalam penerimaan, hukumnya haram menurut empat madzhab fikih
dan boleh bagi sebagian sahabat di antaranya Ibnu Abbas. Namun sebagian ulama
telah meriwayatkan bahwa beliau telah meralat pendapatnya ini dan bergabung
dengan kelompok yang mengharamkan. Riba al-fadhl tidak banyak berpengaruh bagi
muamalat karena jarang terjadi. Karena jual beli cara ini bukan yang dituju oleh
masyarakat kecuali apabila pada salah satu barang yang akan dibeli dengan jenis
yang sama tersebut memiliki nilai tambah. Islam mengharamkan transaksi cara ini
karena boleh jadi ia mengandung ketidakjelasan dan penipuan terhadap sebagian
orang yang lemah akal karena penjual yang cerdik mempengaruhi calon pembeli
yang lemah akal dengan ucapannya yang menarik bahwa barangnya bagus dan
memiliki kelebihan. Ucapannya ini jelas mengecoh orang lain dan merugikan
mereka.
Dasar atas keharamannya adalah sabda Nabi, "Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, gandum sya'ir dengan gandum sya'ir, korma dengan
korma, gama dengan garam, sama-sama satu jenis, harus sama dalam jumlah dan
kadar dan harus serah terima dengan langsung tanpa penundaan (yadan bi yadin).
Kalau jenisnya berbeda-beda maka juallah sesukamu asalkan dengan cara yadan bi
yadin".
Hadits ini menunjukkan bahwa jual beli barang dengan cara ini tidak boleh
dilebihkan dan tidak boleh pemberian barang yang menjadi pembayarannya
dibayarkan belakangan (ditunda). Maka, menjual 1 Pound emas dengan 1 Pound
emas plus 10 qursy tidak diperbolehkan, baik pembayarannya secara langsung (tunai
tanpa penundaan) maupun secara nasi`ah (ditangguhkan). Juga tidak boleh menjual
sekeping emas yang beratnya 10 mitsqal dengan sekeping emas yang beratnya 12
mitsqal. Hukum ini juga berlaku pada selain emas.
Ada larangan khusus untuk transaksi emas dan perak. Rasulullah berpesan,
"Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali jika sama kadarnya dan
sebanding, janganlah kamu menambahkan sebagiannya atas sebagian yang lain dan
janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama kadarnya dan sebanding,
jangan pula menambahkan sebagian atas sebagian yang lain. Janganlah kamu
menjual sesuatu yang tidak ada di tempat transaksi dengan yang ada (tunai)."
( Muttafaq 'alaih)
Jika jenisnya beda maka sah (boleh) memberi tambahan pada harganya atau
menguranginya. Oleh karena itu, boleh membeli Pound yang nilainya 120 misalnya
atau lebih rendah dari itu. Cara ini dinamakan "Sharaf." Namun disyaratkan harus
taqabudh (barang yang dijual dan barang sebagai harga atau pembayaran harus
diberikan saat itu langsung. tidak ditunda) di tempat transaksi tersebut. Maka,
tidaklah sah jika ia mengambil 90 qursy dan menunda pemberian 10 qursy. Tentang
ini akan dijelaskan dalam pembahasan "sharaf." Begitu juga untuk barang lain seperti
yang disebutkan dalam hadits seperti gandum, korma dan lainnya, harus taqabudh.
Menurut madzhab Hanafi, taqabudh bukan syarat dalam jual beli emas dan
perak. Jika barang yang dibarter adalah dua jenis berbeda, seperti beras dengan
gandum, jika salah satu barang yang ditukar adalah uang yang lainnya makanan
maka boleh ditunda (ditangguhkan), baik makanan tersebut diperjualbelikan, seperti
membeli gandum qamh dengan Pound dengan cara menunda pembayaran, maupun
berupa harga. Misalnya, membeli 5 Pound dengan 5 gelas gandum yang dibayarkan
nanti.
2. Jual beli ‘Inah
Kata ‘Inah menurut Bahasa berarti meminjam/berhutang. Dikatakan I’tana ar-
rajul. Yang maksudnya seorang laki-laki membeli sesuatau dengan pembayaran
dibelakang/hutang atau tidak kontan. Jual beli deperti ini disebut ‘inah karena
pembeli suatu barang dagangan dalam tempo tertentu mengambil kompensasi
dibarang itu dengan uang secara kontan.1

1
Mukhtarush-Shihah, entri ‘a-in.
Jual beli ‘inah menurut istilah adalah menjua sesuatu benda dengan harga lebih
yang dibayarkan belakangan dalam tempo tertentuuntuk tidak dijual lagi oleh orang
yang berhutang dengan harag saat itu yang lebih murah untuk menutup hutangnya.2
Praktik jual beli ‘inah adalah jika seseorang penjual menjual barang
dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dalam tempo tertentu,
kemudian penjual itu membeli kagi barang dagangan itu dari pembeli (sebelum
pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo
pembeli membayar harag barang yang dibelinya dengan harga awal.
Syaikh Ibnu Baz Rahimahullaj berkata Ketika mendefenisikan jual beli ‘inah.
“bentuk jual beli ‘inah adalah jika seseorang membeli barang dagangan dari penjual
dengan harga terhutang, kemudian ia menjualnya Kembali kepada penjual itu denga
harga yang lebih murah yang dibayarkan secara kontan. Demikian ini dilarang
karena mengandung rekayasa praktik riba. Demikian ini didasarkan pada hadits yang
bersumber dari ‘Aisyah dan Ibnu Umar Radhiyallhu ‘Anhuma.”
Dalam ‘inah ada juga yang disebut dengan Tawaruq. Tawaruq secara
terminologis adalah jika seseorang membeli barang dagangan secara tidak kontan,
kemudian menjualnya kepada orang lain dengan kontan dengan harag yang lebih
murah dari pada Ketika ia membeli agar mendapat uang secara kontan. Istilah ini
hanya ditemukan di kalangan fuqiha Hanabilah. Ulama lain memasukan jual beli
seperti ini ke dalam kategori jual beli ‘inah.
Mayoritas fuqoha berpendapat bahwa jual beli tawaruq diperbolehkan
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli…”
(Surat Al-Baqoroh [2]: 275)
Demikian juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada pekerja beliau di
Khaibar:
‫بِ ْع ْال َج ْم َع بِال َّد َرا ِه ِم ثُ َّم ا ْبتَ ْع بِال َّد َرا ِه ِم َجنِيبًا‬
“Jualah semuanya dengan dirham, kemudian beli kurma janib lainnya dengan
dirham itu”

2
Ad-Dar Al-Mukhtar, juz IV, hlm. 279
Jual beli tawaruq diperbolehkan akrena tidak Nampak adanya praktik riba
didalamnya. Dalam kitab Kasysyaf al-qana’ dijelaskan bahwa jika seseorang
membutuhkan uang kontan, kemudian ia membeli barang senilai Rp. 100 dibeli
dengan harga Rp. 150 tidak kontan (dan menjualnya lagi dengan harga Rp. 100 secara
kontan), maka demikian ini diperbolehkan. 3
Umar bin Abdul Aziz dan Muhammad Ibn AlHasan, salah seorang sahabat Abu
Hanifah, berpendapat bahwa jual beli tawaruq adalah makhruh. Sementara itu, Ibnu
Hamam berpendapat menyelisihi yang lebih utama tidak baik.
3. Jual Beli Gharar
Definisi Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui bahaya dikemudian hari,
dari barang yang tidak diketahui hakikatnya.
Hukum jual beli Gharar dalam kitab Shahih Muslim diesbutkan bahwa
Rasulullah SWA melarang jual beli Gharar. Larangan jual beli gharar ini merupakan
dasar yang fital dan kaidah hukum dalam transaksi-transaksi tukar menukar dalam
jual beli, ijarah, dan lain sebagainya.
Nilai gharar (penipuan) itu berbeda-beda. Jika unsur yang tidak dapat diketahui
hakikatnya sangat besar, maka keharaman dan dosanya lebih besar juga. Semua
penipuan yang tidak dapat diketahui dan adanya unsur bahaya yang nyata dalam
semua jenis transaksi tukar menukar dan syirkah termasuk dalam kategori laranhan
dalam hadits diatas.
Gharar ada tiga macam sebagaimana berikut ini.
a. Jual beli sesuatu yang tidak ada, seperti jual beli habl al-habakah.
b. Jual beli sesuatu yang tidak diserahterimakan, seperti unta yang melarikan
diri.
c. Jual beli sesuatu yang tidak dapat diketahui secara mutlak, atau tidak dapat
diketahui jenis, atau ukurannya.

Bentuk jual beli gharah bisa berupa jual beli malaqih, madhamin, jual beli buah-
buahan sebelum jelas kematangannya, jual beli mulamasah, munabadzah, dan hashat
(lempar batu).

3
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz XIV, hlm. 147.
Meskipun tipe jual beli seperti diatas masuk dalam bab jual beli dilarang, namun
kami menyebutkan secara khusus jual beli demikian itu sangat popular pada zaman
jahiliyyah.4

Imam Nawawi menyatakab bahwa larangan jual beli gharar merupakan dasar
yang penting dalam bab jual beli, dan memuat masalah-masalh yang sangat banyak
dan tak terbatas, seperti jual beli sesuatu yang tidak ada, hewan atau budak yang
melarikan diri, sesuatu yang tidak diketahui, seusatu yang tidak dapat
diserahterimakan, sesuatu yang belum menjadi hak milik penjual secara penuh,
menjual ikan yang masih dalam air yang banyak, air susu yang belum diperah, menjual
janin dalam kandungan, jual beli baju dalam beberapa baju, kambingan diantara
beberapa kambing dan lain sebagainya. Semua itu tidak sah karena mengandung
gharar (penipuan) yang besar dan tidak dinutuhkan.5

Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Gharar pada asalnya bahwa Allah dalam kitab-
Nya mengharamkan memakan harta orang lain secara bathil. Demikian ini mencakup
semua yang dimakan dengan bathil, dan nabi Saw melarang jual beli gharar. Gharar
adalah tidak diketahui akibatnya.6

4. Jual Beli Muzabanah


Kata Muzabanah terambil dari zabn yang secara etimologis berarti menolak
karena jual beli muzabanah dapat menyebabkan perselisihan dan saling menolak
karena adanya penipuan.7 Adapun muzabanah secara terminologis adalah menjual
kurma yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipetik.
Praktik jual beli muzabanah adalah jika seseorang memperkirakan kurma yang
masih dipohon misalnya ada 100 sha’, kemudian ia menjualnya dengan harga 100
sha’ kurma.
Fuqoha sepakat bahwa jual beli muzabanah adalah tidak sah dengan beberapa
alas an:

4
Ibnu Bassam: Tauhid AL-Ahkam min Bulughil Maram, juz IV, hlm. 266
5
An-Nawawi: Al-Majmu’Syarh Al-Muhadzdzab, juz IX, hlm. 257
6
Majmu’Fatawa Ibn Taimiyyah, juz XXIX, hlm. 22.
7
Al-Mishbah Al-Munir, entri z-b-n.
Pertama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh bukhari: “Sesungguhnya
Nabi SAW melarang jual beli muzabanah dan muhalaqoh.” (Riwayat Al-Bukhori).8
Muhalaqoh adalah menjual produk pertanian yang masih belum siap dipanen.9
Kedua, Adanya syubhat karena mengandung riba. Hal demikian ini karena jual
beli muzabanah termasuk jual beli sesuatu yang dapat ditakar dengan sesuatu yang
dapat ditakar dari jenis yang sama, namun ada kemungkinan tidak sama bobotnya.10
Ketiga, adanya unsur penipuan didalam jual beli muzabanah. Semua yang
mengandung gharar tidak sah, maka tidak boleh menjual budak yang melarikan diri,
hewan yang lari, dan burung di udara karena mengandung unsur gharar.
Praktiknya adalah jika buah kurma yang masih segar di atas pohon dijual dengan
perkiraan nilai buah kurma kering. Demikian ini diperboehkan menurut mayoritas
ulamaa karena adanya kebutuhan dengan catatan saling menerima di majlis transaksi
dan dengan catatan kurma yang di transaksikan kurang dari lima wasaq.
5. Jual Beli ‘Urbun (DP/Down Payment/Uang Muka)
‘Urbun atau ‘urban secara etimologis berarti sesuatu yang digunakan sebagai
pengikat jual beli.11 Sedangkan urbun secara terminologis adalah jika seseorang
membeli barang dagangan dan membayar Sebagian harganya kepada penjual (sebagai
DP/Down payment/uang muka), dengan catatan jika ia mengambil barang dagangan
makai a melunasi harga barang, dan jika ia mengambilnya, maka barang itu menjadi
milik penjual.12
Fuqoha berbeda pendapat mengenai hukum jual beli ‘urbun. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa jual beli ‘urbun tidak sah berdasarkan hadits Amr bin Syua’ib dari
bapaknya, dari kakeknya yang berkata:
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْالعُرْ بَا ِن‬
َ ِ‫نَهَى َرسُوْ ُل هللا‬
“Nabi SAW melarang jual beli ‘urban.”
Mayoritas ulama berpendapa bahwa jual beli ‘urbun adalah haram karena
termasuk memakan harta orang lain secara bathil, juga mengandung gharar dan
mengandung dua syarat mutlak, yaitu syarat memberi uang muka pada penjual dan
8
Fathul Bari, juz IV, hlm. 384
9
Mukhtarush Shihah, entri h-q-l.
10
Raddul Mukhtar ‘Alad-darul Mukhtar, juz IV, hlm. 109
11
Qamus Al-Muhith, entri ‘a-r-b.
12
Kasysyaf al-Qana, juz III, hlm. 195.
syarat mengembalikan jual beli jika tidak suka. Masih banyak lagi argumentasi
mayoritas ulama yang tidak membolehkan jual beli ‘urban.
Hanabilah berpendapat bahwa jual beli semacam ini adalah boleh dan sah. Abdul
Aziz ibn Baz juga membolehkan jual beli ‘urbun. “tidak apa-apa mengambil DP
menurut pendapat ulama yang shahih jika penjual dan pembeli telah menyepakati
meskipun jual beli tidak ada.” Namun, Jika penjual mengembalikan uang muka
pembeli jika jual beli tidak jadi, maka demikian ini lebih utama dan lebih banyak
pahalanya di sisi Allah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

‫َم ْن أَقَا َل ُم ْسلِ ًما أَقَالَهُ هَّللا ُ ع َْث َرتَهُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬
“Barangsiapa yang menerima pembatalan transaksi seorang muslim, maka Allah
membatalkan kesalahannya.”
6. Larangan Jual Beli Makanan Sebelum Di Takar
Definisinya menurut Imam Ahmad dari 'Utsman Radhiyallahu 'anh bahwasanya
ia berkata, "Aku pernah membeli kurma dari komunitas Yahudi yang disebut Banu
Qainuqa'. Kemudian aku menjualnya kembali dengan mendapat keuntungan. Berita
ini sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau bersabda,

‫يا عثمان إذا اشتريت فاكتل وإذا بعت فكل‬


"Wahai ' Utsman, jika kamu membeli, mintalah untuk ditakar dan jika menjual,
takarlah lebih dahulu." (Riwayat Ahmad. Hadits ini hasan).
Hadits di atas dan pengertian yang terkandung menunjukkan bahwa orang yang
membeli sesuatu dengan ditakar dan diterima, kemudian menjualnya lagi kepada
orang lain, maka ia tidak boleh menyerahkannya dengan takaran yang terdahulu,
namun ia harus menakar kembali dihadapan pembelinya. Demikian ini adalah
pendapat Imam yang empat.
7. Menjual Sesuatu yang Belum Diterima (Qabdh)
Al-Qabdh secara etimologis berarti mengambil sesuatu dengan seluruh telapak
tangan. Qabadha dara fulan artinya dia menempatinya. Hadza asy-syai fi qabdhati
fulan, artinya sesuatu ini milik fulan dan dalam kekuasaannya. Qabdhusy-syai
maksudnya menguasai sesuatu.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjual sesuatu yang belum
diterima. Syafi'iyyah berpendapat, yang juga pendapat Abu Yusuf dan Muhammad
dari kalangan Hanafiyyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Ahmad, bahwa
tidak sah menjual barang dagangan yang belum diterima, baik berupa barang
bergerak, maupun harta tetap (seperti tanah, rumah, dan lain sebagainya)
Dasar pendapat di atas adalah hadits yang diriwayatkan Hakim ibn Hizam
Radhiyallahu 'anh yang berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
membeli dalam suatu transaksi jual beli, lalu apa yang halal dan yang haram bagiku?'
Rasulullah menjawab,

‫فإذا اشتريت بيعا فال تبعه حتى تقيضه‬


"Jika kamu membeli barang dagangan, maka jangan kamu menjualnya sampai kamu
telah menerimanya."
Malikiyyah, dan merupakan salah satu riwayat dari Hanabilah, menyatakan bahwa
yang haram dan merusak jual beli adalah menjual makanan yang belum diterima
tangan. Adapun selain makanan, maka boleh menjual sebelum diterima tangan. Hal
ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫من ابتاع طعاما فال يبعه حتى يقبضه‬


"Barangsiapa yang membeli makanan, maka jangan menjualnya sehingga
menerimanya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab al-Mughni dijelaskan bahwa selain makanan, maka boleh
menjualnya sebelum menerima menurut dua riwayat yang kuat. Demikian ini juga
menurut riwayat 'Utsman ibn Affan Radhiyallahu 'anh, Sa'id ibn al-Musayyab, al-
Hakam, al-Auza'i, dan Ishaq.
Al-Atsram berkata, "Aku pernah bertanya kepada Abu 'Abdullah mengenai
riwayatnya: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengambil
keuntungan sesuatu yang belum menjadi tanggungannya." Dia menjawab, "Demikian
itu pada makanan dan minuman serta yang serupa dengannya. Dalam hal ini, tidak
boleh menjualnya sampai ia telah menerimanya."
Ibn 'Abdil-Barr menyatakan bahwa yang lebih shahih bahwa sesuatu yang tidak
boleh dijual sebelum diterima adalah makanan karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah melarang menjual makanan sebelum menerimanya. Dari sini dapat
disimpulkan wa boleh menjual sesuatu selain pada makanan meskipun belum
diterima.
Ibnu al-Mundzir menyatakan, "Ahli ilmu (ulama) sepakat bahwa orang yang
membeli makanan tidak boleh menjualnya sebelum ia menerimanya."
Hadits-hadits yang digunakan sebagai argumentasi bagi ulama yang melarang
jual beli apa pun sebelum diterima tangan adalah tidak shahih kecuali hadits
mengenai makanan di atas yang digunakan sebagai argumentasi ulama yang
membolehkan jual beli sesuatu selain makanan meskipun belum diterima. Bahwa
penyebutan makanan secara khusus sebagai sesuatu yang dilarang dijual sebelum
diterima menunjukkan bahwa selain makanan adalah boleh. Mereka juga membantah
argumentasi ulama yang melarang jual beli apa pun sebelum diterima tangan karena
barang dagangan belum menjadi hak milik secara sempurna, maka dilarang
menjualnya. Bahwa hak milik telah terwujud ketika seorang telah membayar barang
dagangan meskipun belum menerima dengan tangan karena tangan bukanlah syarat
keabsahan jual beli. Hal ini seperti halnya boleh menjual barang yang dititipkan,
diwariskan, dan mahar. Demikian ini adalah pendapat yang rajih.
Dalam Qabdh juga ada istilah Al-Qabdh al-Hukmi, Al-Qabdh al-hukmi
(menerima dengan tangan secara konseptual) yaitu membiarkan barang dagangan
antara penjual dan pembeli untuk digunakan.
Menerima dengan tangan secara konseptual menem pati posisi menerima dengan
tangan secara hakiki dalam beberapa kondisi meskipun secara inderawi tidak terlihat,
namun secara konseptual telah diterima. Hal demikian ini karena beberapa sebab.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyatakan bahwa menerima segala sesuatu
berarti menahannya. Abu Hanifah menyatakan bahwa membiarkan barang dagangan
berarti menerimanya. Oleh karena menerima dengan tangan mutlak diperlukan dalam
syara', maka harus dikembalikan kepada tradisi, seperti menahan dan memisahkan.
Dalam al-Muhadzdzab (1/270) dijelaskan bahwa karena Allah Ta'ala
menetapkan menerima dengan tangan secara mutlak dan menggantungkan hukum
padanya, tetapi tidak menjelaskannya dan tidak mendefinisikan secara etimologis dan
terminologis, maka praktiknya dikembalikan kepada tradisi.
Dalam Fatawa Ibnu Taimiyyah dijelaskan bahwa sesuatu yang tidak dijelaskan
definisinya secara etimologis dan terminologis, maka dikembalikan kepada tradisi,
seperti masalah menerima dengan tangan yang termuat dalam sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang membeli makanan, maka jangan
menjualnya sebelum ia menerimanya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Majelis Konvensi Fiqih di bawah Rabithah al-'Alam al-Islami dalam pertemuan
ke-11 yang diadakan di Makkah memutuskan problematika kontemporer mengenai
menerima barang dagangan dengan tangan secara konseptual sebagaimana berikut ini.
A. Menyerahkan cek mempunyai kedudukan yang sama dengan menerima dengan
tangan ketika terpenuhi syarat-syaratnya dalam masalah penukaran uang di bank.
B. Nomor rekening di bank secara konseptual dianggap sebagai sarana menerima
(qabdh) bagi orang yang menukarkan mata uang satu dengan mata uang lainnya,
baik penukaran itu dengan mata uang yang diberikan seseorang kepada bank atau
dengan mata uang yang disimpan di bank.
Konvensi Fiqih Islami di bawah Organisasi Konferensi Islami nomor 53 (4/6)
dalam pertemuan berkala yang ke-6 di Jeddah mengagendakan tema khusus mengenai
qabdh (menerima dengan tangan), khususnya lagi mengenai cara qabdh kontemporer
dan hukum hukumnya. Keputusan-keputusannya adalah sebagai berikut.
A. Menerima harta benda dapat dilakukan secara fisik dengan mengambilnya
menggunakan tangan, takaran, dan timbangan dalam hal makanan. Selain itu, juga
dapat dilakukan secara nonfisik, yaitu dengan memindahkan dan mengalihkan
kepada bentuk qabdh (menerima) secara konseptual dengan membiarkan harta
benda itu dengan hak kuasa untuk membelanjakannya meskipun tidak ada bentuk
penerimaan secara fisik. Bentuk penerimaannya juga bervariasi sesuai dengan
kondisi dan tradisi.
B. Bentuk-bentuk penerimaan (qabdh) nonfisik/ konseptual yang dilegalkan menurut
syara' dan tradisi adalah sebagai berikut.
1. Nomor rekening nasabah yang memuat sejumlah deposit, dan
2. menyerahterimakan cek jika seorang mempunyai saldo tabungan yang cukup
untuk ditarik dengan nilai nominal yang tercatat dalam cek itu.
8. Jual Beli Ahlul Hadhar (Orang kota) dengan Al-Badi (Orang Desa)
Praktiknya secara konkrit adalah seorang penduduk kota menghadang orang-
orang pelosok desa yang membawa barang dagangan untuk dijual di pasar atau
lainnya, kemudian memberitahukan harga di bawah harga yang wajar dan
membelinya dengan harga itu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual
beli seperti ini dalam sabdanya:

‫دعوا النّاس يرزق هللا بعضيه من بعضا بعضهم‬


"Biarkanlah orang-orang itu. Allah akan memberi rezeki sebagian mereka kepada
sebagian. " (Riwayat Muslim).
Keharaman jual beli seperti itu terjadi karena tiga hal sebagaimana berikut ini.
A. Orang kota sengaja datang kepada orang pelosok desa untuk memonopoli
perdagangan;
B. Orang pelosok desa tidak mengetahui harga standar;
C. Orang pelosok desa telah membawa barang dagangan untuk dijual di pasar atau
lainnya.13

Alasan larangan jual beli di atas adalah karena jika al-badi (orang pelosok desa)
dibiarkan menjual barang dagangannya, maka ia akan menjualnya kepada orang lain
dengan harga yang lebih murah. Namun, ketika orang kota telah memonopoli harga,
maka harga itu akan naik dan memberatkan konsumen pada umumnya. Demikianlah
makna hadits di atas.14
9. Jual Beli Talaqqi ar-Rukban (Menghadang Kafilah yang Menuju Pasar)
Praktiknya secara konkrit adalah seorang penjual datang ke pasar dan pembeli
menghadangnya sebelum penjual sampai ke pasar. Kemudian pembeli tersebut
membeli barang dagangannya dengan harga di bawah standar pasar karena penjual
tidak tahu harga standar. Syari'at Islam melarang jual beli seperti ini karena
mengandung penipuan, merugikan penjual, dan konsumen lain yang ada di kota.

13
Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid VI, hlm, 308, 310.
14
Ibid
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan bahwa penipuan itu di
neraka dalam sabdanya:
‫الخديعة في النار‬
"Penipuan itu di neraka." (Riwayat al-Bukhari).
Jika seseorang menghadang kafilah sebelum sampai ke pasar dan membeli
barang dari mereka, maka penjual mempunyai hak khiyar (memilih) ketika telah
sampai di pasar dan mengetahui bahwa mereka tertipu. Mereka mempunyai pilihan:
meneruskan jual beli tersebut atau membatalkannya. Hal demikian ini didasarkan
pada hadits Ibnu Abbas yang melarang menghadang kafilah pedagang yang pergi ke
pasar (talaqqi ar-rukban).15
10. Menjual kepada Pembeli Orang Lain
Praktiknya secara konkrit adalah jika ada seorang penjual yang telah melakukan
transaksi kepada seorang pembeli tentang suatu barang, kemudian ada penjual lain
mendatangi pembeli tersebut untuk menawarkan barang sejenis dengan harga yang
lebih murah, atau dengan harga sama dengan kualitas barang yang lebih baik, atau
dengan cara lain yang dapat menarik minat pembeli. Kemudian pembeli tersebut
membatalkan transaksinya dengan penjual pertama dan membeli barang dagangan
dari penjual kedua. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli seperti
ini karena merugikan dan merusak sesama.
Demikian pula sebaliknya, dilarang membeli barang dagangan yang masih
dalam transaksi orang lain. Praktiknya adalah seorang pembeli sedang melakukan
transaksi dengan seorang penjual tentang suatu barang. Kemudian datang pembeli
kedua yang menginginkan barang yang sama dengan penawaran harga yang lebih
tinggi daripada harga yang diberikan pembeli pertama. Jual beli seperti ini dilarang
karena dapat mendatangkan kerusakan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫يبع بعضكم على بيع بعض‬


"Janganlah sebagian kalian menjual penjualan sebagian yang lain." (Riwayat al-
Bukhari).

‫ال يسم المسلم على سوم أخيه‬


15
Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid VI, hlm. 312.
“Janganlah seorang muslim menawar barang yang ditawar saudaranya.” (Riwayat
Al-Bukhori dan Muslim)16

11. Jual Beli Najasy


Kata najasy adalah bentuk mashdar. Asal mula najasy berarti istitar (berusaha
menutupi) karena najisy (orang yang berbuat najasy) berusaha menutupi maksudnya.
Oleh karena itu, pemburu binatang disebut najisy karena ia tersembunyi.17
Adapun definisi najasy secara terminologis adalah jika seseorang menjadi mitra
penjual menambah harga suatu barang agar calon pembeli yang ditawari barang itu
menyangka harganya seperti itu dan mengikutinya. Dengan dmikian, ia telah masuk
perangkap penipuan. Jual beli seperti ini haram karena mengandung unsur penipuan.18
Imam al-Bukhori mengutip pertanyaan Ibnu Abi Aufa , “Orang yang berbuat
najasy adalah pemakan riba dan pengkhianat.” Demikian ini adalah penipu yang batil
dan tidak halal.
Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
jual beli najasy karena mengandung unsur penipuan terhadap pembeli.
Apakah jual beli dengan najasy sah atau tidak? Mayoritas fuqaha’ berpendapat
bahwa jual beli dengan najasy adalah sah karena najasy itu dilkukan oleh orang lain
(najisy), bukan penjual yang melakukan transaksi langsung, maka tidak memengaruhi
keabsahan jual beli. Hal ini seperti halnya jual beli talaqqi ar-rukban dan jual beli
barang yang ada cacatnya. Namun demikian, jual beli seperti ini mengandung dosa
bagi penjual dan najisy (orang yang berbuat najasy).19
12. Jual Beli Tafriq ash-Shafqah (Memisahkan Transaksi)
 Jual Beli Shafqah
Shafqah artinya sekali tepuk tangan, yakni tepukan yang mengeluarkan suara
atau jabat tangan. Jika salah seorang menetapkan jual beli dengan orang lain, maka
ia menjabat tangannya. Shafqah dalam terminologi jual beli dan lainnya disebut
transaksi. Adapun shafqaini fi shafqah (dua transaksi dalam satu transaksi) adalah

16
Riwayat al-Bukhari, juz II, hlm. 175; Muslim, juz IV hlm. 138;dan al-Mughni juz 6, hlm. 305
17
Al-Mishbah al-Munir, entry n-j-sy
18
Ibnu Qudamah: al-Mughni, jilid VI, hlm. 304
19
Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi, juz I. hlm. 68, dan Ibnu Qudamah: al-Mughni, juz VI, hlm. 304
melaksanakan dua transaksi dalam satu transaksi, misalnya seseorang menjual
rumahnya kepada fulan dan sekaligus mobil fulan dengan syarat jika transaksi jual
beli rumah terjadi, maka jual beli mobil juga terjadi.20
Terjadi kontroversi di kalangan fuqaha’ mengenai maksud shafqaini fi shafqah
(dua trasnsaksi dalam satu transaksi). Sebagian dari mereka, termasuk asy-Syaukani
dan Ibnu al-Qayyim, berpendapat bahwa kedua kata itu adalah bentuk sinonim.
Adapun Hanafiyyah berpendapat bahwa shafqaini fi shafqah (dua transaksi dalam
satu transaksi) lebih umum, mencakup transaksi hutang piutang dengan jual beli,
ijarah dengan jual beli, pinjam meminjam dengan jual beli, syirkah dengan ijarah,
dan lain sebagainya.
 Tafriq ash-Shafqah
Yaitu menjual sesuatu yang boleh diperjualbelikan dan yang tidak boleh
diperjualbelikan dalam satu transaksi dengan satu harga.
Jual beli seperti ini sangat bervariasi bentuknya. Diantara contohnya adalah
seorang menjual rumah kepada fulan dan sekaligus membeli mobil darinya dengan
syarat jika transaksi jual beli rumah terjadi, maka jual beli mobil juga terjadi. Bentuk
lainnya, misalnya seseorang menjual satu kilo madu dan satu liter khomer dengan
harga seratus.
Sebagian fuqaha’ dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabillah berpendapat bahwa
tafriq ash-shafqah sebagian sah, yaitu pada barang yang tidak boleh diperjualbelikan.
Adapun harganya, maka dibagi untuk kedua barang tersebut dan disesuaikan dengan
harga standar pasar yang berlaku. Yang demikian ini dapat memisahkan transaksi
(tafriq ash-shafqah) yang boleh dan transaksi yang tidak boleh.
Sebagian fuqaha’ dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
transaksi tidak dapat dipisahkan sehingga kedua transaksi tersebut batal.21
Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anh bahwa dia berkata :

‫ص ْفقَ ٍة‬ َ ‫نَهَى النَّبِ ُّي َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ع َْن‬
َ ‫ص ْفقَي ِْن فِ ْي‬
“ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shafqaini fi shafqah

20
Ibnu Manzhur; Lisanul-‘Arab, entri sh-f-q, dan Fathul-Qadir, juz VI, hlm. 81.
21
An-Nawawi: al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz IX, hlm. 379, dan Ibnu Qudamah: al-Mughni, juz VI, hlm. 335.
(dua transaksi dalam satu transaksi).” (Riwayat Ahmad).22
Dalam kitab al-Mubdi’23 disebutkan bahwa tafriq ash-shafqah mempunyai tiga
bentuk sebagaimana berikut in.
1. Menjual sesuatu yang diketahui dengan sesuatu yang tidak diketahui.
Bentuk seperti in tidak sah karena barang yang tidak diketahui tidak
dapat ditentukan nilainya sehingga tidak ada cara untuk mengetahui
harganya.
2. Menjual barang milik bersama, seperti tanah milik seseorang dan
saudaranya. Boleh menjual bagian yang menjadi haknya menurut
pendapat yang shahih.
3. Menjual perhiasan dan minuman keras. Mengenai hal ini ada dua
pendapat. Pendapat pertama menyatakan tidak sah karena transaksi
tersebut menggabungkan sesuatu yang halal dan yang haram. Pendapat
kedua menyatakan sah karena masing-masing dari dua barang itu
mempunyai hukum sendiri jika keduanya berkumpul, keduanya
membawa hukum masing-masing. Demikian inilah pendapat yang lebih
rajih. wallahu a’lam
13. Bai’atani fil-Bai’ah (Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli)
Bai’atani adalah bentuk mutsanna dari bai’ah yang berarti satu penjualan.
Hukum Bai’atani fil-bai’ah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bai’atani fil-bai’ah (dua jual
beli dalam satu jual beli). Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadits
yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anh bahwasannya ia berkata,

‫نَهَى النَّبِ ُّي َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ع َْن بَ ْي َعتَي ِْن فِ ْي بَ ْي َع ٍة‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”

Demikian pula hadits yang bersumber dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash
Radhiyallahu ‘anh.

‫ْح َمالَ ْم يُضْ َم ْن‬


ِ ‫نَهَى ع َْن بَ ْي َعتَ ْي ِن فِ ْي بَ ْي َع ٍة َوع َْن ِرب‬
22
Riwayat Ahmad juz I, hlm. 389.
23
Ibnu Muflih; al-Mudbi’ fi Syarhil-Muqni’, juz IV, hlm. 38.
“Susungghuhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melarang dua jual beli dalam
satu jual beli dan melarang menarik keuntungan sesuatu yang belum menjadi
tanggung jawabnya (belum diterima menjadi hak miliknya.” 24

Terjadi kontroversi dikalangan fuqaha’ mengenai pengertian bai’atani fil-bai’ah


(dua jual beli dalam satu jual beli) dalam termiolog jual beli. Ibnu al-Qayyim
memahami bahwa maknanya adalah jika seseorang mengatakan, “Aku menjual
barang dagangan ini kepadamu seharga 100 selama setahun, dengan catatan aku beli
lagi setelah masa setahun dengan harga 80 secara kontan.” Dia melanjutkan,
“Demikianlah pengertian hadits diatas yang menjelaskan bai’atani fil-bai’ah (dua
jual beli dalam satu jual beli), dan tidak ada pengertian lain lagi.”

Pendapat Ibnu al-Qayyim Rahimahullah diatas mengisyaratakan bahwa seolah-


oleh dia meyakini bai’atani fil-bai’ah (dua jual beli dalam satu jual beli) adalah jual
beli ‘inah, padahal sesungguhnya tidaklah demikian.

Pengertian bai’atani fil-bai’ah (dua jual beli dalam satu jual beli) adalah jika
seseorang berkata, “Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga Rp 1000
penuh, 10 dengan diangsur, 10 secara kontan, atau 20 dengan kredit jatuh tempo
tanpa ada kepastian/keputusan transaksi mana yang disetujui. Yang dilarang adalah
memberli alternatif harga yang berbeda berdasarkan cara membayar (konta atau
kredit, dan lain-lain) tanpa adanya kepastian/keputusan transaksi pada tiap-tiap
alternatif harga sehingga tidak dapat diketahui apakah dengan pembayaran secara
cash atau kredit. Namun, jika ada keputusan/kepastian transaksi pada satu model
pembayaran dengan harga tertentu dan diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual
beli tersebut sah dan tidaklah berdosa.25

Ibnu Qudamah, pengarang al-Mughni, menyatakan bahwa jika seorang


mengatakan, “Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga sekian dengan syarat
aku mengambil lagi darimu dengan harga sekian,” maka jual beli seperti ini tidak
sah. Demikian pula, jika seseorang menjual sesuatu dengan pembayaran emas
dengan syarat ia membeli kembali dan pembayarannya dalam bentuk dirham, maka
24
Riawayat Ahmad, nomor 18398, dan an-Nasa’i. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani nomor 1307.
25
Fatwa Syaikh Ibn Baz, juz XXI, hlm. 48.
jual beli seperti ini tidak sah karena penjual mensyaratkan dalam transaksi untuk
membelanjakan/menukar uang harga barang. Ini berarti telah terjadi jual beli dalam
satu transaksi. Imam Ahmad menyatakan bahwa seperti inilah makna bai’atani fil-
bai’ah (dua jual beli dalam satu jual beli).

Ada versi lain dalam memahami bai’atani fil-bai’ah (dua jual belli dalam satu
jual beli), yaitu jika seorang berkata, “Aku menjual barang ini kepadamu deharga 10
seara kontan (cash) atau 15 secara kredit. Jual beli seperti ini tidak sah karena
harganya tidak ditentukan (diketahui) secara pasti.26

14. Jual Beli Talji’ah


Secara etimologis, talji’ah adalah sinonim dari ikrah (paksaan) dan idhthirar
(terpaksa).27 Adapun jual beli talji’ah secara etimologis adalah jika penjual dan
pembeli berpura-pura melakukan transaksi jual beli, namun sebenarnya dalam
hatinya tidak (ingin melakukannya) karena takut kepada orang yang zalim dan lain
sebagainya dalam rangka menghindarkan diri daei kezhaliman.28

Hukum Jual Beli Talji’ah

Terjadi kontroversi mengenai hukum jual beli talji’ah sebagai berikut.

1. Abu Hanifah berpendapat bahwa jual beli talji’ah adalah tidak sah (batil) karena
mengandung unsur main-main dan tidak ada unsur suka sama suka, maka secara
yuridis tidak dianggap jual beli yang sah, ini juga merupakan pendapat yang
masyhur (populer) dikalangan Hanabilah.
2. Syafi’iyyah berpendapat bahwa jual beli talji’ah adalah sah karena yang
dipegang adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli secara lahiriyah.
Transaksi seperti ini sah karena telah memenuhi syarat-syaratnya. Ini juga
merupakan salah satu riwayat dari Hanafiyyah dan Hanabilah.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa jual beli talji’ah tidak sah karena tidak
ada unsur suka sama suka didalamnya.
Ada dua interpretasi terhadap jual beli ikrah (paksaan) dan idharah (terpaksa).
26
Ibnu Qudamah: al-Mughni, juz VI, hlm. 332, dan al-Majmu’, juz IX, hlm. 340.
27
Al-Qamus al-Muhith, entri l-j-a.
28
Al-Inshaf, juz IV, hlm. 265.
Pertama, yang dimaksud adalah jual beli karena terpaksa. Tidak sah jual beli
orang yag dipaksa tanpa hak. Namun, jika ia dipaksa karena alasan yang
dibenarkan, maka sah jual belinya.
Kedua, orang yang dipaksa menjual adalah orang yang terlilit hutang, maka
selayaknya ia menjual harta bendanya meskipun dengan harga yang lebih murah.
Dianjurkan supaya tidak membeli harta orang yang berhutang tersebut dengan lebih
murah. Namun, sebaliknya dianjurkan menolongnya untuk melunasi hutang, atau
meminta tangguh kepada orang yang memberinya hutang. Akan tetapi, jika
seseorang membeli harta bendanya, maka jual beli tersebut sah.29
15. Jual Beli Anjing
Imam al-Bukhari meriwaytakan hadits uang bersumber dari ‘Aun ibn Abi
Juhaifah, dari bapaknya yang berkata:

‫ب ْالبَ ِغ ِّي‬ ِ ‫نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ال َّد ِم َوثَ َم ِن ْال َك ْل‬


ِ ‫ب َو َك ْس‬
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan hasil penjualan darah,
anjing, dan pekerjaan melacur”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).30

Berdasarikan hadits diatas dan lainnya, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat


bahwa jual beli anjing adalah tidak sah secara mutlak baik anjing yang terlatih
maupun yang tidak. Ini juga merupakan pendapat yang populer dikalangan
Malikiyyah.

Sebagian ulama Malikiyyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara dan
anjing yang tidak boleh dipelihara. Mereka membolehkan menjual anjing yag boleh
dipelihara. Adapun mengenai anjing yang tidak boleh dipelihara, maka terjadi
kontroversi, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.

Hanasiyyah berpendapat bahwa sah jual beli anjing secara mutlak.31

29
Raudhah ath-Thalibin, hlm. 524
30
Riwayat al-Bukhari, juz II, hlm. 43, dan Muslim juz V, hlm. 35.
31
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz IX, hlm. 154.
Yang benar menurut kami adalah bahwa boleh menjual anjing yang terlatih, dan
harganya dihitung sebagai jasa melatihnya saja, bukan karena untuk menghargai
anjingnya.32

16. Jual Beli Alat Permainan dan Alat Musik


Menjual alat-alat permainan dan alat-alat musik adala dilarang menurut mayoritas
fuqaha’ karena alat-alat itu disediakan untuk berbuat maksiat, tidak ada manfaatnya,
bahkan mengandung bahaya yang sudah maklum bagi orang yang berakal. Karena itu
tidak boleh dan tidak sah memperjualbelikannya.33

17. Jual Beli Berhala dan Sejenisnya


Pendapat mengenai jual beli behala sama seperti jual beli alat-alat permainan dan
alat-alat musik. Hal ini berdasarkan sabra Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

‫َواأْل َصْ ن َِام إِ َّن هللاَ َح َّر َم بَ ْي َع ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْيتَ ِة َو ْال ِخ ْن ِزي ِْر‬
“Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai babi, dan berhala-
berhala.” (Riwayat al-Bukhari).
18. Jual Beli Hutang dengan Hutang
Yaitu menjual barang terhutang yang masih dalam tanggungan dengan cara
kredit.34
Jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli demikian sebagaimana yang diriwayatkan ‘Umar
Radhiyallahu ‘anh:

‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َِن ْال َكالِ ِئ بِ ْال َكالِ ِئ‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual hutang
dengan hutang.” (Riwayat al-Baihaqi).35

Beliau juga bersabda,

‫ص ْيئَ ِة بِالنَّ ِس ْيئَ ِة‬


ِ َّ‫هُ َوالن‬
32
‘Abdullah Thayyar: Taujih wa Tanbih ila Huwah ash-Shaid wa Muhibbih, hlm. 42.
33
Al-Kaisani: Bada’i ash-Shanna’i-‘, juz V, hlm. 144, dan al-Bahuti: Kasysayaf al-Qana’, juz III, hlm. 186.
34
Al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’, juz IV, hlm. 150.
35
Riwayat al-Baihaqi, juz V: 290. Ibnu Hajar menilai hadits ini dha’if dalam Bulughul-Maram, hlm. 193.
“Itu adalah nasi’ah dengn nasi’ah”.

Maksudnya adalah menjual barang berhutang yang belum terbayar dengan cara
kredit. Al-Kali’ arti asalnya adalah hutang yang tertunda pembayarannya.

Jual beli demikia ini ada dua tipe sebagai berikut.

1. Menjual barang terhutang kepada orang yang berhutang. Sebagian fuqaha’


menyatakan bahwa jika seseorang masih mempunyai hutang kepada fulan akibat
merusakkan barang atau suatu barang yang belum terbayar, maka fulan boleh
menjualnya kepada orang yang terhutang itu meskipun fulan belum menerima
barangnya karena hak miliknya tetap ada dalam tangan orang itu. Selain yang
demikian ini tidak boleh.
2. Menjual barang terhutang kepada selain orang yang berhutang. Tipe jual beli
seperti ini tidak boleh karena sesuatu yang berhutang tidak dapat
diserahterimakan.36
Syaikh ‘Abdullah ibn Mani’ menyebutkan tipe-tipe jual beli barang terhutang
dengan hutang mencapai lima belas tipe. Tipe yang tidak mengandung gharar
(penipuan), riba, dan dapat diketahui, boleh dilakukan, tetapi selain ini tidak boleh.37
19. Jual Beli Wafa’
Secara etimologis, wafa’ (menepati) berlawanan makna dengan al-fhadr (khianat,
tidak menepati janji). Wafa bi ‘ahd artinya dia menepati janji. Wafa’ adalah perangai
yang mulia. Aufa ar-rajula haqqahu artinya dia memberikan hak laki-laki itu secara
sempurna. Dinamakan jual beli wafa’ karena pembeli wajib menepati dengan syarat.38
Adapun jual beli wafa’ secara terminologis adalah jual beli dengan syarat, yaitu
jika penjual mengembalikan uang hasil penjualan, pembeli mengembalikan barang
dagangan kepada penjual.
Malikiyyah menamainya jual beli tsaniya, Syafi’iyyah menamainya jual beli
‘ahdah, dan Hanabilah menamainya jual beli amanah.

Hukum Jual Beli Wafa’


36
An-Nawawi: al-Majmu’Syarh al-Muhadzdzab, juz , hlm. 272, al-Mubdi’ fi syarh al-Muqni’, juz IV, hlm. 150, dan
Hasiyah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al-Kabir, juz III, hlm. 61.
37
Fatawa wa Buhuts Syaikh ‘Abdullah Muni’, juz III, hlm. 285.
38
Majalah al-Ahkam al-‘Adliyah, materi 105.
1. Malikiyyah dan Hanabilah serta ulama mutaqaddimin dari kalangan Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah berpendapat bahwa jual beli al-wafa’ tidak sah karena syarat dari penjual
bahwa ia akan mengambil barang dagangannya lagi dari pembeli jika ia
mengembalikan uang pembeli yang telah dibayarkan bertentangan dengan tujuan jual
beli, yaitu hak milik pembeli terhadap barang dagangan yang dibelinya yang bersifat
permanen.
2. Sebagian ulama muta’akhkhirin dari kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah
berpendapat bahwa jual beli wafa’ diperbolehkan da sesuai dengan sebagian hukum
jual beli, yaitu pembeli dapat memanfaatkan barang dagangan.
Argumentasi mereka adalah bahwa manusia telah mengenal dan mempraktikkan jual
beli wafa’ untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan menjauhkan diri dari praktik
riba, maka jual beli seperti ini sah dan diperbolehkan. Syarat dalam jual beli wafa’
tidak merusak keabsahan jual beli meskipun tidak sesuai dengan kaidah hukum yang
berlaku karena kaidah itu bisa saja tidak dipakai dalam bisnis.
3. Sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa jual beli wafa’ adalah gadai (rahn),
dan bukan jual beli, maka harus memakai hukum gadai. Argumentasi mereka adalah
bahwa yang dijadikan pegangan dalam transaksi-transaksi adalah maknanua, bukan
lafal dan bentuknya (strukturnya).39
Praktik transaksi wafa’ telah dipraktikkan di negara Syam, Irak, Mesir dan lain-lain
tanpa ada yang mengingkari sejak abad ke-6 H.40
Konvensi Fikih Islami pada Organisasi Kongres Islami yang dilaksanakan di Jeddah
dalam keputusan nomor 66/4/7 menyataka: “Bahwa jual beli wafa’ secara yuridis tidak
boleh karena pada hakikatnya jual beli ini adalah hutang dengan menarik keuntungan
yang tidak lain merupakan rekayasa praktik riba.”
Mereka itu melihat jual beli al-wafa’ dari segi bahwa ia termasuk gadai (rahn), tetapi
mereka tidak melihatnya sebagai bagian dari kategori transaksi kontemporer yang
diperbolehkan oleh sebagian fuqaha’ terdahulu.
20. Jual Beli Saat Adzan Jum’at
Allah Ta’ala berfirman:

39
Al-Mausut’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz IX, hlm. 260.
40
Musthafa az-Zurqa’: al-‘Uqud al-Musammah fil-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam), hlm. 164.
‫ي لِلصَّال ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا إِلَى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا نُو ِد‬
َ‫َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang
pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Jumu’ah : 9).
Perintah meninggalkan jual beli berarti larangan melakukannya. Berdasarkan ayat
diatas, ulama sepakat bahwa jual beli haram saat dikumandangkan adzan shalat
Jum’at.
Yang menjadi persoalan adalah saat adzan yang mana jual beli diharamkan
mengingat ada dua adzan dalam shalat jum’at.
Pendapat yang shahih, yang merupakan pendapat mayoritas ulama, bahwa adzan
yang diharamkan jual beli adalah adzan kedua pada shalat jum’at karena pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan Jum’at hanya dilakukan sekali, yaitu
adzan menjelang khutbah. Pada saat adzan inilah jual beli diharamkan.
Syarat-Syarat Diharamkan Jual Beli Saat Adzan Jum’at
1. Orang yang melakukan jual beli adalah orang yang termasuk dalam kategori
orang yang wajib melaksanakan shalat jum’at. Jika jual beli dilakukan oleh dua
orang yang sama-sama tidak terkena kewajiban shalat jum’at maka tidak haram
dan tidak makruh. Jika jual beli dilakukan oleh orang yang wajib menghadiri
shalat Jum’at dan satunya tidak wajib menghadiri shalat jum’at dan satunya tidak
wajib melakukannya, mayoritas ulama berpendapat keduanya berdosa karena
sama-sama melanggar larangan. Allah Ta’ala berfirman :

‫اإلثم َو ْال ُع ْد َوان‬


ْ ‫اونُوا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق َوى َوال تَ َعا َونُوا َعلَى‬
َ ‫َوتَ َع‬
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah :
2).

Namun demikian, apakah jual beli seperti diatas tidak sah? Ulama Malikiyyah
berpendapat tidak sah. Sementara itu, ulama Hanabilah menyatakan bahwa jual beli
tidak sah bagi orang yang tidak wajib menghadiri shalat Jum’at karena ia telah ikut
andil terlaksananya dosa bagi yang berkewajiban.41

2. Orang yang melakukan jual beli mengerti larangan melakukan jual beli pada saat
adzan Jum’at.
3. Tidak dalam keadaan darurat, seperti orang kelaparan yang membeli makanan.
4. Jual beli dilakukan setelah mulai dikumandangkannya adzan khusus menjelang
khutbah.
21. Jual Beli Fudhuli
Fudhuli secara etimologis adalah orang yang sibuk melakukan sesuatu yang tidak
berguna baginya, yaitu bukan orang yang menjadi wali, pemilik, atau wakil dalam
transaksi.42
Adapun jual beli fudhuli secara terminologis adalah jika seorang menjual sesuatu
yang terjadi hak milik orang lain tanpa ada izin secara syar’i.
Hukum Jual Beli Fudhuli
Terjadi kontroversi dikalangan fuqaha’ mengenai hukum jual beli fudhuli.
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan salah satu pendapat dalam dikalangan Syafi’iyyah,
membolehkannya dengan syarat jika ada maslahatnya bagi yang mempunyai harta,
seperti khawatir rusak atau hilang.
Hanabilah berpendapat, yang merupakan pendapat lain dikalangan Syafi’iyyah,
bahwa jual beli al-fudhuli tidak sah karena orang yang membelanjakan harta tidak
mempunyai hak terhadap harta itu, tidak mempunyai izin, tidak mempunyai
kekuasaan, dan tidak menjadi wakil. Disamping itu, ia juga menjual sesuatu yang
tidak dapat diserahterimakan.43
Pendapat yang benar adalah boleh melakukan jual beli fudhuli jika mendapat izin
dari pemilik harta.

BAB III

41
Hasyiyah al-Adwa ‘ala Syarh al-Khursyi, juz II, hlm. 90, dan Kasydyaf al-Qana’, juz III, hlm. 180.
42
Al-Mishbah al-Munir, entri f-dh-1.
43
Mughnil-Muhtaj, juz II, hlm 15, dan al-Majmu’, hlm. 9261.
KESIMPULAN

Menurut buku Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam pandangan 4 madzhab,


setidaknya ada 21 jenis jual beli yang dilarang menurut fiqh : Jual beli yang
mengandung riba, Jual beli ‘Inah, Jual Beli Gharar, Jual Beli Muzabanah, Jual Beli
‘Urbun (DP/Down Payment/Uang Muka), Larangan Jual Beli Makanan Sebelum Di
Takar, Menjual Sesuatu yang Belum Diterima (Qabdh), Jual Beli Ahlul Hadhar
(Orang kota) dengan Al-Badi (Orang Desa), Jual Beli Talaqqi ar-Rukban
(Menghadang Kafilah yang Menuju Pasar), Menjual kepada Pembeli Orang Lain, Jual
Beli Najasy, Jual Beli Tafriq ash-Shafqah (Memisahkan Transaksi), Bai’atani fil-
Bai’ah (Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli), Jual Beli Talji’ah, Jual Beli Anjing, Jual
Beli Alat Permainan dan Alat Musik, Jual Beli Berhala dan Sejenisnya, Jual Beli
Hutang dengan Hutang, Jual Beli Wafa’, Jual Beli Saat Adzan Jum’at, Jual Beli
Fudhuli.

DAFTAR PUSTAKA
Bin, Abdullah, dkk. 2015. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab.
Maktabah Al-Hanif : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai