Dosen Pembimbing :
Dr. Latief Awaluddin, MA., ME
Disusun Oleh :
Anisa Fitriany Sholehah (NIM 18.03.2026)
Bilal Zakawali Al-Fathoni (NIM 19.03.2603)
Widia Mukholashin (NIM 18.03.2024)
1
Mukhtarush-Shihah, entri ‘a-in.
Jual beli ‘inah menurut istilah adalah menjua sesuatu benda dengan harga lebih
yang dibayarkan belakangan dalam tempo tertentuuntuk tidak dijual lagi oleh orang
yang berhutang dengan harag saat itu yang lebih murah untuk menutup hutangnya.2
Praktik jual beli ‘inah adalah jika seseorang penjual menjual barang
dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dalam tempo tertentu,
kemudian penjual itu membeli kagi barang dagangan itu dari pembeli (sebelum
pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo
pembeli membayar harag barang yang dibelinya dengan harga awal.
Syaikh Ibnu Baz Rahimahullaj berkata Ketika mendefenisikan jual beli ‘inah.
“bentuk jual beli ‘inah adalah jika seseorang membeli barang dagangan dari penjual
dengan harga terhutang, kemudian ia menjualnya Kembali kepada penjual itu denga
harga yang lebih murah yang dibayarkan secara kontan. Demikian ini dilarang
karena mengandung rekayasa praktik riba. Demikian ini didasarkan pada hadits yang
bersumber dari ‘Aisyah dan Ibnu Umar Radhiyallhu ‘Anhuma.”
Dalam ‘inah ada juga yang disebut dengan Tawaruq. Tawaruq secara
terminologis adalah jika seseorang membeli barang dagangan secara tidak kontan,
kemudian menjualnya kepada orang lain dengan kontan dengan harag yang lebih
murah dari pada Ketika ia membeli agar mendapat uang secara kontan. Istilah ini
hanya ditemukan di kalangan fuqiha Hanabilah. Ulama lain memasukan jual beli
seperti ini ke dalam kategori jual beli ‘inah.
Mayoritas fuqoha berpendapat bahwa jual beli tawaruq diperbolehkan
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli…”
(Surat Al-Baqoroh [2]: 275)
Demikian juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada pekerja beliau di
Khaibar:
بِ ْع ْال َج ْم َع بِال َّد َرا ِه ِم ثُ َّم ا ْبتَ ْع بِال َّد َرا ِه ِم َجنِيبًا
“Jualah semuanya dengan dirham, kemudian beli kurma janib lainnya dengan
dirham itu”
2
Ad-Dar Al-Mukhtar, juz IV, hlm. 279
Jual beli tawaruq diperbolehkan akrena tidak Nampak adanya praktik riba
didalamnya. Dalam kitab Kasysyaf al-qana’ dijelaskan bahwa jika seseorang
membutuhkan uang kontan, kemudian ia membeli barang senilai Rp. 100 dibeli
dengan harga Rp. 150 tidak kontan (dan menjualnya lagi dengan harga Rp. 100 secara
kontan), maka demikian ini diperbolehkan. 3
Umar bin Abdul Aziz dan Muhammad Ibn AlHasan, salah seorang sahabat Abu
Hanifah, berpendapat bahwa jual beli tawaruq adalah makhruh. Sementara itu, Ibnu
Hamam berpendapat menyelisihi yang lebih utama tidak baik.
3. Jual Beli Gharar
Definisi Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui bahaya dikemudian hari,
dari barang yang tidak diketahui hakikatnya.
Hukum jual beli Gharar dalam kitab Shahih Muslim diesbutkan bahwa
Rasulullah SWA melarang jual beli Gharar. Larangan jual beli gharar ini merupakan
dasar yang fital dan kaidah hukum dalam transaksi-transaksi tukar menukar dalam
jual beli, ijarah, dan lain sebagainya.
Nilai gharar (penipuan) itu berbeda-beda. Jika unsur yang tidak dapat diketahui
hakikatnya sangat besar, maka keharaman dan dosanya lebih besar juga. Semua
penipuan yang tidak dapat diketahui dan adanya unsur bahaya yang nyata dalam
semua jenis transaksi tukar menukar dan syirkah termasuk dalam kategori laranhan
dalam hadits diatas.
Gharar ada tiga macam sebagaimana berikut ini.
a. Jual beli sesuatu yang tidak ada, seperti jual beli habl al-habakah.
b. Jual beli sesuatu yang tidak diserahterimakan, seperti unta yang melarikan
diri.
c. Jual beli sesuatu yang tidak dapat diketahui secara mutlak, atau tidak dapat
diketahui jenis, atau ukurannya.
Bentuk jual beli gharah bisa berupa jual beli malaqih, madhamin, jual beli buah-
buahan sebelum jelas kematangannya, jual beli mulamasah, munabadzah, dan hashat
(lempar batu).
3
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz XIV, hlm. 147.
Meskipun tipe jual beli seperti diatas masuk dalam bab jual beli dilarang, namun
kami menyebutkan secara khusus jual beli demikian itu sangat popular pada zaman
jahiliyyah.4
Imam Nawawi menyatakab bahwa larangan jual beli gharar merupakan dasar
yang penting dalam bab jual beli, dan memuat masalah-masalh yang sangat banyak
dan tak terbatas, seperti jual beli sesuatu yang tidak ada, hewan atau budak yang
melarikan diri, sesuatu yang tidak diketahui, seusatu yang tidak dapat
diserahterimakan, sesuatu yang belum menjadi hak milik penjual secara penuh,
menjual ikan yang masih dalam air yang banyak, air susu yang belum diperah, menjual
janin dalam kandungan, jual beli baju dalam beberapa baju, kambingan diantara
beberapa kambing dan lain sebagainya. Semua itu tidak sah karena mengandung
gharar (penipuan) yang besar dan tidak dinutuhkan.5
Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Gharar pada asalnya bahwa Allah dalam kitab-
Nya mengharamkan memakan harta orang lain secara bathil. Demikian ini mencakup
semua yang dimakan dengan bathil, dan nabi Saw melarang jual beli gharar. Gharar
adalah tidak diketahui akibatnya.6
4
Ibnu Bassam: Tauhid AL-Ahkam min Bulughil Maram, juz IV, hlm. 266
5
An-Nawawi: Al-Majmu’Syarh Al-Muhadzdzab, juz IX, hlm. 257
6
Majmu’Fatawa Ibn Taimiyyah, juz XXIX, hlm. 22.
7
Al-Mishbah Al-Munir, entri z-b-n.
Pertama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh bukhari: “Sesungguhnya
Nabi SAW melarang jual beli muzabanah dan muhalaqoh.” (Riwayat Al-Bukhori).8
Muhalaqoh adalah menjual produk pertanian yang masih belum siap dipanen.9
Kedua, Adanya syubhat karena mengandung riba. Hal demikian ini karena jual
beli muzabanah termasuk jual beli sesuatu yang dapat ditakar dengan sesuatu yang
dapat ditakar dari jenis yang sama, namun ada kemungkinan tidak sama bobotnya.10
Ketiga, adanya unsur penipuan didalam jual beli muzabanah. Semua yang
mengandung gharar tidak sah, maka tidak boleh menjual budak yang melarikan diri,
hewan yang lari, dan burung di udara karena mengandung unsur gharar.
Praktiknya adalah jika buah kurma yang masih segar di atas pohon dijual dengan
perkiraan nilai buah kurma kering. Demikian ini diperboehkan menurut mayoritas
ulamaa karena adanya kebutuhan dengan catatan saling menerima di majlis transaksi
dan dengan catatan kurma yang di transaksikan kurang dari lima wasaq.
5. Jual Beli ‘Urbun (DP/Down Payment/Uang Muka)
‘Urbun atau ‘urban secara etimologis berarti sesuatu yang digunakan sebagai
pengikat jual beli.11 Sedangkan urbun secara terminologis adalah jika seseorang
membeli barang dagangan dan membayar Sebagian harganya kepada penjual (sebagai
DP/Down payment/uang muka), dengan catatan jika ia mengambil barang dagangan
makai a melunasi harga barang, dan jika ia mengambilnya, maka barang itu menjadi
milik penjual.12
Fuqoha berbeda pendapat mengenai hukum jual beli ‘urbun. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa jual beli ‘urbun tidak sah berdasarkan hadits Amr bin Syua’ib dari
bapaknya, dari kakeknya yang berkata:
صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن بَي ِْع ْالعُرْ بَا ِن
َ ِنَهَى َرسُوْ ُل هللا
“Nabi SAW melarang jual beli ‘urban.”
Mayoritas ulama berpendapa bahwa jual beli ‘urbun adalah haram karena
termasuk memakan harta orang lain secara bathil, juga mengandung gharar dan
mengandung dua syarat mutlak, yaitu syarat memberi uang muka pada penjual dan
8
Fathul Bari, juz IV, hlm. 384
9
Mukhtarush Shihah, entri h-q-l.
10
Raddul Mukhtar ‘Alad-darul Mukhtar, juz IV, hlm. 109
11
Qamus Al-Muhith, entri ‘a-r-b.
12
Kasysyaf al-Qana, juz III, hlm. 195.
syarat mengembalikan jual beli jika tidak suka. Masih banyak lagi argumentasi
mayoritas ulama yang tidak membolehkan jual beli ‘urban.
Hanabilah berpendapat bahwa jual beli semacam ini adalah boleh dan sah. Abdul
Aziz ibn Baz juga membolehkan jual beli ‘urbun. “tidak apa-apa mengambil DP
menurut pendapat ulama yang shahih jika penjual dan pembeli telah menyepakati
meskipun jual beli tidak ada.” Namun, Jika penjual mengembalikan uang muka
pembeli jika jual beli tidak jadi, maka demikian ini lebih utama dan lebih banyak
pahalanya di sisi Allah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
َم ْن أَقَا َل ُم ْسلِ ًما أَقَالَهُ هَّللا ُ ع َْث َرتَهُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة
“Barangsiapa yang menerima pembatalan transaksi seorang muslim, maka Allah
membatalkan kesalahannya.”
6. Larangan Jual Beli Makanan Sebelum Di Takar
Definisinya menurut Imam Ahmad dari 'Utsman Radhiyallahu 'anh bahwasanya
ia berkata, "Aku pernah membeli kurma dari komunitas Yahudi yang disebut Banu
Qainuqa'. Kemudian aku menjualnya kembali dengan mendapat keuntungan. Berita
ini sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau bersabda,
Alasan larangan jual beli di atas adalah karena jika al-badi (orang pelosok desa)
dibiarkan menjual barang dagangannya, maka ia akan menjualnya kepada orang lain
dengan harga yang lebih murah. Namun, ketika orang kota telah memonopoli harga,
maka harga itu akan naik dan memberatkan konsumen pada umumnya. Demikianlah
makna hadits di atas.14
9. Jual Beli Talaqqi ar-Rukban (Menghadang Kafilah yang Menuju Pasar)
Praktiknya secara konkrit adalah seorang penjual datang ke pasar dan pembeli
menghadangnya sebelum penjual sampai ke pasar. Kemudian pembeli tersebut
membeli barang dagangannya dengan harga di bawah standar pasar karena penjual
tidak tahu harga standar. Syari'at Islam melarang jual beli seperti ini karena
mengandung penipuan, merugikan penjual, dan konsumen lain yang ada di kota.
13
Ibnu Qudamah: Al-Mughni, jilid VI, hlm, 308, 310.
14
Ibid
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan bahwa penipuan itu di
neraka dalam sabdanya:
الخديعة في النار
"Penipuan itu di neraka." (Riwayat al-Bukhari).
Jika seseorang menghadang kafilah sebelum sampai ke pasar dan membeli
barang dari mereka, maka penjual mempunyai hak khiyar (memilih) ketika telah
sampai di pasar dan mengetahui bahwa mereka tertipu. Mereka mempunyai pilihan:
meneruskan jual beli tersebut atau membatalkannya. Hal demikian ini didasarkan
pada hadits Ibnu Abbas yang melarang menghadang kafilah pedagang yang pergi ke
pasar (talaqqi ar-rukban).15
10. Menjual kepada Pembeli Orang Lain
Praktiknya secara konkrit adalah jika ada seorang penjual yang telah melakukan
transaksi kepada seorang pembeli tentang suatu barang, kemudian ada penjual lain
mendatangi pembeli tersebut untuk menawarkan barang sejenis dengan harga yang
lebih murah, atau dengan harga sama dengan kualitas barang yang lebih baik, atau
dengan cara lain yang dapat menarik minat pembeli. Kemudian pembeli tersebut
membatalkan transaksinya dengan penjual pertama dan membeli barang dagangan
dari penjual kedua. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli seperti
ini karena merugikan dan merusak sesama.
Demikian pula sebaliknya, dilarang membeli barang dagangan yang masih
dalam transaksi orang lain. Praktiknya adalah seorang pembeli sedang melakukan
transaksi dengan seorang penjual tentang suatu barang. Kemudian datang pembeli
kedua yang menginginkan barang yang sama dengan penawaran harga yang lebih
tinggi daripada harga yang diberikan pembeli pertama. Jual beli seperti ini dilarang
karena dapat mendatangkan kerusakan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
16
Riwayat al-Bukhari, juz II, hlm. 175; Muslim, juz IV hlm. 138;dan al-Mughni juz 6, hlm. 305
17
Al-Mishbah al-Munir, entry n-j-sy
18
Ibnu Qudamah: al-Mughni, jilid VI, hlm. 304
19
Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi, juz I. hlm. 68, dan Ibnu Qudamah: al-Mughni, juz VI, hlm. 304
melaksanakan dua transaksi dalam satu transaksi, misalnya seseorang menjual
rumahnya kepada fulan dan sekaligus mobil fulan dengan syarat jika transaksi jual
beli rumah terjadi, maka jual beli mobil juga terjadi.20
Terjadi kontroversi di kalangan fuqaha’ mengenai maksud shafqaini fi shafqah
(dua trasnsaksi dalam satu transaksi). Sebagian dari mereka, termasuk asy-Syaukani
dan Ibnu al-Qayyim, berpendapat bahwa kedua kata itu adalah bentuk sinonim.
Adapun Hanafiyyah berpendapat bahwa shafqaini fi shafqah (dua transaksi dalam
satu transaksi) lebih umum, mencakup transaksi hutang piutang dengan jual beli,
ijarah dengan jual beli, pinjam meminjam dengan jual beli, syirkah dengan ijarah,
dan lain sebagainya.
Tafriq ash-Shafqah
Yaitu menjual sesuatu yang boleh diperjualbelikan dan yang tidak boleh
diperjualbelikan dalam satu transaksi dengan satu harga.
Jual beli seperti ini sangat bervariasi bentuknya. Diantara contohnya adalah
seorang menjual rumah kepada fulan dan sekaligus membeli mobil darinya dengan
syarat jika transaksi jual beli rumah terjadi, maka jual beli mobil juga terjadi. Bentuk
lainnya, misalnya seseorang menjual satu kilo madu dan satu liter khomer dengan
harga seratus.
Sebagian fuqaha’ dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabillah berpendapat bahwa
tafriq ash-shafqah sebagian sah, yaitu pada barang yang tidak boleh diperjualbelikan.
Adapun harganya, maka dibagi untuk kedua barang tersebut dan disesuaikan dengan
harga standar pasar yang berlaku. Yang demikian ini dapat memisahkan transaksi
(tafriq ash-shafqah) yang boleh dan transaksi yang tidak boleh.
Sebagian fuqaha’ dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
transaksi tidak dapat dipisahkan sehingga kedua transaksi tersebut batal.21
Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari ‘Abdullah Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu ‘anh bahwa dia berkata :
ص ْفقَ ٍة َ نَهَى النَّبِ ُّي َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ع َْن
َ ص ْفقَي ِْن فِ ْي
“ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shafqaini fi shafqah
20
Ibnu Manzhur; Lisanul-‘Arab, entri sh-f-q, dan Fathul-Qadir, juz VI, hlm. 81.
21
An-Nawawi: al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz IX, hlm. 379, dan Ibnu Qudamah: al-Mughni, juz VI, hlm. 335.
(dua transaksi dalam satu transaksi).” (Riwayat Ahmad).22
Dalam kitab al-Mubdi’23 disebutkan bahwa tafriq ash-shafqah mempunyai tiga
bentuk sebagaimana berikut in.
1. Menjual sesuatu yang diketahui dengan sesuatu yang tidak diketahui.
Bentuk seperti in tidak sah karena barang yang tidak diketahui tidak
dapat ditentukan nilainya sehingga tidak ada cara untuk mengetahui
harganya.
2. Menjual barang milik bersama, seperti tanah milik seseorang dan
saudaranya. Boleh menjual bagian yang menjadi haknya menurut
pendapat yang shahih.
3. Menjual perhiasan dan minuman keras. Mengenai hal ini ada dua
pendapat. Pendapat pertama menyatakan tidak sah karena transaksi
tersebut menggabungkan sesuatu yang halal dan yang haram. Pendapat
kedua menyatakan sah karena masing-masing dari dua barang itu
mempunyai hukum sendiri jika keduanya berkumpul, keduanya
membawa hukum masing-masing. Demikian inilah pendapat yang lebih
rajih. wallahu a’lam
13. Bai’atani fil-Bai’ah (Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli)
Bai’atani adalah bentuk mutsanna dari bai’ah yang berarti satu penjualan.
Hukum Bai’atani fil-bai’ah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bai’atani fil-bai’ah (dua jual
beli dalam satu jual beli). Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadits
yang bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anh bahwasannya ia berkata,
نَهَى النَّبِ ُّي َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم ع َْن بَ ْي َعتَي ِْن فِ ْي بَ ْي َع ٍة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”
Demikian pula hadits yang bersumber dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash
Radhiyallahu ‘anh.
Pengertian bai’atani fil-bai’ah (dua jual beli dalam satu jual beli) adalah jika
seseorang berkata, “Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga Rp 1000
penuh, 10 dengan diangsur, 10 secara kontan, atau 20 dengan kredit jatuh tempo
tanpa ada kepastian/keputusan transaksi mana yang disetujui. Yang dilarang adalah
memberli alternatif harga yang berbeda berdasarkan cara membayar (konta atau
kredit, dan lain-lain) tanpa adanya kepastian/keputusan transaksi pada tiap-tiap
alternatif harga sehingga tidak dapat diketahui apakah dengan pembayaran secara
cash atau kredit. Namun, jika ada keputusan/kepastian transaksi pada satu model
pembayaran dengan harga tertentu dan diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual
beli tersebut sah dan tidaklah berdosa.25
Ada versi lain dalam memahami bai’atani fil-bai’ah (dua jual belli dalam satu
jual beli), yaitu jika seorang berkata, “Aku menjual barang ini kepadamu deharga 10
seara kontan (cash) atau 15 secara kredit. Jual beli seperti ini tidak sah karena
harganya tidak ditentukan (diketahui) secara pasti.26
1. Abu Hanifah berpendapat bahwa jual beli talji’ah adalah tidak sah (batil) karena
mengandung unsur main-main dan tidak ada unsur suka sama suka, maka secara
yuridis tidak dianggap jual beli yang sah, ini juga merupakan pendapat yang
masyhur (populer) dikalangan Hanabilah.
2. Syafi’iyyah berpendapat bahwa jual beli talji’ah adalah sah karena yang
dipegang adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli secara lahiriyah.
Transaksi seperti ini sah karena telah memenuhi syarat-syaratnya. Ini juga
merupakan salah satu riwayat dari Hanafiyyah dan Hanabilah.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa jual beli talji’ah tidak sah karena tidak
ada unsur suka sama suka didalamnya.
Ada dua interpretasi terhadap jual beli ikrah (paksaan) dan idharah (terpaksa).
26
Ibnu Qudamah: al-Mughni, juz VI, hlm. 332, dan al-Majmu’, juz IX, hlm. 340.
27
Al-Qamus al-Muhith, entri l-j-a.
28
Al-Inshaf, juz IV, hlm. 265.
Pertama, yang dimaksud adalah jual beli karena terpaksa. Tidak sah jual beli
orang yag dipaksa tanpa hak. Namun, jika ia dipaksa karena alasan yang
dibenarkan, maka sah jual belinya.
Kedua, orang yang dipaksa menjual adalah orang yang terlilit hutang, maka
selayaknya ia menjual harta bendanya meskipun dengan harga yang lebih murah.
Dianjurkan supaya tidak membeli harta orang yang berhutang tersebut dengan lebih
murah. Namun, sebaliknya dianjurkan menolongnya untuk melunasi hutang, atau
meminta tangguh kepada orang yang memberinya hutang. Akan tetapi, jika
seseorang membeli harta bendanya, maka jual beli tersebut sah.29
15. Jual Beli Anjing
Imam al-Bukhari meriwaytakan hadits uang bersumber dari ‘Aun ibn Abi
Juhaifah, dari bapaknya yang berkata:
Sebagian ulama Malikiyyah membedakan antara anjing yang boleh dipelihara dan
anjing yang tidak boleh dipelihara. Mereka membolehkan menjual anjing yag boleh
dipelihara. Adapun mengenai anjing yang tidak boleh dipelihara, maka terjadi
kontroversi, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan.
29
Raudhah ath-Thalibin, hlm. 524
30
Riwayat al-Bukhari, juz II, hlm. 43, dan Muslim juz V, hlm. 35.
31
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz IX, hlm. 154.
Yang benar menurut kami adalah bahwa boleh menjual anjing yang terlatih, dan
harganya dihitung sebagai jasa melatihnya saja, bukan karena untuk menghargai
anjingnya.32
َواأْل َصْ ن َِام إِ َّن هللاَ َح َّر َم بَ ْي َع ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْيتَ ِة َو ْال ِخ ْن ِزي ِْر
“Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai babi, dan berhala-
berhala.” (Riwayat al-Bukhari).
18. Jual Beli Hutang dengan Hutang
Yaitu menjual barang terhutang yang masih dalam tanggungan dengan cara
kredit.34
Jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli demikian sebagaimana yang diriwayatkan ‘Umar
Radhiyallahu ‘anh:
صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َِن ْال َكالِ ِئ بِ ْال َكالِ ِئ َّ ِأَ َّن النَّب
َ ي
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual hutang
dengan hutang.” (Riwayat al-Baihaqi).35
Maksudnya adalah menjual barang berhutang yang belum terbayar dengan cara
kredit. Al-Kali’ arti asalnya adalah hutang yang tertunda pembayarannya.
39
Al-Mausut’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz IX, hlm. 260.
40
Musthafa az-Zurqa’: al-‘Uqud al-Musammah fil-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam), hlm. 164.
ي لِلصَّال ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا إِلَى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع
َ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا نُو ِد
ََذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang
pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Jumu’ah : 9).
Perintah meninggalkan jual beli berarti larangan melakukannya. Berdasarkan ayat
diatas, ulama sepakat bahwa jual beli haram saat dikumandangkan adzan shalat
Jum’at.
Yang menjadi persoalan adalah saat adzan yang mana jual beli diharamkan
mengingat ada dua adzan dalam shalat jum’at.
Pendapat yang shahih, yang merupakan pendapat mayoritas ulama, bahwa adzan
yang diharamkan jual beli adalah adzan kedua pada shalat jum’at karena pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan Jum’at hanya dilakukan sekali, yaitu
adzan menjelang khutbah. Pada saat adzan inilah jual beli diharamkan.
Syarat-Syarat Diharamkan Jual Beli Saat Adzan Jum’at
1. Orang yang melakukan jual beli adalah orang yang termasuk dalam kategori
orang yang wajib melaksanakan shalat jum’at. Jika jual beli dilakukan oleh dua
orang yang sama-sama tidak terkena kewajiban shalat jum’at maka tidak haram
dan tidak makruh. Jika jual beli dilakukan oleh orang yang wajib menghadiri
shalat Jum’at dan satunya tidak wajib menghadiri shalat jum’at dan satunya tidak
wajib melakukannya, mayoritas ulama berpendapat keduanya berdosa karena
sama-sama melanggar larangan. Allah Ta’ala berfirman :
Namun demikian, apakah jual beli seperti diatas tidak sah? Ulama Malikiyyah
berpendapat tidak sah. Sementara itu, ulama Hanabilah menyatakan bahwa jual beli
tidak sah bagi orang yang tidak wajib menghadiri shalat Jum’at karena ia telah ikut
andil terlaksananya dosa bagi yang berkewajiban.41
2. Orang yang melakukan jual beli mengerti larangan melakukan jual beli pada saat
adzan Jum’at.
3. Tidak dalam keadaan darurat, seperti orang kelaparan yang membeli makanan.
4. Jual beli dilakukan setelah mulai dikumandangkannya adzan khusus menjelang
khutbah.
21. Jual Beli Fudhuli
Fudhuli secara etimologis adalah orang yang sibuk melakukan sesuatu yang tidak
berguna baginya, yaitu bukan orang yang menjadi wali, pemilik, atau wakil dalam
transaksi.42
Adapun jual beli fudhuli secara terminologis adalah jika seorang menjual sesuatu
yang terjadi hak milik orang lain tanpa ada izin secara syar’i.
Hukum Jual Beli Fudhuli
Terjadi kontroversi dikalangan fuqaha’ mengenai hukum jual beli fudhuli.
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan salah satu pendapat dalam dikalangan Syafi’iyyah,
membolehkannya dengan syarat jika ada maslahatnya bagi yang mempunyai harta,
seperti khawatir rusak atau hilang.
Hanabilah berpendapat, yang merupakan pendapat lain dikalangan Syafi’iyyah,
bahwa jual beli al-fudhuli tidak sah karena orang yang membelanjakan harta tidak
mempunyai hak terhadap harta itu, tidak mempunyai izin, tidak mempunyai
kekuasaan, dan tidak menjadi wakil. Disamping itu, ia juga menjual sesuatu yang
tidak dapat diserahterimakan.43
Pendapat yang benar adalah boleh melakukan jual beli fudhuli jika mendapat izin
dari pemilik harta.
BAB III
41
Hasyiyah al-Adwa ‘ala Syarh al-Khursyi, juz II, hlm. 90, dan Kasydyaf al-Qana’, juz III, hlm. 180.
42
Al-Mishbah al-Munir, entri f-dh-1.
43
Mughnil-Muhtaj, juz II, hlm 15, dan al-Majmu’, hlm. 9261.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bin, Abdullah, dkk. 2015. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab.
Maktabah Al-Hanif : Yogyakarta