Anda di halaman 1dari 6

RESUME

RIBA DAN BUNGA BANK

(Resi Patmawati)

A. Riba dan Bunga Bank


Riba adalahpenetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada
peminjam.Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain,
secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis,
riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam
Secara sederhana, suku bunga bank diartikan sebagai balas jasa yang diberikan bank kepada
nasabah yang membeli atau menjual produknya.
B. Jenis-jenis Riba
Di dalam perdagangan sesuai syariat Islam, riba terbagi menjadi lima jenis, yaitu riba fadhl,
riba yad, riba nasi’ah, riba qardh, dan riba jahilliyah. Berikut ini penjelasan lengkapnya.

1. Riba Fadhl
Riba adalah kegiatan transaksi jual beli maupun pertukaran barang-barang yang
menghasilkan riba, namun dengan jumlah atau takaran berbeda.

Contoh riba pada jenis ini yaitu penukaran uang Rp100 ribu dengan pecahan Rp2
ribu, akan tetapi totalnya 48 lembar saja, sehingga jumlah nominal uang yang
diberikan hanya Rp96 ribu. Selain itu juga penukaran emas 24 karat menjadi 18 karat.

1. Riba Yad
Pada jenis ini, riba adalah hasil transaksi jual-beli dan juga penukaran barang yang
menghasilkan riba maupun non ribawi. Namun, waktu penerimaan serah terima kedua
barang tersebut mengalami penundaan.
Contoh riba yad dalam kehidupan sehari-hari yaitu penjualan motor dengan harga
Rp12 juta jika dibayar secara tunai dan Rp15 juta melalui kredit. Baik pembeli
maupun penjual tidak menetapkan berapa nominal yang harus dilunaskan hingga
transaksi berakhir.

2. Riba Nasi'ah
Riba adalah kelebihan yang didapatkan dari proses transaksi jual-beli dengan jangka
waktu tertentu. Adapun transaksi tersebut menggunakan dua jenis barang yang sama,
namun terdapat waktu penangguhan dalam pembayarannya.
Contoh riba nasi’ah yaitu penukaran emas 24 karat oleh dua pihak berbeda. Saat pihak
pertama telah menyerahkan emasnya, namun pihak kedua mengatakan akan
memberikan emas miliknya dalam waktu satu bulan lagi. Hal ini menjadi riba karena
harga emas dapat berubah kapan saja.

3. Riba Qardh
Pada jenis qardh, riba adalah tambahan nilai yang dihasilkan akibat dilakukannya
pengembalian pokok utang dengan beberapa persyaratan dari pemberi utang. Contoh
riba di kehidupan sehari-hari yaitu pemberian utang Rp100 juta oleh rentenir, namun
disertai bunga 20% dalam waktu 6 bulan.
4. Riba Jahilliyah
Riba adalah tambahan atau kelebihan jumlah pelunasan utang yang telah melebihi
pokok pinjaman. Biasanya, hal ini terjadi akibat peminjam tidak dapat membayarnya
dengan tepat waktu sesuai perjanjian.
Contoh riba jahilliyah adalah peminjaman uang sebesar Rp20 juta rupiah dengan
ketentuan waktu pengembalian 6 bulan. Jika tidak dapat membayarkan secara tepat
waktu, maka akan ada tambahan utang dari total pinjaman.

C. Sejarah Pelarangan Riba

Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba yang
dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain.
Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni
menangguhkannya."

Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus dibayar
dengan bunga. Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh
masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara
tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan
kesepakatan bersama.

Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan. Ibnu Hajar
al-Haitami menyatakan, "riba nasi’ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah. Karena
biasanya, seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan pembayaran tertunda,
dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya setiap bulan sementara jumlah uang yang
dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran. Kalau tidak mampu melunasinya, maka
diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.

Tahapan Larangan Riba dalam al-Qur'an


Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan memasukkannya dalam dosa besar.
Tetapi Allah SWT dalam mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by
step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan
perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk
mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam
kehidupan perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer
yang pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.
Tahap pertama
Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan
menjauhkan riba. Di sini, Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap
untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda
dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan
melipat gandakan pahala- Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum
mengharamkannya.
Tahap kedua
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. Riba digambarkan sebagai
sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil.Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa
bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi
tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan
bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk
menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah
terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya
yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
Tahap ketiga
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi
melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang
melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa melakukan
riba siap menerimanya.
Tahap keempat
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas, jelas,
pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan
besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut
jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-
Nya.
D. Riba dalam pandangan agama-agama
Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut kitab suci agama
Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22: "Bila kamu
menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku
laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik
uang". Dan pada pasal 36 disebutkan: " Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau
mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu,
supaya saudaramu dapat hidup diantaramu".
Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi semua
orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari kalangan
Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani) dalam
perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23, pasal 19 disebutkan: "Janganlah engkau
membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan atau apapun
yang dapat dibungakan".
E. Dampak Riba Menurut Al-Quran
1. Riba tidak akan menambah harta
Dampak riba menurut Al-Quran yang pertama yaitu apa yang pertama kali diturunkan kepada
Rasulullah SAW tentang riba ini, yaitu bahwa riba tidak akan menambah harta sebagaimana
dalam surat al-Rum ayat 39, sebagaimana berikut: Artinya: Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan
Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya) (al-Rum: 39)
2. Riba menjerumuskan orang kedalam azab yang pedih sebagaimana yang ditimpakan
kepada orang-orang yahudi
3. Riba berdampak pada kegagalan atau kejatuhan atau keruntuhan atau kesedihan dan
atau kesusahan.
Riba berdampak pada kejiwaan manusia, berdampak pada harta manusiayaitu
hancur/binasa/musnah/lenyap/merosot nilainya, dan berdampak diperangi Allah SWT
dan rasul-Nya
E. Pendapat ulama tentang riba
Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada tujuh barang, seperti terdapat pada nash, yaitu
emas, perak, gandum, syair, artikel, kurma, garam, dan anggur kering. Pada benda-benda ini,
adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan. Adapun pada barang selain itu,
para ulama berbeda pendapat:
Imam syafi'i dan sebagian pendapat imam ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan
pada emas dan perak dan makanan meskipun tidak ditimbang Sa'id ibnu musayyab dan
sebagian riwayat ahmad mengkhususkannya pada makanan jika ditimbang Imam malik
mengkhusukannya pada makanan pokok
Untuk lebih jelasnya, perbedaan pendapat tersebut akan dijelaskan dibawah ini
1. Madzhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau ditimbang
serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam, dan anggur
kering. Dengan kata lain, jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang yang telah
disebut diatas, seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk diperjualbelikan dan terdapat
tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
2. Madzhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama malikiyah pada emas dan perak adalah harga,
sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam hubungannya
dengan riba nasiah dan riba fadhl
Illat diharamkannya riba nasiah dalam makanan adalah sekedar makanan saja (makanan
untuk selain mengobati), baik karena makanan tersebut terdapat unsur penguat (makanan
pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai
makanan pokok dan kuat disimpan lama

3. Madzhab Syafi'i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga, yakni kedua barang tersebut dihargakan atau
menjadi harga sesuatu. Begitupula uang, walaupun bukan terbuat dari emas, uang pun dapat
menjadi harga sesuatu.
Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi tiga kriteria
tersebut.
Sesuatu yang biasa ditunjukkan sebagai makanan atau makanan pokok;  makanan yang lezat
atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah
kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering; makanan yang dimaksudkan untuk
menyehatkan badan dan memperbaiki makanan, yakni obat.
4. Madzhab hambali
Pada madzhab ini terdapat tiga riwayat tentang illat riba yang paling masyhur adalah seperti
pendapat ulama hanafiyah. Hanya saja, ulama hanabilah mengharamkan pada setiap jual beli
sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Hadits mengenai barang ribawi
ّ‫ب وَ ا ْلفِضَّ ةُ ِبا ْلفِضَّ ِة وَ ا ْلبُرُّ ِبا ْلب ُِر‬
ِ ‫الذَّ َهبُ ِبالذَّ َه‬

‫ستَزَ ا َد َف َق ْد َأرْ بَى اآل ِخ ُذ وَ ا ْل ُم ْعطِ ى فِي ِه سَوَ ا ٌء‬


ْ ‫ِير وَ التَّمْ ُر ِبالتَّمْ ِر وَ ا ْل ِم ْلحُ ِبا ْل ِم ْل ِح ِم ْثالً ِب ِم ْث ٍل َيدًا ِبيَ ٍد َفمَنْ زَ ا َد َأ ِو ا‬
ِ ‫شع‬َّ ‫شعِيرُ ِبال‬
َّ ‫وَ ال‬
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah
satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam,
maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa
menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

ّ‫ب وَ ا ْلفِضَّ ةُ بِا ْلفِضَّ ِة وَ ا ْلبُرُّ بِا ْلب ُِر‬


ِ ‫الذَّ َهبُ بِالذَّ َه‬
َ‫ِير وَ التَّمْ رُ ِبالتَّمْ ِر وَ ا ْل ِم ْل ُح ِبا ْل ِم ْل ِح ِم ْثالً ِب ِم ْث ٍل سَوَ ا ًء ِبسَوَ ا ٍء يَدًا ِبيَ ٍد َفِإ َذا اخْ تَلَفَتْ َه ِذ ِه اَألصْ نَافُ َف ِبيعُوا َكيْفَ شِ ْئ تُ ْم ِإ َذا َكان‬
ِ ‫شع‬َّ ‫شعِيرُ ِبال‬
َّ ‫وَ ال‬
‫يَدًا ِبيَ ٍد‬
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah
satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam,
maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi
berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan
(tunai).” (HR. Muslim no. 1587)

Anda mungkin juga menyukai