Anda di halaman 1dari 12

1.

Pengertian Riba

Menurut terminology fiqih, Riba tambahan khusus yang dimiliki oleh salah
satu pihak yang bertransaksi tanpa ada imbalan tertentu 1. Riba adalah
tambahan-tambahan dalam perkara tertentu. Riba adalah kelebihan yang tidak
disertai dengan imbalan yang disyaratkan dalam jual beli. 2 Riba menurut
Abdurrahman al-Jaiziri adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu,
tidak diketahui sama atau tidak sama menurut aturan syara’ atau terlambat salah
satunya. Menurut Muhammad Abduh, riba adalah penambahan-penambahan
yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam
hartanya (uang) karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari
waktu yang telah ditentukan.3

Badruddin al-Ayni mengatakan bahwa prinsip utama riba adalah


penambahan, menurut syara’ riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi bisnis riil. Menurut Imam Sarakhsi, riba adalah tambahan yang
diisyaratkan dalam transaksi bisnis. Menurut Abu Sura’i Abdul Hadi, yang
dinamakan riba adalah tambahan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor
atas pinjaman pokok, sebagai imbalan tempo pembayaran yang tidak
disyaratkan. Riba pada dasarnya adalah bunga atas tambahan bagi pinjaman
pokok. Dalam doktrin klasik meluas meliputi banyak keuntungan tambahan
yang diperoleh sebagai hasil transaksi dan tidak ditentukan secara persis ketika
melakukan transaksi 4

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah


suatu kelebihan yang terjadi dalam tukar-menukar barang yang sejenis atau jual
beli barter tanpa disertai dengan imbalan dan kelebihan tersebut disyaratkan
dalam perjanjian

2. Pembagian riba

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian atau macam-


macamnya riba. Tetapi sebagian ulama membagi riba menjadi 4 macam yaitu:

1
Sholah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslich, Fikih Ekonomi Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2001) hlm. 339
2
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, cet. Ke 3, (Jakarta: Hamzah, 2015), hlm. 258
3
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 56
4
Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam. Terj M. Thalib, (Surabaya: Ikhlas, 1993) hlm. 2
a. Riba fadhli.

Riba fadhl adalah tambahan yang disyaratkan dalam tukar menukar


barang yang sejenis (jual beli barter) tanpa imbalan untuk tambahan tersebut.
Misalnya menukar beras ketan 10 kg dengan beras ketan 12 kg. apabila
barang yang ditukar dari jenis berbeda, maka hukumnya boleh seperti
menukar beras ketan 10 kg dengan beras 12 kg. Enam jenis barang yang
masuk ke dalam kelompok ribawi yaitu: emas, perak, gandum, jagung,
kurma, garam. Dari keenam jenis barang tersebut maka yang termasuk
kelompok ribawi yaitu (1) barang-barang yang biasa di takar (makilat), (2)
barang-barang yang biasa ditimbang (mauzunat). Sedangkan dilihat dari segi
jenis, barang-barang yang termasuk kelompok ribawi yaitu: (1) kelompok
mata uang (nuqud) yaitu emas dan perak, (2) kelompok makanan yaitu
gandum, jagung, kurma, garam. Dari jelas illat diharamkan kedua barang ini
karena: pertama, emas dan perak merupakan alat pembayaran atau keduanya
merupakan harga. Kedua, makanan-makanan tersebut merupakan makanan
pokok yang dibutuhkan oleh manusia5

b. Riba Nasi’ah

Menurut Sayid Sabiq, riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan


yang diambil oleh yang memberikan utang dari orang yang menerima utang
sebagai imbalan ditundanya pembayaran. Ulama Hanafiah memasukkan ke
dalam kelompok riba nasi’ah suatu bentuk jual beli barter yang tidak ada
kelebihan, tetapi penyerahan imbalan atau harga diakhirkan. Riba nasi’ah
hukumnya haram berdasarkan al-Qur’an dan Hadis. Riba nasi’ah dikenal
dengan riba jahiliyah karena berasal dari kebiasaan orang jahiliyah dimana
mereka biasanya memberikan pinjaman kepada seseorang dan ketika jatuh
tempo telah tiba, biasanya mereka menawarkannya apa diperpanjang atau
tidak sehingga riba ini beranak pinak. Riba nasi’ah pada sekarang ini di
lembaga-lembaga keuangan atau perbankan yaitu dengan model pinjaman
uang yang yang pengembaliannya diangsur dengan bunga bulanan atau
tahunan seperti 7%, 5%, dst. Praktek seperti ini jelas menunjukkan riba
nasi’ah yang hukumnya dosa.6

5
Sholah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslich, Fikih Ekonomi ...hlm. 264- 265
6
Sholah ash-Shawi dan Abdullah al-Muslich, Fikih Ekonomi... hlm. 267-269
c. Riba Yad

Riba Yad adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan
penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa
menyebutkan masanya. Atau jual beli yang dilakukan seseorang sebelum
menerima barang yang dibelinya dari penjual dan tidak boleh menjualnya
lagi kepada siapa pun sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih
dalam ikatan jual beli yang pertama. Dengan kata lain akad sudah final,
namun belum ada serah terima barang.7

d. Riba Qardli

Riba Qardli adalah segala bentuk praktek utang piutang yang terdapat
motif keuntungan (syarth naf’an) yang kembali kepada pihak pemberi
pinjaman hutang (muqaridl) saja atau sekaligus kepada pihak yang
berhutang (muqtaridl). Secara esensi riba qardl ini termasuk kategori riba
faddli sebab keuntungan yang disyaratkan dalam riba qardl adalah bentuk
penambahan atau bunga pada salah satu komoditi ribawi.8

Sedangkan menurut Ibnu Qoyyim, riba dibagi menjadi dua macam yaitu:

a. Riba jelas, yang diharamkan karena keadaannya sendiri yaitu riba nasiah
(riba yang terjadi) karena adanya penundaan pembayaran utang. Riba
nasi’ah ini diperbolehkan dalam keadaan darurat (terpaksa)
b. Riba yang samar, yang disamarkan karena sebab lain, yaitu riba fadhl.
Riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda yang
sejenis. Riba fadhl ini diharamkan karena mencegah timbulnya riba
nasi’ah. Jadi bersifat preventif9

Muhammad Rasyid Ridha membagi dua macam yang diharamkan dalam


agama yakni:

a. Diharamkan karena zatnya suatu itu oleh sebab ada bahannya. Ia tidak
diharamkan hanya karena darurat contohnya riba nasi’ah

7
bid.,hlm. 267-268
8
Tim laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah :Diskursus Metodologis Konsep Interaksi
SosialMasyarakat, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hlm. 53
9
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqiyah, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989), hlm. 137
b. Diharamkan karena keadaan lainnya seperti riba fadhl yang diharamkan
supaya jangan jadi jalan atau sebab bagi terjadinya riba nasi’ah. Riba nasi’ah
data dibolehkan karena darurat atau karena ada keperluan.10

Muhammad Syafi’i Antonio mengelompokkan riba menjad dua kelompok


yaitu riba utang dan riba jual beli

a. Yang termasuk dalam riba utang piutang adalah riba qardh dan riba
jahiliyah. Riba qardh, suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berutang (munqaridh). Riba jahiliyah, utang
dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan. Yang termasuk riba jual beli adalah
riba fadhl berupa pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda. Sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam
jenis ribawi. Riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak
memenuhi kreteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya dan sama waktu
penyerahannya.
b. Riba nasi’ah berupa penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan perubahan atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.11

3. Larangan Riba

Riba merupakan transaksi haram dan termasuk dosa besar. Pelaku riba
mendapatkan laknat dari Allah dan dijauhi dari rahmat-Nya. Riba
dikategorikan sebagai dosa besar. Dan riba yang dikategorikan sebagai dosa
besar adalah riba qard, riba fadhal dan riba nasa’i karena kedua riba tersebut
mengandung ziyadah atau bunga. Sedangkan riba ta’hir yaitu riba yadh yaitu
riba tanpa unsur ziyadah, hanya memiliki ekses kerusakan atau fasid dalam
akad atau transaksi dan termasuk dosa kecil. Riba termasuk satu dari tujuh
perbuatan yang membinasakan. Al Qur’an telah memaklumkan perang antara
para pemakan riba dengan Allah dan Rasul-Nya. Itu merupakan ancaman
keras yang tidak ada dua nya dibandingkan dengan maksiat lainnya. Karena

10
Abd Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, hlm. 104
11
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori...hlm. 63
siapa saja yang mencermati segala problematika di dunia yang klasik
maupun modern, pasti akan mendapatkan kenyataan bahwa semua
problematika ekonomi tersebut ujungnya akan kembali kepada bentuk
kemungkaran berat ini. Oleh karena itu seorang pengusaha muslim harus
menjaga diri agar tidak terjerumus dari kubangan riba dan menjauhi segala
aktivitas usaha dalam bentuk transaksi haram. dalam Islam tidak dibolehkan
untuk membuat trik transaksi yang bertujuan untuk menghalalkan yang telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya

4. Pengertian Hutang Piutang

Pengertian Hutang-Piutang Menurut kamus besar bahasa Indonesia,


hutang-piutang adalah uang yang dipinjam dari orang lain dan yang
dipinjamkan kepada orang lain.19 Dalam Islam hutang-piutang dikenal
dengan istilah Al-Qardh, secara etimologis kata Al-Qardhberarti Al-Qath‟u
yang berarti potongan. Dengan demikian Al-Qardh dapat dipahami sebagai
harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang, sebab harta yang
diserahkan merupakan satu potongan dari harta orang yang memberikan
hutang.12

Menurut Imam Hanafi Al-Qardh adalah pemberian harta oleh


seseorang kepada orang lain supaya ia membayarnya. Kontrak yang khusus
mengenai penyerahan harta kepada seseorang agar orang itu mengembalikan
harta yang sama semestinya.13

Imam Malik mengatakan bahwa Al-Qardh merupakan pinjaman atas


benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena balas kasihan dan
merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan seperti
bentuk yang dipinjamkan.14

Menurut Imam Hambali Al-Qardh adalah perpindahan harta milik


secara mutlak, sehingga penggantinya harus sama nilainya. Sedangkan
menurut Imam Syafi‟i Al-Qardh adalah pinjaman yang berarti baik yang
bersumberkan kepada al-Qur‟an bahwa barang siapa yang memberikan

12
A. Marzuki Kamaluddin, Fiqih Sunnah , (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1998), Jilid XII, hlm. 129
13
M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 72
14
M. Muslichuddin, Sistem Perbankan dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 8
pinjaman yang baik kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan
melipatgandakan kebaikan kepadanya.15

Dari beberapa uraian diatas dapat dipahami bahwa Al-Qardh adalah


pinjaman atau hutang yang diberikan kepada seseorang kepada orang lain
untuk dikembalikan lagi kepada orang yang telah meminjamkan harta,
karena pinjaman tersebut merupakan potongan dari harta yang memberikan
pinjaman atau hutang. Dengan kata lain Al-Qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dalam istilah
lain meminjam tanpa mengharapkan imbalan.16

Hutang-piutang sebagai perjanjian, maksudnya adalah setiap orang


yang dapat melakukan perbuatan itu asalkan memenuhi syarat-syarat
terjadinya peristiwa hukum tersebut. Dan disamping itu harus memenuhi isi
dari perjanjian yang disepakati sebagai kewajiban dari ikatan hukum antara
kedua belah pihak

5. Akad Hutang-Piutang

Akad berasal dari kata al-„aqd secara bahasa berarti ikatan, mengikat
(al-rabth) yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seperti seuntas tali yang satu. Dalam al-Qur‟an terdapat dua
istilah yang berhubungan dengan perjanjian yaitu, al-„aqdu (akad) dan al-
„ahdu (janji). Kata „aqdu terdapat dalam Q.S. al-Ma‟idah ayat 1 yang
berbunyi :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.


Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.

Sedangkan istilah al-„ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian


terdapat dalam Q.S al-Imran ayat 76 yaitu :

15
Ibid, hlm. 8
16
M. Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 131
Artinya : “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji
(yang dibuat) nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.”17

Seperti yang disampaikan di atas akad merupakan salah satu bentuk


perbuatan hukum. Syarat-syarat dalam pelaksanaan akad hutang-piutang
sama halnya dengan syarat-syarat jual beli, adapun ijab qabul merupakan
lafazh yang memberikan hutang. Biasanya dengan mengucapkan “Saya
hutangkan barang ini dengan saudara” dengan jawaban “Saya mengaku
berhutang barang dengan saudara”. Hal ini sangat perlu dalam pelaksanaan
hutang-piutang, adapun syarat dalam pelaksanaan hutang-piutang ini adalah
sebagai berikut :

1. Satu sama lainnya ijab dengan qabul pada barang yang mereka saling rela
berupa barang yang dihutangkan.
2. Satu sama lainnya berhubungan dalam satu tempat tanpa ada pemisah
yang merusak.
3. Ungkapan harus menunjukan sama, seperti perkataan penjual : “Aku
telah beli” dan perkataan pembeli “Aku rela terima” atau masa sekarang.
Jika diinginkan pada waktu itu juga.

Sebagaimana akad hutang-piutang dinyatakan sah dengan ijab qabul secara


lisan, dapat juga dengan cara tulisan yaitu dengan syarat :

“Bahwa kedua belah pihak berjauhan tempat, atau yang melakukan akad itu
tidak bisa berkata (bisu). Jika mereka berdua berada dalam satu majelis dan
tidak ada halangan berbicara, akad tidak dapat dengan tulisan, karena tidak
ada halangan berbicara, yang merupakan ungkapan saling jelas, kecuali jika
terdapat sebab akibat yang menuntut tidak dilangsungkan akad dengan
ucapan”.18

Dari kutipan dapat dipahami melaksanakan akad hutang-piutang


dilakukan dengan saling merelakan dan dilakukan dengan lafazh yang jelas,
akan tetapi berhutang dalam hal hutang-piutang yang dilarang mengambil
atau memberi tambahan bayaran yang ditentukan dalam pelaksanaan akad

17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. J-ART, 2005), hlm. 60
18
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Dilibanon: Darul Fikri, 1988), hlm. 50
perjanjian, maka lafazh dari kedua belah pihak tidak perlu diberi tambahan,
dengan ucapan diberi tambahan sekian.

Kalau perlu dalam perjanjian hutang-piutang itu tertulis sebagai akte


maka isinya pun dilarang menulis hal-hal yang dimaksud memberikan atau
menambahkan saat penerimaan pembayaran. Menurut Nash dari sejumlah
Hadits Nabi SAW. perbuatan yang melebihkan pembayaran hutang secara
suka rela itu termasuk sunnah dan perbuatan utama.

6. Dasar Hukum Hutang-Piutang

Segala amal perbuatan manusia, tingkah laku dan tutur kata tidak
dapat lepas dari ketentuan hukum syari‟at, baik hukum syari‟at yang
tercantum dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah.

a. Dasar hukum qardh yang tercantum dalam al-Qur‟an yaitu

Firman Allah SWT :

Artinya : “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,


pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-
Nya-lah kamu dikembalikan.”19

Dari ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT menyerupakan amal


saleh dan memberi infaq fisabilillah dengan harta yang dipinjamkan dan
menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda kepada pembayaran
utang. Amal kebaikan disebut pinjaman (utang) karena orang yang berbuat
baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai
orang yang mengutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.20

b. Dasar hukum qardh yang tercantum dalam hadits yaitu:

artinya : “Anas bin Malik berkata bahwa, “Aku melihat pada


waktu malam di isra‟ kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas
sepuluh kali lipat dan qarth delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai
19
Q.S. al-Baqarah: 245
20
Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari‟ah : Fiqih Muamalah (Jakarta : Kencana), 2012, hlm. 334
Jibril, mengapa qarth lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena
meminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak
akan meminjam kecuali karena keperluan.”21
Dasar hukum qardhyang bersumber dari dalil ijma‟ yaitu bahwa
semua kaum muslimin telah sepakat dibolehkannya hutang-piutang.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup
tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu hutang-
piutang sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam
adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
umatnya.22
7. Rukun dan Syarat Hutang-Piutang

Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari
suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.Sedangkan syarat adalah
sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i dan berada di
luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak
ada.23

Ajaran Islam telah menerapkan beberapa rukun dan syarat yang harus
dipenuhi dalam transaksi qardh. Jika salah satu syarat dan rukunnya tidak
terpenuhi, maka akad qarth ini menjadi tidak sah.

Rukun qardh yaitu :

a. Shighat, yaitu ijab dan qabul, tidak ada perbedaan diantara fuqaha bahwa
ijab qabul itu sah dengan lafaz utang dan dengan semua lafaz yang
menunjukkan maknanya, seperti kata : “Aku memberimu utang,” atau
“Aku mengutangimu.” Demikian pula kabul sah dengan semua lafaz yang
menunjukkan kerelaan, seperti “Aku berutang” atau “Aku menerima,”
atau “Aku ridha” dan lain sebagainya.

21
H. R. Ibnu Majah No. 2422, kitab l-Ahkam, dan Baihaqi
22
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syari‟ah, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, hlm. 132
23
Abdul Azis Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, hlm. 1510
b. Aqidayn (dua pihak yang melakukan transaksi), yaitu pemberi utang dan
pengutang. Adapun syarat-syarat bagi pengutang adalah merdeka, balig,
berakal, sehat, dan pandai (dapat membedakan baik dan buruk).
c. Harta yang diutangkan, adapun rukun harta yang diutangkan yaitu : 1)
harta berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang satu sama
lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan
perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat ditukar,
ditimbang, ditanam, dan dihitung. 2) Harta yang diutangkan disyaratkan
berupa benda, tidak sah mengutangkan manfaat (jasa). 3) Harta yang
diutangkan diketahui, yaitu diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya.24

Adapun pihak yang menghutangkan dan berhutang maksudnya yaitu


adanya seseorang yang memiliki uang atau barang yang akan diberikan
kepada si berhutang. Sedangkan orang yang berhutang hendaknya orang
yang cakap untukmelakukan tindakan hukum. Selanjutnya dalam
pelaksanaan akad, kedua belah pihak sebagai pihak yang berhutang dan yang
berpiutang harus memenuhi syarat sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Akan tetapi masih ada syarat lain yang sangat penting dalam pelaksanaan
hutang-piutang tersebut yang sama dengan syarat jual beli, karena sifatnya
terbuka tetapi sebagai akad diperlukan tanggung jawab dalam pelaksanaan
hak dan kewajiban. Sedangkan syarat-syarat qardh yang harus dipenuhi
yaitu :

1. Berakal
2. Atas kehendak sendiri (tidak ada paksaan)
3. Bukan untuk memboros
4. Dewasa dalam hal baliq

Selain syarat-syarat di atas, perlu diketahui juga bentuk dari barang


yang akan dihutangkan, walaupun sebenarnya di dalam Islam tidak ada
larangan dalam menghutangkan barang. Maksudnya mengetahui barang
tersebut yaitu sesuai dengan jangka waktu pembayaran. Selanjutnya pada
lafazh, ijab qabul, maksudnya yaitu ungkapan yang keluar terlebih dahulu
dari salah satu pihak dari kedua belah pihak. Dan pihak yang menjawab
dengan ungakapan yang kedua dalam melakukan suatu lafazh perjanjian
24
Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari‟ah : Fiqih Muamalah (Jakarta : Kencana), 2012, hlm
ijab qabul seseorang tersebut harus memenuhi syarat-syarat umum suatu
akad yaitu :

a. Pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak


menurut hukum (Mukallaf).
b. Obyek akad diakui oleh syara‟, obyek akad ini harus memenuhi syarat
yaitu berbentuk harta, dimiliki seseorang, bernilai harta syara‟.

Tujuan qardh yang sesungguhnya adalah untuk saling tolong-


menolong, dan ada suatu hal yang mesti diperhatikan dalam akad qardh.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam akad qardh diantaranya adalah
sebagai berikut :

1. Jika pihak debitur menghadiahkan sesuatu kepada pihak kreditur,


maka hal itu boleh diterima dan disukai oleh pihak debitur, agar
membayar dengan yang lebih baik.
2. Menurut Imam Abu Hanifa, Malik dan Ahmad, pihak kreditur tidak
boleh mengambil manfaat dengan sesuatu dari pihak debitur, karena
akad qardh bertujuan untuk berlemah lembut antar sesama manusia,
menolong urusan kehidupan dan memudahkan sarana hidup mereka,
bukan bermaksud memperoleh keuntungan. Demikian pula menurut
Imam Hanafi, Syafi‟i dan Hambali bahwa pihak kreditur tidak boleh
mengharapkan tambahan dari sesuatu yang dihutangkan. Misalnya
pihak debitur meminjam uang kepada pihak kreditur dengan syarat
pihak debitur harus mengembalikan pinjamannnya dalam jumlah yang
lebih banyak. Begitu juga dengan hadiah yang diberikan oleh pihak
debitur kepada pihak kreditur jika disyaratkan oleh kedua belah pihak
pada saat melakukan akad, maka hal itu tidak dibolehkan. Akad
tersebut akan batal bila pihak kreditur mengambil manfaat tambahan
yaitu dengan cara meminta ganti yang lebih banyak atau yang lebih
bagus, seperti hutang gandum yang tadinya tidak bersih dengan syarat
diganti dengan gandum yang lebih bagus dan bersih.
3. Pihak kreditur tidak dibolehkan memaksa pihak debitur untuk
mempercepat pembayaran sebelum jatuh tempo. Terlebih lagi pihak
debitur dalam kondisi kesusahan, maka sebaiknya tagihan tersebut
ditangguhkan.25

25
Syeh Ahmad Husein, Fiqih dan Perundang-undssangan Islam, hlm. 731

Anda mungkin juga menyukai