Anda di halaman 1dari 16

PERMASALAHAN HUKUM BUNGA BANK DAN RIBA

Diman Nugraha (2018.01.023)

Nida Siti Fauziah (2018.01.073)

Rizqi Ahmad Fauzi (2018.01.085)

Salma Salsabila (2018.01.088)

ABSTRAK

Pemahaman umat Islam Indonesia tentang eksistensi perbankan tampaknya


sangat beragam terutama dalam memposisikan status antara riba dengan bunga bank.
Satu sisi, masyarakat menganggapnya sebagai yang haram sehingga harus
ditingggalkan sebab itu adalah perbuatan dosa dan Allah murka terhadap pelakunya,
sedangkan pihak lain memandangnya sebagai yang diperbolehkan karena bukan
haram untuk itu layak dilestarikan dan perlu lebih ditingkatkan lagi eksistensinya.
Kontroversi ini berakibat pada ketidaksiapan mereka dalam berkecimpung dalam
dunia perbankan. Akibatnya, umat Islam sangat jauh dari kegiatan perbankan yang
semakin hari tampaknya terus saja menunjukkan kiprahnya, bahkan berbagai produk
telah dihasilkan yang umumnya banyak diminati masyarakat misalnya jaringan
kemudahan antar bank, ataupun lainnya. Pendeknya, kemajuan yang dicapai
perbankan dirasakan sangat kontras dengan kemajuan sebelumnya. Meskipun
dikalangan terjadi kontradiktif namun usaha perbankan masih tetap berjalan huingga
saat ini. Capaian yang diusahakan perbankan ini sekaligus menepis asumsi
masyarakat bahwa usaha perbankan ini lebih besar mudaratnya ketimbang
manfaatnya. Kemudian menmberikan asumsi kepada masyarakat mengenai
bagaimana riba dan bunga bank menurut pendapat para ulama.. sehingga dapat
mengurangi kebingungan dalam melakukan mu`amalah yang kaitannya berhubungan
dengan perbankan.
Kata Kunci : Riba, dan Bunga Bank.

PENDAHULUAN

Hingga saat ini, studi komparatif dan upaya mencari titik temu antara riba
dengan bunga bank masih terus saja dilakukan para cendekiawan muslim. Intensnya
kajian ini dilatarbelakangi adanya pandangan yang menganggap bahwa riba dan
bunga bank itu adalah sama, sementara pendapat yang lainnya membedakan kedua
aspek tersebut, sehingga wajar sekali di kalangan mereka timbul pendapat yang
cukup beragam dalam memahami persoalan ini.1
Masyarakat modern saat ini dihadapkan pada permasalahan bunga oleh bank
konvensional yang menerapkan sistem bunga atas pinjaman yang diberikan kepada
nasabahnya. Sistem perbankan merupakan sistem keuangan yang hanya ada pada era
modern seperti saat ini. Orang-orang pada periode awal Islam belum mengenal sistem
perbankan saat ini dalam arti praktis. Oleh karena itu, menanggapi fenomena hukum
bunga bank, di kalangan ulama dan ulama terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan
pandangan dalam menilai permasalahan tersebut membawa pada kesimpulan hukum
yang berbeda pula, dalam hal dibolehkan atau tidaknya halal haram bagi umat Islam
untuk bertransaksi dengan bank.

Dalam ajaran Islam, Alquran sendiri melarang bentuk mu'amalah yang


mengandung unsur riba (riba). Secara etimologis, kata exploitation memiliki arti
tambahan. Karena bentuk dari perbuatan riba adalah meminta tambahan atas sesuatu
yang terhutang. Oleh karena itu riba dalam konteks perbankan disebut dengan bunga
karena salah satu tindakan riba adalah membuat aset, uang atau apapun yang
dipinjamkan kepada orang lain secara berlebihan atau membengkak dan bertambah
Besar.

1
Uswah Hasanah, “Riba Dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh”, Jurnal Wahana Inovasi, Vol.3 No.1
(Juni, 2014), 2
Raghib al-Isfahani berarti kata riba sebagai sesuatu yang naik, bertambah,
tumbuh dan berkembang. Syekh Abduh Muhammad mengartikan riba sebagai
tambahan yang diwajibkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang
meminjam hartanya karena penunjukan pembayaran oleh peminjam terlambat dari
waktu yang telah ditentukan. Pengertian Syekh Muhammad Abduh menurut penulis
yang paling sesuai dengan konteks adalah dilarang riba. Karena dalam konteks
penurunan ayat riba, suatu tindakan disebut riba karena adanya permintaan
pembayaran tambahan dari pemilik modal kepada peminjam tanpa kesepakatan awal.
Ini berarti bahwa pembayaran tambahan diminta di satu sisi tanpa persetujuan
peminjam. Konsep riba dikenal dengan riba nasi'ah, dan inilah bentuk riba yang
dilarang oleh Alquran.(Nawawi, 2012).

Dasar masalah riba dapat diketahui secara jelas dan tegas di 3 (tiga) tempat,
yaitu di dalam Alquran surat al-Rum ayat 39, di surat Ali Imran ayat 130, dan juga di
surat al-Baqarah ayat 275-279. Semua ulama (fuqaha) di dunia ini sepakat bahwa riba
itu haram. Namun ketika dihadapkan pada persoalan apakah bunga bank sama dengan
riba, para ulama saling bentrok. Misalnya, ada tiga pendapat di kalangan ulama
Nahdlatul Ulama, yaitu: (1) Haram, karena termasuk pinjaman yang dipungut (sewa);
(2) Halal, karena tidak ada syarat selama kontrak; dan (3) Syubhat (karena hukumnya
belum dapat dipastikan halal atau haram), selain itu karena para ahli hukum masih
berselisih (Putusan Mu'tamar NU II di Surabaya, 12 Rabi'ah as-Sani 1346 H 9
Oktober 1927 No. 28).

Pada Jurnal ini akan menguraikan lebih lanjut tentang permasalah Riba dan
bunga bank dengan menelaah pandanganpandangan ulama Islam inklusif di dalamnya
ulama-ulama kontemporer untuk melihat perbandingan masing-masing argumentasi
yang mereka kemukakan dalam mendukung pendapatnya. Pemahama komprhensif
terhadap makna ayat akan mengarahkan kepada pemahaman yang hakiki tentang riba
sekaligus pemahaman tentang perbedaan ataupun persamaannya dengan bunga.2

PEMBAHASAN
A. Riba
1. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah)3, berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat
(al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada
ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala
fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di
dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min
syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamuberikan
dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).4
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang
dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba
sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh
syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah
tambahan banyak.
secara teknikal, al-Khatib memberikan pengertian riba sebagai
penambahan jumlah utang dalam waktu yang ditentukan karena masa

2
Abd. Wahid, “Bunga Bank Konvensional Analisis Ulama Perspektif Ushul Fiqh”, Jurnal
perbankan Syariah dan Ekonomi Syariah, Vol.03 No.01,(Mei, 2021), 73
3
Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas,
1993),
hal. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu
pihak
dalam suatu transaksi.
4
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet.I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACADEMIA, 1996), hal. 37
pinjaman dipanjangkan waktunya, atau orang yang meminjam tidak mampu
membayar pada waktu yang ditentukan. Untuk itu, dalam bahasa yang sangat
ringkas beliau menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah
kelebihan harta yang diberikan seseorang tanpa ada unsur ganti rugi pada
transaksi yang dilakukan antara harta dengan harta (al-Khatib, 1967).
Meskipun disebutkan dari definisi ini bahwa riba hanya ditentukan dalam
masalah harta dengan harta tetapi maknanya bukan hanya melulu soal harta
tetapi bisa bermakna selain itu yang penting ada kewajiban memberikan
penbayaran lebih dari jumlah dana yang dipinjamnya sehingga maknanya
lebih luas lagi karena orang tidak lagi mengkhususkannya pada kebutuhan
pada harta saja tetapi lebih dari itu yang penting ada kelebihan terhadap
sesuatu yang dipinjam dari orang lain, misalnya sesuatu yang bisa bermanfaat
bagi seseorang.5
2. Macam-Macam Riba
a. Riba akibat hutang-piutang (Riba Ad-duyun)
Riba Qard , yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah yaitu
hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.6
b. Riba akibat jual-beli (Riba Al-Buyu’)
Riba Fadl , yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam
jenis barang ribawi, dalam hadits Ubadah bin Shamit dijelaskan bahwa
seseorang menukar barang berupa emas harus dengan emas pula yang
sepadan dan beratnya juga harus sama, perak dengan perak dan harus
diserah terimakan secara langsung.

5
Uswah Hasanah, op.cit.7
6
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 77-78
Riba Nasi'ah, yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan
jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya.
Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan,
atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan
kemudian7
3. Landasan Hukum mengenai riba
Tahapan Larangan Riba Dalam Al-quran
Prinsip dasar yang dianggap baik tentang mu’amalah di dalam Islam
adalahmemperbolehkan untuk melakukan segala sesuatu selama tidak ada
dalil yang melarangnya. Oleh karena itu, segala bentuk transaksi terlarang di
dalam hukum Islam senantiasa dijustifikasi oleh dalil-dalil yang syariah,
terlepas apakah setelah itu terjadi proses ijtihad atau tidak.
Riba adalah kegiatan yang jelas-jelas terlarang berdasarkan dalil-dalil
yang jelas pula. Sebagaimana larangan terhadap minuman keras (khamr)
bersifat bertahap (tadri’j), Al-quran juga melarang riba secara bertahap
pula.18 Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang telah
biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud membimbing manusia secara
mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang telah
mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan perekonomian
jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang
pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.
a. Tahap pertama
Surat Ar Rum ayat : 39
Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat
bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk
mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan riba. Di sini Allah
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk

7
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 77-78
menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan
memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat
ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.
b. Tahap Kedua
Surat Annisa ayat : 160-161
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161.
riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil.
Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang
melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi
tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang
menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah
membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba.
Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam
agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya
yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaumMuslim.
c. Tahap Ketiga
Surah Ali Imran ayat : 130
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba
secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini
menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah
mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman jahiliyah
dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa
melakukan riba siap menerimanya.
d. Tahap Keempat
Surah Al-baqarah ayat : 275-279
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang
pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak
mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar
kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan.10 kriminalisasi.
Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan
diperangi oleh Allah SWT dan Rasuln-Nya.
Fatwa Majelis Ulama Tentang Riba
Fatwa Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonedia (MUI) nomor 1 tahun
2004 tanggal 24 Januari 2004 tentang bunga (interest / fa’idah) menetapkan
bahwa8 :
a. Pengertian bunga (interest / fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan
dalam transaksi pinjaman uang (al qardh) yang diperhitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan / hasil pokok tersebut,
berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti dimuka, dan pada
umumnya berdasarkan persentase.
b. Pengertian riba adalah tambahan (ziayadah) tanpa imbalan yang terjadi
karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumbnya,
dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
c. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Ya ini riba nasiah. Dengan demikian
praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba
hukumnya haram. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram,
baik dilakukan oleh bank,
d. asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi dan lembaga keuangan lainnya,
maupun dilakukan oleh individu.
e. Bermu’amalah dengan lembaga keuangan konvensional, untuk wilayah
yang Sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah dan mudah
dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada
perhitungan bunga. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan
lembaga keuangan syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di
lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.
8
Lihat Fatwa majelis Ulama Indonesia No. 1 Tahun 2004 di www.mui.or.id
Fatwa-fatwa Lain Mengenai Riba
Hampir semua ormas Islam di Indonesia telah membahas riba,
utamnya Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. 42 Majelis Tarjih
Muhammadiyah telah memutuskan beberapa hal mengenai ekonomi/keuangan
di luar zakat, yang meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), masalah
keuangan secara umum (1976) dan koperasi simpan pinjam (1989). Majelis
Tarjih Sidoardo (1968) memutuskan sebagai berikut :
a. Riba hukumnya haram berdasarkan nass yang sarih dari al-Qur’an dan as-
Sunnah
b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal
c. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya termasuk musytabihat.
d. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan
terwujudnya sistem
e. perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah
Islam.
f. Lajnah Bahsul Masa’il NU membahas persoalan riba dalam beberapa kali
sidang.
Kesimpulannya adalah terdapat tiga pendapat ulama mengenai riba :
a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang
berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Shubhat, karena adanya perselisihan ahli hukum tentang riba.Meskipun
demikian, Lajnah Bahsul Masa’il tetap mengharamkan bunga bank dengan
alasan kehati-hatian.
Selanjutnya Lajnah memandang perlu untuk mencari jalan keluar, yaitu suatu
sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yaitu bank tanpa bunga
dengan langkah-langkah sebagai berikut
a. Perlunya memperbaiki sistem perbankan yang telah ada.
b. Munas mengamanatkan kepada PB NU untuk membentuk suatu tim
pengawas dalam bidang syari’ah sehingga dapat menjamin bahwa
operasional keseluruhan bank NU tersebut sesuai dengan kaidah
mu’amalah Islam.
c. Para mutasyawirin setuju dan mendukung berdirinya bank Islam NU
dengan sistem tanpa bunga.
d. Sedangkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidang yang kedua
di Karachi Pakistan menyepakati dua hal utama yaitu : pertama, praktik
bank dengan system bunga adalah tidak sesuai dengan syari’ah Islam.
Kedua, perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang beroperasi dengan
prinsip-prinsip syari’ah.9
B. Bunga Bank
Secara bahasa, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara
istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa
“interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount
loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain
menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat
atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering
dikenal dengan suku bunga modal10
Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang
namanya riba. Dan sebagaimana telahbdibahas sebelumnya kata riba itu
sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-
Ziyadah)”atau “kelebihan” yakni tambahan pembayaran atas uang pokok di
9
BAHRI, E. H. TEORI TENTANG RIBA.
10
Muhammad, Lembaga-lembaga KeuanganUmat Kontemporer, cet. I ( Yogyakarta: UII Pres,
2000), h. 146-147
pinjaman.11 Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan
kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang
bertransaksi.
Ada yang membedakan antara riba dan rente (bunga) seperti
Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh
Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat
kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif,
demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman
yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh
hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relative rendah. Tetapi
dalam realitas atau praktik menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar
untuk membedahkan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua-
keduanya memberatkan bagi para peminjam.
1. Landasan Hukum bunga bank
Pendapat Ulama Tentang UU Bunga Bank
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa mengenai undang-undang
bunga bank, para ulama dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu pendapat
melarang, pendapat pembenaran, dan pendapat yang menganggap undang-
undang itu tertutup.
Pendapat yang melarang
Menurut pendapat kelompok ini bunga bank sama dengan riba,
sehingga hukumnya haram. Mereka mendalilkan dengan Alquran Surat al-
Baqarah (2) ayat 275-276, Ali Imran (3) ayat 130, dan al-Rum (30) ayat 39.
Dalam terjemahan Alqur`anan disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan riba
disini adalah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah
itu najis selamanya meski tidak dilipatgandakan. Mereka yang melarang
bunga bank mengatakan bahwa illat (tanda hukum atau motif hukum) riba

11
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet,I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 37
terlarang adalah pinjaman tambahan, berapapun jumlahnya. Jadi menurut
mereka illat larangan riba adalah penambahan, padahal dalam pinjaman dan
simpanan di bank selalu ada penambahan pokok. Jadi karena adanya
kesamaan antara sifat hukum bunga bank dan riba, kelompok ini menganggap
bunga bank sama dengan riba, sehingga hukum bunga bank itu haram.
Pendapat tersebut antara lain diungkapkan oleh ulama besar Pakistan
Abul A'la al-Mawdudi, Pengacara Kongres Islam Kairo Muhammad Abdullah
al-Arabi, serta ulama kontemporer terkemuka Muhammad Abu Zahra. Mereka
mengatakan bahwa bunga bank, termasuk riba beras'ah, dilarang oleh syariah
Islam. Oleh karena itu umat Islam hendaknya tidak tinggal dengan bank yang
menggunakan sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa
karena kesulitan (Syafe’i, 2001).
Pendapat yang Membenarkan
Ulama yang mengharamkan bunga bank berpendapat bahwa hukum illat
yang dilarang riba adalah penambahan pungutan beserta pokoknya.
Sedangkan ulama yang membenarkan bunga bank berpendapat bahwa hukum
illat riba bukan hanya sekedar tambahan, melainkan tambahan yang
mengandung zulm atau pungli. Kelompok yang mengatakan bahwa bunga
bank itu halal mereka berpendapat bahwa bunga bank tidak sama dengan riba,
sehingga tidak ilegal. Menurut mereka illat law haram riba tidak ada pada
bunga bank karena tambahan atau bunga yang dipotong dari pinjaman atau
tambahan yang diberikan bank dari simpanan nasabah dilakukan atas dasar
kemauan, dan tidak ada yang merasa terhimpit.
Artinya, bunga bank bukan riba karena tidak berlipat ganda dari jumlah
pokoknya. Syekh Azhar Sayyid Thantawi yang juga merupakan mantan mufti
agung tidak sependapat dengan pendahulunya, Syekh Jad al -Haq. Menurut
Thantawi, bunga deposito di bank yang ditetapkan dengan persentase bunga
yang besar itu menurut Islam tidak melanggar hukum. Fatwa ini sejalan
dengan apa yang ditulis oleh Ridha dalam Tafsir al-Manar, “Tidak termasuk
riba seseorang yang memberikan uang kepada orang lain untuk diinvestasikan
sambil menentukan baginya dari hasil usaha pada tingkatm tertentu karena
transaksi tersebut menguntungkan pemilik modal dan manajer. Riba yang
dilarang merugikan satu pihak tanpa alasan dan menguntungkan pihak lain
tanpa usaha.
Ulama lain yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ahmad Hasan,
pendiri Persis, dengan alasan bunga bank, khususnya di Indonesia, tidak
termasuk dalam kategori riba yang dilarang oleh Alquran. Sebab dalam sistem
perbankan dengan system bunga, menurutnya tidak ada unsur penganiayaan.
Begitu pula dengan organisasi Nahdhatul Ulama melalui lembaga fatwa
Bahtsul Masa'il yang berpendapat bahwa sistem bunga yang diterapkan baik
oleh bank konvensional maupun milik pemerintah tidak termasuk riba,
sehingga tidak haram. Pendapat mengenai bunga bank yang sah juga
dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim, Mustafa Ahmad Zarqa, dan
Syafruddin Prawiranegara, tokoh Masyumi. Menurut Syafruddin, bunga bank
bukanlah riba karena pada dasarnya bunga bank adalah layanan yang
dikeluarkan atau dihimpun dari dana untuk membiayai administrasi bank.
Selain tidak bisa menemukan unsur pungli dalam sistem bunga, juga karena
adanya kesediaan timbal balik di awal akad antara kedua pihak, yakni bank
dan nasabah. Ini berbeda dengan riba, dimana tidak ada kemauan dari pihak
debitur (Nurhadi, 2017).
Pendapat itulah Saying Syubhat
Diantara pandangan ketiga bank, undang-undang bunga adalah pandangan
yang
menyatakan bahwa bunga bank hukum yang bersangkutan. Artinya, itu bisa
ilegal, tapi bisa juga menurut hukum. Salah satu yang mendebatnya adalah
Majelis Tarjih Muhammadiyah. Muhammadiyah menggunakan qiyâs sebagai
metode ijtihad dalam merespon bunga bank. Bagi Muhammadiyah 'illat
larangan riba dilarang dengan eksploitasi atau penganiayaan (zulm) pinjam
dana. Konsekuensinya, jika 'illat adalah untuk bunga bank, maka bunga bank
itu sama dengan riba, dan hukumnya adalah riba. Sebaliknya jika 'illat bukan
bunga bank, maka bunga bank itu bukan riba, sehingga hukumnya tidak
haram.
Analisis Perspektif Ushul Fiqh
Dilihat dari segi metodologi ijtihadnya, baik ulama yang
mengharamkan, ulama yang membenarkan, maupun ulama yang menganggap
hukum bunga bank adalah syubhat, keduanya berdebat dengan metode qiyâs.
Ada banyak definisi pengertian qiyâs, yang masing-masing memiliki
terminologi yang berbeda dalam mengistilahkannya, walaupun secara
substansi maknanya terdapat kesamaan. Definisi yang digunakan oleh
mayoritas ulama adalah:
Artinya: Menghadirkan perkara baru yang tidak ada hukumnya dengan
perkara yang sudah tertuang dalam undang-undang di nash, menetapkan
atau
menghapuskan hokum bagi keduanya, berdasarkan kesamaan hukum atau
sifat
yang terdapat pada keduanya (al-Subkhî , nd: 2157).
Dari ketiga opini tersebut perlu dilihat opini mana yang paling kuat?
Untuk mengetahui pendapat terkuat, penulis ingin melakukan analisis dengan
menggunakan prinsip-prinsip fiqh. Dalam ilmu fiqih terdapat hukum yang
berbunyi: “Hukum asal dalam segala bentuk atau bisnis muamalah
diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya” Padahal pada dasarnya
segala bentuk transaksi halal, sehingga ada dalil yang mengubah hukum halal
menjadi haram. Tentu hal ini juga berlaku untuk transaksi perbankan yang
menggunakan sistem bunga yang pada dasarnya transaksinya halal, kecuali
ada dalil lain yang bisa melarangnya. Sekarang mari kita lihat aturan fikih.
berikutnya yang terkait dengan ini: “Keyakinan tidak bisa hilang oleh
keraguan” (Munawir, 1997).
Undang-undang di atas menegaskan bahwa undang-undang yang
meyakinkan tidak dapat dihapus atau dihilangkan dengan undang-undang
yang tidak diasuransikan. Jika dikaitkan dengan hukum bunga bank, yang
meyakinkan adalah hukum aslinya, yaitu hukum halal. Untuk dapat merubah
hukum halal diperlukan adanya hukum yang meyakinkan yang ditunjukkan
oleh syarih dan syahih nash yang secara tegas menyatakan larangannya.
Namun faktanya, karena bunga bank merupakan kasus baru, tidak ditemukan
syarih dan syahih nash yang menyebutkan larangannya. Oleh karena itu para
ulama menggunakan metode qiyâs untuk menentukan hukum bunga bank
seperti yang dijelaskan di atas. Jadi, sekali lagi mengharamkan bunga bank
bukan berasal dari syarih dan syahih nash, melainkan dari hasil ijtihad ulama
dengan metode qiyâs.12
KESIMPULAN
Pada saat ini permasalahan riba dan bunga masih saja menjadi studi yang
komparatif. Dimana antara keduanya memiliki perbedaan yang tidak jauh berbeda.
Sehingga menimbulkan beberapa opini di kalangan masyarakat, bahlkan ada
sebagaian masyarakat yang tdak mengetahui secara pasti bagaimana permaslahan
sertta hukum riba dan bank. Para ulama melalui fatwa nya menjelaskan ada yang
berpendapat bahwasanya bunga bank itu haram sam halnya dengan riba, kemudian
ada yang berpendapat mmbenarkan mengenai adanya bunga bank, mengapa
demikian? Karna bunga bank bukan riba karena tidak berlipat ganda dari jumlah
pokoknya. Syekh Azhar Sayyid Thantawi yang juga merupakan mantan mufti agung
tidak sependapat dengan pendahulunya, Syekh Jad al-Haq. Menurut Thantawi, bunga
deposito di bank yang ditetapkan dengan persentase bunga yang besar itu menurut
Islam tidak melanggar hukum. Dan ada yang berpendapat bahwasanya bunga bank itu
syubhat, belum jelas antara halal dan haramnya.

12
Abd. Wahid, Op.cit.10
Mengenai tiga pendapat tersebut kita bisa mengambil pendapat yang paling
kuat dan analisis dalam perspektif ushul fiqh, “Hukum asal dalam segala bentuk atau
bisnis muamalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya” Padahal pada
dasarnya segala bentuk transaksi halal, sehingga ada dalil yang mengubah hukum
halal menjadi haram. Tentu hal ini juga berlaku untuk transaksi perbankan yang
menggunakan sistem bunga yang pada dasarnya transaksinya halal, kecuali ada dalil
lain yang bisa melarangnya. Begitulah bunga bank mengenurut para ulama dan
analisis perspektif ushul fiqh.

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Wahid, “Bunga Bank Konvensional Analisis Ulama Perspektif Ushul
Fiqh”, Jurnal Perbankan dan Ekonomi Syari`ah, Vol. 15 No. 01, (Mei,2021), 10
Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib,
(Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hal. 125.
Abduh, cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACADEMIA,
1996), hal. 37
al-Khatib, Abd al-Karim, al-Tafsir Alquranul-Karim (Kairo : Dar al-Fikr al-Arabi,1967).
BAHRI, E. H. TEORI TENTANG RIBA.
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad (Jakarta:Tazkia Institute, 1999), hal. 77-78
Lihat Fatwa majelis Ulama Indonesia No. 1 Tahun 2004 di www.mui.or.id
Muhammad, Lembaga-lembaga KeuanganUmat Kontemporer, cet. I
( Yogyakarta: UII Pres, 2000), h. 146-14
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi
Keuangan, cet. I,
Munawir. (1997). Ijtihad Kemanusiaan. Paramadina.
Syafe’i, R. (2001). Fiqih Muamalah. Pustaka Setia.
Uswah Hasanah, “Riba Dan Bunga Bank Dalam Perspektif Fiqh”, Jurnal
Wahana Inovasi, Vol.3 No.1 (Juni, 2014), 2

Anda mungkin juga menyukai