Anda di halaman 1dari 22

Makalah Fiqih Muamalah ke -6

riba

Makalah ini diajukan guna melengkapi Tugas Terstruktur serta


menambah kecakapan pada mata kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Fathurrohim, M. Hum
Disusun oleh:
LINDAWATI (143150142)
Kelas: 4 B Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUFYAN


TSAURI
( STAIS)
JL. K.H Sufyan Tsauri Cibeunying Tlp. (0280) 623562 Majenang
53257

Tahun Akademik 2015/2016

KATA PENGANTAR

Tiada yang lebih patut menjadi tempat memanjatkan puji syukur


selain Alloh swt. Karena berkat rahmat dan hidayah Nya, sehingga makalah
yang berjudul RIBA dapat saya selesaikan dengan lancar. Makalah ini disusun
guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Muamalahyang dibimbing
oleh Fathurrohim, M.Hum. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah memfasilitasi dalam proses penyusunan.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
mengklarifikasikan mengenai Riba dari beberapa aspek yang meliputi pengertian,
riba yang dimaksud dalam Al-quran serta macam- macam riba.
Maka dari itu, besar harapan saya dengan tersusunnya makalah ini,
para pembaca dapat mempelajari secara lebih mendalam tentang Riba yang
notabene banyak bermunculan dalam bermuamalah terlebih di bidang jual beli.
Namun Tak ada gading yang tak retak, begitupun saya menyadari dalam penulisan
dan penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami
mohon kritik dan saran dari para pembaca, guna menyempurnakan di masa
mendatang.

Majenang, 18 April 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau
moralitas dalam syari'at Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini
untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh
Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal
ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksitransaksi dibidang perekonomian (dalam Islam disebut kegiatan muamalah)
yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada
dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun
bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qard1, buyu'2 dan lain sebagainya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditentukan
rumusan masalahnya antara lain:
1. Apa pengertian dari Riba?
2. Bagaimana Riba menurut Al-Quran?
3. Bagaimana Riba yang dimaksud dalam Al-Quran?
4. Bagaimana Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah?
5. Bagaimana pandangan kaum modern terhadap Riba?
6. Apa saja macam-macam dari Riba?

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN RIBA
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis
berarti tambahan (azziyadah),1 berkembang (an-numuw),
membesar (al-'uluw)2 dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan
dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan
orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala
fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap
orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau
disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara
minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan
cara berlebih dari apa yang diberikan).3
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan
khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa
adanya imbalan tertentu.
Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan
jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah
tambahan banyak. Secara umum riba adalah pengambilan
1 Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya:
al-Ikhlas, 1993), hal. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha
haram yang merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi.
2 Menurut Syaikh Abul A'la al-Maududi An-Numuw adalah pertumbuhan dan Al-'Uluw
adalah tinggi, lihat, Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba, hal. 110.
3 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996), hal.
37.

tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam


meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip
muamalah4
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente,
sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente
disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan
riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang
sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu
haram.5
2. RIBA MENURUT AL-QURAN
Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan
memasukkannya dalam dosa besar. Tetapi Allah SWT dalam
mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step by
step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan mereka yang
telah

biasa

melakukan

perbuatan

riba

dengan

maksud

membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk


mengalihkan kebiasaan mereka yang telah mengakar, mendarah
daging yang melekat dalam kehidupan perekonomian jahiliyah.
Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang
pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui
empat tahapan.
Tahap pertama
Dalam surat Ar-Rum ayat 39



4 Chandra Mush, Pandangan Muhammad Syahrur Tentang Riba
Perspektif Islam, candramush.blogspot.co.id
5 Wasilul Chair,Riba dalam Perspektif Islam, fe.unira.ac.id

39.

dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia

bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah


pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).(1393)
1393) Riba yang dimaksud dalam ayat yang ini ialah suatu yang
diberikan seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk
mendapatkan imbalan yang lebih banyak dari pada yang ia
berikan itu. Sedangkan zakat yang dimaksud dalam ayat ini ialah
sedekah yang diberikan karena mengharapkan keridhaan Alloh
s.w.t.
Berdasarkan ayat ini, Allah menyatakan secara nasehat
bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan
untuk mendapatkan hidayah Allah ialah dengan menjauhkan
riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang
dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya
dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah
menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.
Tahap kedua

6 TNI Angkatan Darat, Al-Quran Terjemah Indonesia, cetakan ke X,


(Jakarta: PT. Sari Agung, 1996), hal. 800

160.

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami

haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang


dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
161.

dan

disebabkan

mereka

memakan

riba,

Padahal

Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena


mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih.
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat
160-161. riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang
dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan
siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga
menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui
riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan
larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan
perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini
menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat
dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun
ayat berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi
kaum Muslim.
Tahap ketiga

7 Ibid, hal. 186

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan
berlipat ganda[228]] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.

[228] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar
ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat
ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl
ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih
banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.
Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang
umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba
secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini
menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu
yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak
zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan
mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.

Tahap keempat
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang
pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak
mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak
8 Ibid, hal.121

dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah


melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan
melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT
dan Rasul-Nya.
3. RIBA YANG DIMAKSUD AL-QURAN
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga
bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika
yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan.
Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan
menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba" (QS
tentunya

2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut


tidak

dilakukan

tanpa

adanya

"sesuatu"

yang

membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab


keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak
delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali
'Imran,

Al-Nisa', dan Al-Rum.9 Tiga

surat pertama

adalah

"Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang


surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini
berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum
ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia
menambah kelebihan pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pads sisi Allah ... Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip
riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan
Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada
Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya
terdapat penjelasan terakhir tentang riba,yaitu ayat 278-281
surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
9 Dr. M. Quraish Shihab, Riba Menurut Al-Quran,
jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/riba.pdf

kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang


yang beriman. Selanjutnya Al-Zanjani, berdasarkan beberapa
riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang
dikemukakan

oleh

Al-Biqa'i

serta

orientalis

Noldeke,

mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari


surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti
ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan
riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima
Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman
atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu
tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan AlQuran tentang riba.
Menurut

Al-Maraghi

dan

Al-Shabuni,

tahap-tahap

pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan


pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap
pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di
dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang
keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga,
secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali
'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total
dalam

berbagai

bentuknya

(Al-Baqarah:

278).

Dalam

menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua


mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang
mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil
mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu
riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului
surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat
pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului
seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas
dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya
menetapkan

dan

membahas

ayat

pertama

dan

terakhir

menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak

jelas

kedudukan

tahapan

turunnya

sebagai

tahapan

pertengahan. Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam


memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan AlQuran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa'
161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang
melakukan praktek-praktek riba.
Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali 'Imran yang
menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orangorang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara
adh'afan mudha'afah.10 Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat
tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului
turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama
turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39. Di sisi lain, ayat Al-Rum
39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba,
dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang
diharamkan. AlQurthubi dan Ibn Al-'Arabi menamakan riba yang
dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir
menamainya

riba

mubah. Mereka

semua

merujuk

kepada

sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas dan beberapa tabiin yang


menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang
dilakukan

oleh

orang-orang

yang

mengharapkan

imbalan

berlebih. Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum
di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam
Al-Burhan menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam
mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa
menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat
lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha
menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan
dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.

10 Ibid

Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba


yang

diharamkan

Al-Quran

dapat

dikemukakan

dengan

menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan AlBaqarah


278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci
pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma
baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la
tazhlimuna wa la tuzhlamun. Dengan memahami kata-kata kunci
tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba
yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu
yang menjadikan kelebihan tersebut haram".11
4. PELBAGAI PANDANGAN DI SEPUTAR ARTI ADHAFAN
MUDHAAFAH
Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if
yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama
dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang
berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang
dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang
berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain:
Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa
jahiliyah adalah dalam pelipat gandaan dan umur (hewan). Seseorang yang
berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata
kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor
memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia
menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya
(dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan
telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya
kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga.
Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya
menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan
jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila
11 Ibid

ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun


berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian
setiap tahun sampai ia mampu membayar. Mujahid meriwayatkan bahwa riba
yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah,
yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian
peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan
penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.
Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah
adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada
masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak
memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan
ditangguhkan masa pembayarannya. Riwayat-riwayat di atas dan yang senada
dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat
Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayatriwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang
yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi
dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat
jatuhnya masa pembayaran.
Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883- 951) berkomentar
dalam Tafsirnya: "Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa
kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni
keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah
tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau
berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100
dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut).
Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit
(sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa
pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada
dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan
pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba alnasi'ah (riba akibat penundaan).

10

Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash Al-Quran menunjuk kepada riba alnasi'ah yang dikenal (ketika itu).
Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian
dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak
disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar
kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara
berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah
penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut
berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat
tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayatriwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat
ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah.
5. PANDANGAN KAUM MODERN TERHADAP RIBA
Kaum modernis memandang riba lebih menekankan pada
aspek moralitas atas pelarangannya, dan menomor-duakan
"legal-form" riba, seperti yang ditafsirkan dalam fiqh. Mereka
(kaum modernis) adalah Fazlur Rahman Muhammad Asad dan
Muhammad Syahrur.

1. Menurut Fazlur Rahman


Mayoritas kaum muslim yang bermaksud baik dengan
bijaksana tetap

berpegang teguh pada keimanannya,

menyatakan bahwa al-Qur'an melarang


seluruh bunga bank. (menanggapi penjelasan tersebut) sedih
rasanya pemahaman yang mereka dapatkan dengan cara
mengabaikan bentuk riba yang bagaimanakah yang menurut
sejarah dilarang, mengapa al-Qur'an mencelanya sebagai
perbuatan keji dan kejam mengapa menganggapnya sebagai

11

tindakan eksploitatif serta melarangnya, dan apa sebenarnya


fungsi bunga bank pada saat ini.
2. Menurut Muhammad Asad
Garis besarnya, kekejian riba (dalam arti di mana istilah
digunakan dalam al-Qur'an dan dalam banyak ucapan Nabi
SAW) terkait dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh
melalui

pinjaman-pinjaman

berbunga

yang

mengandung

eksploitasi atas orang-orang yang berekonomi lemah orangorang kuat dan kayadengan menyimpan definisi ini di
dalam benak kita menyadari bahwa persoalan mengenai jenis
transaksi keuangan mana yang jatuh ke dalam kategori riba,
pada akhirnya, adalah persoalan moralitas yang sangat
terkait

dengan

motivasi

sosio-ekonomi

yang

mendasari

hubungan timbal-balik antara si peminjam dan pemberi


pinjaman.
3. Menurut Muhammad Syahrur
Mohammad Syahrur terkenal dengan teori batas yang
terbagi menjadi beberapa point, disini ditentukan salah satu
yakni batas maksimal positif yang tidak boleh dilewati dan
batas minimal negatif yang boleh dilewati (halah al-had alala mujaban wa al-had al-adna saliban). Teori ini diterapkan
dalam

masalah

distribusi

(tassaruf)

harta,

yang

dapat

dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu zakat, sadaqah dan


riba. Batas atas yang tidak boleh lewati adalah riba; batas
bawah yang boleh dilampaui adalah zakat sebagai batas
minimal negatif. Karena ia adalah batas minimal harta yang
harus/wajib

dikeluarkan.

Bentuk

tassaruf

yang

dapat

melewati batas minimal (zakat) adalah sadaqah. Posisi ini


selain memiliki dua batas, juga memiliki batas tengah yang
tepat

berada

di

antara

keduanya.

Batas

tengah

ini

disimbolkan dengan titik nol pada persilangan kedua sumbu

12

yang

mengimplementasikan

konsep

qard

alhasan

atau

pinjaman dengan bunga 0 %. Dengan demikian, ada tiga


kategori besar untuk memberikan uang; Pembayaran pajak,
pemberian hutang bebas bunga, dan pemberian hutang
dengan bunga.12 Teori ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Dalam teori ini, Syahrur memperkenalkan kajian bunga


secara baik dan terperinci. Dengan mengutip beberapa ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah riba. Syahrur
juga menjelaskan bahwa arti riba dalam bahasa Arab adalah
pertumbuhan dan perkembangan dari kekayaan. Syahrur
berpendapat bahwa larangan atas bunga adalah bukan
ketentuan dari Islam. Dalam mendukung pendapatnya ini dia
menyebut bahwa Umar bin Khattab suatu ketika dilaporkan
menginginkan Nabi agar menjelaskan secara eksplisit syaratsyarat status hukum bunga. Menurut Syahrur umat islam
tidak

perlu

khawatir

dan

ragu

ketika

harus

bertransaksi/bermuamalah, dalam dunia perbankan dengan


menggunakan

sistem

konvensional,

yang

di

dalamnya

memakai sistem bunga, asalkan bunga yang diperoleh belum


12 Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Quran: Qiraah Muasirah,
(Damaskus: AlAhali li At-Tibaah Wa al-Nashr Wa al-Tauzi, cet. II, 1990),
Hlm. 464

13

mencapai 100 % dari modal awal. Konsekuensi dari analisis


ini, Syahrur menegaskan bahwa bentuk riba yang dilarang
adalah ketika bunga itu mencapai 100 %. Jadi, selama bunga
kurang dari jumlah itu, masih dalam kategori diperbolehkan,
dalam arti tambahan itu belum melanggar batas ketentuan
Allah SWT. Semua ini menurut Syahrur, tentu dimaksudkan
untuk membuka jalan bagi argumen yang menyatakan bahwa
aktivitas-aktivitas ekonomi yang melibatkan bunga harus
dipertimbangkan berdasarkan hukum Islam.
6. MACAM-MACAM RIBA
Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba
akibat

hutang

piutang

yang

telah

dijelaskan

tentang

keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual beli yang juga


telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam
as-Sunnah.
a. Riba akibat hutang-piutang disebut Riba Qard ( ) ,
yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba
Jahiliyah ( ) , yaitu hutang yang
dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b. Riba akibat jual-beli disebut Riba Fadl ( ) , yaitu
pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk
dalam jenis barang ribawi, dalam hadits Umar disebutkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda:






14


3348. Dari Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Emas dengan perak adalah riba kecuali
diserah terimakan secara langsung, gandum dengan gandum adalah riba kecuali diserah
terimakan secara langsung, kurma dengan- kurma adalah riba kecuali diserah terimakan secara
langsung, jewawut dengan jewawut adalah riba kecuali diserah terimakan secara langsung. "
(Shahih: Muttafaq 'Alaih)13

Maksud dari hadits di atas adalah seseorang menukar barang


berupa emas harus dengan emas pula yang sepadan dan
beratnya juga harus sama, perak dengan perak dan harus
diserahterimakan secara langsung.
Dan Riba Nasi'ah ( ) , yaitu penangguhan atas
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah
muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan,
atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.14

13

Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dalam kitab al-Musaqat, bab: Menjual emas
dengan perak secara kontan, nomor 1587, lihat juga Abu Daud dalam Sunannya nomor 3348,
diriwayatkan juga olwh an-Nasa'i nomor 4562, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah nomor, 22532254.

14

Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional
Bank Syari'ah, (Jakarta: Djambatan, 2002). hal. 39-40.

15

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah
satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu.
Sudah jelas diketahui bahwa Islam melarang riba dan
memasukkannya dalam dosa besar. Tetapi Allah SWT dalam
mengharamkan riba menempuh metode secara gredual (step
by step). Metode ini ditempuh agar tidak mengagetkan
mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba dengan
maksud membimbing manusia secara mudah dan lemah
lembut untuk mengalihkan kebiasaan mereka yang telah
mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan
perekonomian

jahiliyah.

Ayat

yang

diturunkan

pertama

dilakukan secara temporer yang pada akhirnya ditetapkan


secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan. Adanya
pandangan kaum modern terhadap riba seperti Muhammad
Asad, Muhammad Syahrur dan Fazlur Rahman. Pada dasarnya
riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang
16

piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam


al-Qur'an, dan riba jual beli yang juga telah dijelaskan boleh
dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab Wa Al-Quran: Qiraah
Muasirah, Damaskus: AlAhali li At-Tibaah Wa al-Nashr Wa alTauzi, cet. II, 1990
http://fe.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/RIBADALAM-PERSPEKTIF-ISLAM.pdf diakses pada tanggal 16 April
2016 pkl. 20.15 WIB.
TNI Angkatan Darat, Al-Quran Terjemah Indonesia, cetakan
ke X, Jakarta: PT. Sari Agung, 1996
Shihab,

M.

Quraish,

Riba

Menurut

Quran,http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/riba.pdf
diakses pada tanggal 17 April 2016 pkl. 19.32 WIB

17

Al-

18

Anda mungkin juga menyukai