Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata Fai diambil dari lafal Faa-a yang berarti ”ketika kembali”. Kemudian
berlaku dalam hal harta yang kembali dari orang-orang kafir kepada kaum
muslimin. Sedangkan menurut syarak, adalah harta yang berasal dari orang-orang
kafir tanpa melalui pertempuran dan menghalau kuda atau unta, sebagaimana
harta pajak seper sepuluh harta dagangan karena ditinggal lari oleh pemiliknya.
Harta yang didapat dari orang yang tidak beragama islam dengan jalan damai
(tidak berperang), pajak, harta orang murtad, hadiah.

Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui


suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang diambil dari musuh
Islam dengan cara perang. Bentuk-bentuk harta rampasan yang diambil tersebut
bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan tawanan perang. Dilihat dari
sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak jaman sebelum Islam. Hasil
peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut
perang tersebut, dengan bagian terbesar untuk pemimpin. Ghanimah secara luas
ialah harta yang diambil alih oleh kaum muslimin dari musuh mereka ketika
dalam peperangan yang disebut juga rampasan perang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pembagian harta FA’I?


2. Bagaimana Pembagian harta Ghonimah?

C. Tujuan
Dalam makalah ini tentu kami mempunyai maksud dan tujuan tersendiri
adapun maksud dan tujuannya adalah mahasiswa mampu mengetahui dan
memahami perpajakan dalam islam yaitu ghanimah dan fa’i dan mudah mudahan
setelah pembahassan ini mahasiswa mampu mengaplikasikannya dalam konteks
sekarang.

1
BAB II

PEMBAHASAN

I. TERJEMAH KITAB AL-AHKAM AS-SULTHONIYAH


PEMBAGIAN FAI DAN GHANIMAH

‫واموال‬ Dan harta-harta


‫الفيء‬ Kekayaan
‫والغنائم‬ Dan harta rampasan perang
‫ما وصلت‬ Sesuatu yang didapatkan
‫من المشر كين‬ Dari orang-orang musyrik
‫او‬ Atau
‫كانوا‬ Dengan
‫سبب‬ Sebab
‫وصولها‬ Dan sampainya
‫ويختلف‬ Dan berbeda
‫الما‬ Sesuatuitu
‫الن‬ Karena
‫في‬ Didalam
‫حكمهما‬ Hukumkeduanya
‫وهما‬ Dan keduanya
‫مخاافان‬ Berbeda
‫الموال‬ Karenaharta
‫الصدقات‬ Shodaqoh
‫من‬ Dari
‫اربعت‬ Empat
‫اوجه‬ Macam
‫احدها‬ Salah satunya
‫ان الصدقات‬ Shodaqohdengan
‫ماءخوذة‬ Mengambil
‫من المسلمين‬ Dari orang-orang muslim
‫تطهيرا‬ Yang Nampak
‫لهم‬ Bagimereka

2
‫والفيء‬ ‫‪Kekayaan‬‬
‫والغنيمة‬ ‫‪Hartaperang‬‬
‫ماخوذان‬ ‫‪Diambil‬‬
‫من الكفار‬ ‫‪Dari orang-orang kafir‬‬
‫انتقاما‬ ‫‪Sebagaipenyelesaian‬‬
‫منهم‬ ‫‪Dari mereka‬‬
‫واموال الفيءوالغنائم ما وصلت من المثر كين او كانوا سبب وصولها ويختلف الماالن في حكمهما‬
‫وهما مخالفان الموال الصدقات من اربعة اوجه احدها ان الصدقات ماخوذة من المسلمين نطهيرا لهم‬
‫والغنيمة ماخوذان من الكفار انتقاما منهم‬
‫‪Terjemahan :‬‬

‫‪II.‬‬ ‫‪FA’I‬‬

‫‪3‬‬
A. Pengertian Fai
Fai secara bahasa bermakna naungan (‫)الظل‬, kumpulan (‫)الجمع‬, kembali (
‫)الرجوع‬, ghanimah, kharaj, dan sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada pemeluk
agama-Nya yang berasal dari harta-harta orang yang berbeda agama tanpa
peperangan1. Ada pun fai secara istilah adalah harta-harta yang didapatkan dari
musuh dengan cara damai tanpa peperangan, atau setelah berakhir peperangan
seperti jizyah, kharaj dan lain sebagainya.2
Harta fai dengan harta ghanimah ada kesamaan dari dua segi dan ada
perbedaan dari dua segi pula. Segi persamaanya adalah: Pertama, kedua harta itu
didapatkan dari kalangan orang kafir, Kedua, penerima bagian seperlima adalah
sama. Adapun segi perbedaannya adalah: Pertama, harta fai diberikan dengan
sukarela, sementara ghanimah dengan paksaan, Kedua, penggunaan empat
perlima bagian dari harta fai berbeda penggunaannya dengan empat perlima
bagian dari ghanimah.
Muhammad Saddam mengemukakan Negara mempuyai otoritas penuh
dalam mengatur harta fai, maka kita dapat menyebutnya sebagai pendapatan
penuh Negara, karena keuntungan dari pendapatan fai dibagi rata untuk
kepentingan bersama dari seluruh populasi, maka Al-Ghazaly mendefenisikannya
sebagai amwal al-mashalih yaitu pendapatn untuk kesejahteraan rakyat3.
Hanimah dan Fai adalah harta yang didapatkan kaum Muslimin dari kaum
Musyirikin atau mereka menjadi penyebab perolehan harta tersebut. Hukum
kedua jenis harta tersebut berbeda. Keduanya juga berbeda dengan harta zakat
dalam empat aspek;

1. Zakat diambil dari kaum Muslimin untuk membersihkan mereka, sedang


ghanimah dan fai diambil dari orang-orang kafir untuk menghukum
mereka.

1
IbnuManzhur, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2005), Cet. I, Juz.VI, hlm.131-
132.
2
Nazih Hammad, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’, (Riyadh: Ad-
Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995), Cet. III, hlm.161
3
Muhammad Saddam, Ekonomi Islam Sistem Ekonomi Menurut Islam, ter. Hary Kurniawan,
(Jakarta: Taramedia, 2002), hlm. 51.

4
2. Distribusi zakat sudah dipastikan dalam nash Al-Qur’an hingga imam
(khalifah) tidak boleh berijtihad didalamnya, sedang distribusi ghanimah
dan fai diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad para ulama.
3. Muzakki (pembayar zakat) diperbolehkan bertindak sendiri dalam
distribusi zakatnya, sedang pemilik ghanimah dan fai tidak boleh
bertindak sendiri dalam distribusi ghanimah dan fai kepada penerimanya,
hingga pihak yang berwenang yang mengelola pendistribusiannya.

Ghanimah dan fai mewakili dua kesamaan dan dua perbedaan. Dua kesamaan
diantara keduanya adalah, keduanya didapatkan dari orang-orang kafir dan alokasi
seperlima keduanya sama. Sedang dua perbedaan di antara keduanya adalah
sebagai berikut;

Pertama, fai diambil dengan sukarela, sedang ghanimah diambil secara paksa.

Kedua, alokasi empat perlima fai berbeda dengan alokasi empat perlima harta
ghanimah seperti akan saya terangkan, Insya Allah.

sesungguhnya semua harta yang didapatkan kaum Muslimin dari orang-orang


musyrik dengan sukarela tanpa melalui pertempuran, tanpa derap kaki kuda dan
pengendaranya, maka ia seperti uang perdamaian, jizyah, dan sepersepuluh bisnis
mereka.4 Atau harta yang diperoleh dari mereka seperti uang pajak, maka
seperlimanya diberikan penerima seperlima. Abu Hanifah berkata, “tidak ada
seperlima dalam harta fai” ini tidak benar, karena kita tidak boleh menentang nash
Al-Qur’an tentang seperlima fai. Allah Ta’ala berfirman,

“apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-
Hasyr.7)

Seperlima fai didistribusikan kepada pihak penerimanya secara merata.

4
Imam al-mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah, (PT.Darul falah,Bekasi 2016) Cet.7Hal. 226

5
Penerima pertama adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika
beliau masih hidup. Beliau menggunakan jatahnya untuk dirinya sendiri,
keluarganya, kepentingan pribadinya, dan kepentingan umum kaum muslimin.

Para Fuqaha’ berbeda pendapat tentang jatah fai beliau sesudah beliau
meninggal dunia. Sebagian Ulama berpendapat, ”Harta para Nabi itu bisa
diwarisi, jadi jatah tersebut diberikan kepada ahli warisnya.” Abu Tsaur
berpendapat, “Jatah fai beliau menjadi milik imam (khalifah) sepeninggal beliau.”
Abu Hanifah berkata, “Jatah untuk beliau tidak ada lagi dengan meninggalnya
beliau. Imam Syafi’i, “Jatah untuk beliau dialokasikan untuk kepentingan kaum
muslimin seperti gaji Tentara, penyiapan kuda perang, pembelian senjata,
pembangunan benteng-benteng dan jembatan-jembatan, gaji para hakim, para
imam, kepentingan-kepentingan umum kaum Muslimin yang lain.”

Penerima fai kedua adalah sanak kerabat Rasul. Abu Hanifah berpendapat,
“Harta mereka sekarang atas fai sudah gugur.” Menurut ImamSyafi’i, “Harta
mereka atas fai masih ada.” Sanak kerabat yang dimaksud adalah Bani Hasyim,
dan Abdul Muthalib yang kedua-duanya adalah anak keturunan Abdul Manaf.
Orang-orang Quraisy selain mereka tidak mempunyai hak atas fai. Fai ini dibagi
rata kepada anak kecil mereka, orang dewasa mereka,orang-orang kaya mereka,
dan orang miskin mereka. Oorang laki-laki dari mereka mendapatkan bagian dua
kali lipat dari bagian wanita (seperti dalam warisan), karena mereka diberi jatah
tersebut atas nama sanak kerabat. Mantan budakdan cucu-cucu dari anak
perempuan mereka tidak mempunyai hak atas fai. Jika salah seorang dari mereka
meninggal dunia sebelum mendapatkan jatahnya, dan faitersebut belum dibagi,
maka jatahnya menjadi milik ahli warisnya.

Penerima fai ketiga adalah anak-anak yatim dari kalangan orang-orang


miskin. Anak yatim adalah anak yang ditinggal meninggal ayahnya ketika ia
masih kecil. Tidak bedanya dalam hal ini antara anak laki-laki dengan anak
perempuan. Jika keduanya tidak lagi dikatakan anak yatim. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “yang dikatakan yatim setelah anak
bermimpi (baligh).” (diriwayatkan Abu Daud).

6
Penerima fai keempat adalah orang-orang miskin. Mereka adalah orang-
orang penerima fai yang tidak memiliki sesuatu untuk mencukupi kebutuhannya,
karena orang-orang miskin dari kalangan penerima zakat.

Penerima fai kelima adalah ibnu sabil, yaitu para penerima fai yang tidak
mempunyai perbekalan untuk perjalanannya; mereka akan memulai perjalanannya
atau ditengah-tengah perjalanannya.

Inilah ketentuan distribusi seperlima fai kepada kelima penerimanya.


Adapun empat perlima fai yang lain maka ada dua pendapat:

1. Empat perlima fai menjadi milik para tentara. Orang selain mereka tidak
mempunyai hak didalamnya. Itulah gaji mereka.
2. Empat perlima fai dialokasikan untuk kepentingan umum kaum Muslimin
seperti gaji tentara, dan kepentingan yang tidak bisa dielakkan oleh kaum
Muslimin.

Pihak penerima zakat adalah orang yang tidak berhijrah, dan tidak ikut terlibat
perang membela kaum Muslimin, dan wilayah negara Islam. Sedang penerima fai
adalah mereka yang berhijrah, terlibat dalam pembelaan wilayah negara,
mempertahankan tanah suci, dan berperang melawan musuh.

Nama hijrah tidak bisa disandangkan kecuali kepada orang yang hijrah dari
tempat tinggalnya menuju Madinah untuk mencari Islam. Tadinya , jika sebuah
kabilah masuk Islam, mereka dinamakan khairiyyah. Jadi orang-orang yang hijrah
adalah orang-orang yang bararah dan khairiyyah. Kemudian kewajiban hijrah
dihapus setelah penaklukan Makkah, dan akhirnya kaum Musimin dinamakan
muhajirin dan a’raab. Pada zaman Rasulullah Shallalallahu Alaihi wa Sallam
para penerima zakat dinamakana’raab, sedang para penerima fai dinamakan
muhajirin.

Karena ketentuan tentang harta keduanya berbeda, maka penerima keduanya


juga berbeda. Abu Hanifah menyamakan keduanya dan membolehkan masing-
masing dari kelompok lainnya.

7
Jika Imam (khalifah) ingin menjalin hubungan dengan salah satu kelompuk
untuk menciptakan kemaslahatan umum kaum Muslimin seperti menjalin
hubungan dengan para duta negara lain dengan muallaf, ia boleh mengambil fai
untuk kepentingan tersebut, karena Rasulullah Shallalallahu Alaihi wa Sallam
pernah memberikan sejumlah harta kepada para muallaf pada Perang Hunain.
Beliau memberi Uyainah bin Hishnun Al-Fazari seratus unta, Al-Aqra’ bin Habis
At-Tamimi seratus unta, dan Al-Abbas bin Mirdas As-Sulami lima puluh unta
yang kemudian jengkel dengan jatah yang diberikan kepadanya. Ia menyindir
Rasulullah Shallalallahu Alaihi wa Sallam,

Aku membangunkan manusia agar mereka tidak tidur

Jika mereka tidur, aku tidak tidur

Sungguh aku berada di medan perang dengan kemampuan tinggi

Namun, aku tidak diberi sesuatu dan tidak dilindungi

Rampasan perangku dan rampasan perang budak

Jauh berbeda dengan rampasan perang Uyainah dan Al-Aqra’

Tidaklah Hishnun dan Habis

Itu lebih unggul daripada Mrdas pada saat pertempuran

Aku bukan orang yang lebih rendah daripada keduanya

Dan barangsiapa yang engkau rendahkan hari ini, ia tidak bisa diangkat

Rasulullah Shallalallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Ali bin Abu Thalib
Radhiyallahu Anhu,“pergilah kepadanya dan potong lidahnya!”

Ketika Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu tiba ditempat Al-Abbas bin
Mirdas As-Sulami, Al-Abbas berkata kepada Ali bin Abu Thalib, “apakah engkau
akan memotong lidahku?” Ali bin Abu Thalib menjawab, “Tidak. Namun aku
akan memberi sesuatu kepadamu hingga engkau puas.” Kemudian Ali bin Abu
Thalib memberi sesuatu kepadanya dan itulah bentuk pemotongan lidahnya.

8
Dikisahkan bahwa seorang Arab pedesaan menghadap Umar bin
Khaththab Radhiyallahu Anhu, kemdudian berkata,

“wahai Umar, semoga engkau diberi pahala surga

Berilah pakaian untuk anak-anak perempuanku dan ibu mereka

Jadilah engkau sepanjang zaman sebagai pelindung bagi kami

Aku bersumpah dengan nama Allah, engkau pasti melakukannya”

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “jika aku tidak


melakukannya, bagaimana?”

Orang Arab pedesaan menjawab,

“kalau begitu, wahai Abu Hafsh pasti aku akan pergi.”

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “jika engkau pergi, apa
yang terjadi?”

Orang Arab pedesaan menjawab,

“engkau akan ditanya tentang aku

Pada hari dimana pemberian menjadi tidak ada gunanya

Posisi orang yang ditanya ada didepan

Kalau tidak ke neraka, ya ke surga.”

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu menangis hingga airmatanya


membasahi jenggotnya. Ia berkata, “Hai anak muda, berikan baju gamisku ini
kepada orang Arab pedesaan tersebut untuk suatu hari esok tersebut dan bukan
karena syairnya. Demi Allah aku tidak memiliki sesuatu selain baju gamis ini!”

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu menggunakan dana pribadinya


untuk kepentingan dia atas dan tidak menggunakan uang Baitul Mal (kas negara),
karena jalinan yang ia lakukan dengan orang Arab pedesaan tersebut tidak
mendatangkan manfaat bagi orang lain. Jadi jalinan tersebut tidak untuk

9
kemaslahatan umum kaum Muslimin. Orang Arab pedesaan seperti di atas masuk
dalam kelompok memberikannya dari harta zakat, karena syairnya atau karena
zakat telah didistribusikan kepada penerimanya dan orang tersebut tidak berada di
tempat ketika distribusi zakat dilakukan. Di antara kritik yang ditujukan terhadap
Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, ia menjalin hubungan dengan kelompok-
kelompok yang ada dengan menggunakan dana dari fai dan ia tidak membedakan
anatara fai dengan zakat.

Imam (khalifah) boleh memberi jatah fai kepada anak laki-lakinya, karena
anak laki-lakinya termasuk pihak penerima fai. Jika mereka sudah dewasa,
mereka diberi jatah dari fai seperti tentara.

Ibnu Ishaq meriwayatkan, ketika Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhu


telahmencapai usia baligh, ia menghadap ayahnya, Umar bin Khaththab
Radhiyallahu Anhun untuk memintanya memberi jatah kepadanya. Kemudian
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu memberi jatah uang dua ribu kepadanya.
Setelah itu, anak salah seorang Anshar yang telah baligh meminta jatah kepada
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu
Anhu memberi jatah uang tiga ribu kepadanya. Abdullah bin Umar berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, engkau memberiku uang sebesar dua ribu, sedang
orang ini engkau beri uang tiga ribu, padahal ia tidak diberi oleh ayahnya seperti
saya tadi?” Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu menjawab, “Ya, tapi aku
lihat ayah dari ibumu (kakek dari pihak ibu) memerangi Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, dan aku lihat ayah dari ibu anak muda ini (kakek dari pihak ibu)
berperang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.”

Seorang ibu berhak atas jatah lebih dari seribu.

Imam (khalifah) tidak boleh memberi sesuatu dari fai kepada anak-anak
perempuannya, karena mereka adalah pihak yang masuk dalam tanggungan
nafkahnya.

Adapun budak imam (khalifah), dan budak orang lain, jika mereka tidak
ikut berperang, maka biaya hidup mereka diambilkan dari uang pribadi imam

10
(khalifah) atau uang majikan mereka. Jika mereka ikut berperang, maka Abu
Bakar Radhiyallahu Anhu yang tidak menentukan jatah tersendiri untuk mereka,
namun jatah majikan mereka ditambah untuk mereka, karena penambahan jatah
untuk kepentingan keturunan itu sah.

Jika budak telah merdeka, ia boleh diberi jatah.

Penentuan jatah untuk para pemimpin penerima fai diperbolehkan, dan


penentuan jatah untuk pegawai-pegawai mereka tidak diperbolehkan, karena para
pemimpin termasuk penerima fai, sedang para pegawainya mendapatkan gaji
sebagai imbalan atas kerja mereka.

Petugas fai tidak boleh mendistribusikan fai kecuali dengan izin imam
(khalifah). Sedang petugas zakat boleh memdistribusikan zakan tanpa izin imam
(khalifah), selagi ia tidak dilarang untuk itu, karena seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa distribusi fai itu diserahkan sepenuhnya karena ijtihad imam
(khalifah).5

B. Landasan Hukum
Fai disyariatkan melalui firman Allah dan juga atsar 6. Adapun firman
Allah adalah:
“Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak
mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang
memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-
Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa saja harta rampasan (fai-i)
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS.
Al-Hasyr: 6-7)

5
Imam al-mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah, (PT.Darul falah,Bekasi 2016) cet.7 Hal. 226
6
Wizarah Al-Auqafwa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar Ash-
Shofwah, 1995), Cet. I, Juz.XXXII, hlm. 229-230.

11
Atsar dari Umar RA bahwa beliau berkata: “Dahulu harta dari Bani
Nadhir adalah fai yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya, dan harta itu ada
yang dikhususkan untuk beliau. Kemudian beliau mengeluarkan biaya hidup
keluarga untuk satu tahun sedangkan sisanya beliau jadikan untukku dan
senjata”.(HR. Bukhari)

C. Sumber-Sumber Fai
Harta fai bersumber dari beberapa jalan7,yaitu:
a) Tanah dan harta yang tidak bergerak lainnya seperti rumah.
b) Harta yang bisa dipindahkan.
c) Kharaj
d) Jizyah
e) Ushurahl adz-dzimmah
f) Harta yang diperoleh oleh kaum muslimin dari musuh untuk berdamai.
g) Harta orang murtad jika terbunuh atau mati
h) Harta kafir dzimmy jika mati dan tidak punya ahli waris.
i) Tanah-tanah ghanimah artinya tanah-tanah pertanian bagi yang berpen
dapat bahwa tanah tersebut tidak dibagi.

D. Karakteristik petugas Fai


Petugas fai selain harus memiliki sifat amanah dan kredibilitas pribadi
yang baik, ia juga harus mempunyai karakteristik khusus sesuai dengan bidang
yang diatangani. Bidang atau tugas yang ditangani tersebut ada tiga macam,8yaitu:
a) Penentu jumlah fai yang harus dipungut dan orang-orang yang berhak
mendapatkan bagian. Untuk bagian ini karak teristiknya adalah merdeka,
Islam, mujtahid, menguasai ilmu berhitung dan pengukuran luas tanah.
b) Pengumpul seluruh harta fai. Petugas ini harus memiliki syarat seperti
pada bagian pertama kecuali mujtahid.

7
Wizarah Al-Auqafwa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (Kuwait: Dar Ash-
Shofwah, 1995), Cet. I, Juz.XXXII, hlm. 230.Untuk pembahasan lebih lanjut lihat kitab Al-Amwal
karangan Abu Ubaid dan karangan Humaid bin Zanjawaih.
8
Al-Mawardi, op.cit.hlm. 165-166.

12
c) Pengumpul satu jenis dari harta fai. Tugas ini jika dijalankan secara resmi,
maka petugasnya harus merdeka, Islam dan menguasai ilmu berhitung dan
pengukuran luas tanah. Jika tidak resmi maka bisa dilakukan oleh hamba
sahaya atau kafir dzimmi.

III. GHANIMAH (‫)الغنيمة‬


A. Pengertian Ghanimah
Ada beberapa lafazh yang digunakan untuk menyebutkan istilah ghanimah
yaitu maghnam (‫)المغنم‬, ghanim (‫نيم‬YY‫)الغ‬, dan ghunmu (‫)الغنم‬. Bentuk jama’ dari
ghanimah adalah ghanaim (‫)غنائم‬, sedangkan maghnam bentuk jama’nya adalah
maghanim (‫انم‬YYYY‫)مغ‬. Adapun maknanya secara bahasa adalah al-fauzu/
‫وز‬YYY‫(الف‬kemenangan)9. Ghanimah juga bermakna fai, keuntungan (‫ربح‬YYY‫ )ال‬dan
kelebihan (‫)الفضل‬.
Adapun defenisi ghanimah secara istilah adalah harta musuh yang diambil
dengan cara paksaan dan melalui peperangan. Ulama Hanafiyah menjelaskan
bahwa pengambilan dengan cara paksaan tidak terjadi kecuali dengan kekuatan,
baik secara hakiki atau dengan dalalah, artinya izin dari Imam.10 Sedangkan
ulama Syafi’iyah mendefenisikan ghanimah yaitu harta yang diambil oleh kaum
muslimin dari orang kafir dengan menunggang kuda dan unta. Ar-Rafi’I
mengatakan bahwa dalam kitab At-Tahzib disebutkan bahwa sama saja apakah
harta itu diambil dengan cara paksa atau karena mereka kalah dan meninggalkan
hartanya.
B. Landasan Hukum
Ghanimah adalah salah satu dari keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada
Rasulullah atas umat-umat yang lain. Nabi SAW bersabda,
“Aku telah diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun
sebelumku, aku dimenangkan dengan perasaan takut (dalam diri musuh) sejauh
satu bulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku masjid dan suci maka siapapun
yang mendapati waktu sholat maka hendaklah ia sholat, ghanimah dihalalkan

9
Majamma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-Idarah Al-‘Ammah li Al-Mu’jamatwaIhya’ At-Turats
Negara Mesir, Al-Mu’jam Al-Washith, (Mesir: MaktabahAsy-Syuruq Ad-Dauliyah, 2004), Cet. IV,
hlm. 664.
10
Al-Kasany, Bada’I Ash-Shana’I, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), Juz. IX, hlm. 394.

13
bagiku dan tidak dihalalkan bagi seorangpun sebelumku, aku diberikan syafaat,
Nabi hanya diutus pada kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh
manusia”. (HR. Bukhari).11
Pada awalnya, pembagian ghanimah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Kemudian turunlah firman Allah SWT yang menjelaskan tentang ketentuan dalam
pembagian ghanimah tersebut,
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”. (QS. Al-Anfal: 41)
Dalam ayat ini telah ditetapkan bahwa yang dibagikan kepada pasukan
hanyalah 4/5 dari harta ghanimah, adapun sisanya (1/5) untuk selain mereka
sebagaimana dalam ayat di atas. Ghanimah pertama yang dikenakan ketentuan
menarik seperlima oleh Rasulullah SAW setelah perang Badr adalah ghanimah
perang Bani Qainuqa’.12

C. Macam-Macam Ghanimah
Adapun ghanimah, maka cabang-cabangnya dan hukum-hukumnya sangat
banyak, karena ia adalah akar dari fai. Jadi hukumnya lebih luas. Pembahasan
ghanimah mencakup tawanan perang, sandera, lahan tanah dan harta.

D. Tawanan Perang

Tawanan perang adalah orang laki-laki kafir yang terlihat perang,


kemudian kaum Muslimin berhasil menangkap mereka hidup-hidup. Para fuqaha’
berbeda pendapat mengenai perlakuan terhadap mereka. Imam Syafi’i
berpendapat, “Imam (khalifah) atau wakilnya bebas memilih mana diantara empat
opsi yang paling mendatangkan kemaslahatan dalam kefakirannya;13

 Membunuh mereka
 Menjadikan mereka sebagai budak
 Mereka ditebus dengan uang atau penukaran tawanan
11
IbnuHajar Al-‘Asqalany, Fath Al-Bari, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2004), Juz. I, hlm. 513.
Haditsnomor: 335.
12
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar IbnQutaibah, 1989), Cet. I, hlm.
177.
13
Imam al-mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah, (PT.Darul falah,Bekasi 2016) cet.7 Hal.233

14
 Membebaskan mereka tanpa uang tebusan.

Jika mereka masuk Islam, opsi pertama (dibunuh) gugur, dan Imam (khalifah)
dihadapkan pada tiga opsi.”

Imam Malik berkata, “Imam mempunyai tiga opsi;


1. Membunuh mereka
2. Menjadikan mereka sebagai budak
3. Mereka ditebus dengan tawanan laki-laki dan tidak dengan uang.
Mereka tidak boleh dibebaskan begitu saja.”

Abu Hanifah berkata, “Imam mempunyai dua opsi;

1. Membunuh mereka
2. Menjadikan mereka sebagai budak. Ia tidak boleh
membebaskan mereka, atau menerima tebusan uang dari
mereka.”

Pendapat Abu Hanifah tidak benar, karena Allah Ta’ala memasukkan


pembebasan dan penebusan sebagai salah satu opsi dalam menangani mereka.
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima


tebusan sampai perang berhenti.” (Muhammad: 4)

Pada Perang Badar, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam


membebaskan Abu Izzah Al-Jumahi dengan syarat ia tidak memerangi beliau lagi.
Pada Perang Ubud, ternyata ia kembali ikut memerangi beliau dan jatuh menjadi
tawanan perang. Lalu beliau memerintahkan Abu Izzah Al-Jumahi dibunuh. Abu
Izzah Al-Jumahi berkata, “bebaskan aku.” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda,

“Orang Mukmin itu tidak tersengat dari satu lubang hingga dua kali.”
(diriwayatkan Al-Bukhari).

15
Adapun tebusan tawanan perang, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
menentukan pada Perang Badar dan perang sesudahnya bahwa satu tawanan
ditebus dengan dua tawanan.

Imam (khalifah) harus memperhatikan kondisi tawanan perang dan


berijtihad dengan pendapatnya dalam memperlakukan mereka. Jika diantara
tawanan tersebut terdapat orang kuat, sangat kejam, upaya mengajaknya masuk
Islam menemui jalan buntu, dan jika ia dibunuh, bisa melemahkan kelompoknya,
maka Imam (khalifah) membunuhnya dan tidak mencincang-cincangnya.

Jika imam (khalifah) melihat salah seorang dari mereka mempunyai


kemampuan tinggi untuk bekerja, dan ia tidak mungkin berkhianat, maka ia
menjadikannya sebagai budak untuk membantu kaum Muslimin.

Jika imam (khalifah) melihat salah seorang dari mereka dapat diharapkan
masuk Islam, atau ditaati kaumnya, dan ia berharap dengan pembebasannya,
tawanan tersebut masuk Islam atau kaumnya takluk, maka ia membebaskannya.

Jika imam (khalifah) melihat salah seorang dari mereka mempunyai uang
banyak, sedang kaum Muslimin berada dalam kesulitan ekonomi, maka ia
meminta tawanan tersebut ditebus dengan uang dan menjadikan uang tersebut
sebagai perbekalan Islam dan kekuatan kaum Muslimin.

Harta yang didapatkan dari tebusan tawanan perang adalah ghanimah dan
digabungkan dalam ghanimah-ghanmah yang lain, dan tidak diberikan tentara
Islam yang berhasil mnawannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
memberikan uang tebusan tawanan Perang Badar kepada tentara Islam yang
menawannya. Namun itu terjadi sebelum turunnya ayat tentang pembagian
ghanimah kepada penerimanya.

Jika imam (khalifah) menghalalkan darah seorang dari orang-orang


musyrik karena kejahatannya, dan kekejamannya, kemudian orang tersebut
tertawan, imam (khalifah) boleh membebaskannya dan memaafkannya, karena
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan pembunuhan terhadap

16
enam orang-orang musyrik pada penaklukan Makkah, meski mereka bersandar di
kiswah Ka’bah. Keenam orang tersebut adalah sebagai berikut;

Pertama, Abdulloh Bin Saad Bin Sahr. Ia pernah menulis wahyu untuk
Rosulullah Saw, beliau bersabda kepadanya, “ tulislah Ghofururrohim (Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)”, namun ia menulis “Alimun Hakim
(Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana)”. Setelah itu, ia murtad dan
bergabung dengan orang orang Quraisy. Ia berkata kepada mereka,
“sesungguhnya aku telah mengacaukan Muhammad semauku.” Kemudian Firman
Allah Ta’ala, “dan orang yang berkata, saya akan menurunkan seperti apa yang
diturunkan Allah.” (Al-An’am:93).

Kedua, Abdulloh Bin Khathal. Ia mempunyai dua penyanyi wanita yang


selalu menghina Rosulullah Saw dalam lagunya.

Ketiga, Al-Huwairits Bin Nufail, ia orang yang selalu mengganggu


Rosulullah Saw.

Keempat, Maqis Bin Hababah, salah seorang dari kaum anshor membunuh
saudaranya karena tidak sengaja, kemudian memberi ganti rugi kepadanya, namun
ia membunuh orang anshor tersebut kemudian ia murtad dan pergi dari mekkah.

Kelima, Sarah. Ia budak salah seorang dari bani Mutholib yang selalu
menghina dan mengganggu Rosulullah Saw.

Keenam, Ikrimah Bin Abu Jahal, ia orang yang paling menentang


Rosulullah Saw. Karena ini balas dendam terhadap beliau atas kematian
ayahnya.14

Hadits diatas mengandung banyak sekali hukum-hukum, adapun


pembunuhan terhadap orang lemah yang dimakan usia atau sakit, atau orang-
orang mengisolir diri seperti para Rohib dan pendeta, jika mereka membantu
tentara-tentara kafir dengan pendapatnya dan menyuruh mereka berperang, maka
terhadap mereka jika mereka tertangkap boleh dibunuh. Ketentuan terhadap

14
Imam al-mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah, (PT.Darul falah,Bekasi 2016) cet.7 Hal.235

17
mereka sama dengan ketentuan terhadap tentara setelah tertawan. Jika mereka
tidak membantu tentara dengan pendapatnya atau mobilisasi, ada dua pendapat
tentang boleh tidaknya pembunuhan terhadap mereka.

E. Sandera
Yang di maksud dengan sandera adalah wanita dan anak anak, jika mereka
berasal dari ahli kitab, mereka tidak boleh di bunuh, karena Rasulullah SAW
melarang pembunuhan wanita dan anak anak, mereka menjadi budak dan di bagi
bagikan bersama rampasan peran yang lain.

Jika sandera wanita tidak berasal dari ahli kitab, misalnya atheis, dan
penyembah berhala, jika mereka menolak masuk islam, menurut imam syafi’i
mereka di bunuh. Menurut Abu hanifah, mereka di jadikan budak.

Sandera wanita yang di jadikan budak tidak boleh di pisahkan dengan


anaknya, karena Rasulullah SAW bersabda :

“Seorang ibu tidak boleh di pisahkan dari anaknya” (Diriwayatkan Al-


Baihaqi)

Jika sandera wanita menebus dirinya dengan uang, maka di perbolehkan,


karena penebusan ini adalah jual beli dan uang tebusan mereka menjadi
ghanimah. Jika imam (khalifah) ingin mengadakan pertukaran tawanan dengan
tawanan perang kaum muslimin yang ada pada orang-orang kafir, maka sebagai
gantinya orang-orang yang menangkap tawanan perang tersebut di beri gantirugi
dari jatah kepentingan umum.

Jika imam (khalifah) ingin membebaskan mereka, maka tidak di


perbolehkan kecuali dengan meminta kerelaan orang orang yang
mendapatkannya, dengan cara mereka melepaskan hak nya atau mereka di beri
uang. Jika pembebasan mereka di maksudkan untuk kemaslahatan umum, maka di
berikan imam (khalifah) memberi ganti untuk mereka yang di ambilkan dari jatah
kemasalahatan umum, jika untuk kepentingan pribadi, ia memberi ganti untuk
mereka dari uang pribadinya.

18
Jika salah satu seseorang dari orang yang mendapatkan sandera wanita
tidak mau melepas haknya atas sandera wanita tersebut, ia tidak boleh di minta
melepas hak nya dengan cara paksa.

Jika suami di antara sandera wanita terdapat wanita-wanita yang


mempunyai suami, maka pernikahan mereka batal, suami-suami mereka ikut
tersandera atau tidak. Abu hanifah berkata, “Jika wanita-wanita di sandera dengan
suami-suaminya, mereka tetap menjadi suami istri”.

Jika di antara wanita-wanita yng bersuami tersebut terdapat wanita yang


masuk islam sebelum jatuh menjadi sendera, ia menjadi wanita merdeka (bukan
budak) dan pernikahannya dengan suaminya menjaadi batal dengan berakhirnya
masa iddah nya.

Jika para tawanan wanita telah di bagi-bagi kepada tentara-tentaranya yang


mendapatkannya, mereka haram menggaulinya hingga mereka bersih dari haid,
jika mereka masih haidl atau setelah mereka melahirkan jika mereka hamil.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW berjalan melewati salah seoraang sandera
wanita Hawazin, kemudian beliau bersabda :

“Ketahuilah wanita hamil tidak boleh di gauli hingga ia melahirkan


anaknya dan wanita yang tidak hamil tidak boleh di gauli hingga ia haidl”
(Diriwayatkan muslim, Abu dawud, At-tirmidzi, dan An-nasai)15

F. Harta kaum muslimin yang dikuasai orang-orang musyrik

Jika orang-orang muslim menguasai harta kaum muslimin mereka tidak


berhak memilikinya dan harta tersebut tetap menjadi hak milik kaum muslimin.
Jika harta tersebut dikuasai kembali kaum muslimin, harta tersebut dikembalikan
kepada pemiliknya tanpa pemberian ganti rugi kepada orang yang berhasil
membebaskannya

15
Imam al-mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah, (PT.Darul falah,Bekasi 2016) cet.7 Hal.241

19
Abu Hanifah berkata, “harta tersebut menjadi milik orang-orang musyrik,
jika mereka menguasainya termasuk budak wanita. Jika majikannya memasuki
negara kafir tersebut, ia diharamkan menggaulinya.”

Jika orang yang menguasai lahan tanah tersebut masuk islam, ia lebih
berhak memilikinya, namun jika kaum muslimin menguasainya, mereka lebih
berhak memiliknya daripada pemiliknya.

Imam Malik berkata, “jika pemilik lahan tanah menemukan lahan


tanahnya sebelum dibagi-bagi kepada kaum muslimin, ia lebih berhak
memilikinya kembali. Jika ia menemukannya setelah pembagian, pemiliknya
berhak atas harganya, dan orang-orang yang menguasainya berhak atas lahan
tanah tersebut.”

Satu atau dua orang yang berhasil mendapatkan ghonimah tetap


mempunyai hak atas seperlima ghonimah yang didapatkannya. Abu Hanifah dan
orang sahabatnya berkata, “seperlima ghonimah tidak diberikan kecuali kepada
orang-orang yang berjumlah satu syariyah.” Para Fuqoha’ berbeda pendapat
tentang jumlah syariyah. Abu hanifah dan Muhammad berkata, “jumlah syariyah
ialah beberapa orang yang tangguh.”

Jika suami istri masuk islam, maka keislamannya mencakup keislaman


anak-anaknya yang masih kecil, laki-laki atau perempuan, dan tidak mencakup
keislaman anak-anak mereka yang telah baligh kecuali orang baligh yang gila.

Imam Malik berkata, “keislaman ayah mencakup keislaman anak-anaknya,


keislaman seorang istri tidak mencakup keislaman anak-anaknya dan keislaman
anak-anak tidak membuatnya menjadi anak islam dan kemurtadannya tidak
membuatnya menjadi orang murtad.”

Abu Hanifah berkata, “keislaman anak-anak membuat mereka menjadi


anak islam dan kemurtadannya menjadikannya sebagai orang murtad jika ia
berakal dan mampu membedakan. Namun ia tidak boleh dibunuh hingga ia
mencapai usia aqil baligh.”

20
Abu yusuf berkata, “keislaman anak kecil membuatnya menjadi anak
islam dan kemurtadannya tidak menjadikannya sebagai anak murtad.”

Imam Malik berkata dalam satu riwayat darinya, “jika ia mengetahui


darinya, keislamannya sah. Jika ia tidak mengetahui dirinya, keislamannya tidak
sah.”

G. Lahan tanah yang dikuasai kaum muslimin

Jika kaum muslimin berhasil menguasai lahan tanah, maka lahan tanah
tersebut terbagi kedalam tiga bagian :

Pertama, lahan tanah yang dikuasai kaum muslimin dengan kekerasan dan
secara paksa, hingga orang-orang kafir meninggalkannya baik dengan
pembunuhan atau penyanderaan atau pengusiran.

Kedua, lahan tanah yang dikuasai kaum muslimin dengan damai, karena
orang-orang kafir meninggalkannya karena ketakutan. Dengan penguasaan ini,
lahan tanah tersebut menjadi tanah waqof. Ada yang mengatakan, “lahan tanah
tersebut tidak menjadi tanah waqof hingga imam (kholifah) mengatakannya secara
resmi, lahan tanah tersebut dikenakan pajak dan uang pajaknya untuk gaji
pengawasannya muslim atau orang kafir muwahid.”

Ketiga, kaum muslimin menguasai lahan tanah tersebut secara damai


dengan ketentuan lahan tanah tersebut tetap mereka miliki, namun mereka
membayar pajaknya. Lahan tanah tersebut memiliki dua alternatif :

1. Kaum muslimin berdamai dengan mereka dengan ketentuan bahwa tanah


tersebut menjadi milik kaum muslimin. Dengan perdamaian tersebut,
lahan tanah tersebut menjadi tanah wakaf negara islam. Lahan tanah
tersebut tidak boleh di jual atau di gadaikan.
2. Kaum muslimin berdamai dengan mereka dengan ketentuan lahan tanah
menjadi milik mereka, namun lahan tanah tersebut di kenanakan biayaya

21
pajak yang harus mereka bayar. Pajak tersebut sama dengan jizyah, jika
mereka masuk islam, kewajiban membayar pajak menjadi gugur.16

H. Harta Benda Bergerak


Harta benda bergerak termasuk ghanimah yang bisa di tolerir.
Tadinya Rasulullah SAW membagi-bagikannya berdasarka ijtihadnya,
namun karena kaum muhajirin dan anshar memperebutkannya pada perang
badar, allah azza wa jalla menjadikannya sebagai milik Rasul-nya dan
beliau bebas menggunakannya.
I. Ahlu Radhakh
Adalah orang-orang yang ikut perang, namun tidak mempunyai
jatah ghanimah misalnya budak, para wanita, anak-anak, dan orang tua.
Orang kafir dzimmi diberi jatah dari ghanimah sesuai dengan
kebutuhannya dan jatah mereka tidak memiliki jatah untuk tentara
berkuda.
Jika terjadi perubahan pada ahlu radhakh misalnya budak menjadi
orang merdeka, anak-anak menjadi baligh, dan kafir menadi islam, jika
perubahan status tersebut terjadi pada saat perang masih berkecamuk,
mereka diberi jatah khusus dan tidak di katagorikan sebagai ahlu radakh
lagi. Namun jika perubahan status tersebut terjadi setelah perang usai,
mereka tetap di katagorikan ahlu radakh dan tidak diberi jatah khusus.

ANALISIS

Fa’i dan Ghanimah adalah istilah yang digunakan untuk sebuah harta yang
diperoleh umat Islam dari kaum musyrikin. Kedua istilah ini ramai digunakan
pada masa-masa penaklukan Islam pada abad pertama Islam termasuk pada masa
awal-awal perkembangan Islam di Jazirah Arab.Istilah ini kembali ramai
digunakan saat ini oleh kelompok radikal terorisme baik di Indonesia maupun di
negara-negara lain dengan asumsi bahwa mengambil harta kekayaan mereka yang

16
Imam al-mawardi, Al-ahkam As-sulthaniyyah, (PT.Darul falah,Bekasi 2016) cet.7 Hal.244

22
tidak seagama adalah halal baik melalui rampasan ataupun pencurian. Asumsi ini
dibangun atas pemahaman bahwa harta kaum musyrikin atau non-muslim adalah
halal bagi kaum muslimin khususnya bagi para mujahidin.Atas dasar tersebut,
mereka dengan tanpa pertimbangan dan tanpa merasa bersalah atau berdosa
merampas harta kekayaan orang-orang non-muslim yang ada di sekitaranya baik
di toko-toko mereka maupun di rumah mereka, bahkan sering kali melakukan aksi
kejahatan dengan penjarahan atau perampokan di toko-toko non-muslim. Ini
dilakukan semata-mata karena asumsi bahwa harta dan jiwa mereka adalah halal
bagi umat Islam karena mereka adalah orang-orang kafir. Asumsi ini merupakan
pemahaman yang sangat keliru dan salah.

Fa’i dalam Islam adalah harta yang diperoleh dari kaum musyrik tanpa
melalui perang. Harta semacam ini cukup banyak ketika itu, karena penaklukan
yang dilakukan oleh para pejuang-pejuang Islam cukup massif sehingga tidak
mengherankan jika umat Islam di era -era penaklukan banyak yang tergiur dengan
harta yang diperoleh dari istana-istana Romawi pada saat itu seperti emas dan
perhiasan-perhiasan berharga lainnya. Sementara ghanimah adalah harta yang
diperoleh oleh kaum muslimin melalui sebuah peperangan atau yang disita dari
musuh-musuh. Harta ghanimah juga tidak sedikit waktu itu karena beberapa
perang yang terjadi pada era pertama Islam telah menghimpun banyak harta dari
mereka yang dikalahkan seperti senjata, kuda, unta dan lain-lain.Kedua hal di atas
memiliki aturan pembagiannya sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan
tidak serta merta dapat digunakan untuk keperluan pribadi atau digunakan oleh
oknum yang memperolehnya. Terkait dengan fa’i, dalam Al Quran disebutkan
sebagai berikut:

Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu”.

23
Sementara aturan ghanimah pembagiannya juga sangat jelas sebagaimana juga
disebutkan dalam Al Quran sebagai berikut :

Artinya: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu. (41)

Pembagian dan istilah harta tersebut berlaku ketika kaum musyrik


menyerang dan memusuhi umat Islam sebagaimana yang terjadi pada era pertama
Islam. Pada saat itu kaum musyrikin dan emperium-emperium lainnya sangat
memusuhi Islam yang sedang berkembang sehingga terjadi peperangan dan
penaklukan wilayah-wilayah sekitarnya yang menjadi wilayah kekuasaan
emperium yang sedang berkuasa saat itu. Fa’i dan ghanimah menjadi sebuah
legalitas terhadap harta yang diperoleh melalui perang dan penaklukan.

Namun, ketika tidak terjadi sebagaimana saat ini di mana umat Islam dan
umat lainnya hidup berdampingan secara damai, maka istilah-istilah tersebut di
atas tidak berlaku lagi, karena semua hidup dalam perdamaian. Artinya, pada saat
ini pengambilan harta atau perampasan harta milik non muslim bukan lagi
dianggap fa’i dan ghanimah tetapi dianggap sebagai bentuk pencurian.Para ulama
sepakat bahwa tindakan pencurian tidak membedakan harta laki-laki atau
perempuan atau harta orang kaya dengan orang miskin atau harta orang muslim
dan non muslim. Semua bentuk pengambilan harta yang tidak sah dari siapapun
dianggap sebagai pencurian. Sementara hukumnya adalah haram dan pelakunya
harus dipotong tangan. Orang-orang Islam yang masuk ke negara non-muslim
secara sah, kemudian melakukan pencurian atau perampokan dengan asumsi fa’i
atau ghanimah, maka tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk kriminal dan
dosa besar karena ia masuk ke dalam negara orang secara sah kemudian di
dalamnya mereka melakukan aksi tak terpuji. Tindakan seperti demikian dianggap

24
sebagai penyelewenangan terhadap janjinya dan pelakunya telah melakukan dosa
besar. Demikian pula, mengambil harta orang Islam atau non muslim di negeri
yang mayoritas Islam juga sama hukumnya dengan mencuri atau merampok yang
tidak dibenarkan oleh Islam.

Asumsi kelompok radikal terorisme sebagaimana yang disebutkan di atas yang


membolehkan mengambil harta orang non muslim dengan anggapan halal karena
masuk dalam kategori fa’i dan ghanimah adalah sebuah kesalahan dan kekeliruan
yang fatal. Rasulullah SAW suatu ketika didatangi seseorang yang membawa
harta yang diperoleh dari kaum jahiliyah, tetapi Rasulullah menolaknya
sebagaimana dikisahkan dalam hadis berikut ini.

Artinya: Dari Mughira bin Syu’bah menyampaikan bahwa sesungguhnya ketika ia


berteman dengan kaum Jahiliyah ia membunuhnya dan mengambil hartanya
kemudian ia datang kepada Rasulullah Saw dan menyatakan ke-Islamannya. Lalu
Rasulullah Saw mengatakan adapun keislamannya maka kami terima, sementara
hartanya kami tidak memiliki urusan apapun dengan itu. Diriwayatkan oleh Abi
Daud bahwa yang dimaksud diterima oleh Rasulullah adalah keIslamannya, tetapi
harta yang dibawahnya adalah harta yang bukan amanah maka Rasulullah
menyampaikan bahwa dirinya tidak ada urusan dengan harta itu. (HR Bukhari dan
Abu Daud.

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ghanimah Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh
seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang
diambil dari musuh Islam dengan cara perang. Bentuk-bentuk harta rampasan
yang diambil tersebut bisa berupa harta bergerak, harta tidak bergerak, dan
tawanan perang.Dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak
jaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan
kepada pasukan yang ikut perang tersebut, dengan bagian terbesar untuk
pemimpin.
fa'i adalah segala harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh
kaum muslimin tanpa peperangan. Seperti yang pernah terjadi pada Bani Nadhir,
atau orang-orang kafir melarikan diri karena takut terhadap kaum muslimin,
dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta tersebut dikuasai
oleh kaum muslimin, atau orang-orang kafir takut dan melakukan perdamaian
dengan kaum muslimin serta menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mereka,
seperti terjadi pada penduduk Fidak.
Para pakar ekonomi berpendapat bahwa pajak yang baik adalah pajak yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Keyakinan (ada ketegasan)
 Kesesuaian
 Proporsional
 Ekonomi
B. Saran
Demikianlah  makalah ini Kami buat. Tentunya masih banyak
kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Demi menuju
kesempurnaan pembuatan makalah yang lebih baik lagi, Kami
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca. Kami ucapkan terimakasih,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

26
DAFTAR PUSTAKA

Manzhur, Ibnu, Lisan Al-‘Arab, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2005)

Hammad, Nazih, Mu’jam Al-Mushthalahat Al-Iqtishodiyah fi Lughah Al-Fuqaha’,


(Riyadh: Ad-Dar Al-‘Alamiyah li Al-Kitab Al-Islamy, 1995)

Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Kuwait: Maktabah Dar IbnQutaibah, 1989)

Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, (Bekasi:PT.Darul falah 2016)

Wizarah Al-Auqafwa As-Syu’un Al-Islamiyah, Al-Mausu’ah Al-FiqhiyahJuz XXXII,


(Kuwait: Dar Ash-Shofwah, 1995)

Al-Kasany, Bada’I Ash-Shana’I, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005)

27

Anda mungkin juga menyukai