Anda di halaman 1dari 7

A.

ITTIBA’ (ُ‫)اَ ِالتِّبَاع‬


  1.      Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a”,
“Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
. ُ‫ت تَ ْعلَ ُم ِم ْن أَي َْن قَالَه‬
َ ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل ْالقَائِ ِل َوأَ ْن‬
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
.‫ح‬ ِ ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل ْالقَائِ ِل بِ َدلِي ٍْل َر‬
ٍ ‫اج‬
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui
alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum
berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
  2.      Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah
mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau
mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh
Allah, sebagaimana firmannya:
. ‫اِتَّبِع ُْوا َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ تَتَّبِع ُْوا ِم ْن ُد ْونِ ِه أَ ْولِيَا َء قَلِ ْيالً َما تَ َذ َّكر ُْو َن‬
)۳ : ‫(األعرف‬
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah
mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم ِب ُسنَّتِى َو ُسنَّةُ ْال ُخلَفَا ِء الر‬
)‫ ابو داود‬d‫ْن ِم ْن بَ ْع ِدى ـ (رواه‬dَ ‫َّش ِدي‬
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.
(HR.Abu Daud)

  3.      Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’


Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima
semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain,
ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat
yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
  a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
  b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-A’raf [7]: 3
. ‫اِتَّبِع ُْوا َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ تَتَّبِع ُْوا ِم ْن ُد ْونِ ِه أَ ْولِيَا َء قَلِ ْيالً َما تَ َذ َّكر ُْو َن‬
)۳ : ‫(األعرف‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat
perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan
sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya:
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.
       Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri)
dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan
pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut
terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran.
Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.

B. TAQLID  (ُ‫)اَلتَّ ْقلِ ْيد‬    


1.        Pengertian Taqlid
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’,
“taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
. ُ‫ت الَ تَ ْعلَ ُم ِم ْن أَي َْن قَالَه‬
َ ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل ْالقَائِ ِل َوأَ ْن‬
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan
perkataannya itu.”
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :
. ‫قَب ُْو ُل قَ ْو ِل ْالقَائِ ِل ال َغي ِْر ُد ْو َن ُح َّجتِ ِه‬
“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama,
yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di
simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak
beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
2.        Hukum Taqlid
Menurut Imam Al-Ghozali Taglid ialah menerima perkataan tidak dengan alasan jadi
menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar pengambilannya dinamakan Taglid.
Sedangkan orang yang menerima pendapat dinamakan muqallid.
Al-Ghazali menegaskan taqlid harus ditolak. Setidaknya ada dua alasan; pertama,
menurutnya taqlid menciptakan fanatik terhadap mazhab tertentu sehinggga mendorong
seseorang dengan enteng menuduh dan menyalahkan pengikut mazhab lain.

para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:


a)         Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah,
taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat
seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b)        Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha
menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini
sifatnya hanya sementara.
c)         Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan
hujjah, yaitu Rasulullah saw.
C. Talfiq (     ( ‫اَلتَّ ْلفِ ْيق‬
  1.      Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain
sebagainya. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
‫ف بَي َْن َم ْذهَبَي ِْن أَ ْو أَ ْكثَر‬
ٍ َّ‫اَ ْل َع َم ُل ِب ُح ْك ِم ُم َؤل‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi’iy dalam masalah iddah
wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang
dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena
merasa alasannya lebih kuat. Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang
berlainan.
Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu
masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut
mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja,
karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
  2.      Hukum Talfiq
Para  ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau seseorang
bertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa
mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa merekabila tidak
diketahui alasan-alasannya. Nereka juga memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa
mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki agar semua
orang muslim supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya
melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang demiikian kemungkinan
besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq adalah dalam
perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha muta’akhirin, adapun mereka
yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qadhi berhak menghukum (yakni hukum
ta’zir) terhadap orang yang berpindah mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat muta’akhirin yang
terkuat adalah pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-talfiq. Sedang perbedaan pendapat
antara mereka adalah sebagai berikut:
1.    Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan
masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam satu bidang masalah saja.
2.    Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di talfiqkan itu
bukan dalam satu bidang masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu menurut
mazhab syafi’i, sedang pembatalannya menurut mazhab Hanafy. Atau menyapu muka
daloam berwudhu menurut mazhab Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu
juga menurut mazhab Maliki.

3. Contoh Wudhu
1). Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Hanafi
Imam Ibnu Maudud al-Maushili (wafat 683 H), seorang ulama bermazhab Hanafi, dalam kitab
matan-nya "Mukhtar al-Fatwa", yang menjadi rujukan mazhab Hanafi, menetapkan praktik
wudhu dari sisi rukun dan sunnahnnya, sebagai berikut:

‫ َو َغ ْس ُل ال ِّرجْ لَ ْي ِن َم َع ْال َك ْعبَ ْي ِن‬،‫س‬ ْ


ِ ‫ َو َم ْس ُح ُرب ُِع الرَّأ‬،‫ َو َغ ْس ُل ْاليَ َد ْي ِن َم َع ْال ِمرْ فَقَ ْي ِن‬،‫ َغ ْس ُل ْال َوجْ ِه‬:ُ‫ضه‬
ُ ْ‫َوفَر‬
Fardhu wudhu yaitu: (1) Membasuh Wajah, (2) Membasuh Tangan dan Juga Kedua Siku, (3)
Mengusap Seperempat Kepala, dan (4) Membasuh Kaki dan Juga Kedua Mata Kaki.
Sedangkan sunnah-sunnah wudhu yaitu: (1) Membasuh kedua tangan sampai ke pergelangan
tangan sebanyak tiga kali sebelum mencelupkan tangannya ke dalam wadah air bagi yang
baru bangun dari tidur, (2) Membaca tasmiyyah di awal wudhu, (3) Bersiwak, (4)
Madhmadhah, (5) Istinsyaq, (6) Mengusap seluruh kepala dan kedua telinga dengan satu
usapan air, (7) Takhlil jenggot dan ruas jari, (8) Membasuh tiga kali.

2). Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Maliki


Imam Abu an-Naja al-'Asymawi (wafat sebelum Abad 10 H), seorang ulama bermazhab Maliki
dalam kitab matan-nya "Matan al-'Asymawiyyah" menetapkan praktik wudhu dari sisi rukun
dan sunnahnnya, sebagai berikut:
ْ
‫رِّ جْ لَي ِْن‬d‫ ُل ال‬d‫َس‬ ْ ‫ َوغ‬،‫س‬ ِ ‫رَّأ‬d‫ع ال‬d ِ d‫ ُح َج ِم ْي‬d‫ َو َم ْس‬،‫رْ فَقَ ْي ِن‬d‫ن إِلى ْال ِم‬dِ ‫ َد ْي‬dَ‫ ُل الي‬d‫َس‬
ْ ‫ َوغ‬،‫ ِه‬dْ‫ ِل ال َوج‬d‫َس‬ ُ ‫ َرائِضُ ال ُو‬dَ‫فَأ َ َّما ف‬
ْ ‫ َد غ‬d‫ النِّيَّةُ ِع ْن‬:ٌ‫ ْب َعة‬d‫وْ ِء فَ َس‬d‫ض‬
ً‫ا‬dd‫ ِة َخفِ ْيف‬dَ‫ ْع ُر اللِّحْ ي‬d‫انَ َش‬dd‫ك إِ ْن َك‬ َ ِّ ُ ْ َ َ ْ َ ٌ َّ
َ dِ‫ل ِكن يَ ِجبُ َعل ْيكَ في َغس ِْل َوجْ ِهكَ أن ت َخل َل ش ْع َر لِحْ يَت‬.‫ فهَ ِذ ِه َس ْب َعة‬.ُ‫ َوالتدلِ ْيك‬،ُ‫ َوالفَوْ ر‬d،‫إِلىال َك ْعبَ ْي ِن‬
َ ْ
‫ابِ َعكَ َعلَى‬d‫ص‬ َ َ
َ ‫ َد ْيكَ أ ْن تُ َخلِّ َل أ‬dَ‫ ِل ي‬d‫َس‬ ْ ‫كَ في غ‬dd‫ك يَ ِجبُ َعلَ ْي‬ َ ِ‫ َذل‬d‫ َو َك‬،‫ا‬ddَ‫ك ت َْخلِ ْيلُه‬ ْ ‫ت‬
َ d‫ا فَالَ يَ ِجبُ َعلَ ْي‬ddً‫انَ َكثِ ْيف‬dd‫ َوإِ ْن َك‬،ُ‫ه‬dَ‫ َرةُ تَحْ ت‬d‫ ُر البَ ْش‬dَ‫َظه‬
ِ ‫ال َم ْشه‬
‫ُور‬

Adapun fardhu wudhu ada 7 yaitu: (1 dan 2) Niat saat membasuh wajah, (3) Membasuh kedua
tangan sampai kedua siku, (4) Mengusap seluruh kepala, (5) Membasuh kedua kaki sampai
kedua mata kaki, (6) Faur/muwalah, (7) Tadlik/menggosok. Namun wajib atasmu saat
membasuh wajah melakukan takhlil pada jenggotmu yang tipis, di mana kulitnya tampak
terlihat. Adapun jika jenggotmu tebal, maka tidak wajib takhlil. Begitu juga wajib atasmu
melakukan takhlil pada ruas-ruas jari, sebagaimana pendapat yang masyhur.

Sedangkan sunnah-sunnah wudhu ada 8: (1) Membasuh kedua tangan sampai pergelangan, (2)
Madhmadhah, (3) Istinsyaq, (4) Istintsar; yaitu membuang air yang dimasukkan ke dalam
hidup, (5) Mengusap kepala dengan membalikkannya dari belakang, (6) Mengusap sisi luar
dan dalam telinga, (7) Mengusap telinga dengan air yang baru, dan (8) Tertib.

Adapun fadhilahnya (anjuran di bawah kualitas sunnah), ada 7: (1) Tasmiyyah, (2) Berwudhu di
tempat yang suci, (3) Meminimalkan penggunaan air, (4) Meletakkan wadah air di atas
tangan kanan, (5) Basuhan kedua dan ketiga, jika telah sempurna pada basuhan pertama, (6)
Memulai usapan kepada dari arah depan, (7) Bersiwak.

3). Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Syafi'i


Imam Abu Syuja' al-Ashfahani (wafat 593 H), seorang ulama bermazhab Syafi'i, dalam kitab
matan-nya "Al-Ghayah wa at-Taqrib" menetapkan praktik wudhu dari sisi rukun dan
sunnahnnya, sebagai berikut:

‫ل‬d‫رأس وغس‬d‫ح بعض ال‬dd‫رفقين ومس‬d‫ع الم‬d‫ م‬d‫دين‬d‫ل الي‬d‫ه وغس‬d‫ل الوج‬dd‫ه وغس‬dd‫ النية عند غسل الوج‬:‫وفروض الوضوء ستة أشياء‬
‫الرجلين إلى الكعبين والترتيب على ما ذكرناه‬

Fardhu wudhu ada 6: (1) Niat saat membasuh wajah, (2) Membasuh wajah, (3) Membasuh
kedua tangan dan juga kedua siku, (4) Mengusap sebagian kepala, (5) Membasuh kedua kaki
dan juga kedua mata kaki, (6) Tertib anggota wudhu sebagaimana telah disebutkan.

Adapun sunnah-sunnahnya ada 10: (1) Tasmiyyah, (2) Membasuh kedua telapak tangan sebelum
memasukkannya ke dalam wadah air, (3) Madhamadhah, (4) Istinsyaq, (5) Membasuh sisi
dalam dan luar telingan dengan air yang baru, (6) Takhlil jenggot yang tebal, (7) Takhlil ruas-
ruas jari tangan dan kaki, (8) Mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas yang kiri, (9)
Melakukan wudhu tiga kali-tiga kali, dan (10) Muwalah. (Baca Juga: Sunnah-sunnah Wudhu
dan Dalilnya )

4). Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Hanbali


Imam Mar'i bin Yusuf al-Karmi (wafat 1033 H), seorang ulama bermazhab Hanbali, dalam kitab
matan-nya "Dalil ath-Thalib li Nail al-Mathalib" menetapkan praktik wudhu dari sisi rukun
dan sunnahnnya, sebagai berikut:

‫ل‬dd‫ان وغس‬d‫ه األذن‬d‫ه ومن‬dd‫رأس كل‬d‫ح ال‬dd‫رفقين ومس‬dd‫ غسل الوجه ومنه المضمضة واالستنشاق وغسل اليدين مع الم‬:‫وفروضه ستة‬
‫الرجلين مع الكعبين والترتيب والمواالة‬

Fardhu wudhu ada 6: (1) Membasuh wajah termasuk madhamadhah dan istinsyaq, (2)
Membasuh kedua tangan dan juga kedua siku, (3) Mengusap seluruh kepala termasuk kedua
telinga, (4) Membasuh kedua kaki dan juga kedua mata kaki, (5) Tertib, dan (6) Muwalah.

Adapun sunnah wudhu ada 18: (1) Menghadap kiblat, (2) Bersiwak, (3) Membasuh telapak
tangan 3 kali, (4) Mendahulukan madhmadhah dan istinsyaq sebelum membasuh wajah, (5)
Memperbanyak hirupan air dalam madhmadah dan istinsyaq, kecuali bagi orang yang
berpuasa, (6) Menekan anggota wudhu yang dibasuh (dalk), (7) Memperbanyak basuhan di
wajah –hingga ke sisi luar dan dalam-, (8) Takhlil jenggot yang tebal, (9) Takhlil ruas-ruas
jari, (10) Membasuh telinga dengan air yang baru, (11) Mendahulukan anggota wudhu yang
kanan atas kiri, (12) Melebihkan wilayah basuhan (tahjil), (13) Basuhan kedua dan ketiga,
(14) Senantiasa berniat hingga wudhu selesai, (15) Berniat saat membasuh telapak tangan,
(16) Membaca niat secara sirr, (17) Membaca dua kalimat syahadat setelah berwudhu dengan
menghadapkan wajah ke langit, (18) Mandiri dalam berwudhu, tanpa bantuan orang lain.

4. Pendapat Bolehnya Bertalfiq


Dahulu, para sahabat meminta fatwa hukum langsung kepada Nabi Muhammad SAW pada
masa hidupnya. Setelah wafat, Nabi meninggalkan warisan berupa manuskrip Al Quran juga
yang berada di dalam hafalan para sahabat. Baru pada abad ke-3 H dibukukanlah hadis yang
sebelumnya hanya berada pada ingatan. Dengan begitu, sumber hukum Islam dapat digali
dengan mudah.

Pada masa tabiin dan tabiit tabiin, muncul banyak mujtahid yang menguasai Al Quran maupun
hadis, selain juga ilmu-ilmu penunjang ijtihad. Mereka tidak terhitung jumlahnya, namun
hanya beberapa yang diakui, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam
Hanbali. Sedangkan para awam yang tidak mampu melakukan ijtihad disebut dengan
muqallid (orang yang taklid). Karena tidak bisa berijtihad sendiri, mereka mengikuti
pendapat mujtahid yang sudah ada.

Perbedaan keempat madzhab tersebut terasa mendasar, karena memiliki prinsip hukum yang
berbeda-beda. Akibatnya, pendapat mereka tentang suatu masalah juga berbeda-beda. Dari
hukum suatu ibadah, sampai syarat, rukun, dan kaifiyah (tatacara)-nya. Sementara muqallid
dalam satu kondisi tidak bisa mengikuti madzhab secara utuh dan harus melakukan talfiq.

Lazimnya, talfiq dalam fikih dan ushul fikih digunakan sebagai istilah:
Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

ُ ‫اإلتيانُ في مسأل ٍة واحد ٍة بكيفي ٍة ال تُواف‬


‫ السابقين‬d‫ق قو َل أح ٍد من المجتهدين‬
“Menjalankan suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid
terdahulu.”

Dengan begitu, talfiq menggabungkan dua/lebih pendapat madzhab berbeda dalam satu
ibadah. Contohnya orang yang membasuh beberapa helai rambut ketika wudlu, mengikuti
madzhab Syafi’i, dan ketika menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudlunya lagi, mengikuti
madzhab Abu Hanifah. Kemudian ia shalat.
Shalat tersebut batal menurut Abu Hanifah, karena madzhabnya mengharuskan
membasuh minimal seperempat kepala, selain juga batal menurut madzhab Syafi’i yang
menganggap bahwa bersentuhan wanita membatalkan wudlu.
Terkadang, talfiq dipakai sebagai istilah yang lebih umum menurut sebagian ulama.
Yakni, muqallid menggunakan suatu madzhab untuk sebuah kasus, dan madzhab lain untuk
kasus lain, sementara kedua kasus itu masih saling berhubungan. Jelas-jelas ini bukan suatu
larangan, kecuali bagi pendapat yang mengharuskan berpegang teguh pada satu madzhab
saja.
Pandangan tentang keharusan berpegang pada satu madzhab saja dinilai rusak, karena
menunjukkan sikap taklid yang melampaui batas. Pada zaman sahabat dan tabiin, muqallid
dibebaskan untuk bertanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Saat ia bertanya suatu
masalah kepada seorang ulama, ia tidak dilarang bertanya pada ulama lain tentang kasus lain.
Talfiq juga digunakan untuk menunjukkan pendapat baru (qaul jadid) yang terdiri dari
dua pendapat berbeda dalam satu masalah, atau dengan sederhana bisa disebut “pembaruan
pendapat baru”. Selain itu, juga dipakai sebagai fatwa mujtahid yang terdiri dari dua pendapat
tanpa ada pengunggulan (tarjih) di antara keduanya. Ini dikarenakan mufti ingin
mengeluarkan mustafti (orang yang meminta fatwa) dari posisi sulitnya. Inilah yang disebut
dengan muro’atul khilaf.
Ulama berbeda pendapat tentang talfiq yang dalam definisi pertama “menjalankan
suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu”.
Terkadang, muqallid melakukannya dengan sengaja, kadang juga tidak.
Apabila hal itu dilakukan tanpa sengaja, maka jelas tidak dilarang. Karena ijma’ bahwa
ia boleh mengamalkan fatwa dari mujtahid siapapun. Ia tidak dicegah meminta fatwa kepada
Syafi’iyyah tentang wudlu dan meminta fatwa kepada Malikiyah tentang batalnya wudlu.
Kemudian ia wudlu tanpa membasuh keseluruhan kepala dan menyentuh wanita lain.
Apabila talfiq dilakukan sengaja, maka tidak sah. Karena bisa jadi ia jatuh dalam
perbedaan nash-nash syariat yang ia tidak ketahui. Dan karena menjalankan pendapat baru
tanpa ada fatwa merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu. Itu bertentangan dengan
prinsip beragama.
Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq: [1] tidak bertentangan dengan
ijma’ atau nash Al Quran dan sunnah, [2] tidak digunakan untuk membebaskan diri dari
tanggungan beban (tidak untuk meringankan).
Namun, menurut madzhab Maliki, boleh taklid kepada setiap madzhab Islam yang
mu’tamad (diakui), sekalipun talfiq, dalam keadaan darurat, hajat, lemah, maupun udzur.
Karena talfiq tidak dilarang menurut Malikiyah, pun sebagian Hanafiyah, sebagaimana
kebolehan mengambil pendapat paling ringan dari beberapa madzhab. Akan tetapi, talfiq
harus didasari kebutuhan dan maslahat, bukan main-main atau mengikuti hawa nafsu.
Karena agama Allah agama yang mudah, kebolehan talfiq merupakan bagian dari
kemudahan itu. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185).
BAB III
PENUTUP
  A.    Kesimpulan
Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si
penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu
hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau
dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu
mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang
tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala
ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
  B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan
kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana,
2010.
A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.

Anda mungkin juga menyukai