Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-A’raf [7]: 3
. اِتَّبِع ُْوا َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ تَتَّبِع ُْوا ِم ْن ُد ْونِ ِه أَ ْولِيَا َء قَلِ ْيالً َما تَ َذ َّكر ُْو َن
)۳ : (األعرف
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat
perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan
sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya:
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri)
dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan
pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut
terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran.
Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
3. Contoh Wudhu
1). Wudhu Rasulullah Menurut Mazhab Hanafi
Imam Ibnu Maudud al-Maushili (wafat 683 H), seorang ulama bermazhab Hanafi, dalam kitab
matan-nya "Mukhtar al-Fatwa", yang menjadi rujukan mazhab Hanafi, menetapkan praktik
wudhu dari sisi rukun dan sunnahnnya, sebagai berikut:
Adapun fardhu wudhu ada 7 yaitu: (1 dan 2) Niat saat membasuh wajah, (3) Membasuh kedua
tangan sampai kedua siku, (4) Mengusap seluruh kepala, (5) Membasuh kedua kaki sampai
kedua mata kaki, (6) Faur/muwalah, (7) Tadlik/menggosok. Namun wajib atasmu saat
membasuh wajah melakukan takhlil pada jenggotmu yang tipis, di mana kulitnya tampak
terlihat. Adapun jika jenggotmu tebal, maka tidak wajib takhlil. Begitu juga wajib atasmu
melakukan takhlil pada ruas-ruas jari, sebagaimana pendapat yang masyhur.
Sedangkan sunnah-sunnah wudhu ada 8: (1) Membasuh kedua tangan sampai pergelangan, (2)
Madhmadhah, (3) Istinsyaq, (4) Istintsar; yaitu membuang air yang dimasukkan ke dalam
hidup, (5) Mengusap kepala dengan membalikkannya dari belakang, (6) Mengusap sisi luar
dan dalam telinga, (7) Mengusap telinga dengan air yang baru, dan (8) Tertib.
Adapun fadhilahnya (anjuran di bawah kualitas sunnah), ada 7: (1) Tasmiyyah, (2) Berwudhu di
tempat yang suci, (3) Meminimalkan penggunaan air, (4) Meletakkan wadah air di atas
tangan kanan, (5) Basuhan kedua dan ketiga, jika telah sempurna pada basuhan pertama, (6)
Memulai usapan kepada dari arah depan, (7) Bersiwak.
لdرأس وغسdح بعض الddرفقين ومسdع المd مdدينdل اليdه وغسdل الوجddه وغسdd النية عند غسل الوج:وفروض الوضوء ستة أشياء
الرجلين إلى الكعبين والترتيب على ما ذكرناه
Fardhu wudhu ada 6: (1) Niat saat membasuh wajah, (2) Membasuh wajah, (3) Membasuh
kedua tangan dan juga kedua siku, (4) Mengusap sebagian kepala, (5) Membasuh kedua kaki
dan juga kedua mata kaki, (6) Tertib anggota wudhu sebagaimana telah disebutkan.
Adapun sunnah-sunnahnya ada 10: (1) Tasmiyyah, (2) Membasuh kedua telapak tangan sebelum
memasukkannya ke dalam wadah air, (3) Madhamadhah, (4) Istinsyaq, (5) Membasuh sisi
dalam dan luar telingan dengan air yang baru, (6) Takhlil jenggot yang tebal, (7) Takhlil ruas-
ruas jari tangan dan kaki, (8) Mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas yang kiri, (9)
Melakukan wudhu tiga kali-tiga kali, dan (10) Muwalah. (Baca Juga: Sunnah-sunnah Wudhu
dan Dalilnya )
لddان وغسdه األذنdه ومنddرأس كلdح الddرفقين ومسdd غسل الوجه ومنه المضمضة واالستنشاق وغسل اليدين مع الم:وفروضه ستة
الرجلين مع الكعبين والترتيب والمواالة
Fardhu wudhu ada 6: (1) Membasuh wajah termasuk madhamadhah dan istinsyaq, (2)
Membasuh kedua tangan dan juga kedua siku, (3) Mengusap seluruh kepala termasuk kedua
telinga, (4) Membasuh kedua kaki dan juga kedua mata kaki, (5) Tertib, dan (6) Muwalah.
Adapun sunnah wudhu ada 18: (1) Menghadap kiblat, (2) Bersiwak, (3) Membasuh telapak
tangan 3 kali, (4) Mendahulukan madhmadhah dan istinsyaq sebelum membasuh wajah, (5)
Memperbanyak hirupan air dalam madhmadah dan istinsyaq, kecuali bagi orang yang
berpuasa, (6) Menekan anggota wudhu yang dibasuh (dalk), (7) Memperbanyak basuhan di
wajah –hingga ke sisi luar dan dalam-, (8) Takhlil jenggot yang tebal, (9) Takhlil ruas-ruas
jari, (10) Membasuh telinga dengan air yang baru, (11) Mendahulukan anggota wudhu yang
kanan atas kiri, (12) Melebihkan wilayah basuhan (tahjil), (13) Basuhan kedua dan ketiga,
(14) Senantiasa berniat hingga wudhu selesai, (15) Berniat saat membasuh telapak tangan,
(16) Membaca niat secara sirr, (17) Membaca dua kalimat syahadat setelah berwudhu dengan
menghadapkan wajah ke langit, (18) Mandiri dalam berwudhu, tanpa bantuan orang lain.
Pada masa tabiin dan tabiit tabiin, muncul banyak mujtahid yang menguasai Al Quran maupun
hadis, selain juga ilmu-ilmu penunjang ijtihad. Mereka tidak terhitung jumlahnya, namun
hanya beberapa yang diakui, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam
Hanbali. Sedangkan para awam yang tidak mampu melakukan ijtihad disebut dengan
muqallid (orang yang taklid). Karena tidak bisa berijtihad sendiri, mereka mengikuti
pendapat mujtahid yang sudah ada.
Perbedaan keempat madzhab tersebut terasa mendasar, karena memiliki prinsip hukum yang
berbeda-beda. Akibatnya, pendapat mereka tentang suatu masalah juga berbeda-beda. Dari
hukum suatu ibadah, sampai syarat, rukun, dan kaifiyah (tatacara)-nya. Sementara muqallid
dalam satu kondisi tidak bisa mengikuti madzhab secara utuh dan harus melakukan talfiq.
Lazimnya, talfiq dalam fikih dan ushul fikih digunakan sebagai istilah:
Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
Dengan begitu, talfiq menggabungkan dua/lebih pendapat madzhab berbeda dalam satu
ibadah. Contohnya orang yang membasuh beberapa helai rambut ketika wudlu, mengikuti
madzhab Syafi’i, dan ketika menyentuh wanita ia tidak mengulangi wudlunya lagi, mengikuti
madzhab Abu Hanifah. Kemudian ia shalat.
Shalat tersebut batal menurut Abu Hanifah, karena madzhabnya mengharuskan
membasuh minimal seperempat kepala, selain juga batal menurut madzhab Syafi’i yang
menganggap bahwa bersentuhan wanita membatalkan wudlu.
Terkadang, talfiq dipakai sebagai istilah yang lebih umum menurut sebagian ulama.
Yakni, muqallid menggunakan suatu madzhab untuk sebuah kasus, dan madzhab lain untuk
kasus lain, sementara kedua kasus itu masih saling berhubungan. Jelas-jelas ini bukan suatu
larangan, kecuali bagi pendapat yang mengharuskan berpegang teguh pada satu madzhab
saja.
Pandangan tentang keharusan berpegang pada satu madzhab saja dinilai rusak, karena
menunjukkan sikap taklid yang melampaui batas. Pada zaman sahabat dan tabiin, muqallid
dibebaskan untuk bertanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Saat ia bertanya suatu
masalah kepada seorang ulama, ia tidak dilarang bertanya pada ulama lain tentang kasus lain.
Talfiq juga digunakan untuk menunjukkan pendapat baru (qaul jadid) yang terdiri dari
dua pendapat berbeda dalam satu masalah, atau dengan sederhana bisa disebut “pembaruan
pendapat baru”. Selain itu, juga dipakai sebagai fatwa mujtahid yang terdiri dari dua pendapat
tanpa ada pengunggulan (tarjih) di antara keduanya. Ini dikarenakan mufti ingin
mengeluarkan mustafti (orang yang meminta fatwa) dari posisi sulitnya. Inilah yang disebut
dengan muro’atul khilaf.
Ulama berbeda pendapat tentang talfiq yang dalam definisi pertama “menjalankan
suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu”.
Terkadang, muqallid melakukannya dengan sengaja, kadang juga tidak.
Apabila hal itu dilakukan tanpa sengaja, maka jelas tidak dilarang. Karena ijma’ bahwa
ia boleh mengamalkan fatwa dari mujtahid siapapun. Ia tidak dicegah meminta fatwa kepada
Syafi’iyyah tentang wudlu dan meminta fatwa kepada Malikiyah tentang batalnya wudlu.
Kemudian ia wudlu tanpa membasuh keseluruhan kepala dan menyentuh wanita lain.
Apabila talfiq dilakukan sengaja, maka tidak sah. Karena bisa jadi ia jatuh dalam
perbedaan nash-nash syariat yang ia tidak ketahui. Dan karena menjalankan pendapat baru
tanpa ada fatwa merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu. Itu bertentangan dengan
prinsip beragama.
Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq: [1] tidak bertentangan dengan
ijma’ atau nash Al Quran dan sunnah, [2] tidak digunakan untuk membebaskan diri dari
tanggungan beban (tidak untuk meringankan).
Namun, menurut madzhab Maliki, boleh taklid kepada setiap madzhab Islam yang
mu’tamad (diakui), sekalipun talfiq, dalam keadaan darurat, hajat, lemah, maupun udzur.
Karena talfiq tidak dilarang menurut Malikiyah, pun sebagian Hanafiyah, sebagaimana
kebolehan mengambil pendapat paling ringan dari beberapa madzhab. Akan tetapi, talfiq
harus didasari kebutuhan dan maslahat, bukan main-main atau mengikuti hawa nafsu.
Karena agama Allah agama yang mudah, kebolehan talfiq merupakan bagian dari
kemudahan itu. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si
penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu
hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau
dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu
mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang
tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala
ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan
kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana,
2010.
A. Hanafie, Ushul Fiqh, cetakan Ke-3, Jakarta: Widjaya, 1963.
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.
M. Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006.