Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

USHUL FIQH

D
I
SUSUN
OLEH
KELOMPOK 3

1. DEWI ATIKA PUTRI 2121004


2. TASYA MUTIA NOVENA 2121008
3. KHAIRUNISA 2121016

MATA KULIAH : USHUL FIQH

DOSEN PEMBIMBING :
ALEX MEDANI

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI

TA. 2021 / 1442 H


1. IJTIHAD
A..PENGERTIAN IJTIHAD

Ijtihad merupakan sumber hukum dalam islam yang ketiga setelah Al-quran dan hadits. ... Contoh
pelaksanaan Ijtihad misalnya dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal, untuk
menetukannya para ulama akan berdiskusi berdasarkan hukum Islam untuk menentukan dan
menetapkan 1 Ramadhan da 1 syawal tersebut.

Obyek Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam
ketiga-tiga lapangan hukum tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana
seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.

Salah satu contoh ijtihad adalah suatu peristiwa yang pernah terjadi di zaman Khalifah Umar bin
Khattab, yang mana pada saat itu para pedagang muslim mengajukan suatu pertanyaan kepada Khalifah
yakni berapa besar cukai yang wajib dikenakan kepada para pedagang asing yang melakukan
perdagangan di wilayah Khalifah.

B.Syarat Mujtahid

 Mengetahui al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar
hukum Islam. ...
 Mengetahui Asbab al-Nuzul. ...
 Mengetahui Nasikh dan Mansukh. ...
 Mengetahui As-Sunnah. ...
 Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis. ...
 Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh. ...
 Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis. ...
 Mengetahui Bahasa Arab.

C.PERSOALAN IJTIHAD

Secara istilah ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-
masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taklid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan,
untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Tidak semua hasil ijtihad merupakan
pembaruan bagi ijtihad yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad
yang lama. Bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa mengubah status ijtihad yang lama.
Hal itu seiring dengan kaidah ijtihad yang tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula. Berdasarkan
pelaksanaan ijtihad bahwa sumber hukum Islam menuntun umat Islam untuk memahaminya. Adapun
sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an, hadis, ijma dan qiyas.

2. Ittiba’
a. .                 Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:

. ُ‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَائِ ِل َوأَ ْنتَ تَ ْعلَ ُم ِم ْن أَ ْينَ قَالَه‬


“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan
perkataannya.”

Di samping ada juga yang memberi definisi :

.‫ح‬ ِ ‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَائِ ِل بِ َدلِي ٍْل َر‬


ٍ ‫اج‬
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah
mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya
serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan
yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

  b.      Hukum Ittiba’


Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah
mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti
alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”.1[26]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah,
sebagaimana firmannya:

. َ‫اِتَّبِعُوْ ا َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ تَتَّبِعُوْ ا ِم ْن ُدوْ نِ ِه أَوْ لِيَا َء قَلِ ْيالً َما تَ َذ َّكرُوْ ن‬
)۳ : ‫(األعرف‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai
pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti
bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:

)‫داود‬ ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى َو ُسنَّةُ ْال ُخلَفَا ِء ال َّر ِش ِد ْينَ ِم ْن بَ ْع ِدى ـ (رواه ابو‬
“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.”
(HR.Abu Daud)

c.      Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’


Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima
semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain,
ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang
diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
  a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
  b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-A’raf [7]: 3

)۳ : ‫ (األعرف‬. َ‫اِتَّبِعُوْ ا َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ تَتَّبِعُوْ ا ِم ْن ُدوْ نِ ِه أَوْ لِيَا َء قَلِ ْيالً َما تَ َذ َّكرُوْ ن‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai
pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat
perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul.
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan

1
sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya:
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.
       Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri)
dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan
pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir
dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-
ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada
orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
       Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan
dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang
benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin
sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena
adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan
akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama
diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid
atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal.
Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama.
Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.

3.TAQLID
A. PENGERTIAN TAQLID
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti
mengulangi, meniru dan mengikuti.

Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid
atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang
yang bertaqlid disebut mukallid.

Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:

1.Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang

2. Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebu

Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:


ْ ‫التّقليد قبول بغير حجّة وليس طريقا للعلم الفى ا‬
‫الصول والفى الفروع‬

“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi
jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”

B.Hukum dan Ketentuan Bertaqlid


1.Taqlid yang Haram
Para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:

a.Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang
dahulu kala yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits.

b.Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa
perkataan atau pendapat itu salah.
c.Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti
menyembah berhala, tetapi dia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala
itu.

2.Taqlid yang Dibolehkan

Yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki
kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya
sementara.

3.Taqlid yang Diwajibkan

Taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya dijadikan hujjah, yakni
Rasulullah Saw.

C. Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam
masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap
terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau
salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut

D.Pesan para Ulama Mengenai Taqlid

Imam Abu Hanifah berkata:

‫هذا رأي أبي حنيقة وهو أحسن ما ق ّدرنا عليه فمن جاء بأحسن منه فهو أولى بالصواب‬ Taqlid menurut bahasa berasal
dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.

“ini adalah pendapat saya (Abu Hanifah) dan itulah sebaik baik yang aku dapati padanya maka siapa
yang datang pada ku dengan yang lebih baik dialah yang lebih benar.”

Imam Malik berkata:

“Aku adalah manusia yang dapat juga salah dapat juga benar, maka lihatlah oleh mu pendapat mu.
Apa yang sesuai dengan kitab allah dan sunah rasulnya (Quran dan Sunah) maka ambillah. Dan ayng
tidak sesuai dengan keduanya itu tingggalkan lah.”

Imam syafi’i berkata:

“Hai Abu Ishaq! Jaganlah negkau bertaqlid belaka kepada ku dalam segala apa yang aku katakan,
tetapi lihatlah pada dirimu, karena sesungguhnya itu adalah urusan agama.”

Iamam Ahmad bin Hambal bekata: “Janganlah engkau mengikuti pendapatku, juga pendapat Maliki,
dan pendapat Auza’i, tetapi caaarilah dari mana mereka mengambilnya.”

B. JENIS JENIS TAQLID


1. TAQLID UMUM
seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-
rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya. Dan para ‘ulama telah
berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal
tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur
(tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya
hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti
orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam. yang mewajibkan taat kepada selain Nabi
dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya
masih dipertanyakan.” Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab
tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama
lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa
udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang
yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah
mungkar.

2. TAQLID KHUSUS
seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia
lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara
hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
Pada dasarnya hukum asal dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan ketika
seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam
memahami nash-nash AlQur’an dan As-Sunnah.

KESIMPULAN

1. Ijtihad merupakan sumber hukum dalam islam yang ketiga setelah Al-quran dan hadits
2. Syarat Mujtahid :
1. Mengetahui al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai
fondasi dasar hukum Islam. ...
2. Mengetahui Asbab al-Nuzul. ...
3. Mengetahui Nasikh dan Mansukh. ...
4. Mengetahui As-Sunnah. ...
5. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis. ...
6. Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh. ...
7. Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis. ...
8. Mengetahui Bahasa Arab.
3. Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
4. Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah
oleh Allah,
5. Taklid atau Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau
alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui
dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
6. Jenis jenis taqlid :
a. Umum
b. Khsusus
7. Hukum Taqlid :
a. Ada yang berpendapat bahwa taqlid itu haram
b. Ada yang berpendapat bahwa taqlid itu di bolehkan

Anda mungkin juga menyukai