Anda di halaman 1dari 7

USHUL FIQIH

“ITTIBA’, TAQLID DAN TALFIQ”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh dari Dosen

Pengajar : DR.ST.HALIMANG, M.HI

DI SUSUN OLEH :

Wahyuni 10200120165
Nur wulan ris kilkoda 10200120166
Muh. Tanri Soni Anwar 10200120167

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGARI ALAUDDIN MAKASSAR
20021 / 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ushul fiqh merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang
dalil-dalil yang mendasari hukum asal dari fiqh. Dasar-dasar hukum yang dimaksud
bersumber dari al-Qur’an, Hadis Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Ke empat sumber tersebut
merupakan landasan yang disepakati oleh jumhur Ulama.
Para ulama yang berkecimpung dalam perkara fiqh, disebut dengan Fuqaha.
Sehingga dalam Ushul Fiqh, terdapat pembahasan tentang ittiba’, taqlid dan talfiq.
Ke tiga bahasan ini mencangkup tentang bahasan menerima dan mengikuti
pendapat para Fuqaha besrta landasan dalilnya.
Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih duludikenal dan
dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu produktelah ada maka
tidak mungkin tidak ada pabriknya Ilmu fiqh tidak mungkin
ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah inime
ngenai sejarah perkembangan dan alirann-aliran ilmu ushul . Penelitian ini
menyelidiki sejarah perkembangan Ushul fiqh, aliran dalam ushul fiqh, sertakarya
ilmiah pada bidang ushul fiqh

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ittiba’
1. Pengertian

Kata Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ittaba’a - yattabi’u - ittiba’an, yang
artinya adalah mengikuti atau menurun. Ittiba’ yang dimaksudkan disini adalah :

“Menerima perkataan orang lain, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”

Disamping itu ada juga yang memberi definisi :

“Menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”

Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa ittiba’ adalah mengambil
atau menerima perkataan seorang Faqih atau Mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak
terikat pada salah satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap
lebih kuat dengan jalan membanding.

2. Dasar Hukum

Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan Agama. Adapun orang yang mengambil atau
mengikuti pendapat ulama dengan disertai alasan-alasan, dinamakan Muttabi’ (‫ْ ع ُ ُمتَّب‬
ِ )‫ ال‬Hukum ittiba’
adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah Allah, sebagaimana firman-Nya

“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Q.S. Al-A’raf [7]:3)

Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk mengikuti perintahperintah Allah. Kita telah mengikuti
bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil merubahnya

Ada pula firman Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran ayat 31 :

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”( Q.S. Ali ‘Imran [3]: 31)

Juga dalam Q.S. An-Nahl ayat 43 :

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”(Q.S. AnNahl [16]:43)

Dari ayat-ayat di atas, Beni dan Januri mengatakan bahwa cara-cara ittiba’ adalah sebagai berikut:

a. Melakukan penggalian hukum secara mendalam

b. Mempelajari dasar-dasar pijakan hukum Islam

c. Menguasai bahasa Arab sebagai bahasa yang dipergunakan oleh AlQur’an

d. Memahami hadis serta seluk beluknya

e. Mengenali lebih dalam tentang ulama madzhab

f. Menghargai pendapat orang lain

g. Selalu bertanya kepada ahlinya (ulama) jika tidak mengetahui urusan Agama.

3. Contoh Ittiba’

segala perbuatan kita yang mengikuti suatu mazhab tapi ,kita tahu dulu dalilnya yang sahih misalnya:

Makan Labu

Sunan Abu Daud 3782: Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Ishaq bin Abdullah
bin Abu Thalhah bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata: Seorang penjahit mengundang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menghadiri makanan yang telah ia buat. Anas berkata: Lalu aku pergi
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri makanan tersebut, kemudian makanan
tersebut didekatkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang berupa roti yang terbuat dari
gandum serta kuah yang padanya terdapat labu dan dendeng. Anas berkata: Aku melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mencaricari labu yang ada di nampan tersebut, maka semenjak itu aku suka
makan labu

B. Taqlid
1. Pengertian

Taqlid berasal dari kata qalada – yuqalidu – taqlidan, artinya meniru, menyerahkan, menghiasi, dan
menyimpangkan. Secara istilah, taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber
atau alasannya.

“Menerima pendapat orang lain (mengamalkannya) tanpa mengetahui alasannya atau engkau tidak
tahu asal perkataan tersebut”

Ada pula pendapat Imam al-Ghazali tentang taqlid, adalah :

“menerima ucapan tanpa adanya hujjah atau dalil”

Sedangkan Ibnu Subki mendefinisikan taqlid adalah :

“Mengambil suatu perrkataan tanpa mengetahui dalil”

Prof. Dr. Wahbah Al-Zuhaili juga berpendapat tentang taqlid, yaitu:

“Taqlid Secara etimologi: dikaitkan seperti kalung di leher, sebagian dari taqlid ialah taqlid hadiah di
dalam haji. Yaitu menggunakan kalung di leher ada hukum hadiah di tanah haram berupa beberapa
hewan ternak. Dan secara Terminologi (ahlu ushul): Taqlid adalah mengambil perkataan dari orang lain
tanpa mengetahui dalilnya. Yaitu saling menghukumi orang lain di dalam melakukan dan meninggalkan.
Seperti mengusap sebagian kepala (wudhu) dengan bertaqlid kepada Imam Syafi’i, dan seperti Makmum
meninggalkan bacaan Al-Fatihah dalam shalat dengan bertaqlid kepada abu Hanifah, dan lainya.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah mengambil pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya serta tidak mengetahui kuat atau tidaknya dalil tersebut.

2. Hukum Taqlid

Pada asalnya, bertaqlid dalam hukum Islam sangat dilarang. Karena ia hanya mengikuti tanpa
mengetahui alasan dan dalilnya. Namun, para ulama menghukumi taqlid dengan tiga hukum, yaitu :

a. Haram
Ulama sepakat bahwa haram hukumnya jika melakukan tiga macam taqlid ini :
1) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang
terdahulu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis
2) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
3) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui
bahwa pendapat atau perkataan itu salah.

b. boleh
Adalah taqlid nya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada yang diturunkan
Allah Swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada
orang yang lebih berilmu darinya

c. Wajib

Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan
perbuatan Rassulullah Saw. Juga sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim “sesungguhnya Allah Swt. Telah
memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan Hadis yang Allah
Swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu).
Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Ahzab [33]:

3. Contoh Taqlid
a. Haram
Mengikuti kegiatan ritual yang berasal dari nenek moyang dan bertentangan dengan syariat
Islam.
b. Boleh
Taqlid kepada sebagian Mujtahid kepada Mujtahid lain karena tidak ditemukan dalil yang kuat
untuk memecahkan persoalan
c. Wajib
Sesuatu yang di tetapkan hukumnya oleh di dalam al-quran dan hadits

C. Talfiq
1. Pengertian

Secara bahasa talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lainnya, sedangkan istilah dapat
diartikan mencampuradukkan dua pendapat atau lebih dalam sebuah permasalahan yang mempunyai
hukum, sehingga akan melahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-sama tidak
mengakui kebenarannya. Sehingga terjadilah sebuah hukum baru yang membatalkan antara kedua
pendapat tersebut.

Berkaitan dengan pengertian talfiq dalam pembahasan ini para ahli ushul memberikan sebuah
pengertian bahwa yang dimaksud dengan talfiq yaitu: Menetapkan suatu perkara yang tidak dikatakan
oleh seorang mujtahid. Maksudnya adalah melakukan suatu perbuatan dengan mengikuti suatu
madzhab, dan mengambil satu masalah dengan dua pendapat atau lebih untuk sampai kepada suatu
perbuatan yang tidak di ditetapkan oleh kedua mujtahid tersebut, baik pada imam yang diikuti dalam
madzhabnya maupun menurut pendapat imam yang baru ia ikuti

2. Hukum Talfiq
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidah ada dalil sharih (jelas) yang menunjukkan kebolehan
ataupun pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat yang mengatakan tidak boleh melakukan
talfiq itu bersumber dari apa yang dikatakan oleh ulama’ ushul di dalam ijma’ mereka, dimana mereka
beranggapan bahwasanya dikhawatirkan akan timbul pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan
pendapat antara dua kelompok dalam madzhab tersebut. Maka, menurut para ulama’ berpendapat
tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga, sehingga akan menyalahi sesuatu yang sudah menjadi
kesepakatan ulama’ secara ittifaq

Terdapat tiga pendapat utama sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Wahbah al-Zuhayli tentang
talfiq

a. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang wajib mengikuti satu madzhab dan tak boleh pindah ke
yang lain,

b. Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang dibebaskan memilih dan berpindah-pindah madzhab,
dan

c. Pendapat yang menyatakan bahwa perpindahan madzhab boleh dilakukan asal berada di luar lingkup
satu ibadah tertentu.

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat ketiga adalah yang paling mutakhir dan merangkum kedua
pendapat lainnya. Artinya, seseorang bisa berpindah madzhab asalkan tidak dalam satu rumpun ibadah.
Contoh: ketika shalatnya mengikuti Madzhab Syafi’i, maka rumpun ibadah yang berkaitan dengan shalat
haruslah mengikuti Madzhab Syafi’i. begitu juga wudhu yang merupakan syarat sah shalat. Tidak boleh
misalnya seseorang ketika wudhu; membasuh wajah cara Madzhab Syai’i, membasuh tangan cara
Madzhab Maliki, mengusap kepala cara Madzhab Hanafi dan membasuh kaki cara Madzhab Maliki.

3. Contoh Talfiq

Dalam masalah berwudhu, seseorang mengikuti madzhab Imam Syafi’i dengan mengusap sebagian
(kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyah (bukan mahramnya),
setelah itu dia langsung melaksanakan shalat tanpa berwudhu kembali dengan alasan mengikuti
madzhab Imam Hanafi yang menyatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tidak membatalkan
wudhu.

BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam mengikuti suatu pendapat, hendaknya kita harus mengetahui dalil atau alasan dari pendapat
yang hendak kita ikuti, hal ini di sebut dengan Ittiba’. Dan ber ittiba’ adalah anjuran dari Allah Swt.
Sehingga hal ini wajib dilakukan. Sedangkan lawan dari Ittiba’ adalah taqlid, yaitu mengikuti pendapat
orang lain sedangkan kita tidak mengetahui dalil atau alasan dari pendapat/perkataan yang hendak kita
ikuti. sehingga ber taqlid Haram hukumnya, namun para ulama ada yang berpendapat yang
membolehkan taqlid. Dengan dasar tidak bertentangan dengan syariat Islam baik al-Qur’an dan Sunnah.
Talfiq adalah menggabungkan dua pendapat sekaligus dari madzhab yang mengatur tentang fiqh. Hal ini
boleh dilakukan asalkan tidak dilakukan dalam satu rumpun ibadah. seperti misalnya dalam berwudhu,
dari ke empat madzhab memiliki pendapat yang berbeda, ketika membasuh bagian-bagian anggota
wudhu. Dan tidak boleh hukumnya untuk menggabungkan pendapat-pendapat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Djalil Basiq A. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: Kencana

Beni, Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia

Sanusi Ahmad, Sohari. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Jasad al Rasyida. 2015, Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif Empat Madzhab”.
CeENDEKIA:Jurnal Islam, Vol.1 No. 1

Syaikh Abu Abdirrohman Syaroful Haq. Tanpa tahun. Aunul Ma'bud Ala Sunan Abu Dawud.
Arab Saudi: Baitul Afkar Ad-Dauliyah.

Firdausi Hilmy. 2018. “Bolehkah Melakukan Talfiq”, Harakah Islamiyah : Rujukan Islam
Masa Kini (https://harakahislamiyah.com/konsultasi/bolehkahmelakukan-talfiq-
memperadukkan-madzhab

Tim Penyusun. 2014. Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro.

As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats. 1999. Sunan Abu Dawud. alRiyadh:
Daarussalam.

Home Sweet Home, Hadits Soft, Ver. 4.0.0.0. “Kitab: Makanan, Bab: Makan buah Labu”,
Sunan Abu Dawud.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Al-Fiqh Al-Islami. Syria: Dar Al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai