Oleh kelompok 6 :
Agus Suprianto
Siti Nurhasannah
Tina Yustika
Umi Salma
Winna Apriana
2019
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia–Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari akan banyak bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesem-
patan yang baik ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................................. 9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Agama Islam mempunyai sejarah yang panjang dalam pembuatan hukum-
hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Di mulai sejak zaman Nabi Muham-
mad SAW hingga saat ini. Masa yang paling panjang adalah cara pengambilan
hukum lewat jalan ijtihad. Ijtihad mengalami naik-turun hingga saat ini. Menurut
sejarawan hukum Islam, kegiatan ijtihad mulai mengalami penurunan semenjak
meninggalnya para mujtahid terkenal. Hal ini terjadi pada masa-masa akhir ke-
jayaan imperium Islam. Yaitu ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu
kehancuran. Sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam
mahzabnya tanpa harus melakukan ijtihad lagi. Fase ini merupakan fase
pergeseran orientasi. Kalau masa-masa sebelumnya merujuk pada Al-Qur’an dan
Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqih yang dikarang
oleh imam-imam yang dipandang lebih berkompeten.
Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fiqih disamping Al-Qur’an dan Sunnah,
ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yaitu membangun mahzab yang
dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua ciri yang menandai
kemunduran fiqih Islam, yaitu munculnya taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad.
b. Rumusan Masalah
Pada makalah ini terdapat pokok permasalahan berdasarkan latar belakang
tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan taklid?
2. Apa penyebab timbulnya sifat taklid?
3. Apa hokum taklid?
4. Apa saja manfaat dan bahaya taklid?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Taqlid
Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang
mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama
fiqih mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang sedang engkau
tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pem-
bicaraan taqlid, yaitu:
a) Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b) Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan
hadits tersebut.
Adapun defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
a) Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
ْ التّقليد قبول بغير ح ّج ّّة وليس طريقا للعلم الفى ا
الصول والفى الفروع
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak
ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan
ushul maupun dalam urusan furu’.”
b) Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
ْ التّقليد هو ا
الخذ بقول غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
c) Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:
التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam
melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang
dijadikan dasar oleh Umar.
Dja’far Amir, dalam bukunya Ushul Fqih III menjelaskan taqlid adalah
mengikuti pendapat orang lain, mengikuti perkataan orang lain, dengan tidak
2
mengetahui dari mana asal pengambilannya, entah orang lain tadi benar atau sa-
lah, pokoknya asal mengikuti saja tanpa mengetahui dasar-dasar pengambilannya,
hanya mengikuti saja tanpa berfikir. Dan orang yang bertaqlid disebut muqallid.
3
bangan ilmu dan penerjemahan terhadap buku-buku filsafat, astronomi dan kedok-
teran ke dalam bahasa Arab. Sebaliknya melemahnya pemerintahan berarti
melemah juga tehadap pengembangan ilmu.
d. Adanya anjuran sultan yang menganjurkan untuk mengikuti aliran yang dia-
nutnya. Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taqlid karena sultan hanya
mengangkat qadli atau hakim dari mahzab yang dianutnya.
e. Adanya keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa pendapat setiap
mujtahid itu benar. Menurut sebagian ulama, pendapat ulama sejajar dengan syar-
iat, sehingga pendapat ulama yang mana saja boleh digunakan. Ada kesan bahwa
pendapat ulama adalah agama yang mesti diikuti.
C. Hukum Taqlid
Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat mem-
buat manusia malas untuk berijtihad. Dalam buku Ushul Fiqih II karangan Drs.
H.A. Mu’in disebutkan ada tiga hukum taqlid, yaitu:
4
b) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahl-
iannya. Seperti orang yang menyembah berhala, tapi ia tidak mengetahui kemam-
puan dan kekuasaan berhala tersebut. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah
yang berbunyi:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika sean-
dainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (yaitu) ketika
orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus
sama sekali.” (Q.S. Al-Baqarah : 165-166)
c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid menge-
tahui bahwa perkataan dan pendapat itu salah. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S At-Taubah ayat 31:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tu-
han selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
Berkenaan dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda:
”Bukankah mereka menghalalkan bagimu apa yang telah diharamkan Allah, dan
mereka telah mengharamkan atasmu apa yang telah dihalalkan Allah bagimu.
Lalu kamu mengharamkannya pula?”
Dalam ayat ini dijelaskan orang-orang yahudi dan nasrani mengikuti per-
kataan dan pendapat rahib-rahib dan pendeta pendeta tanpa memperhatikan dasar-
dasar dalil yang mereka ucapkan karena mereka menganggap rahib dan pendeta
adalah Tuhan. Hal ini dikemukakan Allah secara analogi dalam ayat ini bahwa
bertaqlid kepada orang lain, sedang mereka mengetahui berbagai kesalahan sama
5
dengan menyembah kapada selain Allah. Dan hal ini sangat dicela Alah dan
Rasulnya.
6
mengikuti pendapat seseorang yang digolongkan termasuk mahzab salah satu
imam.
7
2. Menghindari penyimpangan aktivitas syri’at di kalangan umat Islam awam
apalagi hal tersebut dapat membawa mereka ke jalan kesesatan, dan tentu saja
seorang ‘alim dalam hal ini bertanggungjawab terhadap apa yang telah disam-
paikannya.
Selain manfaat dari sikap taqlid sebagaimana yang telah disebutkan diatas, tak
terlepas pula bahwa sikap taqlid dapat membahayakan ummat Islam, dinataranya
adalah :
1. Terjadinya ta’ashub (fanatisme) buta terhadap suatu madzhab atau pemikiran
yang berlebihan dan sangat rentan tejadinya pepecahan di kalangan ummat Islam,
apalagi kalangan Islam yang awam.
2. Meskipun sikap taqlid ini dibolehkan bagi kalangan awam, namun tetap saja hal
ini bisa menimbulkan kemandegan dan kejumudan berfikir di kalangan ummat
Islam, sehingga pemaham tentang syari’at masih kaku dan tidak mengikuti
perkembangan zaman.
3. Sikap taqlid menjadi indikasi terhadap tertutupnya sebuah ijtiha, dan hal ini dapat
diartikan sebagai pembodohan terhadap ummat. Ketika ummat sudah di nina
bobokan dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang dikalangannya atau
di lingkungannya masing-masing dan membunuh sikap kritis terhadap pemaham-
an tersebut, karena dalam konsep taqlid menerima apa adanya tanpa menelaah da-
sar dan dalil terhadap aktivita ibadah misalnya.
Bahkan secara tegas Imam Abu Hanifah sangat melarang seseorang mengikuti
apa yang dikatakannya, jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau
menyatakan: “Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan yang telah kami ka-
takan, sehingga ia mengetahui dari mana asal perkataan kami itu”. Bahkan beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika ia tidak mengetahui dalil dari fat-
wa itu.
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal
hujjahnya. Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul keti-
ka kekuasaan Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa
kemunduran. Kemunduran Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
politik, tertutupnya ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal
itu dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Se-
hingga umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan
kitab-kitab karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangan umat Islam sendiri
tidak ada keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mah-
zab mengklaim bahwa mahzabnya yang paling benar.
Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad
sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi
dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan
jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
9
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Dja’far. 1972. Ushul Fiiqh III. Semarang: CV. Toha Putra
Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hanafi, Ahmad, MA. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Mu’in, H.A, dkk. 1986. Ushul Fiqih II (Qaidah-Qaidah Istinbat Dan Ijtihad). Ja-
karta: Depag
Syari’ati, Ali. 1992. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. Bandung: Mizan
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul
Ikhya
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV Haji Masagung
_____. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media
10