Anda di halaman 1dari 13

Makalah Studi Hukum Islam

Dosen Pengampu Drs. Habli Zainal, M.Ud

Taklid dan Permasalahannya

Oleh kelompok 6 :

Agus Suprianto

Siti Nurhasannah

Tina Yustika

Umi Salma

Winna Apriana

EKONOMI SYARIAH III B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH KUALA TUNGKAL

2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia–Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Dalam makalah ini kami membahas mengenai “Taklid dan Permasala-


hannya” yang mana makalah ini kami buat sebagai tugas pembahasan materi pada
mata kuliah Studi Hukum Islam.

Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari akan banyak bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesem-
patan yang baik ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
mendukung dalam penyelesaian makalah ini.

Kuala Tungkal, 17 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2

A. Pengertian Taklid ......................................................................................... 2

B. Faktor Penyebab Timbulnya Sikap Taklid ................................................... 3

C. Hukum Taklid .............................................................................................. 4

D. Manfaat dan Bahaya Taklid ......................................................................... 7

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 9

A. Kesimpulan .................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Agama Islam mempunyai sejarah yang panjang dalam pembuatan hukum-
hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Di mulai sejak zaman Nabi Muham-
mad SAW hingga saat ini. Masa yang paling panjang adalah cara pengambilan
hukum lewat jalan ijtihad. Ijtihad mengalami naik-turun hingga saat ini. Menurut
sejarawan hukum Islam, kegiatan ijtihad mulai mengalami penurunan semenjak
meninggalnya para mujtahid terkenal. Hal ini terjadi pada masa-masa akhir ke-
jayaan imperium Islam. Yaitu ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu
kehancuran. Sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam
mahzabnya tanpa harus melakukan ijtihad lagi. Fase ini merupakan fase
pergeseran orientasi. Kalau masa-masa sebelumnya merujuk pada Al-Qur’an dan
Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqih yang dikarang
oleh imam-imam yang dipandang lebih berkompeten.
Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fiqih disamping Al-Qur’an dan Sunnah,
ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yaitu membangun mahzab yang
dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua ciri yang menandai
kemunduran fiqih Islam, yaitu munculnya taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad.

b. Rumusan Masalah
Pada makalah ini terdapat pokok permasalahan berdasarkan latar belakang
tersebut, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan taklid?
2. Apa penyebab timbulnya sifat taklid?
3. Apa hokum taklid?
4. Apa saja manfaat dan bahaya taklid?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqlid
Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang
mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama
fiqih mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang sedang engkau
tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pem-
bicaraan taqlid, yaitu:
a) Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b) Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan
hadits tersebut.
Adapun defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
a) Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
ْ ‫التّقليد قبول بغير ح ّج ّّة وليس طريقا للعلم الفى ا‬
‫الصول والفى الفروع‬
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak
ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan
ushul maupun dalam urusan furu’.”
b) Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
ْ ‫التّقليد هو ا‬
‫الخذ بقول غير دليل‬
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
c) Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:
‫التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل‬
“Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam
melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang
dijadikan dasar oleh Umar.
Dja’far Amir, dalam bukunya Ushul Fqih III menjelaskan taqlid adalah
mengikuti pendapat orang lain, mengikuti perkataan orang lain, dengan tidak

2
mengetahui dari mana asal pengambilannya, entah orang lain tadi benar atau sa-
lah, pokoknya asal mengikuti saja tanpa mengetahui dasar-dasar pengambilannya,
hanya mengikuti saja tanpa berfikir. Dan orang yang bertaqlid disebut muqallid.

B. Faktor Penyebab Timbulnya Sikap Taqlid


Yusron Asmuni dalam buku Dirasah Islamiyah II mengatakan bahwa taqlid
mulai muncul sekitar abad VII H sampai dengan abad XIII H. Yaitu pada masa
kemunduran umat Islam. Pada masa ini umumnya para ulama tidak mau lagi
melakukan ijtihad, mereka hanya membeda-bedakan mana dalil yang kuat dan
mana dalil yang lemah, dengan demikian ilmu fiqih pada abad-abad ini dalam
keadaan statis.
Sulaiman al-Asyqar (1991: 146-162) menyebutkan lima sebab:
a. Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin dalam
anggapan bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu
mahzab dan haram jika keluar dari mahzab tersebut. Kedua, mengambil pendapat
selain pendapat imam yang dianutnya adalah haram, Ketiga, guru yang terdahulu
lebih mengetahui nash daripada kita.
b. Banyaknya kitab fiqih. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, Haditst tidak boleh
dibukukan karena Nabi SAW melarangnya. Cegahan tersebut dilakukan karena
Nabi khawatir para sahabat akan meninggalkan Al-Qur’an karena disibukkan
dengan kegiatan pengumpulan dan pembukuan Haditst. Yang dikhawatirkan
setelah munculnya kitab-kitab fiqih adalah disibukkannya ulama dengan kegiatan
yang berkutat pada kitab fiqih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-
mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyiyah).” Da-
lam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan
yang berkutat pada kitab fiqih adalah kegiatan yang menyulitkan karena akan
belajar haruslah menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi dan cara-cara
yang ditempuhnya.
c. Melemahnya Daulah Islamiyah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama,
dukungan pemerintah sangat mempengaruhi terhadap kegiatan ilmiah. Dunia Is-
lam pun mulai berkembang dan maju setelah khalifah berpihak kepada pengem-

3
bangan ilmu dan penerjemahan terhadap buku-buku filsafat, astronomi dan kedok-
teran ke dalam bahasa Arab. Sebaliknya melemahnya pemerintahan berarti
melemah juga tehadap pengembangan ilmu.
d. Adanya anjuran sultan yang menganjurkan untuk mengikuti aliran yang dia-
nutnya. Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taqlid karena sultan hanya
mengangkat qadli atau hakim dari mahzab yang dianutnya.
e. Adanya keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa pendapat setiap
mujtahid itu benar. Menurut sebagian ulama, pendapat ulama sejajar dengan syar-
iat, sehingga pendapat ulama yang mana saja boleh digunakan. Ada kesan bahwa
pendapat ulama adalah agama yang mesti diikuti.

C. Hukum Taqlid
Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat mem-
buat manusia malas untuk berijtihad. Dalam buku Ushul Fiqih II karangan Drs.
H.A. Mu’in disebutkan ada tiga hukum taqlid, yaitu:

1. Taqlid yang haram


Para ulama membagi taqlid yang dihukumi haram ini menjadi tiga macam:
a) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau
orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Con-
tohnya adat kebiasaan yang terjadi pada masyarakat yang sampai sekarang masih
sulit untuk ditinggalkan, yaitu pada setiap bulan syuro diadakan yang namanya
“bersih desa” atau “grebeg suro” yang ditandai dengan ritual-ritual yang menandai
perbuatan syirik dan perdukunan yang masih kental di dalam masyarakat awam di
daerah-daerah terpencil sebagaimana firman Allah :
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Al-
lah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah
Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. Al-Baqarah : 170)

4
b) Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahl-
iannya. Seperti orang yang menyembah berhala, tapi ia tidak mengetahui kemam-
puan dan kekuasaan berhala tersebut. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah
yang berbunyi:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika sean-
dainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (yaitu) ketika
orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus
sama sekali.” (Q.S. Al-Baqarah : 165-166)

c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid menge-
tahui bahwa perkataan dan pendapat itu salah. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S At-Taubah ayat 31:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tu-
han selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.”
Berkenaan dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda:
”Bukankah mereka menghalalkan bagimu apa yang telah diharamkan Allah, dan
mereka telah mengharamkan atasmu apa yang telah dihalalkan Allah bagimu.
Lalu kamu mengharamkannya pula?”
Dalam ayat ini dijelaskan orang-orang yahudi dan nasrani mengikuti per-
kataan dan pendapat rahib-rahib dan pendeta pendeta tanpa memperhatikan dasar-
dasar dalil yang mereka ucapkan karena mereka menganggap rahib dan pendeta
adalah Tuhan. Hal ini dikemukakan Allah secara analogi dalam ayat ini bahwa
bertaqlid kepada orang lain, sedang mereka mengetahui berbagai kesalahan sama

5
dengan menyembah kapada selain Allah. Dan hal ini sangat dicela Alah dan
Rasulnya.

2. Taqlid yang dibolehkan


A. Mu’in mengatakan diperbolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam
hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan
persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa ia harus selalu mencari dalil
dan menyelidiki kebenaranya, maksudnya bahwa taqlidnya adalah bersifat semen-
tara. Dan jika kebenarannya sudah diketahui dari Al-Qur’an dan Haditst dan tern-
yata pendapat mujtahid tersebut salah maka pendapat itu harus ditinggalkan dan
kembali pada Al-Qur’an dan Haditst. Sebagai contoh adalah jika kita ketinggalan
waktu sholat ashar ada ulama yang berpendapat boleh dijama’ dengan sholat
magrib sesudahnya. Untuk sementara kita boleh mengikuti pendapat tersebut. Ta-
pi jika kita menemukan dalil yang menyalahkan pendapat tersebut kita harus
meninggalkannya.
Menurut pendapat yang kuat ia tidak boleh mengambil ijtihad orang lain dan
ia harus ijtihad sendiri sebagai kewajiban pokok. Kebolehan mengikuti pendapat
orang lain bagi orang awam tidak berlaku bagi orang yang sanggup melakukan
ijtihad sendiri. Kebolehan mengikuti pendapat bagi orang biasa hanya terbatas da-
lam masalah furu’ (masalah yang lahir), bukan masalah kepercayaan dan orang
yang diikuti bukanlah orang yang awam, tapi orang yang ahli dalam melakukan
ijtihad, berdasarkan keyakinan yang maksimal.

3. Taqlid yang wajib


Pada zaman sekarang ini taqlid yang berkembang seperti di Indonesia adalah
taklid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam yang terkenal. Imam-imam
yang terkenal itu adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad Bin Han-
bal. Jika seseorang bertaqlid kepada seorang imam dia harus mengikuti ajaran
imam tersebut secara murni, atau setidaknya kepada muridnya yang paling dekat.
Orang yang bertaqlid pada salah satu imam tidak boleh mengikuti ajaran imam
lain. Tapi kenyataan yang terjadi adalah tidak demikian, kebanyakan orang

6
mengikuti pendapat seseorang yang digolongkan termasuk mahzab salah satu
imam.

D. Manfaat dan Bahaya Taqlid


Muhammad bin Harits menyebutkan dalam hadits riwayat Sahnuun bin Sa'id.
Ia berkata : Bahwa Malik ibn Anas dan Abdul 'Aziz bin Abi Salamah dan Mu-
hammad bin Ibrahim bin Dinar dan lainnya berkali-kali mendatangi Ibn Hurmuz,
maka apabila Malik dan Abdul 'Aziz bertanyadijawab, dan apabila Ibn Dinar dan
lainnya bertanya, tidak dijawab. Pada suatu hari Ibn Dinar menghadapinya dan
berkata kepadanya: "Wahai Abu Bakar kenapa engkau menganggap halal bagiku
apa yang tidak halal bagimu?" Ia menjawab : "Wahai putera dari saudaraku,
apakah itu?" Ia berkata: "Malik dan Abdul 'Aziz bertanya kepadamu, kemudian
kamu menjawabnya. Dan saya beserta teman-temanku bertanya kepadamu, namun
engkau tidak menjawabnya." Ia berkata: "Apakah itu terjadi pada hatimu wahai
putera saudaraku?" Ia berkata: "Ya." Ia berkata: "Sesungguhnya usiaku telah
lanjut dan tulang-tulangku semakin menua, saya khawatir usia tua ini melemahkan
akal pikiranku seperti yang terjadi pada fisikku, sedangkan Malik dan Abdul 'Aziz
dua ulama fiqih yang alim, jika keduanya mendengarkan akan yang hak dariku
mereka menerimanya dan apabila keduanya mendengar yang salah, meninggal-
kannya. Sedangkan kamu dan teman-temanmu pasti menerima apa saja yang saya
jawab kepada kalian."
Berdasarkan riwayat diatas betapa Abu Bakar As-Shidiq sangat memper-
hatikan dengan siapa beliau berbicara dan sebagai bentuk lain dari kebijaksanaan
dan ketelitian dalam menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan hukum atau
syari’at Islam.
Adapun beberapa manfaat dari sikap taqlid ini yang dapat kita fahmi dan maih
dalam batas toleransi adalah:
1. Memberikan kemudahan bagi kalangan awam terhadap pelaksanaan sebuah
permasalahan syari’at, hal ini tentunya dengan melihat kondisi umat yang tidak
memungkinkan untuk mempelajari lebih mendalam lagi terhadap syari’at (al-
Qur’an dan hadits).

7
2. Menghindari penyimpangan aktivitas syri’at di kalangan umat Islam awam
apalagi hal tersebut dapat membawa mereka ke jalan kesesatan, dan tentu saja
seorang ‘alim dalam hal ini bertanggungjawab terhadap apa yang telah disam-
paikannya.
Selain manfaat dari sikap taqlid sebagaimana yang telah disebutkan diatas, tak
terlepas pula bahwa sikap taqlid dapat membahayakan ummat Islam, dinataranya
adalah :
1. Terjadinya ta’ashub (fanatisme) buta terhadap suatu madzhab atau pemikiran
yang berlebihan dan sangat rentan tejadinya pepecahan di kalangan ummat Islam,
apalagi kalangan Islam yang awam.
2. Meskipun sikap taqlid ini dibolehkan bagi kalangan awam, namun tetap saja hal
ini bisa menimbulkan kemandegan dan kejumudan berfikir di kalangan ummat
Islam, sehingga pemaham tentang syari’at masih kaku dan tidak mengikuti
perkembangan zaman.
3. Sikap taqlid menjadi indikasi terhadap tertutupnya sebuah ijtiha, dan hal ini dapat
diartikan sebagai pembodohan terhadap ummat. Ketika ummat sudah di nina
bobokan dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang dikalangannya atau
di lingkungannya masing-masing dan membunuh sikap kritis terhadap pemaham-
an tersebut, karena dalam konsep taqlid menerima apa adanya tanpa menelaah da-
sar dan dalil terhadap aktivita ibadah misalnya.
Bahkan secara tegas Imam Abu Hanifah sangat melarang seseorang mengikuti
apa yang dikatakannya, jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau
menyatakan: “Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan yang telah kami ka-
takan, sehingga ia mengetahui dari mana asal perkataan kami itu”. Bahkan beliau
mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika ia tidak mengetahui dalil dari fat-
wa itu.

8
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal
hujjahnya. Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul keti-
ka kekuasaan Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa
kemunduran. Kemunduran Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
politik, tertutupnya ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal
itu dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Se-
hingga umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan
kitab-kitab karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangan umat Islam sendiri
tidak ada keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mah-
zab mengklaim bahwa mahzabnya yang paling benar.
Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad
sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi
dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan
jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Dja’far. 1972. Ushul Fiiqh III. Semarang: CV. Toha Putra
Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hanafi, Ahmad, MA. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Mu’in, H.A, dkk. 1986. Ushul Fiqih II (Qaidah-Qaidah Istinbat Dan Ijtihad). Ja-
karta: Depag
Syari’ati, Ali. 1992. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. Bandung: Mizan
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul
Ikhya
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV Haji Masagung
_____. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media

10

Anda mungkin juga menyukai