Anda di halaman 1dari 3

Nama : Anisa Nurcahyati

NIM : 22401036
Judul Buku : Ushul Fiqh
Penulis : Agus Miswanto, S.Ag., MA
Penerbit : Magnum Pustaka Umum
Halaman Yang Direview : 240 sd. 250

TAQLID

1. Definisi Taqlid
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan kalung (‫ )القالدة‬ke leher. Dipakai juga dalam
hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan
dilehernya seperti kalung. Dalam hal ini, al-Utsaimin menyatakan sebagai berikut:
‫بهكالقَلدة وضعالش يءفيالعنق محيطا‬
``Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang``.
Secara istilah, para ulama ushul mendefinikan dengan beragam perspektif yaitu
diantaranya sebagai berikut.
a. Perspektif Pertama
1). Muhammad bin sholeh al-Utsaimin
Muhammad Bin Sholeh Al- Utsaimin mengatakan bahwa ``Mengikuti perkataan
orang yang perkataannya bukan hujjah``.
2). al-Sulami
Pengertian yang senada juga diungkapkan oleh ulama yang lain, al-Sulami. Beliau
mengungkapan bahwa ``Menerima perkataan orang lain yang tidak memiliki hujjah``.
Menurut al-Sulami, bahwa definisi ini banyak diikuti dan disebutkan oleh para ulama,
diantaranya: Imam al-Ghazali, Imam al-Amidi, Ibn Qudamah, ibn al-Hajib, Ibn al-Hamam,
Imam al-Syaukani, dan sebagainya.

b. Prespektif Kedua
1). Abdul Hamid Hakim
Menurut Abdul Hamid Hakim, Taqlid adalah menerima pendapat seseorang
sedangkan engkau tidak tahu dari mana pendapat itu diambil.
2). Al-Sulami
Mengatakan bahwa `` Mengambil mazhab (pendapat) lain tanpa mengetahui
dalilnya``. Menurut Al Sulami, pengertian ini banyak diungkapkan dan diikuti oleh para
ulama, diantaranya adalah Imam al- Qaffal al- Syasyi, Al-Mardawi, dan Ibn Najar.
c. Prespektif Ketiga
Prespektif ketiga ini disampaikan oleh Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf
Muhammad al-Juwaini. Imam al- Juwani mencoba untuk mengkombinasikan kedua
prespektif diatas. Beliau menyatakan bahwa ``Taqlid adalah mengikuti orang yang tidak
didasarkan pada hujjah (alasan) dalam mengikutinya, dan tidak disandarkan pada
pengetahuan``.

2. Hukum Taqlid
Dalam kaitannya dengan hukum taqlid, para ulama berbeda pendapat yaitu ada ulama
yang merelatifkan hukum taqlid dan ada ulama yang tidak memperbolehkan taqlid sama
sekali.
a. Relativitas Hukum Taqlid
Imam al-Sulami, salah seorang yang berpendapat bahwa hukum taklid adalah sangat
bergantung pada beberapa keadaan, tidak bisa dihukumi secara tunggal, yaitu dilarang atau
diperbolehkan. Dalam perspektif al-Sulami, bahwa hukum taklid itu dapat dipisahkan dalam
dua kategori, yaitu ada yang dilarang dan ada yang diperbolehkan.
1). Yang Dilarang
a). Dari sisi objeknya, bahwa yang dilarang adalah pada ranah ushuliyah
(pokok pokok agama) yaitu persoalan yang menjadikan sesorang itu bisa
masuk atau keluar dari agama ini. Seperti keimanan kepada Allah SWT,
keyakinan bahwa Allah itu adalah zat satu-satunya yang berhak diibadahi,
keimanan pada kebenaran risalah kenabian Muhammad SAW.
b). Dari sisi subjeknya, yang dilarang untuk taqlid adalah orang yang sudah
sampai pada martabat mujtahid. Menurut al-Sulami, tidak diperbolehkan
seorang mujtahid untuk tqlid secara mutlak.
2). Yang Diperbolehkan
Menurut perspektif al-Sulami, bahwa persoalan yang diperbolehkan
untuk taklid adalah persolan-persoalan furu’iyyah. Yang dimaksudkan dengan
persoalan furu’iyyah adalah segala sesuatu yang tidak masuk dalam masalah
ushul, yaitu yang tidak menjadikan seseorang itu bisa dianggap masuk atau
keluar dari agama ini. dan persoalan furu’iyyah ini termasuk di dalamnya
adalah persoalan-persoalan I’tiqad, ushul fiqh, dan fiqh. Menurut al-Sulami,
bahwa jumhur memperbolehkan orang awam untuk melakukan taklid. Hal ini
menurut al-Sulami, didasarkan pada argumentasi Ijmak sahabat, yaitu para
sahabat memberikan fatwa kepada orang-orang awam ketika mereka bertanya.
Dan hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa seorang yang bodoh wajib untuk
bertanya kepada seorang ulama. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS al-Nahl ayat 23 yang artinya ``Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui``.
b. Dilarang Secara Mutlak
Salah seorang ulama yang sangat keras terhadap praktek taklid adalah Ibn Hazm al-
Andalusi, Imam al-Syaukani, dan Imam al-Jashash. Sementara imam al-Syaukani juga salah
seorang yang sangat kristis terkait dengan praktek taklid. Imam al-Syaukani menegaskan
pendapatnya bahwa bertaklid kepada pendapat seseorang yang tidak disertai dalil, maka
sesungguhnya orang yang taklid itu telah terjebak kepada menjadikan orang yang ditaklidi itu
seperti Nabi, pembuat syariat. Dan inilah bahaya agama baru yang tidak disyariatkan oleh
Allah SWT. Imam al-Jashas menyampaikan bahwa orang berhujjah tentang taklid
sesungguhnya telah menyalahi karunia yang besar berupa akal fikiran. Sementara itu,
menurut Ibn Hazm bahwa bertaklid kepada seseorang yang tidak disertai dalil adalah telah
melakukan maksiat kepada Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai