NIM : 184100048
Semester : 7
(Mahasiswa Program)
Tugas UAS
JAWABAN :
1. Al-Qur’an
Sumber hukum islam yang paling dasar adalah Al Qur’an. Sebagai kitab suci
umat muslim, tentu saja Al Qur’an sebagai tiang dan penegak. DImana Al Qur’an
pesan langsung Dari Allah SWT yang diturunkan lewat Malaikat Jibril. Kemudian
Jibril menyampaikan langsung kepada Nabi Muhammad.
2. Hadits
Hadits sabagai sumber islam yang tidak kalah penting. Kenapa hadis
digunakan untuk hukum islam? Karena Hadis merupakan pesan, nasihat, perilaku
atau perkatan Rasulullah SAW. segala sabda, perbuatan, persetujuan dan
ketetapan dari Rasulullah SAW, akan dijadikan sebagai ketetapan hukum islam.
3. Ijma’
Mungkin ada yang asing dengan sumber hukum islam yang ketiga, iaitu ijma’.
Ijma’ dibentuk berdasarkan pada kesepakatan seluruh ulama mujtahid. Ulama
yang di maksud di sini adalah ulama setelah sepeninggalan Rasulullah SAW.
Tersebarnya ajaran islam inilah pasti ada perbedaan antara penyebar satu
dengan yang lainnya. nah, kehadiran ijma’ diharapkan menjadi pemersatu
perbedaan yang ada.
4. Qiyas
Qiyas sepertinya tidak banyak orang yang tahu. Sekalipun ada yang tahu,
masih ada perbedaan keyakinan, bahwa qiyas ini tidak termasuk dalam sumber
hukum islam. Meskipun demikian, para ulama sudah sepakat Qiyas sebagai
sumber hukum islam.
Qiyas adalah sumber hukum yang menjadi penengah apabila ada suatu
permasalahan. Apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan solusi di
Al-Quran, Hadits, Ijma’ maka dapat ditemukan dalam qiyas.
Qiyas adalah menjelaskan sesuatu yang tidak disebutkan dalam tiga hal tadi
(Al-quran, hadits dan Ijma’) dengan cara membandingkan atau menganalogikan
menggunakan nalar dan logika.
B. Contoh Penggunaan.
1. Maqashid AlSyari’ah
Maqashid Al-Syariah disebut juga dengan ketetapan hukum islam. Nah, di sini
ada tiga tingkatan, yaitu tingkatan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi, jika
tidak dipenuhi akan berantakan. Ada juga kebutuhan sekunder sebagai kebutuhan
pendukung dan kebutuhan tersier yang sifatnya hanya melengkapi saja.
Ternyata tidak sekedar bermanfaat untuk urusan dunia dan masalah perbedaan
saja. Hukum islam juga bertujuan dalam mewujudkan kemaslahatan di dunia dan
di akhirat.
2. Apa yang dimaksud dengan istilah talfiq dalam bermazhab dan berikan
contoh ?
JAWABAN :
Dahulu, para sahabat meminta fatwa hukum langsung kepada Nabi Muhammad
SAW pada masa hidupnya. Setelah wafat, Nabi meninggalkan warisan berupa
manuskrip Al Quran juga yang berada di dalam hafalan para sahabat. Baru pada abad
ke-3 H dibukukanlah hadis yang sebelumnya hanya berada pada ingatan. Dengan
begitu, sumber hukum Islam dapat digali dengan mudah.
Pada masa tabiin dan tabiit tabiin, muncul banyak mujtahid yang menguasai Al
Quran maupun hadis, selain juga ilmu-ilmu penunjang ijtihad. Mereka tidak terhitung
jumlahnya, namun hanya beberapa yang diakui, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki,
Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Sedangkan para awam yang tidak mampu melakukan
ijtihad disebut dengan muqallid (orang yang taklid). Karena tidak bisa berijtihad sendiri,
mereka mengikuti pendapat mujtahid yang sudah ada.
Lazimnya, talfiq dalam fikih dan ushul fikih digunakan sebagai istilah:
“Menjalankan suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid
terdahulu.”
Terkadang, talfiq dipakai sebagai istilah yang lebih umum menurut sebagian
ulama. Yakni, muqallid menggunakan suatu madzhab untuk sebuah kasus, dan madzhab
lain untuk kasus lain, sementara kedua kasus itu masih saling berhubungan. Jelas-jelas
ini bukan suatu larangan, kecuali bagi pendapat yang mengharuskan berpegang teguh
pada satu madzhab saja.
Pandangan tentang keharusan berpegang pada satu madzhab saja dinilai rusak,
karena menunjukkan sikap taklid yang melampaui batas. Pada zaman sahabat dan
tabiin, muqallid dibebaskan untuk bertanya kepada siapa saja di kalangan ulama. Saat ia
bertanya suatu masalah kepada seorang ulama, ia tidak dilarang bertanya pada ulama
lain tentang kasus lain.
Talfiq juga digunakan untuk menunjukkan pendapat baru (qaul jadid) yang terdiri
dari dua pendapat berbeda dalam satu masalah, atau dengan sederhana bisa disebut
“pembaruan pendapat baru”. Selain itu, juga dipakai sebagai fatwa mujtahid yang terdiri
dari dua pendapat tanpa ada pengunggulan (tarjih) di antara keduanya. Ini dikarenakan
mufti ingin mengeluarkan mustafti (orang yang meminta fatwa) dari posisi sulitnya.
Inilah yang disebut dengan muro’atul khilaf.
Ulama berbeda pendapat tentang talfiq yang dalam definisi pertama “menjalankan
suatu masalah dengan cara yang tidak sesuai dengan satu pun mujtahid terdahulu”.
Terkadang, muqallid melakukannya dengan sengaja, kadang juga tidak.
Apabila hal itu dilakukan tanpa sengaja, maka jelas tidak dilarang. Karena ijma’
bahwa ia boleh mengamalkan fatwa dari mujtahid siapapun. Ia tidak dicegah meminta
fatwa kepada Syafi’iyyah tentang wudlu dan meminta fatwa kepada Malikiyah tentang
batalnya wudlu. Kemudian ia wudlu tanpa membasuh keseluruhan kepala dan
menyentuh wanita lain.
Apabila talfiq dilakukan sengaja, maka tidak sah. Karena bisa jadi ia jatuh dalam
perbedaan nash-nash syariat yang ia tidak ketahui. Dan karena menjalankan pendapat
baru tanpa ada fatwa merupakan tindakan yang didasari hawa nafsu. Itu bertentangan
dengan prinsip beragama.
Sebagian ulama memberikan syarat penting dalam talfiq: [1] tidak bertentangan
dengan ijma’ atau nash Al Quran dan sunnah, [2] tidak digunakan untuk membebaskan
diri dari tanggungan beban (tidak untuk meringankan).
Namun, menurut madzhab Maliki, boleh taklid kepada setiap madzhab Islam yang
mu’tamad (diakui), sekalipun talfiq, dalam keadaan darurat, hajat, lemah, maupun
udzur. Karena talfiq tidak dilarang menurut Malikiyah, pun sebagian Hanafiyah,
sebagaimana kebolehan mengambil pendapat paling ringan dari beberapa madzhab.
Akan tetapi, talfiq harus didasari kebutuhan dan maslahat, bukan main-main atau
mengikuti hawa nafsu.
Karena agama Allah agama yang mudah, kebolehan talfiq merupakan bagian dari
kemudahan itu. Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185).1
1
Ushul Fiqh ‘iyadl bin Nami, 333-334
JAWABAN :
Dalam hal ini ada perbedaan pandangan di kalangan umat Islam. Dan bisa kita
kelompokkan menjadi dua pendapat :
1. Tidak Wajib.
2. Wajib.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bermadzhab itu harus bahkan bagi
orang awam hukumnya wajib. Al-Amidi mengatakan bahwa orang awam dan
orang yang tidak memiliki keahlian berijtihad, walaupun dapat menghasilkan
sebagian ilmu yang diakui (mu’tabar) dalam berijtihad, ia wajib mengikuti
pendapat para mujtahid dan berpegang dengan fatwa-fatwanya, demikian menurut
ahli tahqiq dan ulama ushul, Khudhari Bek pula berpandangan wajib atas orang
awam meminta fatwa dan mengikuti para ulama.
Mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa bermadzhab bagi orang awam
itu harus, bahkan bagi orang awam yang benar-benar murni, bermadzhab itu
wajib. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apakah mengikuti madzhab itu
dalam arti kata taqlid, yaitu mengambil sebuah pendapat, bahwa fulan berkata
demikian, tanpa ilmu dan tanpa mengetahui dalil perkataannya, atau ittiba, yaitu
mengambil pendapat seorang mujtahid dengan mengetahui dalilnya atau
mengambil pendapat seseorang yang bukan mujtahid setelah mengetahui dalil.
2
Al-Amidi, Al-Ikham fi Ushul al-Ahkam, (Kairo, Mussasat al-Habibi, 1995), vol 2
4. Ada empat mazhab Fiqh Sunni, sebutkan keempat mazhab tersebut beserta
pendirinya dan jelaskan perbedaan sumber hukumnya!
JAWABAN :
1. Hanafi
Mazhab Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu'man bin Tsabit atau yang lebih
terkenal dengan nama Abu Hanifah. Ia wafat 767 masehi. Pemikiran hukumnya
bercorak rasional. Mazhab ini berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah
mencapai kemajuan yang tinggi di Iraq.
2. Maliki
Mazhab Maliki atau Maliki adalah mazhab yang didirikan oleh Malik bin Anas
atau yang biasa dikenal dengan nama Imam Malik. Imam Malik wafat pada 797
Masehi. Sepanjang hidupnya Malik tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali
untuk keperluan ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah
yang cenderung tekstual.Imam Malik juga termasuk periwayat hadist. Karyanya
yang terkenal adalah al-Muwattha', yaitu hadis yang bercorak fiqih.
3. Syafi'i
Mazhab Syafi'i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi'i. Ia
wafat pada 767 masehi. Selama hidup Beliau pernah tinggal di Baghdad,
Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau
pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Selain berdasarkan pada Al Quran,
sunnah, dan ijma, Imam Syafl'i juga berpegang pada qiyas. Beliau disebut juga
sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul Fiqih.
4. Hambali
Mazhab Hambali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin
Hambal atau dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia wafat pada 855 masehi.
Pada masa mudanya beliau berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i. Corak
pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad,
Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa.
5. Apakah semua orang bisa berijtihad? Sertakan alasan dari jawaban anda!
JAWABAN :
Tidak semua orang bisa berijtihad.
Menurut saya, karena berijtihad dibutuhkan pengetahuan yang meluas, bukan hanya
dalam ilmu fiqh, tp juga dibutuhkan ilmu2 lain yang menunjang spt ushul fiqh, tafsir
qur'an tafsir hadist, nahwu, shorrof dll. tanggung jawab seorang mujtahid besar
rosulullah pernah bersabda yang artinya " apabila seorang hakim melakukan sebuah
penelitian, apabila benar maka dia mendapat dua pahala, tapi apabila salah maka ia
mendapatkan satu pahala ( setidaknya ia sudah berusaha)." dan ia juga harus
menyertakan dalil2 yang di anggap kuat, agar tidak di ragukan dan dapat dikuatkan
keshohihannya.