Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam agama Islam, terdapat banyak sekali ilmu yang perlu dipelajari
dan dikuasai oleh seorang muslim dan mukmin agar benar-benar mampu
melaksanakan semua perintah Allah dengan baik dan benar. Di antara ilmu-
ilmu tersebut adalah ilmu Tauhid, ilmu Akhlaq, ilmu Fiqh, ilmu Tafsir dan
masih banyak ilmu lainnya yang menjadi penunjang bagi ilmu-ilmu dasar
yang telah disebutkan sebelumnya.

Dalam ilmu Fiqh, ada beberapa kitab yang membahas mengenai


ikhtilaf yang memiliki makna perbedaan dan perselisihan. Dalam beberapa
kitab tersebut, ikhtilaf dibahas secara detail dan mendalam, membuat kami
yang membacanya jadi penasaran dan tergerak untuk memahami lebih
dalam apa maksud darinya.

Secara sekilas, dari kami tangkap melalui indera mata kami, ikhtilaf
dalam kitab tersebut adalah perdebatan mengenai banyak perkara dalam
agama yang menyebabkan terjadinya perpecahan kelompok ummat Islam
dalam beberapa kelompok yang disebut mazhab. Mazhab-mazhab tersebut
memiliki nama dan ciri sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Karena
kami hanya membaca sekilas saja, jadi kami saat ini hanya bisa bertanya-
tanya, ikhtilaf atau perbedaan seperti apa dan dalam bentuk yang bagaimana
yang terjadi dalam umat Islam?. Bagaimanakah Al-Qur’an dan Hadits
berbicara mengenai ikhtilaf ini?. Seperti apakah akibat yang ditimbulkan
oleh ikhtilaf ini?. Apa saja penyebab munculnya ikhtilaf ini?. Lalu
bagaimanakah sejarah singkat dari mazhab-mazhab fiqh dalam Islam?.

Semua rasa penasaran kami akan kami puaskan dengan mengkaji dan
meneliti bersama ikhtilaf ini melalui beberapa referensi yang kami miliki.
Semoga setelah pembahasan singkat dalam makalah ini membuat
mahasiswa dan sekalian pembaca mengerti serta memahami secara
1|Ikhtilaf
mendalam Ikhtilaf dan sejarah singkat mazhab-mazhab dalam Islam,
khususnya mazhab-mazhab Fiqh. Serta mengambil pelajaran dan hikmah
dari adanya ikhtilaf ini. Amin.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat kita ambil beberapa rumusan


masalah di antaranya:

1. Apa yang dimaksud dengan Ikhtilaf?


2. Adakah pembagian ikhtilaf? Apa saja?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf?
4. Bagaimanakah sejarah perkembangan mazhab-mazhab dalam
Islam khususnya mazhab Fiqh?

C. Tujuan Makalah

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat mencapai dan meraih


setidaknya beberapa dari tujuan dan manfaat di bawah ini:

1. Mengetahui dan memahami makna dan maksud dari ikhtilaf.


2. Mengetahui pembagian ikhtilaf dan yang mana yang
diperbolehkan.
3. Mengetahui sebab-sebab terjadinya ikhtilaf.
4. Mengetahui dan memahami sejarah singkat mazhab Fiqh dalam
Islam pada umumnya.

2|Ikhtilaf
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ikhtilaf

Ikhtilaf merupakan isim mashdar dari ikhtalafa-yakhtalifu-ikhtilaafan


yang secara etimologi bermakna perselisihan dan perbedaan pendapat dan
paham.1 Dalam kitab Masa’il fil Fiqh Muqaran, disebutkan bahwasanya
ikhtilaf secara bahasa bermakna tidak adanya kesepakatan dalam sesuatu.2
Sedangkan secara terminologi ikhtilaf adalah berlainan dan berselisih
pendapat antara dua orang atau lebih terhadap suatu masalah tertentu . 3 Jadi
intinya, ikhtilaf itu adalah berbedanya penilaian antara dua orang atau lebih
terhadap suatu objek.

Ikhtilaf menurut istilah para Ahli Fiqh adalah perbedaan pendapat


seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya dalam berijtihad dan berfatwa
dalam sebuah masalah. Jadi ikhtilaf itu adalah lawan kata dari ittifaq, yakni
kesepakatan.4 Perbedaan dan perselisihan pendapat merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak mungkin dihindari oleh manusia. Karena setiap orang
memiliki pendapat dan pandangan yang berlainan mengenai sebuah objek.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

‫و لو شاء ربك لجعل الناس امة واحدة و ال يزالون مختلفين‬

Allah berfirman: “jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadika umat


manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS
Hud: 118).

‫انكم لفي قول مختلف‬

1
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), 47.
2
Umar Sulaiman Al-Asyqar dkk, Masa’il fil Fiqh Al-Muqaran, (Yordania: Dar An-Nafais, 1997),
15.
3
Yanggo, Pengantar, 48.
4
Al-Asyqar, Masa’il, 15.
3|Ikhtilaf
Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat.
(QS Adz-Dzariyat: 8)

Dalam berpedoman pada hukum dan syariat Islam, terdapat


permasalahan-permasalahan yang dalilnya diketahui dengan jelas dan ada
pula yang belum diketahui dalil atau petunjuk syariat mengenainya. Hal itu
sudah sangat wajar terjadi, karena semakin hari zaman dan dunia semakin
berkembang dan maju, sehingga muncullah permasalahan-permasalahan baru
yang tidak ada dalil dan hujjah yang jelas tentangnya. Akibatnya, dalil-dalil
dalam berpedoman pun dibagi menjadi dua berdasarkan kekuatan hujjahnya,
yakni dalil-dalil qath’i dan dhanni. Dalil qath’i adalah dalil yang berasal dari
tiga sumber syariat agama yang disepakati oleh mayoritas ulama yakni Al-
Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sedangkan dalil-dalil yang dhanni merupakan
dalil yang bersumber dari selain ketiga hal tadi yang masih banyak terjadi
perbedaan pendapat mengenai kemutlakan dan kebenarannya.5

Lalu sebenarnya apa saja yang menyebabkan berbedanya ulama dalam


berhujjah dan menentukan hukum syariat ini?. Dan ruang lingkup mana yang
menjadi perselisihan dan perbedaan pendapat ulama?. Untuk lebih memahami
secara mendalam, mari kita lanjutkan kajian selanjutnya pada sub-bab
berikut.

B. Pembagian Ikhtilaf

Ikhtilaf dalam Fiqh dibagi menjadi tiga, Ikhtilaf Maqbul, Ikhtilaf


Madzmum dan Ikhtilaf Saigh Maqbul.6

1. Ikhtilaf Maqbul

Ikhtilaf Maqbul ini adalah perbedaan pendapat ulama dalam


bermacam-macam perkara yang dipersilishkan oleh para ulama Fiqh
mengenai kesunnahannya, keafdolannya ataupun hukum makruhnya. Jadi,
5
Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buthi, Muhadharat fil Fiqh Al-Muqaran, (Damaskus: Dar Al-
Fikr, 1970), 10.
6
Al-Asyqar, Masa’il, 15.
4|Ikhtilaf
inti pembahasan dari ikhtilaf maqbul ini hanya berkisar pada masalah-
masalah furu’ yang belum diketahui secara pasti hukumnya. Misalnya,
seperti hukum mengeraskan bacaan basmalah atau merendahkannya ketika
solat. Keduanya sama-sama diperbolehkan hukumnya dan tidak
membatalkan solat jika ditinggalkan salah satunya. Dalam hal ini, para
ulama berbeda pendapat mengenainya, ada yang memakruhkannya,
menghukuminya sunnah, ada pula yang memilih untuk tidak membacanya
ketika solat. Contoh lainnya mengenai ikhtilaf yang dibolehkan ini adalah
ikhtilaf mengenai hukum bacaan qunut ketika solat subuh.7

2. Ikhtilaf Madzmum

Ikhtilaf madzmum secara bahasa bermakna perbedaan yang tercela


dan jelek. Inilah ikhtilaf yang tidak diperbolehkan karena dapat
menimbulkan dampak yang buruk bagi umat Islam khususnya, dan bagi
seluruh penduduk bumi ini pada umumnya. Karena ikhtilaf madzmum ini
adalah ikhtilaf yang terjadi pada masalah-masalah yang ushul yang telah
jelas dalil qath’i mengenainya dan tidak perlu diperdebatkan lagi.
Misalnya mengenai hukum wajibnya solat lima waktu dan puasa pada
bulan Ramadan. Juga mengenai hukum dibolehkannya makan bagi yang
berpuasa pada bulan Ramadan. Sudah jelas dalam Al-Qur’an bahwa Allah
melarangnya dalam ayat 187 surat Al-Baqarah yang berbunyi:

‫وا‬hh‫ر ثم اتم‬hh‫ حتى يتبين لكم الخيط االبيض من الخيط االسود من الفج‬h‫و كلوا و اشربوا‬
‫الصيام الى الليل‬

Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang


putih dan benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
sampai (datang) malam.

Contoh-contoh ikhtilaf madzmum di atas, amat sangat tidak boleh


dijadikan hujjah dan diamalkan dalam ibadah muslim sehari-hari. Karena,
contoh-contoh ikhtilaf tadi adalah ikhtilaf aneh yang menyeleweng dan
7
Ibid., 15-16.
5|Ikhtilaf
menyimpang dari aturan dasar dan kaidah syari’at agama. Seorang ulama
besar Fiqh, Imam Al-Auza’i berkata: “Barang siapa yang mengikuti dan
mengamalkan pendapat-pendapat aneh yang menyimpang, maka dia telah
keluar dari Islam”.8

3. Ikhtilaf Sa’igh Maqbul

Ikhtilaf sa’igh maqbul ialah perbedaan pendapat ulama yang terkait


dengan masalah-masalah baru yang tidak ada dalil qath’i mengenai
hukumnya. Maka dari itu, timbullah sebuah usaha yang dilakukan oleh
para ulama fiqih yang disebut dengan ijtihad. Ijtihad adalah sebuah usaha
semaksimal mungkin yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk dapat
menemukan solusi hukum syari’at dari sebuah permasalahan baru yang
belum ada dalilnya.9

Misalnya, perselisihan pendapat mereka mengenai hukum bayi


tabung, hukum bank asi dan lain-lainya yang memang pada zaman Nabi
Muhammad SAW hal itu belum terjadi. Ada syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh ikhtilaf saigh maqbul ini, di antaranya:

1. Yang berikhtilaf haruslah seorang yang ahli dalam agama Islam,


khususnya Fiqh dan Ushul Fiqh.
2. Ijtihad dan ikhtilaf mereka haruslah pada perkara-perkara yang furu’
yang tidak ada dalil qath’inya.
3. Tujuan ikhtilafnya adalah untuk mencari dan mencapai kebenaran,
bukan untuk tujuan lain yang menyeleweng.
4. Para ulama yang berijtihad dan berikhtilaf itu haruslah benar-benar
mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk sampai pada
kebenaran.10
Untuk ikhtilaf saigh maqbul yang diperbolehkan ini, haruslah
memenuhi syarat-syarat di atas, agar tujuan sebenarnya dari ikhtilaf ini
8
Ibid., 18.
9
Ibid., 19.
10
Ibid., 19-20.
6|Ikhtilaf
benar-benar tercapai dan tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap
ummat. Bayangkan saja, jika para ulama yang berikhtilaf, mereka
berijtihad tidak sesuai dengan kualitas keilmuan dan hanya berdasarkan
pada hawa nafsu dan kefanatikan saja?. Tentu yang terjadi bukanlah
pencapaian kebenaran, namun permusuhan dan kebencian yang akan terus
mengakar dan tiada habisnya hingga tujuh turunan.

Tentu saja, syarat-syarat di atas bukanlah syarat yang dikarang


tanpa dasar oleh pengarang kitab Masa’il fil Fiqh Muqaran ini, namun
mereka mengambil kesimpulan syarat ini dari ikhtilaf yang terjadi antara
para sahabat dan tabi’in. Mereka benar-benar bertujuan untuk meraih
kebenaran, bukan untuk membanggakan diri atau kefanatikan mereka
terhadap sesuatu, sehingga tiada satu pun di antara mereka yang mencela,
menghina dan menjelekkan pendapat sahabat lainnya. Karena, mereka
percaya, apapun perbedaan pendapat yang terjadi, jika salah maka mereka
akan dimaafkan dan bahkan masih mendapatkan pahala. Sebagaimana
yang Rasulullah sabdakan dalam hadits: jika seorang hakim memutuskan
suatu perkara, apabila benar maka ia mendapatkan dua pahala, jika salah
maka dia mendapatkan satu pahala.11

Jadi, ikhtilaf yang diperbolehkan dalam Islam hanyalah ikhtilaf


maqbul dan ikhtilaf saigh maqbul ini. Karena ikhtilaf ini tujuannya untuk
memberikan kemudahan bagi umat dan rahmat Allah bagi mereka.
Sehingga mereka tidak merasa kesulitan dengan adanya kewajiban
mengikuti satu ijtihad saja. Sedangkan untuk ikhtilaf madzmum, maka
dilarang untuk memperdebatkannya karena tidak ada manfaat dan bahkan
hanya membawa pada kemudaratan dan keburukan saja. Jika terus
berlarut-larut pada ikhtilaf madzmum ini, dapat dipastikan umat Islam
akan semakin terpecah dan kedamaian serta toleransi tak akan ada lagi.

C. Sebab-Sebab Ikhtilaf

11
Ibid., 20.
7|Ikhtilaf
Dalam ilmu Fisika, apabila ada aksi maka timbullah reaksi. Begitu
pula apabila ada akibat, tentu ada sebab yang mempengaruhinya. Dalam
ikhtilaf yang terjadi di antara pada ulama Fiqh ini, tentunya ada penyebab-
penyebab yang mengakibatkannya.

Sebab-sebab yang menimbulkan ikhtilaf ini amat sangat banyak.


Sebelum menjabarkannya dalam penjelasan yang serinci-rincinya, secara
garis besar, sebab ikhtilaf ini berasal dari dua hal yakni yang berasal dari
subjek dan dari objek.

1. Sebab dari Subjek

a. Berbedanya akal dan pemahaman setiap orang.12 Sebagaimana yang


telah kami jelaskan sebelumnya bahwa setiap orang pasti akan
berbeda pendapat dan pandangan mengenai suatu hal. Objek yang
sama apabila dinilai oleh subjek yang berbeda pasti hasilnya pun beda.
Itulah fitrah yang Allah ciptakan di antara manusia. Bayangkan saja
jika manusia semuanya memiliki pemikiran, pemandangan dan
pendapat yang sama?. Apakah dunia ini tidak akan semakin hancur
dan membosankan?.

b. Berbeda kualitas keilmuan. Setiap imam dari imam-imam mazhab ini


tentunya memiliki kualitas keilmuan yang berbeda. Apalagi untuk
mengetahui dan menghafal semua hadits amat sangat mustahil saat itu.
Karena saat itu, hadits belum terkumpul dalam sebuah buku dan
belum tersusun secara sistematis.13 Oleh karena itu, bisa jadi Imam
Abu Hanifah mengetahui hadits yang tidak diketahui oleh Imam
Malik, begitu pun sebaliknya. Imam Syafi’i misalnya bisa jadi
mengetahui sebuah hadits yang tidak diketahui oleh Imam Ahmad bin
Hanbal begitupun sebaliknya. Contohnya seperti yang terjadi pada
Umar bin Khattab, beliau berpendapat bahwasanya mengusap sepatu,
al-mashu ‘alal khuffaini, tidak dibatasi waktu tertentu, masih banyak
12
Ibid., 20.
13
Ibid., 26.
8|Ikhtilaf
para ulama Salaf yang mengikuti pendapatnya. Dan belum sampai
pada mereka hadits tentang pembatasan waktu untuk al-mashu ‘alal
khuffaini tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syuraih bin
Hani’ berkata Aku berkata kepada Aisyah ra mengenai al-mashu ‘alal
khuffaini, kemudian dia berkata tanyalah pada Ali karena dia lebih
mengetahui tentang ini daripada aku, karena dia pernah melakukan
perjalanan bersama Rasulullah, lalu akupun bertanya kepada Ali, dia
berkata, Rasulullah SAW bersabda:

‫لم و‬hh‫د و مس‬hh‫ة (رواه احم‬hh‫وم و ليل‬hh‫اليهن و للمقيم ي‬hh‫ام و لي‬hh‫ة اي‬hh‫ ثالث‬h‫افر‬hh‫للمس‬
)‫النسائي و ابن ماجه‬

Waktu Al-Mashu ‘alal Khuffaini (mengusap sepatu) bagi musafir


adalah tiga hari tiga malam, dan bagi orang yang mukim sehari
semalam.14

c. Berbeda dalam pemahaman bahasa Arab. Para ulama tidak mungkin


dapat memahami Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah Rasulullah tanpa
mempelajari dan memahami bahasa Arab. Sedangkan sebagaimana
yang telah dijelaskan pada sebab pertama tadi bahwa beda otak, beda
akal, maka beda pula pemahaman dan kualitasnya.15

d. Berbedanya mereka dalam menentukan syarat-syarat hadis shahih


yang boleh dijadikan hujjah. Mazhab Hanafiyah, yakni pengikut Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwasanya boleh mengamalkan hadits
Ahad dengan syarat perbuatan rawi tidak bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkannya. Dan juga dengan syarat hadits Ahad ini tidak
boleh bertentangan dengan Qiyas, dasar-dasar syariat yakni Al-Qur’an
dan hadits. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwasanya
boleh mengamalkan hadits Ahad dengan syarat harus sesuai dengan
amal Ahli Madinah.16
14
Ibid., 28.
15
Ibid., 30.
16
Ibid., 31-32.
9|Ikhtilaf
e. Sumber pengambilan hukum yang berbeda. Setiap imam mazhab
memiliki sumber-sumber hujjah yang berbeda. Misalnya Imam Malik
setelah Al-Qur’an dan Sunnah berhujjah pada amalu Ahlil Madinah,
sedangkan Imam Abu Hanifah berhujjah pada fatwa dan qaul
Sahabat.17

f. Berbeda dalam mengambil dasar dan kaidah ushul Fiqh. Seperti


perbedaan para ulama dalam memahami makna lafadz amr atau
perintah dalam Al-Qur’an ataupun hadits. Apakah kata perintah atau
fi’il amar itu menunjukkan pada kewajiban atau hanya sunnah saja?.
Seperti misalnya sabda Rasulullah dalam hadits:

‫اولم ولو بشاة‬

Lakukanlah walimatul urs walau hanya dengan satu kambing saja.18

g. Berbeda cara membaca Al-Qur’an. Misalnya dalam ayat berikut:

‫ برؤوسكم و ارجلكم الى الكعبين‬h‫فامسحوا‬

Para ulama berbeda dalam membacanya. Mayoritas para ulama


membaca kata ‘wa arjulakum’ dengan fathah sebagai tanda nashob
sehingga kata ‘wa arjulakum’ ini diathofkan ke lafadz ‘aydiyakum’.
Dengan diathofnya kata ‘arjulakum’ ke kata ‘aydiyakum’ menandakan
bahwasanya kaki itu sama-sama dibasuh seperti tangan dan wajah.
Dan ada pula sebagian ulama yang membaca jar dengan kasroh, yakni
‘wa arjulikum’ maka maknanya pun beda, jadi bukan membasuh kaki
tapi mengusap kaki saja karena diathofkan pada ‘biru’usikum’.19

Sebab-sebab yang di atas adalah khusus mengenai sebab ikhtilaf


saigh maqbul saja. Sedangkan untuk ikhtilaf yang madzmum memiliki sebab-
sebab tersendiri di antaranya:

17
Ibid., 31..
18
Ibid., 33.
19
Ibid., 40.
10 | I k h t i l a f
h. Kebodohan. Seperti yang terjadi pada kelompok Khawarij yang
memahami ayat tanpa dasar ilmu yang jelas hanya berdasarkan
pemikiran yang kosong tanpa ilmu.20

i. Kezaliman. Kezaliman dan kebencian di antara para pengikut mazhab


yang sesat ataupun tidak pasti akan terjerumus dalam lembah
kerusakan apabila menghukumi sesuatu karena mengikuti
keinginannya saja. Karena kebencian, apapun, baik yang benar
maupun buruk akan ditolaknya. Begitupun sebaliknya apabila sudah
senang dan cinta, baik burukpun dibenarkannya dan dianggap paling
benar.21

j. Mengikuti hawa nafsu dan prasangka. Karena ingin yang mudah-


mudah saja, maka sebagian mazhab menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Seperti yang terjadi pada salah satu
kelompok Khitabiyah dari kalangan Syiah. Mereka menghalalkan
yang haram dan meninggalkan beberapa yang diwajibkan Allah.22

k. Fanatik terhadap mazhab tertentu. Karena fanatik terhadap mazhab


tertentu misalnya Syiah. Jadinya sahabat lain yang selain Ali bin Abi
Thalib dicela dan diangggap salah.23

l. Berbedanya cara Nabi dengan para ulama Fiqh setelahnya dalam


menyampaikan ajaran agama Islam dan syari’atnya. Syekh Dahlawi
berkata “ketahuilah bahwasanya pada zaman Rasulullah SAW Fiqh
belum dibukukan, dan pengajaran fiqh Rasulullah pun berbeda dengan
cara pengajaran ulama saat ini, yang dengan jelas menjelaskan bahwa
inilah yang fardhu, itu yang sunnah, Rasulullah tidak menjelaskan
dengan lisan mana yang sunnah dan mana yang fardhu”.24

20
Ibid., 17.
21
Ibid., 18.
22
Ibid., 18; Muhammad Abu Zahroh, Tarikhul Madzahib Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Fikr), 263.
23
Ibid., 12.
24
Al-Asyqor, Masa’il,19.
11 | I k h t i l a f
2. Sebab dari Objek

a. Kosa kata Bahasa Arab yang multi makna dan multi tafsir. Dalam
bahasa Arab terdapat kata-kata yang mujmal, yakni kata yang
memiliki dua makna atau lebih. Contoh seperti lafadz quru’ dalam
ayat talak yang memiliki dua makna yakni waktu haid dan waktu
suci.25

b. Perbedaan adat, keadaan dan kebiasaan masyrakat di berbagai daerah


imam mazhab tersebut. Hal tersebut terbukti dengan adanya qaul
jadid dan qaul qadimnya Imam Syafi’i.26

c. Adanya dalil-dalil yang kadang bertentangan. Adanya dalil yang


saling bertentangan ini menyebabkan para ulama berbeda pendapat
mengenai yang mana yang lebih pantas dijadikan hujjah. Dalil-dalil
yang saling bertentangan ini biasanya dari hadits dan sunnah.27

D. Sejarah Mazhab-Mazhab Fiqh

1. Awal Mula Munculnya Mazhab.

Pada awal munculnya Islam di semenanjung Arab, terutama ketika


Rasulullah SAW masih hidup di antara umatnya, tidak pernah ada istilah
mazhab ataupun kelompok-kelompok dalam Islam. Karena pada saat itu,
masih ada Rasulullah SAW yang menjadi rujukan utama umat Islam
dalam menyelesaikan masalah dan perkara yang dihadapinya. Sehingga,
umat Islam saat itu tetaplah umat Islam yang satu dan tak terpecah-pecah
menjadi berkelompok-kelompok seperti saat ini. Namun walaupun tak ada
mazhab-mazhab, perselisihan merupakan suatu hal yang tak dapat
dihindari oleh manusia, karena setiap manusia memiliki pemikiran dan
tabiat yang berbeda. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Miswar bin

25
Ibnu Rusyd, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr), 86.
26
Abu Zahroh, Tarikh, 445.
27
Al-Asyqar, Masail, 40.
12 | I k h t i l a f
Mahromah: bahwasanya Umar bin Khattab berkata: aku mendengar
Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqon, lalu saya dengar
bacaannya berbeda dengan yang saya dengar dari Rasulullah SAW, lalu
saya bertanya padanya: “siapa yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an yang
baru saja kau baca?”. Dia menjawab ”Rasulullah SAW”. Lalu aku berkata:
“Demi Allah kau pasti berbohong, Rasulullah SAW tidak mengajarimu
demikian”. Lalu aku menarik tangannya dan kami menghadap pada
Rasulullah SAW, aku berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, engkau
dulu pernah membacakan padaku surat Al-Furqon, namun baru saja
kudengar orang ini membacanya tidak sama sepertimu dulu”. Lalu
Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah wahai Hisyam!”, Hisyam pun
membaca seperti sebelumnya, lalu Rasulullah SAW bersabda kembali:
“Demikianlah Al-Qur’an diturunkan”. Kemudian beliau berkata kepadaku:
“Bacalah”. Lalu aku membaca sesuai dengan yang aku dengar dari
Rasulullah SAW dahulu. Setelah selesai beliau pun bersabda kembali:
“Demikianlah Al-Qur’an ini, sungguh (Al-Qur’an) ini diturunkan dengan
tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah untuk kalian.” (HR Ahmad,
Bukhori dan Muslim).28

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya lewat firman Allah dalam


ayat 8 surat Adz-Dzariyat:

‫انكم لفي قول مختلف‬

Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat.

Jadi, perselisihan memang telah ada semenjak Rasulullah SAW


diutus, namun perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan keputusan
dari Rasulullah. Setelah beliau wafat, barulah muncul benih-benih
perselisihan yang berujung pada munculnya mazhab.

Pada masa sahabat, tentunya sering sekali terjadi perselisihan


dalam ijtihad mereka. Seperti yang terjadi mengenai masalah hak waris
28
Ajjaj Khatib, As-Sunnah Qobla At-Tadwin, (Libanon Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), 65.
13 | I k h t i l a f
kakek apabila bersama dengan saudara mayit. Abu Bakar berpendapat
bahwasanya kakek tersebut menghalangi saudara si mayit untuk mendapat
hak waris sebagaimana jika ada ayah yang menghijabinya. Jadi menurut
Abu Bakar, jika ada saudara dan kakek, maka saudara tersebut tidak
mendapat bagian hak waris karena terhijab oleh kakek. Sedangkan Umar
masih bingung dan bertanya kepada sahabat lainnya, lalu Zaid bin Tsabit
memberikan fatwa bahwasanya kakek itu tidak menghijabi hak waris
saudara si mayit tadi dengan syarat hak waris saudara tidak melebihi
sepertiga harta mayit. Ali bin Abi Thalib pun berpendapat demikian
namun dengan syarat saudara tersebut hanya mendapatkan bagian tidak
lebih dari seperenam saja. Dari perselisihan yang terjadi di antara para
sahabat ini dapat diambil pelajaran berharga bagi seluruh umat Islam
sesudah mereka. Pertama, secara tidak langsung para sahabat telah
mencontohkan kepada manusia cara yang benar dalam berijtihad. Dan juga
mereka memperjelas bahwasanya ikhtilaf dalam mencari hakikat dan
kebenaran sesuatu selama benar-benar tulus untuk mencari kebenaran,
maka hal itu tidak akan berpengaruh sedikitpun pada persatuan umat.
Yang kedua, mereka memberikan warisan dan pelajaran yang sangat
berguna bagi ulama-ulama sesudah mereka dan memudahkan mereka
untuk berijtihad, sehingga terhindar dari hal-hal yang menyulitkan dengan
berpaku pada satu pendapat saja. Bahkan Imam Syathibi dalam kitabnya
yang berjudul Al-I’tisham berpendapat bahwasanya perbedaan yang terjadi
antara para sahabat itu adalah rahmat bagi umat. Sebagaimana yang telah
diriwayatkan dari Muhammad bin Qasim, dia berkata “Allah telah
memberi manfaat yang banyak dengan perselisihan yang terjadi antara
para sahabat Rasulullah SAW, karena seorang yang mengamalkan sunnah
tidak hanya terpaku pada satu pendapat saja yang dapat menyulitkannya”.
Ya benar saja, jika hanya ada satu pendapat yang harus diikuti, maka hal
tersebut akan menyulitkan manusia. Dengan adanya beberapa pendapat,
hal tersebut memungkinkan kemudahan bagi umat Islam untuk mengambil
salah satu dari pendapat yang sesuai dan tidak menyulitkan mereka. Umar

14 | I k h t i l a f
bin Abdul Aziz berkata “Pintu ijtihad yang terbuka untuk para mujtahid
merupakan rahmat Allah bagi umat Islam, sehingga para mujtahid dan
umat Islam itu sendiri tidak berada dalam sebuah kesempitan yang
menyulitkan, inilah yang dimaksud dengan perselisihan adalah rahmat
bagi umat”.29

Pada masa sahabat telah terjadi sebuah perselisihan, namun


perselisihan yang tidak menggambarkan perbedaan manhaj atau metode
karena para sahabat semuanya berpatokan pada Rasulullah SAW.
Sedangkan pada masa tabi’in inilah perbedaan manhaj dan kelompok-
kelompok mulai muncul. Angin perbedaan pun berubah menjadi badai
yang mengancam persatuan. Dengan mudahnya mereka mengkafirkan
ataupun menganggap fasik orang lain disebabkan perbedaan pendapat.
Akhir periode sahabat adalah awal mula periode tabi’in. Pada masa inilah
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik:

1) Khowarij yang juga terbagi menjadi beberapa kelompok sesuai


dengan imam masing-masing, di antaranya yakni Azariqah, Ibadiyah
dan Najadat.

2) Syi’ah yang juga terbagi menjadi beberapa kelompok.

3) Jama’ah. Yang dikenal dengan nama Ahlus Sunnah wal jama’ah.

Munculnya Syi’ah dan Khowarij yang keluar dari jama’ah


umumnya umat Islam, menimbulkan pengaruh yang sangat buruk bagi
umat Islam. Mereka sengaja mengobarkan api perselisihan dan
permusuhan dalam hati-hati umat Islam yang masih goyah imannya.
Diriwayatkan bahwasanya mereka adalah Yahudi yang sengaja masuk ke
dalam Islam karena ingin menghancurkan dan memundurkan umat ini.30

Oleh sebab itu, Umar bin Abdul Aziz berpikir mencari jalan keluar
bagi perpecahan dan kerusakan yang terjadi. Karena para perusak umat itu,

29
Abu Zahroh, Tarikh, 242-244.
30
Ibid., 247.
15 | I k h t i l a f
mengarang dan menyebarkan hadits-hadits palsu yang mereka sandarkan
kepada Rasulullah SAW. Sehingga mulailah dikumpulkan hadits-hadits
yang sahih walaupun belum dibukukan dan dikodifikasi secara resmi.
Sejak itu pula, terdapat dua macam istilah dalam Fiqh, Fiqh Atsar dan Fiqh
Ra’yi. Fiqh atsar adalah fiqh yang hujjahnya banyak dari Al-Qur’an dan
hadits. Fiqh ra’yi adalah fiqh yang hujjahnya banyak dari ijtihad dan
pendapat mujtahid, namun tetap bersandar ke Al-Qur’an dan hadits. Yang
terkenal dengan keahliannya dalam Fiqh Atsar adalah daerah Hijaz dan
Fiqh Ra’yi dari daerah Irak.31

Fiqh Ra’yi bukanlah fiqh yang hanya berpatokan pada pendapat


dan argumen mujtahid saja, namun disebut fiqh ra’yi karena lebih banyak
melibatkan argumen dan qiyas dari mujtahid itu sendiri. itupun lebih
disebabkan karena di Irak hadits-hadits tidak sebanyak yang ada di daerah
Hijaz, pusat hadits dan sunnah itu sendiri. Seandainya pun ada Al-Qur’an
dan hadits yang sampai pada mereka tentunya mereka pasti akan
mengikutinya. Di antara ulama fiqh ra’yi ini dari kalangan tabi’in adalah
‘Alqamah, Ibrahim An-Nakha’i, Hammad bin Sulaiman Gurunya Abu
Hanifah dan lain sebagainya yang dahulu berguru pada dua sahabat besar
yang lama bermukim di Irak yakni Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi
Thalib.32

Sedangkan untuk ulama fiqh atsar dari kalangan tabi’in yang


berada di daerah Hijaz terbagi menjadi beberapa daerah. Sa’id bin
Musayyab dan Salim bin Abdullah bin Umar di Madinah. Az-Zuhri, Qadhi
Yahya bin Sa’id, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, dan Atha’ bin Abi Rabah
di Makkah. Hasan Al-Bashri di Bashrah. Thawus bin Kaysan di Yaman.
Mereka semua adalah tabi’in yang berguru kepada banyak para sahabat
yang memang tinggal di daerah Hijaz.33

31
Ibid., 248.
32
Ibid., 248-249.
33
Idid., 249.
16 | I k h t i l a f
Munculnya beberapa madrasah kelimuan dari para sahabat
kemudian tabi’in di berbagai daerah merupakan titik awal dari munculnya
mazhab-mazhab dalam Fiqh. Bukan hanya itu, munculnya kelompok-
kelompok menyimpang seperti Khawarij dan Syi’ah juga salah satu faktor
pemicu munculnya mazhab-mazhab setelahnya.

2. Sejarah Mazhab Fiqhiyyah.

Sebelum melanjutkan sejarah mengenai munculnya mazhab-


mazhab ini, lebih baik kita bahas lebih dahulu apakah makna dan hakikat
mazhab itu sendiri?. Mazhab secara etimologi merupakan mashdar mimi
dari dzahaba-yadzhabu yang bermakna pergi dan berpendapat.34
Sedangkan secara terminologi, menurut Dr Sa’id Ramadhan Al-Buthi
mazhab adalah jalan pikiran, paham, pendapat yang digunakan oleh
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Qur’an
dan Hadits. Menurut A. Hasan mazhab adalah sejumlah fatwa atau
pendapat-pendapat ahli agama dalam masalah ibadah atau masalah
lainnya. Jadi, intinya mazhab adalah metode atau cara berpikir yang
ditempuh oleh imam mujtahid tertentu dalam menetapkan suatu hukum
yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits. Hasil dari metode tersebut
juga dapat disebut sebagai hasil fatwa dari sebuah mazhab.35

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa Islam mulai


terpecah menjadi tiga kelompok sejak pertengahan masa sahabat dan awal
masa tabi’in. Yakni Khawarij, Syi’ah dan Jama’ah. Khawarij yang dikenal
sebagai kelompok yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib karena
menganggap Ali beserta yang menyetujui tahkim telah kafir karena
berhukum kepada selain hukum Allah. Serta Syi’ah adalah kelompok dari
pasukan Ali yang terus mendukung, membenarkan dan mengikuti bahkan
ada pula yang menganggap Imam Ali sebagai nabi. Sedangkan jama’ah
adalah kelompok yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah yakni Al-

34
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, 453.
35
Yanggo, Pengantar, 72.
17 | I k h t i l a f
Qur’an dan Sunnah. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa kelompok
yang dalam bahasa Arab disebut Firqah, mengakibatkan terpecahnya pula
mazhab fiqh yang dianut oleh masing-masing firqah tersebut. Tiga firqah
ini disebut sebagai firqah siyasah, yang secara bahasa bermakna kelompok
politik.

Karena tema pembahasan kita di sini adalah masalah Fiqh, maka


kita akan membahas Fiqh secara umum baik dari kalangan kita sendiri
yakni Fiqhul jama’ah yang juga dikenal dengan Fiqh Sunnah juga dari
Firqah lainnya seperti Khawarij dan Syi’ah. Kelompok Syi’ah dan
Khawarij ini ada yang memiliki kitab-kitab khusus milik mereka sendiri
yang mereka jadikan pedoman dalam Aqidah maupun Syari’ah mereka
sehari-hari. Namun, tidak semua firqah tersebut memiliki undang-undang
syariat khusus, hanya sebagian saja.36 Untuk lebih jelasnya akan dibahas
pada sub-judul di bawah ini.

1. Khawarij

Khawarij adalah kelompok yang awalnya sangat mendukung


Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan Syi’ah namun keluar dari
barisan pasukannya dalam peristiwa tahkim pada perang Shiffin.
Mereka keluar dari kelompok Ali karena menganggap Ali dan
kelompok Mu’awiyah telah kafir karena berhukum pada selain
hukum Allah. Mereka berhujjah pada ayat yang artinya Kelompok
ini bukan hanya menganggap kafir, namun menurut mereka yang
bertentangan dengan mereka adalah kafir harbi yang boleh dan halal
untuk dibunuh.

Kelompok ini terbagi menjadi beberapa, di antaranya:

a) Kelompok Azariqah yang diketuai oleh Nafi’ bin Azraq dari


Bani Hanifah. Kelompok ini sangat ekstrim, menganggap siapa

36
Abu Zahroh, Tarikh, 261.
18 | I k h t i l a f
saja yang bertentangan dengan mereka harus dibunuh baik
anak-anak, wanita dan orang tua yang lemah.
b) Kelompok Sufriyah yang diketuai oleh Ziyad bin Ashfar.
c) Kelompok Najadat yang diketuai oleh Najdah bin Uwaimir.
Tiga kelompok di atas ini sama-sama ekstrim dan menganggap
kafir orang di luar mereka.
d) Kelompok Ibadiyah yang diketuai oleh Abdullah bin Ibadh
yakni seorang tabi’in. Mereka menganggap bahwa yang
menyetujui tahkim dan menentang kelompok mereka bukan
kafir musyrik tapi hanya kufur nikmat, dan darah mereka
haram untuk dibunuh. Di antara empat kelompok ini hanya
kelompok Ibadiyah inilah yang memiliki mazhab Fiqh. Mereka
memiliki kitab-kitab khusus membahas mengenai Aqidah dan
Fiqh mereka sendiri yang dinamakan Mazhab Ibadiyah.37

2. Syi’ah

Kelompok Syi’ah ini adalah kelompok yang amat sangat


mendukung Ali bin Abi Thalib. Bahkan mereka berpendapat
bahwasanya Ali bin Abi Thalib itu lebih berhak menjadi khalifah
pengganti Nabi daripada Abu Bakar As-Shiddiq. Bahkan pendapat
yang lebih aneh lagi mereka berpendapat bahwasanya Ali lah yang
seharusnya menjadi Nabi namun Jibril melakukan kesalahan
sehingga salah menurunkan wahyu ke Nabi Muhammad SAW.38

Kelompok ini pun terbagi menjadi banyak kelompok yang


tak terhitung jumlahnya. Di antaranya:

a) Sab’iyah, pengikut Abdullah bin Saba’.


b) Bayaniyah, yang dipimpin oleh Bayan bin Sam’an AT-
Tamimi.

37
Ibid., 267-268.
38
Ibid., 262.
19 | I k h t i l a f
c) Mughiriyah, yakni pengikut Mughiroh bin Sa’id.
d) Khithobiyah, pengikut Abul Khithob Al-Asadi.
e) Zaidiyah, yakni pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin
Husain.
f) Kaysaniyah, yang dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid Ats-
Tsaqofi.39
g) Itsna Asyariyah atau disebut juga Imamiyah. Yang
berpendapat bahwasanya yang berhak atas kepemimpinan itu
adalah keturunan Fatimah Az-Zahra’ yang berasal sari
keturunan Husain. Mereka membatasi kepemimpinan ini hanya
pada dua belas imam saja, yakni Ali bin Abi Thalib, Hasan bin
Ali, Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin bin Husain, Muhammad
Ai-Baqir, Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir, Musa
Al-Kadhim bin Ja’far, Ali Ridha, Muhammad Jawwad, Ali Al-
Hadi, Al-Hasan Al-Askari, Muhammad bin Hasan Al-Askari.
h) Isma’iliyah yang dinisbahkan kepada Imam Ismail bin Ja’far
As-Shadiq.40
Di antara semua kelompok Syi’ah di atas ada beberapa yang
memiliki kitab khusus masing-masing baik dalam segi Aqidah
maupun Syari’ah. Yang diketahui jelas memiliki kitab Fiqh
pegangan sendiri adalah dua kelompok, yakni Mazhab Fiqh
Muqarrar Itsna Asyariyah atau Imamiyah, yang mereka sebut
Mazhab Ja’fari, karena dinisbahkan kepada Imam Ja’far Shadiq.
Yang kedua kelompok Zaidiyah, yang mazhab fiqhnya mendekati
mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang diimami oleh Zaid bin Ali
Zainal Abidin yang dikenal oleh mereka dengan Mazhab Zaidiyah.41

3. Jama’ah

39
Ibid., 262-264.
40
Ibid., 265.
41
Abu Zahroh, Tarikh, 268.
20 | I k h t i l a f
Akhir masa Tabi’in merupakan awal mula masa Tabi’ut
Tabi’in yang merupakan titik awal pembentukan mazhab Fiqh
Jama’ah ini. Para imam Mazhab Fiqh ini adalah murid-murid para
tabi’in. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwasanya terdapat
madrasah-madrasah yang menjadi pusat belajar para tabi’in. Lalu
pada masa tabi’ut tabi’in ini, seperti Abu Hanifah dan Malik bin
Anas, mereka banyak berguru kepada para tabi’in seperti Ibrahim
An-Nakha’i, Hammad bin Sulaiman, Atha’ bin Abi Rabah juga dari
Tabi’in yang terkenal dengan julukan Fuqoha’ Sab’ah yakni, Sa’id
bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Ubaid bin Harits,
Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq, Ubaidullah
bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Salman bin Yasar dan Khorijah
bin Zaid bin Tsabit. Dari mereka Ibnu syihab Az-Zuhri dan Rabi’ah
berguru yang kemudian dari mereka berdualah Malik bin Anas
berguru pula.42

Dari penjelasan singkat di atas, jelaslah bagi kita hubungan


yang erat antara masa tabi’in dan masa tabi’ut tabi’in atau yang
terkenal pula dengan masa Aimmah Mujtahidin dalam masalah Fiqh.
Dua masa ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah munculnya
mazhab-mazhab Fiqh karena memiliki kaitan yang erat sekali dalam
pembentukannya. Pada masa ini, kerusakan yang ditimbulkan oleh
kelompok-kelompok perusak seperti Khawarij dan Syi’ah semakin
menjadi dan membingungkan umat Islam dengan munculnya hadits
palsu dari kalangan mereka. Sehingga sebagian ulama Ahlus Sunnah
bertindak agar umat Islam dapat membedakan yang benar dan baik
dari yang salah dan buruk maka mulailah dibukukan hadits-hadits
dengan keterangan sanad dan periwayatannya. Imam Malik bin Anas
dengan kitabnya yang bernama “Muwattha’”, kitab Al-Jawami’ fis
Sunan wal Adab karya Sufyan bin Uyainah, kitab Al-Jami’ul Kabir
fil Fiqh wal Ahadits karya Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Abu Yusuf
42
Ibid., 254-255.
21 | I k h t i l a f
teman Abu Hanifah yang menulis kitab Al-Atsar yang
diriwayatkannya dari Abu Hanifah.43

Munculnya mazhab fiqh ahlus sunnah ini dimulai pada akhir


abad ke-satu Hijriyah dan awal abad kedua. Pada masa ini,
sebenarnya banyak sekali mazhab-mazhab yang bermunculan.
Bukan hanya empat mazhab saja seperti yang banyak kita ketahui.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa pada masa ini muncul tiga belas
mazhab yang dipelopori oleh tiga belas mujtahid. Dari tiga belas itu
terdapat sembilan mazhab yang paling terkenal lalu hanya ada empat
yang masih lestari hingga saat ini. Pada masa inilah kelembagaan
Fiqh dan pembukuannya terlaksana dengan baik. Ajaran mazhab
mereka semakin meluas dan tersalurkan lewat murid-murid mereka
yang bermacam-macam. Di antara sembilan imam mazhab yang
terkenal sebagai peletak kaidah Ushul Fiqh itu adalah:
1) Imam Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar Al-Bashry (wafat 110 H)
2) Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabr bin Zauthy (wafat
150 H)
3) Imam Auza’i Abu Amr Abdurrahman bin Amr bin Muhammad
(wafat 157 H)
4) Imam Sufyan bin Sa’id bin Masruq Ats-Tsaury (wafat 160 H)
5) Imam Laits bin Sa’ad (wafat 175 H)
6) Imam Malik bin Anas Al-Ashbahani (wafat 179 H)
7) Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H)
8) Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (wafat 204 H)
9) Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H).44
Selain sembilan imam di atas masih banyak lagi sebenarnya
mazhab lainnya yang dibina oleh para imam mujathid mazhab
seperti Imam Daud bin Ali Al-Ashbahani Al-Baghdady (wafat 270
H) yang terkenal dengan mazhab dhahiri. Juga seperti Ishaq bin

43
Ibid., 257.
44
Yanggo, Pengantar, 72-73.
22 | I k h t i l a f
Rahawaih (wafat 238 H) dan imam-imam mazhab lain yang tidak
sampai sejarahnya, mazhabnya bahkan hanya sekedar namanya saja
yang sampai pada kita.45

Oleh karena itu mazhab fiqh ahlus sunnah wal jama’ah ini
kami bagi menjadi dua, yakni mazhab yang lestari hingga saat ini
dan mazhab yang telah musnah.

1. Mazhab yang lestari ini ada empat. Yakni Mazhab Hanafi,


Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

a. Mazhab Hanafi yang mengikuti Imam Abu Hanifah yang lahir


di Kufah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H di
Baghdad. Beliau adalah seorang imam mujtahid yang memiliki
metode tertentu dalam berijtihad. Beliau lebih dikenal sebagai
Syaikhul qiyas yakni Ahli Qiyas dan Ra’yi. Sedangkan dalam
berijtihad, Imam Abu Hanifah berdiri di atas tujuh sumber dalil
dan hujah secara berurutan: pertama, Al-Qur’an, kemudian
Sunnah, perkataan Sahabat, Qiyas, Istihsan, Ijma’ dan Urf.
Para pengikutnya tersebar di berbagai negara seperti Irak,
Turki, Pakistan, India, Tunisia, Turkistan, Syiria, Mesir dan
Libanon.46

b. Mazhab Maliki yang mengikuti Imam Malik bin Anas, penulis


kitab Muwattha’. Beliau lahir dan besar di Madinah pada tahun
93 H dan wafat di Madinah pada tahun 179 H. Beliau dalam
berijtihad setidaknya bersumber pada enam hal: Al-Qur’an,
Sunnah, Amalu Ahlil Madinah, Fatwa Sahabah, Khobar Ahad
dan Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah, Saddud Dzara’i dan
Sya’u man qoblana.47 Madzhab Imam Malik sampai sekarang

45
Ibid., 73.
46
Ibid., 95 dan 102; Abu Zahroh, Tarikh, 355-356.
47
Yanggo, Pengantar, 102-114.
23 | I k h t i l a f
masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Al-
Gers, Tunisia, Tripoli, Libiya dan Mesir.48

c. Mazhab Syafi’i yang mengikuti Imam Syafi’i yang bernama


lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’
bin Syu’aib bin Abi Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutthalib bin
Abdi Manaf. As-Syafi’i dilahirkan tepat pada tahun wafatnya
imam Abu Hanifah di Kufah yakni tahun 150 H di Ghazzah.
Kemudian wafat di Mesir pada tahun 204 H. Metode Istidlal
beliau dalam berhujjah dengan empat pokok utama yakni Al-
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.49 Dalam Ijtihad dan
pendapatnya, Imam Syafi’i memiliki dua periode yang disebut
dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul qadim adalah ijtihad
dan pendapat Imam Syafi’i ketika beliau masih tinggal dan
hidup di Irak. Dan Qaul Jadid adalah fatwa dan hasil ijtihad
beliau ketika telah pindah ke Mesir. Mazhab Syafi’i ini tersebar
ke berbagai negara di penjuru dunia, di antaranya di Irak,
Pakistan, Syam, Yaman, Persia, Hijaz, India, beberapa daerah
di Afrika, Andalusia, juga di daerah Asia Tenggara seperti
Indonesia, Brunai dan Malaysia.50

d. Mazhab Hanbali yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal


yang bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin
Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan As-Syaibani
Al-Mawardi Al-Baghdadi. Beliau dilahirkan di Baghdad tahun
164 H dan wafat pada 241 H di tempat yang sama. Beliau
memiliki hubungan yang sangat baik dengan Syafi’i sehingga
mereka sudah seperti sudara sendiri. Sering sekali mereka
berdiskusi bersama kecuali setelah Imam Syaf’i pindah ke
Mesir. Adapun Metode Istidlal yang diterapkan Imam Ahmad

48
Ibid., 120.
49
Ibid., 120-126.
50
Ibid., 136.
24 | I k h t i l a f
bin Hanbal adalah Al-Qur’an, Sunnah, Fatwa dan Qaul
Sahabat, Hadits Mursal dan Qiyas.51 Tersiarnya mazhab
Hambali tidak seperti tersiarnya mazhab lainnya. Mazhab ini
mulai tersebar di kota Baghdad tempat kediaman beliau sendiri,
kemudian berkembang pula ke negeri Syam. Sekarang mazhab
Hanbali menjadi mazhab resmi dari pemerintah Saudi Arabia
dan mempunyai pengikut yang tersebar di semenanjung jazirah
Arab, Palestina, Syiria dan Irak.52

Empat mazhab di atas lestari karena murid-murid dari empat


Imam Mazhab tersebut begitu tekun menyebarkan ajaran
gurunya di berbagai daerah di dunia. Selain itu, mereka juga
membukukan ajarannya sehingga tetap lestari dan tetap dianut
oleh penduduk muslim di seluruh penjuru dunia.

2. Mazhab yang punah ini sangat banyak, di antaranya:

a. Mazhab Al-Auza’i yang diimami oleh Abu ‘Amar Abd.


Rahman bin Muhammad Al-Auza’i lahir di Ba’labak pada
tahun 88 H. mazhab ini surut di hadapan Mazhab As-Syafi’i di
Syam dan di hadapan mazhab Maliki di Andalusia pada
pertengahan abad ke-3 H. Dan Al-Auza’i wafat pada tahun 157
H.

b. Mazhab Adz-Dhahiri yang diimami oleh Abu Daud bin Ali bin
Khollaf Al-Ashbahani. dilahirkan di kuffah pada tahun 202 H.
Mazhab Daud ini terus berkembang sampai pada abad ke-5,
kemudian surut.

c. Mazhab At-Thabary, pembangun mazhab ini ialah Abu Ja’far


bin Jarir At-Thabary. Lahir pada tahun 224 H, dan wafat di
Bagdad pada tahun 320 H.

51
Ibid., 137-144.
52
Ibid., 146.
25 | I k h t i l a f
d. Mazhab Al-Laits. Pembangun mazhab ini adalah Abu al Harits
Al-Laitsi bin Sa’ad al Fahmy, wafat pada tahun 174 H. Mazhab
ini lenyap pada pertengahan abad ke-3 H. Pengikut-pengikut
mazhab Laitsi ini kurang bersungguh-sungguh
mengembangkan mazhabnya sehingga berangsur-angsur lenyap
pada pertengahan abad ke-tiga Hijriah.53

Mazhab-mazhab di atas punah karena murid-murid imam


mazhab di atas tidak setekun Imam Mazhab empat dalam
menyebarkan ajaran gurunya. Atau di antara mereka ada yang
menjalankannya, namun kalah pengaruh dengan pengikut empat
Imam Mazhab yang lestari di atas. Mereka juga tidak
membukukan ijtihad-ijtihad imam mazhabnya sehingga
berangsur-angsur mazhab mereka hilang bersama dengan
lekangnya waktu.54

BAB III

PENUTUP

Ikhtilaf merupakan perbedaan para ulama mujtahid dalam berijtihad dan


hasil fatwanya. Ikhtilaf dibagi menjadi tiga:

1. Ikhtilaf Maqbul adalah ikhtilaf yang diperbolehkan.


2. Ikhtilaf Madzmum adalah ikhtilaf yang tercela.
3. Ikhtilaf Saigh Maqbul adalah ikhtilaf yang bagus dan diizinkan.
Dimana ada akibat pasti ada sebab, sebagaimana reaksi harus ada aksi
sebelumnya. Inilah sebab-sebab dari ikhtilaf di atas:

53
Ibid., 82.
54
Ibid., 81.
26 | I k h t i l a f
a. Sebab dari Subjek

Ikhtilaf Maqbul dan Saigh Maqbul memiliki sebab-sebab di antaranya:


berbedanya akal, pemahaman dan pemikiran setiap manusia; berbeda
kualitas keilmuan masing-masing Imam Mazhab; berbeda pemahaman
bahasa Arab; berbeda metode Istidlal dan kaidah Ushul Fiqh, cara membaca
Al-Qur’an.

Ikhtilaf Madzmum memiliki sebab-sebab khusus yakni kebodohan,


kezaliman dan permusuhan, mengikuti hawa nafsu dan prasangka, fanatik
terhadap mazhab tertentu dan berbedanya metode pengajaran Nabi dengan
ulama setelah Nabi.

b. Sebab dari Objek.

Sebab dari objek ikhtilaf di antaranya karena lafadz dan kosakata bahasa
Arab yang multi makna, juga karena terdapat dalil-dalil yang bertentangan
ddan berbedanya adat, kebiasaan dan keadaan di setiap daerah.

Dalam sejarahnya, mazhab-mazhab ini mulai muncul ketika firqah-firqah


islam lainnya muncul juga seperti Khawarij dan Syi’ah. Dalam firqah atau
kelompok ini umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:

1. Khawarij

Khawarij ini pun terpecah menjadi beberapa bagian di antaranya: Azariqah,


Sufriyah, Najadat dan Ibadiyah. Dan yang diketahui memiliki mazhab dan
kitab Fiqh khusus adalah mazhab Ibadiyah.

2. Syiah

Syiah ini lebih banyak lagi kelompoknya, di antaranya: Sab’iyah,


Bayaniyah, Mughiriyah, Khitobiyah, Zaidiyah, Kaysaniyah, Itsna
Asyariyah, Ismailiyah. Di antara semua golongan Syiah ini, yang memiliki
mazhab Fiqh tersendiri adalah Mazhab Zaidiyah dan Mazhab Ja’fariyah
yang dianut oleh Itsna Asyariyah.

27 | I k h t i l a f
3. Jama’ah

Untuk Jama’ah atau yang dikenal juga dengan sebutan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, memiliki banyak sekali mazhab Fiqh. Ada yang mengatakan tiga
belas, sembilan dan lain sebagainya. Namun yang terkenal dan lestari
hingga saat ini hanya empat yakni: Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Sedangkan di antara mazhab-mazhab
yang telah punah yakni: Mazhab Auza’i, Mazhab Dhahiri, Mazhab Thabari
dan Mazhab Laitsi. Penyebab punahnya mazhab-mazhab tersebut adalah
karena kurangnya ketekunan murid dari imam-imam mereka dan mereka
juga tidak membukukan fatwa imam mereka masing-masing sebagaimana
yang dilakukan oleh murid-murid mazhab empat yang lestari sebelumnya.

Perbedaan atau ikhtilaf memang sebuah keniscayaan yang sudah menjadi


fitrah manusia dan tak dapat dihindari. Allah menciptakan perbedaan dengan
berbagai hikmah dan pelajaran yang sangat penting dipahami manusia agar tidak
terjerumus ke lembah pertikaian yang tiada berujung.

Sebagaimana yang Rasulullah SAW sabdakan bahwasanya “Perbedaan


yang terjadi pada ummatku adalah rahmat”. Mengapa rahmat? Karena dengan
adanya perbedaan hasil ijtihad ataupun apapun itu, umat Islam tidak merasa
tersulitkan dengan satu fatwa yang wajib diikuti. Bayangkan saja jika ikhtilaf
tidak diperbolehkan sama sekali dalam bidang apapun?. Semua harus sama,
padahal keadaan dan watak setiap orang berbeda. Jika disamakan maka tujuan
utama dari Islam itu sendiri tidak akan tercapai. Tujuan Allah memberikan
peraturan syariat agar memudahkan umat Islam bukan malah menyulitkan. Allah
berfirman:

‫يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran


untukmu. (QS Al-Baqarah: 185)

28 | I k h t i l a f
Jadi mari kita tiru apa yang dilakukan oleh sahabat dan imam-imam
mazhab ketika mereka berselisih. Bukan berselisih lalu bertikai dan saling
menyalahkan. Justru perbedaan mereka itu semakin mempererat persaudaraan dan
persahabatan yang terjalin di antara mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta:


Logos Wacana Ilmu.

Al-Asyqar, Umar Sulaiman, dkk. 1997. Masa’il fil Fiqh Al-Muqaran. Yordania:
Dar An-Nafais.

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadan. 1970. Muhadharat fil Fiqh Al-Muqaran.


Damaskus: Dar Al-Fikr.
29 | I k h t i l a f
Zahroh, Muhammad Abu. Tarikhul Madzahib Al-Islamiyah. Kairo: Dar Al-Fikr.

Rusyd, Ibnu. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Libanon Beirut: Dar Al-Fikr.

Khatib, Ajjaj. 1980. As-Sunnah Qobla At-Tadwin. Libanon Beirut: Dar Al-Fikr.

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir,

30 | I k h t i l a f

Anda mungkin juga menyukai