Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PERKEMBANGAN 

DAN URGENSI FIQH MUQARAN


Oleh : Abdul Basith

I. PENDAHULUAN.

Perbandingan Madzhab adalah upaya untuk mengetahui pendapat-pendapat para imam


Mazhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan
yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara istinbath hukum. Setiap imam mujtahid
dalam mengeluarkan pendapat-pendapatnya pada hakikatnya tidak menyimpang dan tidak keluar
dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perbandingan mazhab dimaksud bukan bertujuan untuk meremehkan atau mencari
kelemahan suatu pendapat imam madzhab tertentu, melainkan untuk mencari alternative yang
paling benar diantara pendapat-pendapat para imam madzhab yang sudah benar.
Selain itu, perbandingan madzhab juga mencari dalil-dalil yang menjadi sumber rujukan
utama (al-Quran dan Sunnah), karena pada hakikatnya kewajiban kita bukan mengikuti pendapat
madzhab tetapi mengikuti dalil yang dijadikan sumber oleh ulama madzhab.
Ulama madzhab sendiri telah menganjurkan untuk tidak mengikuti madzhab mereka
melainkan dalil al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh mereka, juga menyarankan
untuk meninggalkan pendapat mereka jika bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.
Perbandingan madzhab juga upaya untuk menghindari fanatik buta (ta’asub). Hal ini
karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang benar tentang mazhab-mazhab yang ada.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji perbandingan mazhab. Pertama,
dalam Islam terdapat empat mazhab fiqih yang terkenal. Seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Inilah mazhab yang terkenal dalam fiqih Islam. Kedua, walaupun sudah ada ada empat
mazhab tidak berarti bahwa semua syariat Islam itu telah dibicarakan oleh ke empat mazhab
tersebut. Ini berarti, belum tentu pendapat di luar empat mazhab itu secara otomatis salah. Salah
atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang sudah disepakati yaitu quran dan hadits.
Ketiga, kenapa hanya empat madzhab yang kita kenal? Karena hanya empat mazhab ini
mempunyai pengikutpengikut/murid-murid yang rajin mencatat perkataan imamnya yang terus-
menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam-imam yang diwariskan ilmu dari imam
yang empat itu belum tentu kadar keimanannya di bawah imam yang empat, banyak diantaranya
yang juga sangat pandai. Namun pendapat-pendapat mereka akhirnya dinisbatkan kepada
pemberi pendapat yang yang pertama, yaitu imam yang pertama. Semua imam mazhab sepakat
bahwa pijakannya tetap Quran dan Hadits, ucapan mereka tentang ajakan untuk kembali kepada
Al-Quran dan Al-Hadits, walaupun dengan redaksinya yang berbeda-beda. seperti imam Syafi’i
pernah mengatakan: “jika sebuah hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.”
Suatu contoh pemahaman para imam madzhab Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah berkaitan dengan sabda Rasulullah Saw berikut ini:
“Sesungguhnya wudhu tidak wajib kecuali bagi mereka yang tidur sambil berbaring”.
Hadits di atas berkaitan dengan tidur yang membatalkan wudhu. Menurut Syafi’iyah
bahwa tidur yang batal adalah tidur yang berbaring berdasarkan sabda di atas. Tetapi menurut
Hanafiyah bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang dalam keadaan tiga kondisi,
pertama tidur berbaring, kedua tidur duduk dengan bersandar dan ketiga tidur duduk dengan
kepala bersandar di atas lutut atau ada penyangga kepala.
Ternyata kondisi kedua dan ketiga ini adalah jabaran dari kondisi berbaring. Karena
pada umumnya, orang yang tidur berbaring memiliki sifat punggung dan kepalanya ada yang
menyangganya. Sehingga oleh Hanafiyah tidur duduk sambil bersandar dan duduk dengan
kepala ada penyangganya adalah batal karena termasuk kategori tidur berbaring.
Berbeda dengan Syafi’iyah dan Hanafiyah, menurut Malikiyah sabda Rasul di atas
adalah bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah bukan kondisi/keadaan tidurnya, tetapi
menurut Malikiyah mudhtaji’ (berbaring) di sana adalah kualitas tidurnya, karena pada umumnya
orang yang tidurnya berkualitas pada kondisi berbaring. Tidur yang berkualitas adalah tidur yang
nyenyak. Sehingga orang yang tidur duduk tapi berkualitas tidurnya dapat membatalkan
wudhu’nya, sebaliknya orang yang tidur berbaring tetapi tidak berkualitas tidak membatalkan
wudhunya.
Hampir sama dengan Malikiyah, Hanabilah juga berpendapat bahwa tidur yang
membatalkan wudhu adalah bukan pada kondisi/keadaan tidurnya tetapi menurut beliau tidur
yang membatalkan wudhu adalah dilihat dari kuantitasnya (berapa lama dia tidur). Sehingga
tidur duduk pun dapat membatalkan wudhu jika dia tidur berjam-jam dalam waktu yang cukup
lama. Sebaliknya tidur berbaring jika sebentar tidak membatalkan wudhu.
Dengan demikian, perbedaan tersebut tidak perlu ada yang diperselisihkan, karena
semua pendapat tersebut dapat dianggap benar sesuai dengan ijtihad mereka dan kita yang
mengetahui alasan perbedaan tersebut sangat rasional. Oleh karena itu, perbandingan madzhab
mengungkap alasan-alasan para ulama kenapa mereka berbeda pendapat, dan mereka sangat
menerima perbedaan tersebut. Maka sebelum lebih jauh berbicara tentang perbandingan
madzhab atau dalam term lain di sebut fiqh muqaran dalammakalah ini penulis akan
memaparkan sejarah fiqh muqaran dan perkembangannya sebagai langkah awal masuk pada
ranah pendalaman pemahaman terhadap seluk beluk fiqh muqaran atau perbandingan madzhab.
    II.  PEMBAHASAN

1.      Pengertian Fiqh Muqaran


Terdapat beberapa definisi tentang pengertian fiqh Muqaran yang diungkapkan oleh para
sarjana muslim diantaranya adalah sebagai berikut.
Fiqh Muqaran adalah Suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu
masalah ikhtilafiyah dalam fiqh, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan
dalil masing- masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat,
yaitu pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar,
dan prinsip umum syariat Islam.
Fiqh Muqaran atau dalam istilah lain disebut Perbandingan Mazdhab adalah ilmu
pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat fuqaha’ (Mujtahidin) beserta dalil-dalilnya
mengenai berbagai masalah, baik yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan
membandingkan dalil masing-masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang
dikemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya. Terdapat
tujuh kata kunci terkait dengan hal ini, yaitu : Imam mujtahid, metode istinbath hukum, materi
fiqh, madzhab sebagai aliran fiqh yang kemudian menjadi komunitas, kelompok
pendukung/pengikut, istilah hukum yang digunakan, dan karya fiqh Imam Madzhab.
Definisi Fiqh Muqaran Menurut Syeikh Mahmud Syaltut adalah Mengumpulkan
pendapat para imam mujtahid berikut dalil-dalil tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan
kemudian membandingkan serta mendiskusikan dalil-dalil tersebut satu sama lain untuk
menemukan pendapat yang terkuat dalilnya.
Dalam kajian fiqh muqaran akan sangat erat sekali dengan ikhtilaf fuqaha’, adapun
sebab-sebab ikhtilaf tersebut adalh sebagai berikut :
a.       Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash.
b.      Perbedaan dalam masalah hadits.
c.       Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan kaidah-kaidah lughawiyah nash.
d.      Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yan berlawanan.
e.       Perbedaan tentang qiyas.
f.       Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.
g.      Perbedaan dalam masalah nash
h.      Perbedaan dalam pemahaman illat hukum.
Syaikh Muhamad al-Madaniyah dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha membagi
sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam, yaitu:
1.        Pemahaman Al-Qur’an dan sunnah rasul.
2.         Sebab-sebab khusus tentang sunnah rasul
3.        Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyah atau fiqhiyah.
4.        Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil-dalil di luar Al-Qur’an dan sunnah Rasul.
2.      Sejarah Fiqh dan Perbedaan Madzhab Dalam Islam
Dalam kajian fiqh muqaran merupakan sebuah keniscayaan untuk mengetahui sejarah
perkembangan fiqh mulai periode awal kerasulan sampai era kontemporer sekarang ini. Terdapat
perbedaan periodesasi fiqh di kalangan ulama kontemporer, diantaranya adalah menurut
Muhammad Khudari Bek dan Mustafa Ahmad al-Zarqa pada masa Awal hingga periode
keemasaannya dan sekarang ini.
Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodesasi fiqh menjadi enam
periode. Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad
Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya
terdapat ciri tersendiri
Periodisasi menurut Al-Zarqa adalah sebagai berikut :
1.      Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11
H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan
Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian
fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah
seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada
periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang
turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan
revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan
kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara
bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut
masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh
ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik
2.      Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu
Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada
periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya
berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan
hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin
al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum
pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari
berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral,
etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena
daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya,
tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk
memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut.
3.      Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga
ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan
bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama
sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa
dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum
yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem social masyarakat Irak jauh berbeda dengan
masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran
etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat heterogen.
Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh
umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa
terlalu terikat dengan tektualitas makna dari nash.
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11
SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak
menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang
bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan
sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah
sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena
di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang
berada di dua kota ini memiliki banyak hadits
Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai
persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang
ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlu
al hadits.
Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem
penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76
H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di
Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin
Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar
bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94 H.).
Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.),
Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin
Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman.
Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi’in, bertindak
sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-
masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi’in tersebut,
diantaranya fiqh al-Auza’i, fiqh an-Nakha’i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
4.      Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam
periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama
(700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah
semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama,
tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung
pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga
perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar.
Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan
ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.
Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun
ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin
dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu
Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan
pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang
berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia
juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi
pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang
berjudul al-Muwaththa’ (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra ‘yi sangat
tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para
fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh,
yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk
keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi
yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlu ra’yi
berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan untuk
meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlu hadits dapat menerima
pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlu ra’yi, sekaligus menerima ra’yu sebagai salah satu cara
dalam meng-istinbat-kan hukum
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh
ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu
Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang
merupakan salah satu kitab ahlu hadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-
Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat
mendukung fiqh ahlu ra’yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang
didasarkan atas hadits dan ra’yu.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul
fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh
Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam
asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh
Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori
kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
Namun dari sekian banyak mazhab yang pernah ada, hanya beberapa mazhab saja yang
bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih
bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii,
Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
a. ahl al-Ra’yi, kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
b. ahl al-Hadis terdiri atas :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
a. Syi’ah Zaidiyah
b. Syi’ah Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
a. Mazhab al-Auza’i
b. Mazhab al-Zhahiry
c. Mazhab al-Thabary
d. Mazhab al-Laitsi
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani. beliau
menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar al-Tabi’in berjumlah 13
aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran
itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
5. Al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.)
6. Malik ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H.)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
10. Daud ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
11. Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H.)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
13. Ibnu Jarir at-Thabari
5.      Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang
dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-
masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh
lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka
masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada
ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut.
Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang
melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya
ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-
mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk
mempertahankan mazhab imamnya. 
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali
muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
6.      Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam
al- ’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan
fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada
periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode
taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan
kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa
berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab
atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku
mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka.
Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan
hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang
dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri
perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan
buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam
berbagai mazhab.
Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Contohnya, pihak penguasa
melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu
dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak
pemerintah.
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab
resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti
Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di
seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam
al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang
luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab
tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak
yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat
sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu,
bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari
keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa
Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada
periode ini.
Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal
ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang
memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi
pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang
didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat
dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan
diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta
ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang
paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan
Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani,
seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum
perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat
dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah,
dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara.
Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali
dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang
terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika
itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab
lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum
keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang
dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga
dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi ’i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat
mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah
yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak
tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi fiqh di
kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad Khudari Bek dan
Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai
kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu
kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai
mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa
pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini
kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.;
pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak
satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ’i dan
Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada
salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang
dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai
dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya
Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -
sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak
seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif
dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash
maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca
(khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin
vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan
dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi
komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
3.      Sejarah Fiqh Muqarin (Ilmu Perbandingan Madzhab)

Sejarah menunjukkan sebagian kaum muslimin telah menyadari bahwa kemunduran


yang melanda dirinya merupakan akibat dari perpecahan umat. Oleh karena itu, mereka mulai
menyerukan persatuan dan menyingkirkan sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan.
Langkah pertama yang diambil untuk mewujudkan kembali persatuan umat ialah
melakukan pendekatan antar madzhab. Pendekatan inilah yang dijadikan pertimbangan oleh para
ulama al-Azhar dalam pengambilan keputusan perluasan pengkajian perbandinagn fiqh.
Pengkajian tidak hanya terbatas pada pengertian nama-nama firqoh yang ada, namun membahas
perbedaan dalam pandangan dasar dan pemahaman dalam masalah far’iyah.
Langkah untuk mendekatkan antar madzhab ini dilakukan untuk menjernihkan akidah
sebagai dasar untuk kekuatan Islam. Penjernihan yang dimaksud adalah penafian ajaran Islam
dari berbagai unsur penyelewengan dan pemahaman sesat yang disebabkan oleh fanatisme
madzhab, suku, dan ras.
Pola perbandingan sebetulnya sudah ada sejak jaman dahulu. Para fuqaha sudah
melakukan rintisan perbandingan, diantaranya Ibnu Ruysd dengan bukunya Bidayatul Mujtahid,
Ibnu Qudamah dengan bukunya Al-Mughni dan Imam Nawawi dengan kitab Al-Majmu.
Walaupun telah digunakan metode perbandingn dalam karya-karya tersebut namun belum
membentuk suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, Hanya merupakan perbandinagn
sekilas saja dalam masalah-masalah fiqh.
Awal abad ke-20 ini, barulah lahir ilmu perbandingan madzhab, suatu ilmu yang
mempunyai corak tersendiri, karena mempunyai metode, sistematika dan tujuan tertentu sebagai
suatu ilmu. Jika boleh dikatakan ilmu ini ada pada tahun 1929. Hal ini terlihat dalam undang-
undang kekeluargaan Mesir yang pembahasannya tidak hanya bermadzhab pada imam Hanafi
tetapi mengambil pula pendapat madzhab-madzhab lainnya. Al-Maraghi adalah orang yang
pertama mengusulkan adanya mata kuliah perbandingan madzhab di fakultas-fakultas di
Universitas Al-Azhar. Usul ini diterima dan ditetapkan menjadi mata kuliah wajib di masing-
masing fakultas.
Jadi munculnya Fiqh Muqaran sudah ada sejak zaman ulama klasik, banyak karya-
karya yang memaparkan tentang perbedaan pendapat antar Madzahib Fiqh dan
mengkomparasikan pendapat tersebut berdasarkan kaidah istinbath hokum mereka masing-
masing, namun munculnya Fiqh Muqaran sebagai kajian ilmu tersendiri, mengalami kemapanan
pada era abad 20 an.
Adapun karya-karya ulama klasik tentang Fiqh Muqaran diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.        Kitab ikhtilaf al ulama’, Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (202 – 294 H)
2.        Ikhtilaf al Fuqaha’, Abu ja’far bin jarir al Thabari (224 – 310 H)
3.        Al Isyraf ‘Ala Madzahib al Ulama’, Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin Mundzir (242 – 318
H)
4.        Ta’sis al Nadhar, Abu Zaid ‘Ubaidillah bin Umar Al Dabusi (430 H) (Hanafiyyah)
5.        Al Hawi al Kabir, Abu al hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi (364 – 450 H)
(Syafi’iyyah)
6.        Al Muhalla, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm (384 – 456 H) (Dhahiriyyah)
7.        Al Ma’unah fi al Jadal, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali al Syirazi (393 – 476 H)
8.        Hilyat al ‘Ulama, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin al Husain al Syasyi al Qaffal (429 –
507 H) (Syafi’iyyah)
9.        Thariqat al Khilaf fi al Fiqh Baina al Aimmah al Aslaf, Muhammad bin Abdul hamid al
Asmandi (488 – 552 H) (Hanafiyyah)
10.    Al Ifshah An Ma’ani al Shihah, Al Wazir ‘Aun al Din Abu al Mudhaffir Yahya bin Muhammad
bin Habirah al Hambali (499 – 560 H) (Hambaliyyah)
11.    Bidayah al Mujtahid, Abu al Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd (520 – 595 H)
(Malikiyyah)
12.    Al Mughni, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah (541 – 620 H) (Syafi’iyyah)
13.    Al Majmu’, Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al Nawawi (631 – 676 H) (Syafi’iyyah)
14.    Rahmat al Ummah Fikhtilaf al Aimmah, Abu Abdillah Muhammad bin Abdur Rahman al
Dimsiqi al Syafi’i. (Syafi’iyyah)
Dan berikut ini adalah karya ulama kontemporer tentang Fiqh Muqaran , diantaranya :
1.      Muqaranat al Madzahib fi al Fiqh, al Syaikh Mahmud Syaltut wa al Syaikh Ali al Sayis.
2.      Buhus Muqaranah fi al Fiqh al Islami wa Ushulihi, al Syaikh Dr. Muhammad Fathi al Darini.
3.      Muhadlarat fi al Fiqh al Muqaran, Dr. Muhammad Sa’id Ramdlan al Buthi
4.      Kitab al Fiqh al Islami wa Adillatihi, Dr. Wahbah al Zuhaily.
4.      Fiqh Muqaran (Perbandingan Madzhab); Sebagai Ilmu Dan Metode
Istilah perbandingan madzhab merupakan terjemahan dari kata “muqaranah al
madzahib”. Dalam perkembangan keilmuan, dikenal juga istilah “fiqih muqaran”. Para ahli telah
berupaya untuk mendefinisikan istilah tersebut. Berikut dikemukakan pengertian muqaranah al-
madzahib dan fiqh muqaran oleh para ahli:
1. Wahab Afif mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah “ilmu pengetahuan yang
membahas pendapat-pendapat fuqaha beserta dalil-dalilnya mnegenai masalah-masalah, baik
yang disepakati maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil masing-masing
pendapat yang paling kuat”.
2. Abdurrahman mengartikan bahwa perbandingan madzhab adalah “ilmu yang memperbandingkan
satu madzhab dengan madzhab lainnya. Karena di antara madzhab-madzhab tersebut terdapat
perbedaan”.
3. Huzaemah Tahido Yanggo mendefinisikan perbandingan madzhab sebagai ilmu pengetahuan
yang membahas pendapat-pendapat fuqaha (mujtahidin) beserta dalil-dalinya mengenai berbagai
masalah, baik yang disepakati (ijmak), maupun yang diperselisihkan (ikhtilaf) dengan
membandingkan dalil masing-masing, yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang
dikemukakan oleh mujtahidin untuk menemukan pendapat fuqaha yang paling kuat.
4. Syaikh Mahmoud Syaltout menjelaskan bahwa istilah perbandingan madzhab adalah identik
dengan istilah fiqih muqaran, yaitu “mengumpulkan pendapat para imam mujtahid berikut dalil-
dalinya tentang suatu masalah yang diperselisihkan dan membandingkan serta mendiskusikan
dalil-dalil tersebut untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya”.
5. Muslim Ibrahim juga menyamakan antara muqaranah al-madzahib dengan istilah fiqh muqaran.
Ia mendefinisikannya sebagai “suatu ilmu yang mengumpulkan pendapat-pendapat suatu
masalah ikhtilafiyyah fiqih, mengumpulkan, meneliti dan mengkaji serta mendiskusikan dalil
masing-masing pendapat secara objektif, untuk dapat mengetahui pendapat yang terkuat, yaitu
pendapat yang didukung oleh dalil-dalil yang terkuat, dan paling sesuai dengan jiwa, dasar dan
prinsip umum syariat Islam”.
Jika melihat pada definisi-definisi di atas, perbandingan madzhab diangggap sebagai
suatu ilmu yang mandiri yang memiliki ontology, epistemology dan aksiologi tersendiri. Lebih
jauh tentang hal ini, Muslim Ibrahim menjelaskan bahwa perbandingan madzhab adalah salah
satu cabang dari fiqih muqaran. Fiqh muqaran sendiri menurutnya, memiliki empat buah cabang,
yaitu muqaranah al-madzahab fi al-fiqh (dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
“perbandingan madzhab”), muqaranah al-madzahbi fi ushul al-fiqh (ushul fiqih perbandingan),
muqaranah asy-syara’i (perbandingan syariah) dan muqaranah fi al-qawanin al-wadh’iyyah
(perbandingan hukum”)
Di samping suatu ilmu yang mandiri, perbandingan madzhab juga adalah suatu metode.
Metode perbandingan madzhab adalah suatu metode yang para fuqaha berusaha mencari masalah
yang diperselisihkan. Langkah dari metode perbandingan madzhab adalah sebagai berikut:
1.      Mengutip pendapat-pendapat para fuqaha dari berbagai madzhab yang diambil dari kitab-kitab
madzhab, terutama pendapat yang dianggap paling kuat;
2.      Mengutip dalil-dalil yang digunakan para fuqaha, baik dari al-Quran, as-Sunnah, qiyas dengan
syarat dalil-dali tersebut yang paling kuat;
3.      Mengidentifikasi faktor yang menjadi pemicu dari perbedaan pendapat tersebut;
4.      Mengkritisi kuat atau lemahnya pendapat dan dalil yang dikemukakan masingmasing fuqaha;
5.      Menelusuri hikmah-hikmah yang terkandung di belakang perbedaan itu, untuk dimanfaatkan
sebagai rahmat Allah SWT.
6.      Menarik kesimpulan dan memilih pendapat yang terkuat dalilnya serta cocok untuk diterapkan.
5.      Urgensi Fiqh Muqaran

Memperbandingkan madzhab untuk mendapatkan dalil yang terkuat dan pendapat yang
lebih cocok diterapkan adalah suatu kewajiban dan mengamalkannya pun suatu kewajiban.
Meskipun sebagian ulama mutaakhirin berpendapat bahwa mengamalkan hasil perbandingan
akan mengakibatkan perpindahan madzhab, yang juga tidak dibenarkan oleh mereka, tetapi
pendapat mereka ini lemah, tidak berdasarkan dalil yang kuat. Justru hasil studi perbandingan
yang terbaik adalah mengamalkan apa yang menurut pembanding paling kuat dalilnya, baik bagi
pembanding sendiri maupun bagi masyarakat umum.
Hukum yang didapatkan dari hasil perbandingan, tak lain merupakan hasil penelitian
yang objektif, sedang mengamalkan yang terkuat dalilnya adalah wajib.
 III.  KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ini bermanfaat untuk
menghindari ta’asub (fanatik) buta, sehingga tidak terjadi friksi dengan pihak/golongan lain.
Pada prakteknya ternyata memang banyak friksi di lapangan yang seharusnya tidak mesti terjadi.
Hal ini karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi yang benar tentang mazhab-madzhab
yang ada.
Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan, dan itu adalah merupakan rahmat bagi
seluruh umat, sebagai generasi penerus, seyogyanya kita bisa memanfaatkan apa yang menjadi
peninggalan berharga dari sejarah keilmuan Islam, dengan lebih focus terhadap kajian fiqh
muqaran maka umat islam pasti akan mampu untuk menjawab tantangan zaman di era sekarang
ini.
Akhirnya apabila ada kesalahan mohon itu adalah semata karena kekurangan kami
sebagai manusia biasa, dan apabila ada kebenaran itu semua adalah atas pertolongan Allah, saran
kritik yang membangun sangat kami harapkan demi kemajuan yang lebih baik lagi. Wa bi Allah
al taufiq wa al Hidayah.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Sa’id Ramdlan al Buthi, Muhadlarat fi al Fiqh al Muqaran, Dar al-Fikr,


Beirut 1992
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut 2004
Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Dar al-Fikr, Beirut 2001
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut 2000
 Abu Sulaiman, Abd. Al-Wahab Ibrahim, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet.
I, 1983.
Khomis, Qasim Abdul Aziz, Aqwal al-Shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.
H. Hasbiyallah, M.Ag. Perbandingan Madzhab, Jakarta, Juli 2012
Hasan, M. Ali,  Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I,
1997.
 Ismail, Ahmad satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka
Tarbiatuna, Cet. I, 2003
 Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. III, 2003.
 Nasution, Harun,  Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta :
UI Press, 2002.
 Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
 Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet. III,
2003

Anda mungkin juga menyukai