PENDAHULUAN
B. BATASAN MASALAH
C. RUMUSAN MASALAH
E. MANFAAT PENULISAN
Saya sebagai penulis berharap agar makalah ini bisa bermanfaat dan
juga bisa memberikan wawasan ataupun ilmu kepada semua pihak. Baik itu saya
sendiri sebagai penulis maupun yang membacanya. Dan manfaat penulisan
lainnya yaitu dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan bisa menjadi
acuan dan rujukan bagi kita semua agar tidak terjerumus dan salah kaprah
dalam mengikuti suatu mazhab tertentu.
F. METODE PENULISAN
~2~
BAB II
HUKUM BERMAZHAB DAN BATASAN-BATASANNYA
A. PENGERTIAN MAZHAB
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari
kata zahaba - yazhabu - zihaaban. Mahzab adalah isim makan dan isim zaman
dari akar kata tersebut. Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah
metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari Kitabullah dan
Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang di maksud maksudn adalah mazhab fiqih.
1. Pengertian Mazhab Menurut Ulama Fikih
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus
yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih
lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu
furu'.
2. Pengertian Mazhab Menurut Para Ulama
Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab
adalah metode (manhaj) yang dibentuk melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang
jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dan dibangun di atas prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah.
3. Pengertian Mazhab Secara Umum
Pengertian Mazhab dalam Islam tidak serupa dengan denominasi
dalam Kristen, melainkan satu tingkat di bawahnya. Denominasi Katolik-
Protestan-Ortodoks lebih setara dengan denominasi (firqah) Sunni-Syi'ah
dalam Islam.
Istilah Mazhab secara umum dalam bahasa Indonesia juga digunakan untuk
merujuk kepada suatu aliran tertentu dalam suatu ilmu atau filsafat.
4. Menurut Sjechul Hadi Permono
Anggapan mazhab sebagai rujukan yang kaku, dan dijadikannya
sebagai upaya pengidentitasan kelompok atau golongan adalah amat keliru.
Hal ini membawa kepada ta’assub mazhab (fanatik faham dan fanatik
~3~
golongan), serta membangkitkan asumsi ketidak mungkinan untuk melakukan
tajdid dan ijtihad dalam bidang fiqih. 1
4. Tidak mengikuti pendapat yang termudah saja dari tiap-tiap mazhab. Bila
demikian halnya maka termasuk fasik menurut Ibn Hajar, tetapi menurut al-
Ramli tidak fasiq hanya saja berdosa.
1
. Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, (Surabaya:
Demak Press, 2002), 32.
2
http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/853-etika-dalam-bermazhab-.html
~4~
5. Tidak beramal mengikuti suatu pendapat, tetapi sebenarnya mengerjakan
sesuatu yang bertentangan dengan pendapat itu sendiri, semisal: seseorang
membeli sebuah rumah dengan shuf’ah jiwar dengan bertaklid pada Abu
Hanifah kemudian dia menjualnya dan membelinya kembali sehingga dia
berhak pada rumah yang lain lagi dengan cara yang sama. Sewaku
melakukannya dia mengikuti pendapat Al-Shāfi’i agar dapat menyerahkannya.
6. Tidak mencampur adukkan (talfiq) pendapat dua imam sehingga menjadi satu
pendapat utuh yang tidak dikatakan oleh masing-masing dua imam tersebut.
Sebagian ulama menambah syarat lain yaitu:
D. HUKUM-HUKUM BERMAZHAB
Banyak pendapat dari para ulama yang menjelaskan tentang hukum-
hukum mengikuti suatu Mazhab. Diantaranya adalah;
1. Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’sumim Al-Khajandi
Syaikh Muhammad Sulthan Alma’sumi Al Khajandi adalah seorang
pengajar di masjidil Haram Makkah. Beliau menyerukan kaum muslimin untuk
kembali kepada yang pernah dilakukan oleh umat yang terbaik yaitu para
sahabat Rasulullah.
Beliau menyeru untuk tidak bertaqlid buta (fanatik) pada salah satu
mazhab tertentu. Akan tetapi dipersilahka mengambil dari tiap mujtahid atau
ahli ijtihad dengan berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan.
Sebab sebenarnya mazhab-mazhab adalah pendapat dan pemahaman
orang-orang berilmu dalam beberapa masalah.
Pendapat, ijtihad dan pemahaman ini tidak diwajibkan oleh Allah dan
rasul-Nya untuk mengikutinya. Karena di dalamnya terdapat kemungkinan
betul dan salah. Karena sesungguhnya tidak ada pendapat yang seratus
persen benar kecuali yang berasal dari Rasulullah SAW.
~5~
Menurut Syeikh Sulthan Mengikuti salah satu mazhab yang empat atau
lainnya bukanlah persoalan wajib atau sunnah. Seorang muslim tidak
diharuskan mengikuti salah satunya. Dan bahkan orang yang mengharuskan
untuk mengikuti salah satunya sebenarnya ia seorang fanatik.
2. Syeikh Ramadlan Al Buthi
Syeikh Ramadlan AL-Buthi dalam bukunya “Alla Mazhabiyyah
Akhtharu bida’in fil Islam” (Tidak bermazhab adalah bid’ah paling
berbahaya dalam Islam). Beliau berpendapat wajib bagi seorang muslim
untuk mengikuti salah satu mazhab yang masyhur (mazhab empat). Sebab
mazhab-mazhab itu sudah teruji kesahihannya. Namun begitu tidak boleh
bagi yang telah mengikuti salah satu mazhab tertentu menyalahkan orang di
luar mazhabnya.
Dalam buku tersebut beliau membagi kaum muslimin sekarang
menjadi dua golongan. Yaitu;
a. Golongan Muttabi’.
Golongan Muttabi’ yaitu Golongan orang-orang yang telah faham
(mengerti) Al-Qur’an dan Sunnah. Dan wajib mengikuti mazhab tertentu
sebagai kerangka berfikir, supaya ia tidak jatuh pada kesalahan.
b. golongan Muqallid
golongan Muqallid yaitu golongan orang-orang yang belum faham
terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Dan diharuskan mengikuti ulama yang
dianggap mengerti dalam masalah agama.
Secara implisit beliau meniadakan kelompok yang ketiga, yaitu
kelompok Mujtahidin. Dengan kata lain beliau menutup pintu ijtihad untuk
masa sekarang.
3. Muhammad Abu Abbas
Muhammad Abu Abbas adalah orang yang menentang pendapat
Syeikh Ramadlan Al Buthi tentang peniadaan kelompok Mujtahidin.
Sebagaimana diterangkan dalam bukunya “Al mazahibul muta’ashshabah
hiyal bid’ah aw bid’atut ta’ashshubi al Mazhabi” Beliau berpendapat justru
pintu ijtihad masih terbuka sampai sekarang dengan alasan Nabi telah
membuka pintu ijtihad ini dan beliau tidak pernah menutupnya. Karena itu
tidak ada seorang pun yang berhak untuk menutup pintu ijtihad tersebut.
~6~
Oleh kerana itu Muhammad Abu Abbas membahagi kaum muslimin
pada tiga golongan, yaitu:
a. Mujtahid
Golongan mujtahid. Yaitu Bagi mereka yang telah mampu untuk
mengetahui dan mengkaji hukum-hukum langsung dari Al-Qur’an dan
Sunnah walaupun hanya dalam masalah tertentu maka haram baginya
bertaklid dalam masalah tersebut.
b. Muttabi
Muttabi yaitu golongan orang-orang yang hanya mampu untuk mengkaji
pendapat-pendapat para ulama serta mengetahui metode istimbath
(pengambilan hukum) mereka dari Al-Qur’an dan Sunnah maka kewajiban
mereka adalah ‘ittiba’. Jelasnya ittiba’ [mengutip perkataan Abu Syamah]
adalah mengikuti pendapat seorang ulama lantaran nyata dalilnya dan
shah mazhabnya.”
c. Muqallid
Muqallid. Yaitu golongan orang- orang yang betul-betul awam (tidak
mengerti dalam masalah agama) BOLEH bagi mereka bertaklid dengan
syarat.
Sebagaimana dikatakan Imam Asysyatibi dalam Ali’tishom;
Tidak boleh bertaklid kecuali pada orang yang benar-benar ahli di
bidang agama.
Tidak boleh mengikat dirinya serta menutup dirinya dari mengikut
selain mazhabnya, jika telah jelas padanya bahwa pendapat
mazhabnya itu salah, maka wajib baginya mengikuti yang telah jelas
kebenarannya.
Pendapat yang terahir inilah yang wasatah (pertengahan).
Sebab mengharamkan taklid secara mutlak adalah menafikan mereka yang
benar-benar awam terhadap agama.
Sedangkan mewajibkan taklid dan menutup pintu ijtihad berarti menghilangkan
universalitas Islam yang senantiasa relevan dan responsive terhadap
perkembangan zaman. Padahal banyak hal-hal baru yang tidak bisa dijawab dan
disikapi kecuali dengan ijtihad. Jelasnya setiap orang perlu ditempatkan sesuai
dengan kemampuan dan kondisinya.
~7~
Bererti fenomena bermazhab adalah sesuatu yang perlu dilihat
berdasarkan kondisi orang atau per-orangan, yang tentunya tidak boleh jadi
umum semata. Tidak boleh diharuskan secara mutlak dan tidak boleh dilarang
secara mutlak pula.3
Berkaitan dengan masalah bermazhab ini ada dua hal yang perlu dijauhi oleh
setiap muslim:
a. Fanatisme (Ta’ahshub) terhadap suatu madzhab tertentu seraya memonopoli
kebenaran apalagi jika sampai menimbulkan perpecahan. Sebab setiap orang
kecuali Nabi memiliki potensi untuk salah, walaupun ia seorang Mujtahid.
Rasul bersabda: “Barang siapa berijtihad dan ia benar maka baginya dua
pahala, dan barang siapa berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu
pahala.”4
b. Tatabbu’ rukhas atau mencari-cari pendapat para ulama yang paling mudah
dan sesuai dengan seleranya. Perilaku seperti ini berarti mempermainkan
agama. Sebab ia menggunakan dalih agama untuk memperturutkan hawa
nafsunya.5
3
http://blog.re.or.id/sejarah-mazhab-dan-hukum-bermazhab.htm
4
http://blog.re.or.id/sejarah-mazhab-dan-hukum-bermazhab.htm
5
Ibid.
~8~
Sesungguhnya kalau di perhatikan dalil-dalil baik dari Al-Qur`an atau
pun As-Sunnah, maka tidak ada satu pun dalil yang mewajibkan mengikuti
madzhab-madzhab tertentu termasuk empat madzhab yang terkenal yaitu: Al-
Ahnaaf(madzhab Hanafi), Maliki, Syafi’I dan Hanaabilah(madzhab Hambali). Kita
hanya diwajibkan untuk mengikuti dalil baik dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah
dengan pemahaman generasi terbaik umat ini yaitu para shahabat, tabi’in, tabi’ut
tabi’in serta para ulama yang mengikuti jejak mereka.6
"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah
kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian
mengambil pelajaran (dari padanya)." (Al-A’raaf:3)
Dan pada ayat yang lain dijelaskan pula yaitu surat Yusuf ayat :108
;
"Katakanlah: "Inilah jalan (Agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak(kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan
aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Yusuf : 108)
Dan ada juga pada ayat-ayat yang lainnya yang memerintahkan untuk
mengikuti dalil dan melarang untuk fanatik kepada kelompok tertentu ataupun
individu tertentu. Bahkan para Imam yang empat tersebut, baik Abu Hanifah, Al-
Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafii, danAl-Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya
sepakat melarang taqlid kepada mereka. 7
6
http://www.almuhibbin.com/2011/10/hukum-bermazhab-habibana-munzir-al.html
7
http://www.almuhibbin.com/2011/10/hukum-bermazhab-habibana-munzir-al.html
~9~
Al-Imam AbuHanifah mengatakan: "Apabila hadits itu shahih maka itulah
madzhabku”.
Beliau juga mengatakan: "Tidak halal bagi siapa pun mengikuti perkataan kami
bila ia tidak mengetahui dari mana kami mengambil sumbernya”.
Beliau juga berkata: "Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa
diterima, kecuali hanyaNabi (yang wajib diterima)”.
Al-Imam Asy-Syafi’I berkata: "Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa
saja yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal
baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang".
~ 10 ~
dengan syariat Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Serta Ijma
dan Qiyas. Sebagai contoh yaitu apa bila kita melampaui batas-batas yang telah
ditentukan dalam mengikuti suatu mazhab tentunya kita akan menyalahi aturan
ataupun batasan-batasan yang telah ditetapkan. Selama seorang muslim tidak
melampaui batasan-batasan dalam bermazhab tentunya dia tidak akan
terperosok dalam kesesatan.
~ 11 ~
BAB III
PENUTUP
B. KESIMPULAN
1. Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang
dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain,
yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.
Kata mazhab mempunyai dua arti:
Qaul (pendapat), yakni produk hukum seorang ahli.
2. Pentingan bermazhab bagi kita adalah agar kita bisa mengamalkan agama
dengan faham yang sebenarnya. Kita tidak mampu dan kebanyakan kita tidak
(belum) layak kerana tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk berijtihad.
Peran Para ulama yang mu’tabar (mujtahid Muthlaq, Mujtahid Mufti, Mujtahid
Tarjih dll) telah memudahkan kita memahami Islam dengan lebih mudah.
3. Dalam mengikuti mazhab atau bermazhab harus memiliki etika atau syarat-
syarat untuk berAl-DimyatTaklid dengan benar. Yaitu sebagai berikut:
~ 12 ~
Ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan tentang hukum-hukum
mengikuti suatu Mazhab. Diantaranya adalahSurat AL-A’raaf ayat:03 dan
Surat Yusuf ayat:108.
5. Yang dimaksud dengan batasan-batasan dalam bermazhab disini yaitu
bagaimana kita sebagai orang muslim memiliki batasan-batasan tertentu.
Sesuai dengan syariat Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Serta Ijma dan Qiyas.
C. SARAN
~ 13 ~
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid al-Bakrī al-Dimyāt ālibīnI’ānah al-T, (Beirut: Dār al-Fikr, tth), IV, 249.
Sjechul Hadi Permono, Dinamisasi Hukum Islam Dalam Menjawab
Tantangan Era Globalisasi, (Surabaya: Demak Press, 2002), 32.
~ 14 ~