Anda di halaman 1dari 15

ITTIBA’, TAQLID, TALFIQ DAN IKHTILAF

Disusun oleh :

Nugraha Bahtera Wahab

Nurul Huril’in

Nurul Kusumaningrum

Zahra Salamatul Alfia

Dosen pengampu :

Dr. H Hapid Muslih., M.Ag.

Dr. Eep Sopwana Nurdin., M.Ag

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 2021

Abstract

Ijtihad merupakan usaha seseorang ahli fiqih atau mujtahid untuk


menemukan solusi dalam permasalahan yang sebelumnya tidak ada di dalam Al-
Qur’an dan Hadits, tetapi tetap berlandaskan Qur’an dan Hadits. Perbedaan dalam
ber ijtihad seorang fuqaha dapat memberikan perbedaan hukum yang dianut. Bagi
seseorang yang tidak memiliki kemampuan ber ijtihad maka disarankan untuk
melakukan taqlid, ittiba’, atau talfiq. Taqlid adalah mengikuti atau mengambil
suatu hukum tanpa mengetahui kebenaran hukum tersebut. Ittiba' adalah mengikuti
suatu hukum yang mana sudah mengetahui kebenaran sumber hukum tersebut. Dan
talfiq adalah mengikuti suatu hukum yang berasal dari beberapa madzhab. Talfiq
juga merupakan sebutan untuk orang yang dalam mengikuti hukum tidak hanya
mengambil dari salah satu mazhab, tetapi dari beberapa mazhab.

Pendahuluan

1
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang problematika
zaman yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini bekerja sebagai
rekomendasi solusi masalah yang tengah berkembang di masyarakat. Dan setiap
ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain berbeda pendapat. Sehingga
banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari zaman setelah Rasulullah saw
wafat hingga pertengahan ke 4 H.

Setelah pertengahan 4 H, kegiatan ber ijtihad mengalami perkembangan tidak


untuk masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal politik dan kekuasaan,
sehingga hal tersebut menimbulkan ijtihad dilakukan hanya semata-mata untuk
menjembatani kedok kebebasan syari’at.

Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup pintu
ijtihad, untuk menghindari penggunaan ijtihad yang seharusnya. Dari peristiwa ini
timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang yang boleh berijtihad), yaitu:
mujtahid mutlak, mujtahid masa’il, mujtahid madzhab, dan datang muqallid (orang
yang bertaqlid).

Taklid adalah perbuatan yang mengikuti sebuah hukum tanpa mengetahui


kebenaran hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai taqlid.
Maka disepakati taqlid tidak diizinkan oleh generasi salaf kalangan nabi, tabi’in,
para imam mujtahid, dan para tabi’in. Tetapi setelah perkembangan adanya masa
mazhab-mazhab jadi diperbolehkan untuk bertaqlid. Lebih dari taqlid lebih
disarankan untuk melakukan ittiba yaitu mengikuti hukum atau fatwa dengan
mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum tersebut.

ITTIBA

Secara bahasa, ittiba artinya mengikuti. Sedangkan secara istilah, ittiba adalah
sikap mengikuti pendapat seseorang ulama, fuqaha', dan sejenisnya dengan
mengetahui dan memahami dalil atau hujah suatu perkara yang digunakan oleh
mereka.

Ittiba juga diartikan sebagai upaya mengikuti semua yang diperintahkan dan
dibenarkan Rasulullah SAW serta menjauhi segala yang dilarang Allah dan

2
Rasul-Nya. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang ittiba dalam
Islam lengkap dengan kedudukan dan tahapan mencapainya.

Prinsip dasar menempuh perjalanan menuju Allah adalah dengan berittiba.


Rahasia memuliakan ittiba ini dapat dimulai dengan mengubah kehendak
nafsu menjadi kehendak Allah.

Islam mewajibkan umatnya untuk berittiba, baik kepada Allah SWT maupun
Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Surat Ali Imran ayat
32 berikut:

َ‫َّللا ََل يُحِ ب ْالكَاف ِِرين‬


َ ‫الرسُو َل ۖ فَإِن ت ََوله ْوا فَإ ِ هن ه‬ َ ‫قُ ْل أَطِ يعُوا ه‬
‫َّللا َو ه‬

Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,


ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

Mengutip buku Fiqh dan Ushul Fiqh oleh Dr. Nurhayati,dkk., posisi ittiba
kepada Allah dan Rasul-Nya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam.

Ittiba dapat menjadi syarat diterimanya amal, bukti kebenaran cinta seseorang
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjadi sifat utama orang-orang
yang shalih.

TAQLID

1. Pengertian Taqlid

Taqlid secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti yaitu
“mengulangi, meniru, dan mengikuti”. 1
Dapat diartikan pula sebagai
mengikuti seseorang secara patuh. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh,

1 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 132.

3
taqlid berarti mengadopsi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau
menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.2

2. Hakikat Taqlid

Terdapat beberapa definisi mengenai taqlid yang dirumusan sebagai hakikat


taqlid, yaitu sebagai berikut:3

1) Taqlid itu adalah beramal berdasarkan ucapan atau pendapat orang lain.

2) Ucapan atau pendapat orang lain itu bukan bernilai hujah syari’ah.

3) Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau
dalil dari pendapat yang diikutinya.

3. Hukum Taqlid

A. Taqlid Dalam Permasalahan Aqidah

Hal-hal yang tidak boleh ditaqlidi dalam masalah aqidah antara lain seperti :
wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji, dan juga tentang
haramnya berzina serta minuman keras karena soal-soal ini semua orang dapat
mengetahuinya. Dan hal-hal yang boleh ditaqlidi seperti, menyelidiki dan
mencari dalil soal-soal ibadah dan hukum-hukum yang kecil-kecil lainnya. 4

B. Taqlid dalam permasalahan syari’at

Para ulama’ masih berselisih pula tentang status taqlid dalam masalah
syari’at.5

1) pertama, menurut Jumhur Ulama’ tidak diperbolehkan taqlid secara mutlak

2
Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah 2004 Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri, 2004), hal. 369
3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hal. 163.
4
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT Alma’arif, 1973), hal. 150
5
Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 219.

4
2) Kedua, sebagian ulama mewajibkan taqlid secara mutlak dan mengharamkan
nazar (berfikir) sendiri.

3) Ketiga, sebagian ulama merincikan bahwa bertaqlid itu wajib atas orang awam
dan haram untuk mujtahid.

4. Klasifikasi Taqlid

a) Taqlid yang terpuji

Taqlid yang terpuji adalah taqlid yang dilakukan orang-orang yang tidak
mampu melakukan ijtihad karena keterbatasan pengetahuannya.

Secara umum, kelompok ini terbagi menjadi dua klasifikasi.

1) Orang yang awam sama sekali terhadap hukum-hukum syari’at.

2) Orang alim yang sedang menekuni sebagian disiplin ilmu yang menjadi
persyaratan ijtihad, namun dengan kapasitas keilmuannya, ia belum mampu
untuk melakukan ijtihad.

b) Taqlid yang tercela

Sedangkan taqlid yang tercela, atau yang diharamkan, terbagi dalam tiga
kategori:

1) Taqlid yang mengandung unsur berpaling dari ajaran-ajaran wahyu. Seperti


taqlid pada tradisi batil nenek moyang terdahulu.

2) Taqlid pada orang yang belum diketahui kapasitas keilmuannya sebagai


mujtahid.

3) Taqlid pada seseorang yang telah terbukti kesalahan argumentasinya.

5. Pendapat Ulama-Ulama Besar tentang Taqlid

5
a) Imam Abu Hanifah berkata: “Kalau ucapanku menyalahi Kitab Allah dan
Sunnah rasul, maka tinggalkanlah ucapanku.”

b) Imam Malik berkata: “Aku hanya seorang manusia yang (mungkin) salah dan
mungkin (pula) benar. Sebab itu perhatikanlah pendapatku itu, setiap yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka peganglah ia dan apa yang
tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”

c) Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntun ilmu tanpa dalil
adalah seperti tukang kayu api yang membawa seberkas kayu di waktu malam
dan disalamnya ada ular yang akan mematuknya, sedang dia tiada
mengetahuinya.”

d) Imam Ahmad Hanbal berkata: “Janganlah kamu bertaqlid kepadaku dan


janganlah pula kepada Imam Malik, Imam Tsauri, dan Imam Auza’i, tetapi
ambillah dari mana mereka mengambil.”

6
TALFIQ

A. Pengertian Talqif

Menurut bahasa talfiq adalah menyambung dua tepi yang berbeda. Menurut
istilah talfiq adalah mengambil beberapa hukum dari beberapa mazhab dengan
pendapat yang berbeda sebagai dasar untuk beramal dan beribadah.

Dari pengertian tersebut, talqif dengan kata lain ialah mengikuti pendapat
beberapa imam madzhab dalam melakukan suatu amal ibadah.

B. Hukum Talfiq

Orang awam harus mengikuti madzhab tertentu dan tidak boleh memilih
pendapat yang semata-mata ringan.

Hukum talfiq diperbolehkan dengan syarat tidak akan menimbulkan


pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqkan.

C. Contoh Talfiq

Masalah bersentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki:

 Menurut imam Syafi'i bersentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki


membatalkan wudhu.

 Menurut imam Malik bersentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki tidak
membatalkan wudhu.

Misalnya seseorang yang bermazhab Syafi'i melakukan ibadah tawaf, hal itu akan
dianggap suatu keberatan untuk tidak bersentuhan dengan ajnabi. Maka ia
diperbolehkan menggunakan mazhab imam Malik pada saat itu, dengan syarat
wudhunya juga dengan cara imam Malik.

D. Kedudukan Talfiq

Talfiq diperbolehkan dalam ajaran syariat tetapi dalam keadaan sangat darurat.
Misalnya menyentuh ajnabi pada saat tawaf bagi seorang yang menganut paham
Syafi'i yang dimana menurut paham Syafi'i menyentuh wanita membatalkan

7
wudhu. Tetapi ia boleh mengambil mazhab Maliki yang menyentuh wanita tidak
batal wudhunya. Hal ini diperbolehkan untuk dilakukan dengan alasan darurat. 6

6
Sawaabiq, Najma. 2020. Fiqih Ushul Fiqih. Jogjakarta:NASA.

8
IKHTILAF

A. Pengertian Ikhtilaf

Iktilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf


berdasar dari bahasa arab yang asal katanya khalafa, yakhlifu, khilafan. Maknanya
lebih umum dari pada al diddu, sebab setiap hal yang berlawanan atau aldiddain
pasti akan saling bertentangan.

Manusia berbeda pendapat, mereka saling berbantah dan perang mulut.


Terhadap perkara ini Allah menegaskan dalam firmannya QS. Maryam 37, yang
artinya:

Sedangkan menurut istilah ikhtilaf dan mugholif adalah mengambil satu


jalan diantara jalan yang lain baik dalam keadaan ataupun pekerjaan, secara umum
perbedaan itu setiap dua perkara yang berlawanan dan setiap dua yang berbeda itu
belum tentu berlawanan.

Dalam fikih Ikhtilaf ada Ikhtilaf Al-Maqbul yang merupakan perbedaan


yang diterima, ulama berbeda pendapat mengenai suatu kesunahan dari beberapa
macam-macam hal tersebut dan mendahulukan kesunnahan dari yang lainnya dan
Ibnu Taimiyah menyamakan hal ini dengan macam-macamnya haji jika seseorang
melakukan haji qiran ataupun tamattuk ataupun ifrad maka hal itu sudah dianggap
haji menurut ulamanya orang-orang Islam, meskipun ulama tersebut bertentangan
mengenai yang lebih utama dari tiga hal tersebut. Begitu juga mengenai masalah
adzan, adzan bisa dianggap benar meskipun di dalamnya ada bacaan tarji’ (dua
kalimat syahadat) ataupun tidak, begitu juga dengan empat takbiran baik diawal
atau ditengah-tengah takbir. Begitu juga mengenai iqamah, iqamah bisa sah baik
dibaca sekali atau dua kali, dimana saja iqamahnya maka tetap sah menurut ulama
orang Islam kecuali jika diantara manusia tersebut terdapat pertentangan.

Maka ikhtilaf ini merupakan ikhtilaf diantara umat yang mana perkaranya
itu sangat mudah. Ibnu Taimiyah berkata : “Memecah diri dari umat mengenai hal
ini hukumya itu tidak boleh memberikan hak pada sunnah dengan hak yang berada
di atasnya”. Seperti contoh seseorang yang memberikan hukum yang lainnya
seperti wajib dan sunnah yang afdhol. Karena tidak boleh hukumnya menjadikan

9
perkara sunnah menjadi wajib dan juga sebaliknya sekiranya seseorang mencegah
orang lain untuk meninggalkan perkara tersebut karena hal kewajibannya. Maka
Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa orang yang seperti itu telah keluar dari
agamanya dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan meninggalkan hal
yang sunnah tersebut karena adanya perbedaan yang jelas itu hukumnya lebih
utama dari pada melakukannya. Begitu pula yang wajib.

Dan menjadi sesuatu yang diketahui yaitu sesungguhnya(i’tilaful qulup)


bersatunya hati umat islam di dalam agama itu lebih utama dari pada mengerjakan
sunnah. Maka apabila ada seseorang meninggalkan sunnah karena alasan i’tilaful
qulub maka hal tersebut lebih utama dikerjakan apabila didalamnya terdapat
kemaslahatan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari
Aisyah RA. Rasulullah bersabda:” seandainya umatmu tidak memperbaharui atau
merenovasi ka’bah pada zaman jahiliyah niscaya akan aku rusak dan aku ratakan
ka’bah itu dengan bumi dan akan ku jadikan ka’bah itu sebagai tempat keluar
masuknya seseorang.

B. Sebab-sebab Terjadinya Ikhtilaf

Terjadinya perbedaan pendapat tentang menetapkan hukum islam, di


samping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga faktor lain karena
adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu
mengalami perkembangan sepanjang petummbuhan hukum pada generasi
berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjang sejarah hukum islam,
sehingga kadang- kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan
orang – orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu di persoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini
hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karna perbedaan dalam berijtihad.

Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan fikirannya untuk


menemukan hukum Allah SWT dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah
yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber
pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu al-qur’an dan sunnah. Tetapi
terkadang temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing –masing dengan hasil
ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.

10
Syeikh Muhammad al- madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al- Fuqoha’,
membagi ikhtilaf itu pada empat macam, yaitu

1) Pemahaman al-qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

2) Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasulullah SAW.

3) Sebab–sebab yang berkenan dengan qaidah –qaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah.

4) Sebab–sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-qur’an dan


sunnah Rasulullah SAW.

1. Pemahaman al- Qur’an dan sunnah

Seperti di maklumi, sumber syari’at islam adalah al- quran dan sunnah rasul.
Keduanya berbahasa arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih
dari satu (musytarak). Selain itu pada ungkapannya terdapat kata ‘am (umum)
tetapi yang dimaksudkannya “khusus”. Adapula perbedaan tinjauan dari segi
lughawi dan ‘urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.

Berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai musytarak dalam nash al-aquran
yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.

Pertama kata ” ya’fu” kata ini mengandung dua arti musytarak yaitu menggugurkan
dan menghibahkan. Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam
menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah di
tentukan, apakah wali atau suami.

2. Sebab-sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah SAW

Sebab-sebab khusus mengenai sunnah rasul SAW. yang menonjol antara lain:

a) Pebedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadits kepada
sebagian pendapat

Para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadits dengan


kesempatannya tidak sama. Ada banyak yang menghadiri majlis rasul, tentunya
mereka inilah yang banyak menerima hadits sekaligus meriwayatkannya.tapi
banyak pula diantara merek yang sibuk dengan urusan –urusan pribdinya, sehingga
jarang menghadiri majlis Rasul, pada hal biasanya dalam majlis itulah rasul

11
menjelaskan masalah–masalah yang ditanyakan atau menjelskan hukum sesuatu
memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu.

b) Perbedaan dalam menilai periwayatan hadits (shahih atau tidaknya),

c) Perbedaan kedudukan syakhsbiyyah Rasul.

3. Perbedaan dalam Menilai Periwayat Hadits

Adakalanya sebagian ulama memandang periwayat suatu hadits shahih, sedangkan


menurut ulama yang lain tidak, misalnya karna tidak memenuhi semua persyaratan
yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad, maupun matannya.

4. Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah

Sebab–sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah –kaidah ushul


diantaranya adalah mengenai istisna’ yakni : apakah istisna’ yang terdapat sesudah
beberapa jumlah yang di’athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semua
ataukah kepada jumlah terakhir saja. Adapuun sebab –sebab perbedaan pendapat
(ikhtilaf) yang berkaitan denagn kaidah –kaidah fiqhiyah contohnya antara lain
sebagai berikut :

a) Madzhab Syafi’i menggunakan kaidah:” hukum terkuat dari segala sesuatu


adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.

b) Madzab Hanafi menngunakan kaidah :” hukum yag terkuat dari segala sesuatu
adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.

5. Perbedaan penggunaan dalil diluar Al-qur’an dan sunnah.

Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan


penggunaan dalil diluar al-qur’an dan sunnah, seperti; Amal ahli madiah dijadikan
dasar fiqh oleh imam malik, tidak dijadikan dasar oleh para imam yang lainnya.
Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma’ qiyas, maslahah mursalah,
istihsan, sad al-Dzari’ah, istishhab, urf dsb, yang oleh sebagian ulama’ dijadikan
dasar, sedang para ulama’ lain tidak menjadikan dasar dalam mengistimbatkan
hukum, sekalipun kebenarannya perbedaan itu hanyalah dalam tingkatan
penggunaannya saja.

12
Dari uraian diatas tentang sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam
disimpulkan bahwa:

a) Perbedaan ulama’ mengenai sumber hukum utama (al qur’an) adalah dari segi
pemahaman semata-mata terdapat nash-nash yang zhanny (tidak pasti
)dalalahnya.

b) Perbedaan mengenai sumber hukum yang ke dua, yakni sunnah rasul, yakni
dari segi wurud (penilaian terhadapat sanad dan sebagian matan hadist),
disamping segi dalalahnya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah rasul
sesudah dikaitan dengan Syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau
insaniyahnya).

c) Perbedaan pendapat dalam islam, bukan mengenai persoalan dasar (pokok),


baik di kalangan ahlussunnah, maupun syiah dan mu’tazilah, melainkan
perbedaan pandangan dan penilaian terhadap nuzusb, (al qur’an dan sunnah)
yang memungkinkan dan memberi celah-celah adanya perbedaan penafsiran.
Karna itu, peganut mahzab tertentu sering menentang mahzabnya sendiri,
seperti ibn taimiyah dan ibn al qayyim terhadap imam ahmad bin hambal, serta
abi yusuf dan muhammad al hasan al saibany terhapat imam abi hanifah.

d) Perbedaan yang disebabkan penggunaan dalil diluar al qur’an dan sunnah


seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashabab mursalah, dan lain-lain.

C. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW

Bahwa rasul disamping keberadaannya sebagai rasul, juga sebagai manusia biasa
(Q.S. al- Kahfi : 110). Kadang –kadang beliau bertindak sebagai panglima perang
sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang
dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan
pribadinya ketika melakukannya.

13
14
Daftar Pustaka

Sawaabiq, Najma. 2020. Fiqih Ushul Fiqih. Jogjakarta:NASA.

Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:PT Rajagrafindo
Persada.

Mahfudh, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri:Purna Siwa Aliyyah.

Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana Prenada


Media Group.

Rifa’i. 1973. Ushul Fiqh. Bandung:PT Alma’arif.

Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Ushul Fiqh. Jakarta:Bulan Bintang..

"Perbandingan Madzhab" https://redaksimanahij.blogspot.com diakses pada 11


November 2021 pada pukul 11.31

“Pengertian Ittiba dalam Islam Lengkap dengan Kedudukan dan Tahapan


Mencapainya”, https://kumparan.com/berita-hari-ini/pengertian-ittiba-dalam-
islam-lengkap-dengan-kedudukan-dan-tahapan-mencapainya-1wcdrvU6utz
diakses pada 10 November 2021 pada pukul 10.32

15

Anda mungkin juga menyukai