Disusun oleh :
Nurul Huril’in
Nurul Kusumaningrum
Dosen pengampu :
Abstract
Pendahuluan
1
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang problematika
zaman yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini bekerja sebagai
rekomendasi solusi masalah yang tengah berkembang di masyarakat. Dan setiap
ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain berbeda pendapat. Sehingga
banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari zaman setelah Rasulullah saw
wafat hingga pertengahan ke 4 H.
Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup pintu
ijtihad, untuk menghindari penggunaan ijtihad yang seharusnya. Dari peristiwa ini
timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang yang boleh berijtihad), yaitu:
mujtahid mutlak, mujtahid masa’il, mujtahid madzhab, dan datang muqallid (orang
yang bertaqlid).
ITTIBA
Secara bahasa, ittiba artinya mengikuti. Sedangkan secara istilah, ittiba adalah
sikap mengikuti pendapat seseorang ulama, fuqaha', dan sejenisnya dengan
mengetahui dan memahami dalil atau hujah suatu perkara yang digunakan oleh
mereka.
Ittiba juga diartikan sebagai upaya mengikuti semua yang diperintahkan dan
dibenarkan Rasulullah SAW serta menjauhi segala yang dilarang Allah dan
2
Rasul-Nya. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang ittiba dalam
Islam lengkap dengan kedudukan dan tahapan mencapainya.
Islam mewajibkan umatnya untuk berittiba, baik kepada Allah SWT maupun
Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Surat Ali Imran ayat
32 berikut:
Mengutip buku Fiqh dan Ushul Fiqh oleh Dr. Nurhayati,dkk., posisi ittiba
kepada Allah dan Rasul-Nya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
Islam.
Ittiba dapat menjadi syarat diterimanya amal, bukti kebenaran cinta seseorang
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjadi sifat utama orang-orang
yang shalih.
TAQLID
1. Pengertian Taqlid
Taqlid secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti yaitu
“mengulangi, meniru, dan mengikuti”. 1
Dapat diartikan pula sebagai
mengikuti seseorang secara patuh. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh,
1 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 132.
3
taqlid berarti mengadopsi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau
menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.2
2. Hakikat Taqlid
1) Taqlid itu adalah beramal berdasarkan ucapan atau pendapat orang lain.
2) Ucapan atau pendapat orang lain itu bukan bernilai hujah syari’ah.
3) Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau
dalil dari pendapat yang diikutinya.
3. Hukum Taqlid
Hal-hal yang tidak boleh ditaqlidi dalam masalah aqidah antara lain seperti :
wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji, dan juga tentang
haramnya berzina serta minuman keras karena soal-soal ini semua orang dapat
mengetahuinya. Dan hal-hal yang boleh ditaqlidi seperti, menyelidiki dan
mencari dalil soal-soal ibadah dan hukum-hukum yang kecil-kecil lainnya. 4
Para ulama’ masih berselisih pula tentang status taqlid dalam masalah
syari’at.5
2
Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah 2004 Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri, 2004), hal. 369
3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hal. 163.
4
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT Alma’arif, 1973), hal. 150
5
Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 219.
4
2) Kedua, sebagian ulama mewajibkan taqlid secara mutlak dan mengharamkan
nazar (berfikir) sendiri.
3) Ketiga, sebagian ulama merincikan bahwa bertaqlid itu wajib atas orang awam
dan haram untuk mujtahid.
4. Klasifikasi Taqlid
Taqlid yang terpuji adalah taqlid yang dilakukan orang-orang yang tidak
mampu melakukan ijtihad karena keterbatasan pengetahuannya.
2) Orang alim yang sedang menekuni sebagian disiplin ilmu yang menjadi
persyaratan ijtihad, namun dengan kapasitas keilmuannya, ia belum mampu
untuk melakukan ijtihad.
Sedangkan taqlid yang tercela, atau yang diharamkan, terbagi dalam tiga
kategori:
5
a) Imam Abu Hanifah berkata: “Kalau ucapanku menyalahi Kitab Allah dan
Sunnah rasul, maka tinggalkanlah ucapanku.”
b) Imam Malik berkata: “Aku hanya seorang manusia yang (mungkin) salah dan
mungkin (pula) benar. Sebab itu perhatikanlah pendapatku itu, setiap yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka peganglah ia dan apa yang
tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
c) Imam Syafi’i berkata: “Perumpamaan orang yang menuntun ilmu tanpa dalil
adalah seperti tukang kayu api yang membawa seberkas kayu di waktu malam
dan disalamnya ada ular yang akan mematuknya, sedang dia tiada
mengetahuinya.”
6
TALFIQ
A. Pengertian Talqif
Menurut bahasa talfiq adalah menyambung dua tepi yang berbeda. Menurut
istilah talfiq adalah mengambil beberapa hukum dari beberapa mazhab dengan
pendapat yang berbeda sebagai dasar untuk beramal dan beribadah.
Dari pengertian tersebut, talqif dengan kata lain ialah mengikuti pendapat
beberapa imam madzhab dalam melakukan suatu amal ibadah.
B. Hukum Talfiq
Orang awam harus mengikuti madzhab tertentu dan tidak boleh memilih
pendapat yang semata-mata ringan.
C. Contoh Talfiq
Menurut imam Malik bersentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki tidak
membatalkan wudhu.
Misalnya seseorang yang bermazhab Syafi'i melakukan ibadah tawaf, hal itu akan
dianggap suatu keberatan untuk tidak bersentuhan dengan ajnabi. Maka ia
diperbolehkan menggunakan mazhab imam Malik pada saat itu, dengan syarat
wudhunya juga dengan cara imam Malik.
D. Kedudukan Talfiq
Talfiq diperbolehkan dalam ajaran syariat tetapi dalam keadaan sangat darurat.
Misalnya menyentuh ajnabi pada saat tawaf bagi seorang yang menganut paham
Syafi'i yang dimana menurut paham Syafi'i menyentuh wanita membatalkan
7
wudhu. Tetapi ia boleh mengambil mazhab Maliki yang menyentuh wanita tidak
batal wudhunya. Hal ini diperbolehkan untuk dilakukan dengan alasan darurat. 6
6
Sawaabiq, Najma. 2020. Fiqih Ushul Fiqih. Jogjakarta:NASA.
8
IKHTILAF
A. Pengertian Ikhtilaf
Maka ikhtilaf ini merupakan ikhtilaf diantara umat yang mana perkaranya
itu sangat mudah. Ibnu Taimiyah berkata : “Memecah diri dari umat mengenai hal
ini hukumya itu tidak boleh memberikan hak pada sunnah dengan hak yang berada
di atasnya”. Seperti contoh seseorang yang memberikan hukum yang lainnya
seperti wajib dan sunnah yang afdhol. Karena tidak boleh hukumnya menjadikan
9
perkara sunnah menjadi wajib dan juga sebaliknya sekiranya seseorang mencegah
orang lain untuk meninggalkan perkara tersebut karena hal kewajibannya. Maka
Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa orang yang seperti itu telah keluar dari
agamanya dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan meninggalkan hal
yang sunnah tersebut karena adanya perbedaan yang jelas itu hukumnya lebih
utama dari pada melakukannya. Begitu pula yang wajib.
10
Syeikh Muhammad al- madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al- Fuqoha’,
membagi ikhtilaf itu pada empat macam, yaitu
Seperti di maklumi, sumber syari’at islam adalah al- quran dan sunnah rasul.
Keduanya berbahasa arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih
dari satu (musytarak). Selain itu pada ungkapannya terdapat kata ‘am (umum)
tetapi yang dimaksudkannya “khusus”. Adapula perbedaan tinjauan dari segi
lughawi dan ‘urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
Berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai musytarak dalam nash al-aquran
yang menimbulkan ikhtilaf tersebut.
Pertama kata ” ya’fu” kata ini mengandung dua arti musytarak yaitu menggugurkan
dan menghibahkan. Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam
menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah di
tentukan, apakah wali atau suami.
Sebab-sebab khusus mengenai sunnah rasul SAW. yang menonjol antara lain:
a) Pebedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadits kepada
sebagian pendapat
11
menjelaskan masalah–masalah yang ditanyakan atau menjelskan hukum sesuatu
memerintah atau melarang dan menganjurkan sesuatu.
b) Madzab Hanafi menngunakan kaidah :” hukum yag terkuat dari segala sesuatu
adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.
12
Dari uraian diatas tentang sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam
disimpulkan bahwa:
a) Perbedaan ulama’ mengenai sumber hukum utama (al qur’an) adalah dari segi
pemahaman semata-mata terdapat nash-nash yang zhanny (tidak pasti
)dalalahnya.
b) Perbedaan mengenai sumber hukum yang ke dua, yakni sunnah rasul, yakni
dari segi wurud (penilaian terhadapat sanad dan sebagian matan hadist),
disamping segi dalalahnya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah rasul
sesudah dikaitan dengan Syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau
insaniyahnya).
Bahwa rasul disamping keberadaannya sebagai rasul, juga sebagai manusia biasa
(Q.S. al- Kahfi : 110). Kadang –kadang beliau bertindak sebagai panglima perang
sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang
dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan
pribadinya ketika melakukannya.
13
14
Daftar Pustaka
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:PT Rajagrafindo
Persada.
Mahfudh, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri:Purna Siwa Aliyyah.
15