Anda di halaman 1dari 10

Muta’allim: Jurnal Pendidikan Agama Islam

e-ISSN: 2828-6227
Vol. 1, No. 1 (2022): page-page
http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/mjpai

TAQLID, ITTIBA’, TALFIQ DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH

Ahmad Muzammil, Rafi Darojatan Aqila


Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Indonesia
ahmadmzml2023@gmail.com, rafidarojatan01@gmail.com

ABSTRACT

The Ijtihad is the attempt of a person of fuqaha or mujtahid to find solutions to problems that were
not previously present in the Qur'an and Hadith, but still based on Qur'an and Hadith.
Differences in the ijtihad of a jurist can give the legal difference held. For someone who does not
have ijtihad ability then it is advisable to do taqlid, ittiba ', or talfiq. Taqlid is to follow or take a
law without knowing the truth of the law. Ittiba 'is following a law which already knows the truth
of the source of the law. And talfiq is following a law that comes from some madhhab. Talfiq is also
a term for people who in following the law not only take from one of the mazhab, but from some
mazhab.

Keywords: Taqlid; Ittiba’; Talfiq; Ijtihad; Ushul Fiqh.

ABSTRAK

Ijtihad merupakan usaha seseorang ahli fiqih atau mujtahid untuk menemukan solusi dalam
permasalahan yang sebelumnya tidak ada di dalam Al- Qur’an dan Hadits, tetapi tetap
berlandaskan Qur’an dan Hadits. Perbedaan dalam ber ijtihad seorang fuqaha dapat
memberikan perbedaan hukum yang dianut. Bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan
ber ijtihad maka dianjurkan untuk melakukan taqlid, ittiba’, atau talfiq. Taqlid adalah mengikuti
atau mengambil suatu hukum tanpa mengetahui kebenaran hukum tersebut. Ittiba’ adalah
mengikuti suatu hukum yang mana sudah mengetahui kebenaran sumber hukum tersebut.
Dan talfiq adalah mengikuti suatu hukum yang berasal dari beberapa madzhab. Talfiq juga
merupakan sebutan untuk orang yang dalam mengikuti hukum tidak hanya mengambil dari
salah satu mazhab, tetapi dari beberapa mazhab.

Kata-Kata Kunci: Taklid; Ittiba’; Talfiq; Ijtihad; Ushul Fiqh.

PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang problematika zaman
yang tidak ada dalam Al- Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini berfungsi sebagai rekomendasi
solusi problem yang tengah berkembang di masyarakat. Dan setiap ijtihad antara satu fuqaha
dengan fuqaha yang lain berbeda pendapat. Sehingga banyak lahir ilmu-ilmu fiqih dalam
sejarah dari zaman setelah Rasulullah saw wafat hingga pertengahan ke 4 H.
Setelah pertengahan ke 4 H, kegiatan ber-ijtihad mengalami perkembangan tidak
hanya untuk masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal politik dan kekuasaan,
sehingga hal tersebut menimbulkan ijtihad dilakukan hanya semata untuk perantara
menyembunyikan kedok kebebasan syari’at.

1
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup pintu ijtihad,
untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan ijtihad yang seharusnya. Dari peristiwa ini
timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang yang boleh berijtihad), yaitu: mujtahidmutlak,
mujtahid masa’il, mujtahid madzhab, dan datang muqallid (orang yang bertaqlid).
Taklid adalah perbuatan seseorang yang mengikuti sebuah hukum tanpa mengetahui
kebenaran hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai taqlid. Maka
disepakati taqlid tidak diperbolehkan oleh generasi salaf kalangan nabi, tabi’in, para imam
mujtahid, dan para tabi’it. Tetapi setelah perkembangan adanya masa mazhab-mazhab jadi
diperbolehkan untuk bertaqlid. Lebih dari taqlid lebih dianjurkan untuk melakukan ittiba’
yaitu mengikuti hukum atau fatwa dengan mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum
tersebut.
KAJIAN LITERATUR
Kaidah Usul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidahyang disepakati
ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama(mukhtalafun alaih). Kaidah
yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas,sedangkan yang tidak disepakati terdiri
dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf,syar’u man qablana, istishab, qaul sahabi dan seterusnya.
Kaidah yang disepakatidi sini berarti kaidah yang telah diterima dan digunakan oleh
kalangan mujtahiddari semua mazhab. Sedangkan kaidah yang tidak disepakati berarti
kaidahtersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid danmenggunakannya dalamkegiatan
ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain menolaknya, karenamenganggapnya salah.1
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapatlepas dari
ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalamQur ’an dan Sunnah,
maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapiterdapat pada sumber lain yang
diakui syari‘at. Sebagaimana yang di katakanImam Ghazali, bahwa mengetahui hukum
syara’ merupakan buah (inti) dari ilmuFiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini
memang mengetahui hukumsyara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengantinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi
metodologidan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil
penggalianhukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir(pilihan),
maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapanAllah ialah sifat
yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab,
halangan (mani’) dan ungkapan lainyang akan kami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
METODE
Metode yang dilakukan peneliti adalah penelitian kepustakaan atau yang dikenal juga
dengan library research. Penelitian kepustakaan umumnya dilakukan oleh sejumlah ilmuan
dari bidang disiplin ilmu sejarah dan studi agama. Hal tersebut dapat dilakukan karena
penelitian tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara penelitian lapangan, hanya dapat
dilakukan melalui kajian pustaka.2 Sumber-sumber yang didapatkan oleh peneliti dikaji dan
dianalisis secara mendalam untuk menghasilkan sebuah sintesa. Peneliti menggunakan
pendekatan historis yang merupakan pengkajian dari beragam sumber yang berisikan
1
Munadi, Pengantar Ushul Fiqh, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2017), hlm. 3.
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 2–3.

2
Judul Artikel Jurnal
Nama Penulis

informasi tentang sesuatu di masa lampau dan dilaksanakan dengan sistematis. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk memahami dan membahas secara lebih detail hal-hal yang
berhubungan dengan ajaran, sejarah, atau implementasinya dalam kehidupan umat Islam.3

HASIL
Di dalam pengambilan keputusan untuk menemukan jawaban permasalahan maka
perlu menggunakan ilmu dan landasan yang tepat, oleh sebab itu dilarang berbuat taklid,
semata-mata ingin menetapkan suatu hukum, karena taklid itu tidak diperbolehkan. Jangan
pula ikut-ikutan tanpa mengetahui hukum yang pasti dan alasan hukum tersebut. Maka
perlu hati-hati dalam berbuat apalagi persoalan hukum agama.
PEMBAHASAN
1. Taqlid
Secara etimologi, kata "taqlid" berasal dari masdar "qallada" yang memiliki makna
kalung yang dipasangkan kepada orang lain tanpa disadari orang yang
bersangkutan itu sendiri.4
Sedangkan terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai
taqlid5, antara lain:
a) Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari segi lisan maupun
perbuatannya tanpa keraguan sedikitpun dengan tidak adanya penelusuran
lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.
b) Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat tanpa disaring
menggunakan dalil-dalilnya dan tidak memafhumi kapasitas dari dalil-dalil
tersebut.
c) Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar dalilnya.

Pendapat para ulama Ushul mengenai taqlidadalah "menerima sebuah gagasan


seseorang tanpa mengetahui darimana asal muasalnya ataupun landasan dari
gagasan seseorang tersebut". Sedangkan para ulama lain seperti al-Ghazali, asy-
Syaukani dan beberapa ulama lainnya mengartikan taqlid sendiri juga memiliki
inti dan maksud yang tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh para ulama
Ushul tadi.6
Muhammad Rasyid Ridla berpendapat mengenai definisi taqlid yang terdapat
dalam Tafsir al-Manar, berikut perkataannya yaitu: "mengamalkan gagasan
seseorang yang dipandang memiliki integritas tinggi mengenai hukum agama
Islam tanpa menelusuri lebih dulu kebenarannya, kebaikannya serta manfaat atau
tidaknya dari gagasan hukum yang disampaikan orang tersebut".7
Sejalan dengan pembahasan yang sebagaimana telah disinggung di awal tadi,
seseorang yang belum memiliki predikat posisi mujtahid, diharuskan untuk
bermakmum kepada salah satu ulama yang telah memiliki predikat sebagai

3
Sri Haryanto, “Pendekatan Historis Dalam Studi Islam,” Manarul Quran 17, no. 1 (2017): 131.
4
Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes
Sidogiri, 2008), hlm. 21-22.
5
Ibid.,hlm.6.
6
Ibid.,hlm. 21-22.
7
Ibid.,hlm. 22.

3
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

mujtahid muthlaq. Para ulama yang telah menyandang predikat tersebut antara
lain adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.8
Sebagian dari ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar telah
bermufakat bahwasanya tidak ada lagi seorangpun yang telah berhasil menggapai
predikat sebagai mujtahid muthlaq tersebut. "Seorang yang menyandang predikat
sebagai mujtahid muthlaq ataupun mujtahid mustaqil sudah tidak dapat
ditemukan kembali semenjak usainya periode Imam Syafi'i”, menurut Ibnu Hajar.9
Seseorang yang akan bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan untuk
memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:10
a) Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai ketentuan imamnya
dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan kewajibannya.
b) Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam perkara saling
bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tidak
menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai
ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu',
seperti diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.

c) Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang akan ditaqlidkan tersebut.


d) Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut madzhab Syafi'i.
Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat bahwa pada malam
hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa, padahal dalam madzhab
Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa pada malam harinya.
Kemudian pada siang hari tersebut, Umar memutuskan untuk berpindah
haluan ke madzhab Maliki yang notabene tidak mewajibkan berniat puasa
pada malam harinya. Bertaqlid semacam ini memiliki hukum khilaf (boleh
dilakukan apabila tidak ada suatu kesengajaan dan belum mengetahui
hukum madzhab yang dianutnya).

e) Tidak diperkenankan memilih pendapat yang mudah-mudah saja.


Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan memilih
pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.

f) Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah menyandang predikat


sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i
dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada seorang imam yang
menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib (mujtahid yang masih
bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam Rafi'i, Nawawi,
Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat mereka sangatlah
dhaif sekali.

g) Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam dalam satu


persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak disahkannya oleh
masing-masing imam.

8
Ibid.,hlm. 23.
9
Ibid.,hlm. 8.
10
Ibid.,hlm. 23-26.

4
Judul Artikel Jurnal
Nama Penulis

h) Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap sebagian kepalanya saja


layaknya hukum yang terdapat dalam Imam Syafii. Sejalan kemudian kulit si
Khalid bersentuhan dengan seseorang lawan jenis yang bukan mahramnya
tanpa syahwat, Khalid merasa wudhunya tidaklah batal karena dalam hal ini
ia mengikuti Imam Maliki. Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah
shalat. Taqlid semacam ini tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan
hukum yang sama yaitu shalat, si Khalid telah melanggar hukum
persentuhan kulit berdasarkan madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga
melanggar hukum wudhu yang ditetapkan Imam Maliki yang
mengharuskan menguap seluruh bagian rambut. Jadi, menurut pandangan
kedua madzhab, shalat yang ditunaikan oleh Khalid tidaklah sah.
2. Ittiba’
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2 dikatakan bahwa “Kata “Ittiba’” berasal
dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ”Ittaba’”, yang artinya adalah
mengikut atau menurun.”11
Sedangkan Ittiba’ menurut istilah adalah :
ُ‫ع قَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَاِئ ِل َوَأ ْنتَ تَ ْعلَ ُم ُح َّجتَه‬
ُ ‫ اَِأْل ْتبَا‬.
Yang artinya adalah “Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui
dari mana sumber alasan tersebut.”12
Jadi, Ittiba’ berdasarkan definisi bahasa dan istilah adalah diterimanya fatwa
atau perkataan oleh seseorang yang mana perkataan tersebut dapat dipertanggung
jawabkan karena sesuai dengan sumber yang jelas yakni dari Al-Qur’an , Al
Sunnah, serta hasil ijtihad ulama-ulama.13
Selain definisi diatas, ittiba’ juga telah dicetuskan oleh para ahli menurut
pandangannya masing-masing. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
a) Ibnu Katsir
Menurut Ibnu Katsir, ittiba’ berarti “Mengikuti syariat dan agamanya
(al-Sunnah) dalam setiap perkataan dan amal perbuatannya, serta dalam
berbagai keadaan yang dialaminya.”
b) Thaha Jabir Al-Alwani
Menurut Thaha Jabir Al-Alwani, ittiba’ memiliki definisi
“Mengimplementasikan perintah Allah dan Rasul-Nya serta menelisik
berbagai perbuatan dan keadaannya untuk kemudian
mengaktualisasikannya dengan mengikuti jejak langkahnya (iqtidha’).”
c) Al-Badani
Menurut Al-Badani ittiba’ berarti “Mengimplementasikan perintah
dan larangan yang beliau ajarkan seperti layaknya Al-Qur’an, karena
masih dikategorikan sebagai wahyu Allah dan dengan mengaktualisasikan
Al-Sunnah yang suci.”
Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan sebagaimana
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ittiba’ memiliki pengertian sebagai
upaya umat muslim untuk mengikuti serta menerapkan ajaran yang telah
dibawa oleh Rasulullah SAW sesuai dengan perintah ataupun larangan
tanpa ada keraguan.
11
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 195.
12
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Alma’arif, 1973), hlm. 152.
13
A. Hassan, Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid, (Bangil: Pesantren PERSIS, 1984), hlm. 59.

5
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

Muttabi’ adalah seseorang yang menerima perkataan atau fatwa oleh seseorang
Muttaba’ bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Sedangkan
Muttaba’ adalah orang yang memberikan fatwa atau perkataan kepada Muttabi’.
Dan seorang Muttabi’ harus mengetahui bahasa arab atau dalilnya tetapi tidak
harus tahu mengetahui sah atau tidaknya sebuah fatwa atau hadits dikarenakan
seorang Muttaba’ sudah mengatakan sah maka sah lah fatwa tersebut dan seorang
Muttaba’ harus bertanggung jawab atas perkataan nya tersebut dikarenakan
berdosalah dia jika iya tengah berdusta atau mengesahkan sesuatu hadits tanpa
mengecek kebenaran hadits tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk
Muttabi’ maka jika seorang Muttaba’ berdusta seorang Muttabi’ tidak berdosa.14
Dasar Hukum Ittiba’ adalah wajib. Hal ini sebagaimana tercantum dalm surat
al-A’raf ayat 3 yang berbunyi:
َ‫اتَّبِعُوا َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َواَل تَتَّبِعُوا ِم ْن دُونِ ِه َأوْ لِيَا َء ۗ قَلِياًل َما تَ َذ َّكرُون‬
Artinya: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya). (Q.S al-A’raf : 3)
Keberadaan ittiba’ bukan sekedar pendapat para ulama’ saja, melainkan
berasal dari al-Qur’an. Sehingga telah jelas atas perintah bagi umat muslim untuk
mengikuti perintah-perintah Allah SWT dan tidak ada dalil yang dapat
mengubahnya.
Adapun komponen-komponen yang menjadi makna pokok dalam al-ittiba’ di
Islam, yaitu :
a. Usaha untuk dapat mengikuti ataupun meneladani.
b. Adanya pihak yang diikuti untuk dijadikan panutan, yaitu
Rasulullah.
c. Hal yang diikuti merupakan perbuatan, ucapan, akidah, dan
perbuatan lain yang dilakukan tetapi sudah ditinggalkan.
d. Berdasarkan kepada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, yaitu al-Qur’an, Hadits Shahih.
e. Ketika ber ittiba’ mengikuti berdasarkan niat atau kemauan
sendiri bukan karena paksaan atau kebencian dalam hati dan
tetap mengamalkan apa yang telah diikuti.15
Faedah Ittiba’ Melalui penelusuran dan interprestasinya yang benar, maka diantara
kegunaan dan manfaat ittiba’ antara lain:
a) Memperoleh hidayah
b) Mendapatkan keberuntungan
c) Teguh diatas kebenaran
3. Talfiq
Asal kata dari talfiq adalah ‫ لفّق‬yang berarti mempertemukan menjadi satu.
16
Sedangkan makna talfiq dalam ilmu ushul fiqih yaitu:
‫ف بَ ْينَ َم ْذهَبَ ْي ِن اَ ْكثَ َر‬ٍ َّ‫اَ ْل َع َم ُل بِ ُح ْك ٍم ُمَؤ ل‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau lebih”.17

14
Ibid.,hlm. 59.
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 482.
16
Ibid.,hlm. 485.
17
Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 207.

6
Judul Artikel Jurnal
Nama Penulis

Dari penjelasan di atas, maka bisa dikatakan jika talfiq itu memiliki arti yaitu
mencampurkan pendapat dua mujahid atau lebih akan satu masalah yang sama
atapun berbeda. Misalnya, dalam masalah persyaratan sahnya nikah. Kita ambil
contoh hukum diucapkannya mahar dalam akad mengikuti madzhab tertentu dan
untuk hukum kehadiran wali nikah mengikuti madzhab yang lainnya.18
Masalah talfiq hingga sekarang masih sering menjadi perbincangan terutama
bagi madzhab yang memperbolehkan seseorang untuk ber-talfiq. Meskipun
demikian adanya, para mujtahid menganjurkan agar kita bisa menghindari taqlid
tapi menjalankan ittiba’, dan ketika seseorang sudah ber-ittiba’ tidak menutup
kemungkinan dia akan ber-talfiq dan hukum yang demikian ini boleh menurut
beberapa madzhab. Adapun lebih jelasnya mengenai perbedaan hukum dari pada
talfiq adalah sebagai berikut:
a. Hukum talfiq yang pertama adalah tidak boleh. Artinya seseorang itu
tidak boleh berpindah madzhab dalam suatu masalah yang sama
ataupun berbeda. Madzhab yang berpendapat demikian adalah madzhab
Syafi’i.
b. Sedangkan madzhab Hanafi memiliki pendapat yang lebih ringan dari
Syafi’i, yaitu memperbolehkan ber-talfiq dalam masalah yang berbeda.
Misal, hal-hal yang membatalkan wudlu mengikuti madzhab tertentu
dan masalah tentang massa iddah wanita yang ditalak mengkuti
madzhab tertentu.
c. Ada juga yang berpendapat jika ber-talfiq itu boleh jika dimaksudkan
untuk menghindari kesulitan ajaran agama yang dianutnya. Atau dalam
hal berjuang untuk kemaslahatan umum juga diperbolehkan untuk ber-
talfiq.
d. Dan hukum ber-talfiq juga bisa menjadi haram apabila seseorang itu
melakukannya atas dasar ingin melecehkan agama.19
Adapun macam-macam dari talfiq yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Talfiq li tatabu‟I al-rukhash
Talfiq ini merupakan talfiq yang dipakai atau diamalkan oleh
seseorang yang mengambil hukum yang paling mudah dan ringan dari
berbagai madzhab, dari masalah-masalah yang muncul walaupun tidak
ada alasan udzur ataupun dharurat secara syar‟i. Seperti contoh
seseorang mentaqlid kepada Imam malik bahwa menyentuh lawan jenis
tidak dapat membatalkan wudhu selama tidak ada syahwat, lalu
bertaqlid kepada Imam Syafi‟I mengenai menggosok badan merupakan
rukun wudhu serta bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah mengenai
menyapu rambut merupakan rukun wudhu.
b. Talfiq yang mewajibkan adanya pembatalan keputusan hakim
Seperti contoh seseorang mengikuti madzhab sunni yang menjelaskan
bahwa talak itu sah jika dijatuhkan tanpa saksi, lalu mengambil pendapat
syi‟ah mengenai talak bahwa hukum talak bisa menjadi sah jika dijatuhkan
dihadapan saksi-saksi.
c. Talfiq yang mengharuskan ruju‟ dari amal yang dikerjakan secara taqlid
Seperti contoh seseorang yang mertaqlid kepada Imam Abu Hanifah
18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 482.
19
Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 208.

7
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

bahwa menikah tanpa wali, lalu bertaplid kepada Imam Syafi‟I bahwa
pernikahan dapat jatuh talak jika pernikahan tersebut tidak dihadiri oleh wali.
4. Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata “jahada” ada dua bentuk yang berbeda
kata masdar-nya artinya :
a. Jahdun (‫ )جهد‬yang bermakna keseriusan dan kesunggguhan sepenuh hati.
b. Juhdun (‫ )جهد‬yang bermakna kemampuan atau kesanggupan (yang
didalamnya mengandung arti sangat sulit, susah dan berat).20
Ijtihad menurut istilah ialah proses dan usaha yang sungguh-sungguh oleh
seorang faqih atau ahli agama dalam memeriksa dan menyelidiki Al-Quran dan
As-sunnah untuk memperoleh kesangkaan yang berat atau hukum hingga
mencapai tingkat maksimal.
Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad, harus memenuhi syarat
berikut ini :
a. Mengetahui dan memahami bahasa Arab
b. Memahami Al-Quran dan Nasikh Mansukh
c. Memahami tentang sunnah
d. Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’kan
e. Memahami tentang qiyas
f. Mengetahui maksut-maksut hukum
g. Berhati bersih dan berniat lurus menurut sebagian ulama, hal ini untuk
mempermudah pemecahan dalam masalah.
Hukum ijtihad untuk mujtahid tergantung keadaan tertentu, karena
kedudukannya sebagai seorang faqih pendapatnya diikuti dan di amalkan orang
lain.
a. Wajib ‘Ain
Seseorang akan dihukumi wajib ain dalam melakukan ijtihad apabila ia adalah
satu-satunya seorang faqih yang mampu melakukan ijtihad pada waktu itu. Dan
apabila dia tidak mau melakukan dikhawatirkan suatu permasalahan itu lepas dari
hukum.
b. Wajib Kifayah
Seseorang akan dihukumi wajib kifayah dalam melakukan ijtihad apabila
dilingkungan tersebut dan pada waktu itu ada beberapa orang yang mampu
berijtihad.
c. Sunnah
Seseorang akan dihukumi sunnah dalam berijtihad apabila permasalahan yang
diajukan oleh masyarakat belum terjadi dan dikhawatirkan akan terjadi di
kemudian hari.
d. Haram
Seseorang akan dihukumi haram dalam berijtihad apabila hukum itu sudah
ditetapkan dengan jelas dan sudah berlaku. Dan dia tidak memiliki ilmu tentang
ijtihad.
e. Mubah
Seseorang akan dihukumi mubah apabila sudah ada hukum namun sandaran
hukumnya lemah.

20
Ibid.,hlm. 178.

8
Judul Artikel Jurnal
Nama Penulis

Para ulama ushul fiqh telah membagi macam-macam ijtihad dari berbagai segi,
berikut pembagiannya :
a. Dilihat dari segi kerja mujtahid terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Ijitihad istinbati, yaitu berusaha untuk berijtihad dengan mengeluarkan
hukum dari dalilnya dengan cara menetapkan sendiri metodenya.
2. Ijtihad tathbiqi, yaitu berusaha untuk berijtihad menggali dan menetapkan
hukum dengan metode yang sudah ditetapkan oleh generasi imam sebelumnya.
b. Dilihat dari segi penerapan metode yang telah diterapkan sebelumnya
terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Tahkrij al-manath, yaitu menghubungkan hukum dengan hukum yang
sudah ditetapkan mujtahid sebelumnya.
2. Ijtihad Tarjih, yaitu usaha memilih yang terkuat dengan membandingkan
antara beberapa pendapat ulama terdahulu kemudian menetapkan hukum.21
Hukum dari suatu permasalahan yang belum jelas dalilnya, baik yang ada di
Al-Quran dan Sunnah itulah yang akan mejadi kajian dari ijtihad itu atau yang
disebut dengan zhanny.Selain zhanny yang menjadi bahasa dalam ijtihad adalah
sesuatu yang bersifat Qaht’i yaitu sesuatu yang telah jelas dalilnya seperti
kewajiban melaksanakan shalat,zakat, puasa dan lain sebagainya.Secara logika
hasil ijtihad itu tidak selalu benar, dan ketika hasilnya salah maka mujtahid itu
akan berdosa. Akan tetapi hal ini dipatahkan pendapatnya Al-Anbary dan Al-
Jahiz. Beliau mengatakan bahwa semua hasil ijtihad itu benar dan tidak ada dosa
baginya.22
Seorang mujtahid bila menemui atau menghadapi suatu permasalahan yang
membutuhkan jawaban hukum, maka perlu memperhatikan langkah-langkah
berikut ini:Pertama, berpedoman pada Al-Quran terlebih dahulu, mencari
jawabannya di dalam Al-Quran, apabila tidak ditemukan maka perlu mendalami
dan mengamati dari segi umum dan khusus, mutlaq dan muqayyadnya, dari segi
nasakh mansukh. Bila tidak menemukan lagi harus mencari di balik yang
tersurat.Kedua, berpedoman pada Sunnah nabi Muhammad, setelah mencari pada
Al-Quran.Ketiga, kemudia mencarinya pada ijma’. Keempat, bila tidak ditemukan
jawabannya pada ijma’ maka perlu mencarinya pada qiyas. Kelima, apabila sudah
mencarinya dengan menghubungkannya pada Al-Quran, sunnah dan sudah
berusaha semaksimal mungkin, maka perlu menggali dan menetapkannya dengan
cara melihat keluar nash Al-Quran dan sunnah dengan dalil-dalil yang diyakini
kebenarannya.23
Adapun manfaat terbagi menjadi tiga bagian, yakni :
a. Membantu dalam mengatasi hukum permasalahan yang belum ada.
b. Menentukan serta menetapkan hukum baru sesuai dengan perkembangan
zaman.
c. Menentukan serta menetapkan fatwa sesuai dengan permasalahan yang
tidak berhubungan dengan halal-haram.
SIMPULAN

21
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 147.
22
Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 181.
23
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.152.

9
Mu’tallim: Jurnal Pendidikan Agama Islam
Vol. 1, No. 1 (2022)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam mengatasi
problematika kehidupan yang semakin berkembang maka diperlukannya ijtihad untuk
menemukan solusi dalam permasalahan-permasalahan kehidupan. Dengan cara yang benar,
berpedoman pada Al-Quran, sunnah Nabi, ijma, dan juga qiyas.Apabila dalam menjumpai
permasalahan dalam kehidupan maka bolehlah ber-ittiba’ yang kemudian tidak menutup
kemungkinan akan terjadi perbuatan talfiq. Namun dalam hal ini tidak lepas dengan yang
namanya mengetahui dan memahami hukum yang pasti.
REFERENSI
Djalil, Basiq.Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2010.
Haryanto, Sri. “Pendekatan Historis Dalam Studi Islam,” Manarul Quran 17, no. 1 (2017): 131.
Hassan, A. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid. Bangil: Pesantren PERSIS. 1984.
Munadi.Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press. 2017.
Rifa’I, Moh. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif. 1973.
Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana. 2008.
Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri.Fikih Kita di Masyarakat. Pasuruan: Pustaka
Sidogiri Pon.Pes Sidogiri. 2008.
Zed, Mestika.Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2014.

10

Anda mungkin juga menyukai