Anda di halaman 1dari 11

AL-ISLAM DAN KEMUHAMMDIYAHAN

Metode Ijtihad dalam Majlis Tarjih

Dosen Pembimbing :

H. NASRUDIN, SPdI, SE, MSI

Disusun oleh :

Fery Setyawan (192520043)

FAKULTAS TEKNIK
TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
LATAR BELAKANG

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah
SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-
masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal
dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri,
ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks problematikanya. Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam
hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer
seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak
lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan
hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam
segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu”
dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks. Sesungguhnya ijtihad
adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an
dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan
atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap
sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng
telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-
masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah
maupun yang baru terjadi.
Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai
berikut:

- pengertian IJtihad

- pengertian manhaj tarjih

- metode ijtihad dalam majlis tarjih

- sejarah singkat

- contoh produk tarjih

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad


2. Mengetahui pengertian manhaj tarjih
3. Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah. Menambah wawasan penulis dan pembaca
mengenai Ijtihad
5. Mengetahui sejarang singkat
6. Mengetahui hokum-hukum
A,Pengertian Ijtihad

ijtihad artinya mencurahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum berdasarkan Al-Qur’an


hadis atau dalil yang sifatnya dhanni. Jadi, ijtihad itu pada wilayah furu' atau fiqih, dan bukan
pada hal yang bersifat qathiy atau sudah jelas.

Secara sederhana, ijtihad dapat diartikan sebagai upaya manusia dengan mengeluarkan tenaga
atau kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
SAW.

Ijtihad menjadi cara untuk mencapai ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku manusia
yang berkaitan dengan pengalaman ajaran-ajaran dalam agama Islam.

Sebab ijtihad merupakan sesuatu yang sangat penting dalam ajaran agama, ijtihad hanya boleh
dilakukan oleh orang memenuhi persyaratan tertentu. Orang-orang yang memenuhi syarat ini
biasanya disebut sebagai mujtahid.

B.Pengertian Manhaj Tarjih

Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih
lebih dari sekedar “cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu
usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i
yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga
diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu
masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah
dan lebih maslahat untuk diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan
ijtihad dan merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi
ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab, dan ijtihad
tarjih.
Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami pergeseran makna dari
makna asli dalam disiplin usul fikih. Dalam Muhammadiyah dengan tarjih tidak hanya diartikan
kegiatan sekedar kuat-menguatkan suatu pendapat yang sudah ada, melainkan jauh lebih luas
sehingga identik atau paling tidak hampir identik dengan kata ijtihad itu sendiri. Dalam
lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai “setiap aktifitas intelektual untuk
merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari
sudut pandang norma-norma syariah.” Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama
dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam. Hal ini
terlihat dalam berbagai produk tarjih seperti putusan tentang etika politik dan etika bisnis
(Putusan Tarjih 2003), masalah-masalah perempuan seperti dalam Adabul Marah fil-Islam
(Putusan Tarjih 1976), fatwa tentang face book yang sudah dibuat Majelis Tarijih dan Tajdid dan
akan segera dimuat dalam Suara Muhammadiyah. Jadi tarjih tidak hanya sekedar menguatkan
salah satu pendapat yang ada.

Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan berdasarkan
kepada asas-asas dan prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan metode-metode yang
melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi tarjih).
C. Metode Ijtihad Dalam Majlis Tarjih

Dalam menentukan suatu hukum, Manhaj Tarjih Muhammadiyahn menggunakan dua metode,
yaitu: metode asumsi integralistik dan metode asumsi hierarkis.

Menurut Syamsul Anwar, metode asumsi integralistik merupakan kumpulan dalil-dalil baik yang
berkaitan langsung maupun yang tidak langsung tentang suatu persoalan kemudian
dikoroborasikan.

“Integralistik itu berarti sumber-sumber material syariah itu tidak bisa digunakan secara satu
persatu, secara mandiri, misalnya, dapat satu hadis terus berfatwa, tidak bisa seperti itu. Kalau
ketemu satu hadis harus mencari hadis baik yang sepadan maupun yang menentangnya
kemudian dikaitkan dengan al-Quran,” terang Syamsul dalam acara Kajian Hakim Bersinar pada
Rabu (01/09).

Sedangkan metode asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berlapis dari
norma yang paling bawah hingga norma paling atas. Syamsul menerangkan apabila lapisan
norma tersebut dilihat dari atas ke bawah maka lapisan norma pertama ialah nilai-nilai dasar
(al-qiyam al-asasiyyah), kemudian prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah), dan lapisan paling
bawah ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) merupakan pokok-pokok universal ajaran Islam. Syamsul
menerangkan bahwa al-qiyam al-asasyyah atau nilai-nilai dasar tersusun dalam tiga kategori,
yaitu: nilai dasar teologis (al-qiyam al-‘aqidah/al-ilahiyyah) seperti tauhid, nilai dasar moral (al-
qiyam al-khuluqiyyah) seperti keadilan, dan nilai dasar yuridis (al-qiyam al-syar’iyyah) seperti
kemaslahatan.

Sedangkan prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyah) merupakan turunan dari nilai dasar dan
abstraksi dari lapisan norma di bawahnya. Isinya berupa kaidah-kaidah Hukum Islam (al-qawa’id
al-fiqhiyyah) dan asas-asas Hukum Islam (an-nazariyyat al-fiqhiyyah). Peran prinsip-prinsip
umum ini, kata Syamsul, juga sebagai jembatan yang menghubungkan nilai dasar dan ketentuan
praktis.

Sementara ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah) merupakan norma-norma konkret


yang memuat hukum taklifi (halal-haram) dan wad’i (syarat-sebab). Jadi, menurut Syamsul, cara
berijtihad di lingkungan Muhammadiyah tidak langsung halal, haram, makruh, mubah, atau
sunah, namun harus melalui serangkaian nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip umum terlebih
dahulu.

“Jadi, fikih itu dalam pandangan Majelis Tarjih bukan langsung halal dan haram. Tapi fikih itu
ada nilai-nilai dasar atau ajaran universal agama Islam seperti keadilan, tauhid, kemasalahatan,
ini menjadi landasan bagi seluruh fikih,” imbuh Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga ini.

Syamsul kemudian memberikan contoh sederhana penggunaan metode asumsi hirarkis ini,
misalnya: nilai dasar kemaslahatan, diturunkan ke prinsip umum bahwa al-masyaqqatu tajlib al-
taysir atau kesulitan membawa pada kemudahan, maka norma praktisnya adalah kebolehan
berbuka puasa bagi orang yang berada dalam perjalanan atau sakit.
D. Sejarah Singkat

Sejarah Singkat Pada tahun 1927 di dalam Muktamar Muhammadiyah, yang dahulu disebut
dengan Congres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, almarhum KH. Mas Mansur yang pada
waktu itu menjabat sebagai Consul Muhammadiyah Daerah Surabaya, mengajukan usul kepada
Muktamar agar di dalam organisasi Muhammadiyah dibentuk suatu majelis. Yaitu, semacam
Majelis Ulama yang bertugas khusus untuk membahas masalah-masalah agama. Alasan yang
mendorong beliau mengajukan usul itu, karena beliau khawatir akan timbul perpecahan di
dalam tubuh Muhammadiyah, yang mungkin berakibat pecahnya organisasi Muhammadiyah.
Perpecahan yang disebabkan perbedaan faham dan pendapat mengenai masalah-masalah
furu’iyah di kalangan Ulama Muhammadiyah sendiri. Sebagaimana kenyataan dalam sejarah
bahwa karena masalah khilafiyah itulah timbulnya pertentangan atau perpecahan di kalangan
ummat Islam, terutama ulamanya. Dan yang lebih dikhawatirkan lagi, bilamana Muhamadiyah
sampai menyimpang dari garis-garis hukum agama yang hanya dikarenakan mengejar
kebesaran lahir dan kuantitas, tetapi lupa akan isi dan kualitasnya. Usul beliau tersebut di atas
diterima oleh Muktamar secara aklamasi. Dan sejak itulah mulai berdirinya Majelis Tarjih yang
semula diusulkan dengan nama Majelis Tasyri’. Kemudian sesudah itu sebagai persiapan mulai
dihimpun dan disusun beberapa masalah agama, terutama yang menjadi pembicaraan ramai di
kalangan ummat Islam pada waktu itu, seperti: masalah gambar, alatul malahi, masalah
kenabian sesudah Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu sedang ramainya orang
membicarakan ajaran Ahmadiyah Qadian, yang beranggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah seorang Nabi, dan lain-lain masalah.
E. Contoh Produk Tarjih

Produk-produk Pertama Baru pada tahun 1929, yaitu pada waktu Congres Muhammadiyah ke-
18 di Solo, Majelis Tarjih mulai sidangnya yang pertama kali. Dalam sidangnya yang pertama kali
ini, telah dapat diselesaikan serta diputuskan sekitar Tuntunan ’Aqaidul Iman, Tuntunan Shalat,
dan beberapa masalah yang telah menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama. Baca
Juga Islam Berkemajuan dan Covid-19: Agama Menjadi Solusi Kehidupan Kemudian, berturut-
turut tiap tahun bersama-sama dengan Muktamar Muhammadiyah, Majelis Tarjih pun selalu
mengadakan muktamarnya guna membahas, melengkapi Tuntunan-tuntunan ibadah bagi
keluarga Muhammadiyah, antara lain yang sudah dapat diselesaikan serta dapat diputuskan
ialah: Tuntunan Thaharah, Janazah, Siyam, Wakaf, Haji, Jamaah dan Jum’ah, Konsep Pandu
Putri. Disamping itu, telah dapat pula diambil keputusan sekitar beberapa masalah, antara lain:
masalah aurat lelaki, safarul mar’ah, hisab dan ru’yah, hukum lotre, Bank Muhammadiyah,
masalah lima, yaitu: apakah agama atau ad-din, umuruddun-jawiyah, sabilillah, ibadah, dan
masalah qiyas dan lain-lain. Yang kemudian semua keputusan-keputusan tersebut telah
dibukukan (diterbitkan) untuk pegangan dan pedoman bagi anggota dan keluarga
Muhammadiyah khususnya dan ummat Islam umumnya.
PENUTUP

Kesimpulan
Sebagai sebuah gerakan Islam yang lahir pada tahun 1912 Masehi dan kini hampir
memasuki usia 100 tahun, telah banyak yang dilakukan oleh Muhammadiyah bagi
masyarakat dan bangsa Indonesia secara luas. Sehingga harus diakui bahwa
Muhammadiyah memiliki kontribusi dan perhatian yang cukup besar dalam dinamika
kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah untuk
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Persyarikatan Muhammadiyah telah menempuh berbagai usaha
meliputi bidang dakwah, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan sebagainya, yang secara
operasional dilaksanakan melalui berbagai institusi organisasi seperti majelis, badan, dan
amal usaha yang didirikannya.

Saran
Sebagai bagian dari warga muhammadiyah tentunya kita harus mengetahui dan memahami
segala bentuk hokum-hukum yang ada itu sendiri agar kita mengetahui sejauh mana
perkembangan Muhammadiyah dan seberapa besar pengaruh Muhammadiyah dalam
kehidupan bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/4884/
https://www.merdeka.com/jabar/ketahui-pengertian-ijtihad-rukun-beserta-fungsinya-berikut-
syarat-dari-mujtahid-kln.html
https://muhammadiyah.or.id/apa-itu-manhaj-tarjih/

Anda mungkin juga menyukai