Imron Rosyadi
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102
Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448
Email: imronkham40@yahoo.co.id
ABSTRACT
M uhammadiyah, the largest Islamic movement in this country,
which is engaged in various fields of the human issues, including the
emergence of the Muhammadiyah Legal Affairs Board, as an umbrella
of religious issues of Muhammadiyah followers.
In this paper the authors explain the urgency of the
Muhammadiyah Legal Affairs Board, Muhammadiyah Legal Affairs
Board is ijtihad collective in Muhammadiyah organization whose job
is to formulate the fatwa. There are three types of products of
Muhammadiyah Legal Affairs Board, first, the decision of Fatwa by
Muhammadiyah Legal Affairs Board, second , Fatwa of
Muhammadiyah Legal Affairs Board and third is the discourse
Muhammadiyah Legal Affairs Board. These products can be used as a
guide for Muhammadiyah members, and people in general.
Keywords: ijtihad collective, Muhammadiyah,
Fatwa Tarjih Sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah (Imron Rosyadi) 1
Pendahuluan dapat diputuskan oleh Majelis ini
sehingga warga Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah
tidak terbelah ke dalam berbagai
satu gerakan Islam terbesar di Indo-
pendapat dalam mengamalkan
nesia. Ia merupakan pelopor ge-
ajaran Islam, khususnya terkait
rakan pembaharuan Islam terdepan.
dengan masalah-masalah yang
Dalam aktivitasnya, Muham-
berhubungan dengan fikih dan
madiyah bergerak dalam berbagai
masalah keagamaan lainnya. Salah
bidang, kecuali dalam bidang politik
satu produk Majelis Tarjih yang
praktis. Berbagai majelis telah
dapat dijadikan sebagai pedoman
dibentuk oleh Muhammadiyah
warga Muhammadiyah dalam
sebagai upaya membangun umat.
berislam adalah Fatwa Tarjih. Ia
Majelis Tarjih merupakan salah satu
merupakan produk ijtihad Jama’i
majelis yang dibentuk untuk
Majelis Tarjih.
memayungi masalah-masalah ke-
agamaan bagi warga Muham-
madiyah, dan kaum Muslim Indo- Ijtihad menurut Majelis Tarjih
nesia pada umumnya.
Ijtihad merupakan sesuatu yang
Majelis Tarjih didirikan me- mendasar dalam Islam. Ia me-
mang tidak bersamaan dengan rupakan dinamisator Islam ditengah
kelahiran Muhammadiyah yang perubahan sosial yang cepat sebagai
dideklarasikan pada tahun 1330 H konsekuensi kecanggihan ilmu
bertepatan dengan tahun 1912 M. pengetahuan dan teknologi saat ini.
Keberadaan Majelis Tarjih dalam Oleh karena itu, tidak ada alasan
Muhammadiyah merupakan hasil untuk menolak urgenitas ijtihad ini
keputusan Kongres Muhammadi- dalam memandu perjalanan sejarah
yah ke-16 di Pekalongan pada tahun kehidupan di dunia ini. Menurut
1927, yang saat itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ijtihad tidak akan
Muhammadiyah di bawah ke- pernah tertutup. Bagi Muhammad-
pemimpinan KH. Ibrahim (1878- iyah, ijtihad yang tidak pernah
1934).1 Pada Kongres itu diusulkan tertutup itu merupakan satu paket
perlunya Muhammadiyah memiliki yang utuh dengan tajdid dan slogan
Majelis yang memayungi persoalan- kembali kepada al-Quran dan al-
persoalan hukum. Sunnah al-Maqbulah . Ketiganya
Melalui Majelis Tarjih, per- tidak boleh dipisahkan dalam setiap
soalan- persoalan hukum yang paham keagamaan Muhammadi-
dihadapi warga Muhammadiyah yah.2
1
Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Buku Agenda
Musyawarah Nasional Ke-27 Tarjih Muhammadiyah (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang, 2010), hlm. 49.
2
Amin Abdullah, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman,” dalam
Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas (ed.), Pengembangan Pemikiran Keislaman: Purifikasi
dan Dinamisasi (Yogyakarta: LPPI UMY, 2000), hlm. 1.
3
Lihat, Manhaj Tarjih, Tahun 2006, Bab III Sub A.
4
Ibid., Bab III Sub E.
5
Ibid. , Bab III Sub C.
6
Ibid.
7
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos,
1995), hlm. 62.
Fatwa Tarjih Sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah (Imron Rosyadi) 3
Posisi ijtihad menurut Majelis Secara lugawi , kata ijtihad
Tarjih bukan sebagai sumber merupakan bentuk masdar (kata
hukum.8 Penjelasan Majelis Tarjih benda jadian, bentuk kata ketiga)
tentang posisi ijtihad ini tampaknya yang berasal dari akar kata ( fi‘il
merupakan penegasan untuk mujarrad ): jahada-yajhadu-juhd.
mereposisi terhadap pendapat Dilihat dari sini, kata ijtihad seakar
sebagian orang yang memposisikan kata dengan kata jihad, suatu istilah
ijtihad itu sebagai sumber hukum. yang sering dikonotasikan dengan
Bagi Majelis Tarjih, sumber hukum perang di medan perang melawan
Islam adalah al-Quran dan as- musuh. Kata jahada ( fi’il madzi,
Sunnah al-Maqbulah.9 Ijtihad dalam bentuk pertama) ini kemudian
pandangan Majelis Tarjih dengan mengikuti wazan ifta»ala sehingga
demikian tidak dipahami sebagai menjadi ijtahada. Dari kata ijtahada
produk tetapi sebagai suatu proses ini lah kata ijtihad itu terbentuk,
untuk menjelaskan suatu aktivitas ijtahada-yajtahidu-ijtihadan. Secara
dalam menemukan suatu hukum. etimologi, kata jahada memiliki arti
Sebagaimana telah dikemukakan leksikal, yaitu mâqah (kemampuan),
sebelumnya, bahwa ijtihad dapat masyaqqah (kesulitan), mubalagah
dilakukan dengan menggunakan (sungguh-sungguh) dan al-gayah.10
metode, pendekatan dan teknik Berangkat dari makna kata
tertentu. jahada secara etimologis tersebut,
Sebagai perbandingan atas para ulama mencoba mendefinisikan
makna ijtihad menurut Majelis kata ijtihad secara etimologis. Ibn
Tarjih, perlu kiranya dikemukakan Manzûr, misalnya dalam bukunya
makna ijtihad dalam kajian usul Lisan al-»Arab , menyebutkan
fikih. Para ulama usul fikih telah bahwa kata ijtihad mempunyai arti
memberikan definisi ijtihad yang bazl al-wus‘i wa al-majhûd (pen-
beragam dari sisi redaksionalnya, curahan suatu kemampuan, ke-
namun secara substantif definisi- sanggupan, kekuatan dan kerja
definisi itu tidak jauh berbeda satu keras untuk mendapatkan se-
dengan lainnya. Dengan kata lain, suatu). 11 Menurut ar-Râzî, kata
perbedaan-perbedan dalam mem- ijtihad memiliki makna istafraga
berikan definisi ijtihad lebih cen- wus‘ahu fi haml as-saqil (seseorang
derung pada aspek redaksional, berdaya upaya untuk membawa
tetapi secara substantif, definisi- sesuatu yang berat).12 Bila dicermati
definisi itu adalah sama. makna ijtihad secara etimologis ini
8
Manhaj Tarjih, Tahun 2006, Bab III Sub C.
9
Ibid., Bab III Sub B.
10
Louis Ma‘luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam (Beirtu: Dar al-Masyriq, t.t.), hlm. 105-
106.
11
Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab (Mesir: Dar al-Micriyyah, t.t.), Juz IV, hlm. 107-109.
12
Ar-Razi, al-Mahsul fi Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t.), Juz II, hlm. 489.
13
Ibrahim Hosein, “Taqlid dan Ijtihad,” hlm. 320.
14
Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), hlm. 350.
15
Ibrahim Hosein, “Taqlid dan Ijtihad,” hlm. 321.
16
Al-Imari, al-Ijtihad fi al-Islam (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1981), hlm. 28
Fatwa Tarjih Sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah (Imron Rosyadi) 5
memodifikasinya melalui cara bangan perubahan masyarakat
sedemikian rupa sehingga suatu dewasa ini. Oleh karenanya, ijtihad
situasi baru dapat dicakupkan di itu hukumnya wajib untuk di-
dalamnya dengan suatu solusi lakukan, baik secara individual
baru.17 maupun kolektif, sehingga Islam
Perluasan ijtihad seperti sebagai agama dapat memberikan
dijelaskan di atas, menurut Ilyas arah terhadap perubahan masya-
Supena dan M. Fauzi, merupakan rakat itu sendiri. Menurut asy-
kebutuhan mutlak bagi pengemba- Syahrastani, hukum ijtihad itu wajib
ngan hukum Islam di tengah kifayah bukan wajib ‘ain.19 Artinya,
pergulatan perubahan masyarakat jika ijtihad itu telah dilakukan oleh
dewasa ini. Menurut keduanya, seseorang maka orang lain sudah
ijtihad adalah upaya berfikir tidak memiliki kewajiban untuk
sungguh-sungguh yang dilakukan melakukan ijtihad.
oleh orang Islam (baik secara indi- Sangat menarik hukum ijtihad
vidual maupun kolektif) yang yang dikemukakan asy-Syahrastani
merasa dan dinilai mampu untuk di atas. Secara implisit, asy-
menggali hukum dari nash al-Quran Syahrastânî ingin menunjukkan
dan as-Sunnah al-Maqbulah, baik bahwa tidak boleh suatu ijtihad itu
yang zhannî maupun qathi dalalah- berhenti atau tertutup. Ijtihad harus
nya.18 Apa yang dikemukakan oleh tetap berlangsung mengiringi
Ilyas dan Fauzi ini masih perlu perjalanan sejarah umat Islam
diberikan tambahan, yaitu menggali sebelum kiamat datang. Kesadaran
hukum dengan menggunakan akan ijtihad ini didorong oleh
metode dan dalil hukum lainnya sebuah keyakinan yang mendalam
jika pada al-Quran dan as-Sunnah bawa bila terjadi kebekuan ijtihad
al-Maqbulah tidak ditemukan suatu akan memunculkan implikasi
hukum sesuai dengan masalah tertentu dalam membangun per-
yang dihadapi sehingga dapat adaban Islam, lebih-lebih untuk
ditemukan solusi baru. dewasa ini, ijtihad itu sangat di-
Dari uraian-uraian di muka, perlukan sebab melalui ijtihad
nampak dengan jelas tentang dinamika peradaban Islam akan
urgennya posisi ijtihad dalam pe- berkembang. Jika terjadi kekosong-
ngembangan hukum Islam ke an ijtihad dalam suatu masa dapat
depan, lebih-lebih bila dikaitkan diduga keras kemajuan Islam akan
posisi ijtihad vis-a-vis perkem- mengalami kemerosotan. Perspektif
ini kalau ditarik untuk membaca
17
Jalaluddin Rahmat, “Ijtihad Sulit, Tapi Perlu,” dalam Haidar dan Syafiq Basri (ed.), Ijtihad
Dalam Sorotan (Bandung Mizan: 1996), hlm. 183.
18
Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta:
Gama Media, 2002), hlm. 183-184.
19
Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, tahqîq Muhammad Sayyid Kaelanî (Mesir: Mustafa
al-Babi al-Kalabi, 1967), Juz I, hlm. 205.
20
Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih, Tanya Jawab Agama 2 (Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah, 2003), Cet. VI, hlm. 217.
Fatwa Tarjih Sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah (Imron Rosyadi) 7
Namun dengan perkembangan oleh Muhammadiyah yang se-
masyarakat dari waktu ke waktu, karang jumlahnya ratusan. Tajdid
ijtihad dapat dilakukan secara juga dikembangkan dalam fatwa-
kolektif (al-ijtihad al-jama’i). Yang fatwa Majelis Tarjih. Hal ini di-
dimaksud dengan ijtihad kolektif karenakan Muhammadiyah me-
adalah ijtihad yang dilakukan secara nyebut dirinya sebagai gerakan
kolektif, yaitu kelompok ahli hukum tajdid. Dengan kata lain, meminjam
Islam yang berusaha untuk men- istilah Syamsul Anwar, orientasi
dapatkan hukum sesuatu atau tajdid dapat ditemukan dalam
beberapa masalah hukum Islam.21 kegiatan ketarjihan dan produk-
Ijtihad yang disebut terakhir ini produk ketarjihan.23
merupakan pilihan Muhammadi- Achmad Jainuri, dalam buku-
yah, khususnya di Majelis Tarjih. nya Ideologi Kaum Reformis
Jika terjadi dua ijtihad dengan hasil menemukan bahwa para pendahulu
yang berbeda antara warga Muhammadiyah menyadari adanya
Muhammadiyah secara personal perubahan-perubahan berikut
sekalipun anggota Majelis dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya
hasil ijtihad Majelis Tarjih, maka dalam setiap masa, termasuk abad
yang digunakan sebagai pedoman ke-20, abad di mana mereka, para
organisasi adalah ijtihad dari Majelis pendiri dan pelanjut Muhammadi-
Tarjih.22 Dengan kata lain, Majelis yah hidup. Perubahan-perubahan
Tarjih merupakan lembaga ijtihad tersebut akan menghadapkannya
jama’i yang bertugas merumuskan dengan agama, khususnya peran
fatwa. dan fungsinya dalam konteks
Tajdid yang dilakukan Mu- perubahan itu. Kaum Muslimin In-
hammadiyah tidak semata diarah- donesia telah dihadapkan pada
kan pada upaya mereformasi perubahan itu menjadikan kaum
praktik-praktik akidah dan ibadah Muslimin terbelakang, baik secara
yang dinilai telah mengalami pendidikan maupun ekonomi.
pembiasan-pembiasan karena itu Karena itu, Ahmad Dahlan sebagai
perlu dilakukan purifikasi atas pendiri Muhammadiyah mencoba
praktik akidah dan ibadah. Tetapi menjadikan Muhammadiyah se-
tajdid dimaknai sebagai upaya bagai gerbong untuk mereformasi
membangun dunia yang modern keadaan kaum muslimin dari sisi
dengan basis ajaran Islam. Sasaran keagamaan dan sosial ekonomi.24
yang disebut terakhir ini dapat Dalam pandangan Muhamma-
dilihat pada dunia pendidikan dan diyah, misi tajdid harus mencakup
rumah sakit yang telah didirikan
Ibid.
21
25
Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000),
hlm. 1.
26
Ahmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, hlm. 6.
27
Syamsul Anwar, “Kata Pengantar Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah,” dalam Tim MTT PP Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab
Agama 5 (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2000), hlm. xii.
Fatwa Tarjih Sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah (Imron Rosyadi) 9
kan oleh warga Muhammadiyah, bagai Wilayah Muhammadiyah se-
mulai dari persoalan akidah, ibadah, Indonesia ditambah utusan dari
muamalat, politik, ilmu-ilmu al- berbagai organisasi kemasyarakatan
Quran, as-Sunnah al-Maqbulah dan yang berbasis Islam. Dalam me-
seterusnya.28 Sedangkan publikasi mecahkan suatu masalah, Munas
Tarjih adalah makalah dan pe- Tarjih selalu menghadirkan seorang
nerbitan buku yang dianggap dapat yang ahli dibidangnya, umpama-
memberikan wawasan tentang nya, masalah ekonomi, maka Munas
keislaman yang dipandang relevan Tarjih akan mengundang seorang
dengan perspektif Majelis Tarjih.29 yang ahli dalam bidang persoalan
Dilihat dari substansi isi antara ekonomi sehingga persoalan yang
Keputusan Tarjih dan Fatwa Tarjih, akan dijadikan Keputusan Tarjih
keduanya sama-sama membahas betul-betul dipahami dengan sangat
berbagai persoalan dalam Islam, baik. Sedangkan Fatwa Tarjih yang
dimulai dari masalah akidah, dikoordinasikan oleh divisi yang
ibadah, muamalat, ‘ulum al-Quran, dibentuk oleh Pimpinan Majelis
‘ulum as-Sunnah al-Maqbulah dan Tarjih. Fatwa Tarjih dapat dibuat
berbagai macam persoalan lainnya. setiap saat sesuai dengan kebutuhan
Adapun yang berbeda adalah teknis dan keperluan. Dari sini, bila
pembuatan dan daya ikat kepada dibandingkan dengan Keputusan
warga Muhammadiyah. Berdasar- Tarjih, Fatwa Tarjih jauh lebih
kan konteks ini, maka Fatwa Tarjih fleksibel sesuai dengan perkem-
dan Keputusan Tarjih boleh di- bangan masalah yang dibutuhkan
katakan memiliki kesamaan dengan dan dihadapi, baik oleh warga Mu-
fatwa keagamaan pada umumnya, hammadiyah maupun warga
seperti dalam kajian usul fikih. Oleh masyarakat pada umumnya yang
karena itu, yang dimaksud dengan meminta fatwa kepada Majelis
Fatwa Tarjih dapat terdiri dari Tarjih.
Keputusan Tarjih dan Fatwa Tarjih. Sesuai dengan pola penetapan
Keputusan Tarjih dibuat melalui Majelis Tarjih, dalam membahas
forum Musyawarah Nasional Tarjih persoalan-persoalan, baik Keputu-
(selanjutnya ditulis Munas Tarjih) san maupun Fatwa Tarjih, diawali
yang sekurang-kurangnya di- dengan memahami esensi persoalan
selenggarakan satu kali dalam satu yang dibahas. Setelah itu, dicari
masa jabatan. Dilihat dari peserta- jawabannya di dalam sumber ajaran
nya, Munas Tarjih berasal dari Islam, yaitu al-Quran dan as-
ulama Muhammadiyah dari ber- Sunnah al-Maqbulah. Merujukkan
28
Fatwa Tarjih yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah, sebuah majalah yang terbit
dua kali dalam sebulan yang dikelola oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah dibukukan
dan diterbitkan oleh penerbit Suara Muhammadiyah. Sampai tahun 2012 ini, sudah terbit 6
buah buku dengan judul Tanya Jawab Agama 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
29
Syamsul Anwar, “Kata Pengantar,” hlm. xiii.
30
Masalah-masalah yang dibahas dalam Fatwa Tarjih, misalnya, masalah akidah, ibadah
(salat, puasa, zakat, haji), ulumul quran, ulumul hadis, perkawinan, kesehatan (operasi, donor
mata, donor darah, operasi kelamin, dll), rekayasa manusia, organisasi Muhammadiyah,
syurga dan neraka, kejadian manusia, hubungan muslim dan non muslim, dan lain sebagainya.
Lihat, misalnya, dalam Tim MTT PP Muhammadiyah, Tanya Jawa Agama 1-6.
Fatwa Tarjih Sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah (Imron Rosyadi) 11
DAFTAR PUSTAKA