Anda di halaman 1dari 10

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hukum Islam di Indonesia Muhammad Zaki Mubarak, MHI

LEMBAGA FATWA DI INDONESIA

Oleh :
Kelompok 11
Achmad Ridho Islami (220102040077)
Nur Halisa (220102040135)
Nur Halizah (220102040249)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)
BANJARMASIN
2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control
diharapkan mampu memberikan solusi terhadap problematika yang dihadapi oleh
umat Islam secara umum, dan Indonesia secara khusus. Salah satu wujud hukum
Islam dalam konteks Indonesia adalah fatwa.

Fatwa yang ada terdapat kontroversi terutama yang terkait dengan sosial,
budaya, ekonomi maupun politik. Oleh karena itu, dalam beberapa fatwa yang
dikeluarkan lembaga-lembaga keagamaan atau ulama tertentu tidak jarang
menimbulkan perlawanan. Oleh sebab itu, perlu kajian keagamaan yang kuat dan
pertimbangan yang matang bagi lembaga dan ulama sebelum mengeluarkan
fatwa.

Fatwa-fatwa keagamaan sangat dibutuhkan untuk menjawab berbagai


persoalan kontemporer. Oleh karena itu, lembaga-lembaga fatwa yang ada
diharapkan mampu menyerap persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat.

Dalam makalah ini akan dijelaskan berbagai macam lembaga fatwa di


Indonesia seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Tarjih Muhammadiyah
dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU).
PEMBAHASAN

A. Majelis Ulama Indonesia


Pengertian

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga yang mewadahi ulama


dan cendekiawan Islam untuk membimbing, membina dan mengayomi umat
muslim di seluruh Indonesia.

MUI berdiri di Jakarta pada 26 Juli 1975 bertepatan dengan 7 Rajab 1395
Hijriah. Ia berdiri sebagai hasil pertemuan dan musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Terdiri
dari 26 ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia. Sepuluh orang ulama
merupakan unsur dari ormas-ormas tingkat pusat, yaitu NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti, Al-Washliyah, Mathala’tul Anwar PTDII, DMI dan 4 orang
ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan
Laut dan Polri serta 13 orang cendekiawan yang merupakan tokoh perseorangan.1

Peran dan Fungsi

Dalam khithah, pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran
utama MUI, yaitu:2

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para nabi (wará-Tsah al-anbiyá).


2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri’a-yah wa khádim al-ummah).
4. Sebagai gerakan ishlah wa al-tajdid.
5. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi mungkar.

Metode Penetapan Hukum MUI

Fatwa MUI sebagai organisasi terbesar umat Islam di Indonesia


menempatkan posisinya tidak sekedar di dalam wilayah keagamaan, namun juga
dalam wilayah sosial-politik yang ada di Indonesia, hal ini bisa dibuktikan dengan
keluarnya berbagai fatwa yang berhubungan dengan aliran keagamaan. Pemilihan
1
Arif Munandar Riswanto, BUKU PINTAR ISLAM (Bandung: Mizan Media Utama, 2010), h. 218
2
Ibid, h. 219.
umum, dan fenomena-fenomena sosial yang ada di Indonesia. Konteks ini seolah
menempatkan MUI sebagai salah satu organisasi yang benar-benar mempengaruhi
kondisi umat Islam di Indonesia dalam hal pemikiran, perilaku dan cara
mengambil keputusan.

MUI menetapkan fatwa dengan tiga pendekatan. Pertama. Pendekatan nash


qaht'i yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist, apabila fatwa telah jelas
hukumnya dalam al-Qur’an maupun al-Hadist maka akan disampaikan
sebagaimana mestinya. Kedua, pendekatan Qawly dengan mengambil jawaban
dari kitab-kitab yang mu’tabar, jika terjadi perubahan sosial, maka akan dikaji
ulang. Ketiga, pendekatan manhajy melalui ijtihad kolektif (Jama'i).3

B. Majelis Tarjih Muhammadiyah

Pengertian

Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 yang mewadahi beberapa


departemen, di antaranya adalah Majlis Tasyri’ dengan nama Majlis Tarjih yang
dibentuk pada tahun 1928. Secara bahasa, Majlis Tarjih berarti majlis pencari
pendapat terkuat. Majlis Tarjih merupakan sebuah lembaga di bawah PP.
Muhammadiyah, dan Lajnah Tarjih adalah sidang yang membicarakan masalah-
masalah yang akan ditarjih.

Latar belakang alasan pendirian Majlis Tarjih diumumkan pada tahun 1935
oleh PP. Muhammadiyah, berangkat dari kenyataan adanya banyak pendapat
dalam masalah hukum Islam di kalangan ulama yang ternyata mewariskan
percekcokan dan perselisihan umat. Tugas utamanya, adalah menimbang dan
memilih pendapat manakah yang dianggap kuat dan berdalil benar dari Al Quran
dan Hadis. Secara khusus rumusan tugas Majlis Tarjih adalah menyampaikan
fatwa untuk dijalankan kepada umat, anggota dan keluarga Muhammadiyah.
Selain itu juga menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan
ke arah yang lebih maslahah.4
3
Ahmad Insya’ Ansori dan Moh. Ulumuddin, “Kedudukan Fatwa MUI Dan Lembaga Fatwa Di
Indonesia”, Jurnal Mahkamah Vol. 5 No.1 (Juni, 2020), h. 43.
4
Zuhroni, “STUDI KOMPARASI METODOLOGI PENETAPAN HUKUM ISLAM LEMBAGA
– LEMBAGA FATWA DI INDONESIA”, Jurnal Hukum Vol.3 No.1 (Maret, 2020), h. 54.
Tugas

Tugas Majelis Tarjih berdasarkan keputusan PP. Muhammadiyah, adalah:

1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh


kemurniannya.
2. Menyusun tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah dan, muamalah dunyawiah.
3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun tarjih sendiri
memandang perlu.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat / faham dalam bidang keagamaan ke
arah yang lebih maslahat
5. Mempertinggi mutu ulama.
6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan
Persyarikatan.5

Metode Penetapan Hukum Majelis Tarjih

Dasar mutlak berhukum Majlis Tarjih adalah Al Quran dan Hadis. Motif
Majelis Tarjih menggunakan Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum yang
mutlak adalah untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala
kemusyrikan, bid’ah dan khurafat.6

Sedangkan ijma‟, qiyas, istihsan, istidlal dan maslahah mursalah, yang


para imam mazhab telah menjadikannya sebagai sumber hukum, maka terhadap
istilah-istilah tersebut Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak memandang sebagai
sumber hukum. Namun demikian, Majelis Tarjih Muhammadiyah
menganggapnya sebagai sarana untuk menggali hukum yang sifatnya tidak
mengikat. Adapun kriteria Sunah yang digunakan oleh Tarjih Muhammadiyah
adalah hadis sahih. Akal pikiran yang digunakan oleh Tarjih Muhammadiyah
untuk berijtihad ialah hasil ijtihad Lajnah Tarjih Muhammadiyah sendiri, bukan

5
Ibid, h. 54-55.
6
Abdi Wijaya, “RESPON LEMBAGA FATWA TERHADAP ISU FIKIH KONTEMPORER
(Studi Komparatif Lembaga Fatwa MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU)”
Jurnal Perbandingan Mazhab Vol. 1 No.2 (Desember, 2019), h. 187.
hasil ijtihad ulama terdahulu. Akan tetapi, hasil ijtihad ulama terdahulu dijadikan
sebagai bahan pengkajian dan penelitian kembali.7

C. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Pengertian
Bahtsul Masail di kalangan NU diyakini merupakan tradisi intelektual yang
berkembang sejak lama, bahkan ditengarahi forum ini lahir sebelum NU dibentuk.
Martin van Bruinessen berpendapat bahwa tradisi bahtsul masail yang
berkembang di kalangan NU bukanlah murni dari gagasan para kyai-kyai NU.
Jauh sebelum bahtsul masail berkembang di kalangan NU, tradisi seperti itu telah
ada di Tanah Suci yang disebut dengan tradisi halaqah. Ide bahtsul masail
menurutnya adalah tradisi yang diimport dari Tanah Suci Makkah. Para santri
Indonesia yang belajar di Tanah Suci, sepulang dari sana mereka mengembangkan
agama Islam melalui lembaga pendidikan yang mereka dirikan berupa pesantren
sekaligus mengadopsi sistem halaqah untuk mengkaji persoalan-persoalan yang
terjadi di masyarakat.

Di lembaga pesantren forum Bahtsul Masa’il yang terinspirasi model


halaqah dari tanah suci terus dilaksanakan dan dikembangakan oleh kalangan
pesantren. Sehingga bisa dikatakan bahwa jauh sebelum NU berdiri, pesantren-
pesantren beserta kyainya telah mempraktekkan model halaqah untuk
memperoleh hukum dari kitab-kitab kuning yang sehari-hari dipelajarinya. Forum
ini terus berkembang dan dilaksanakan di dalam organisasi NU. Berkembangnya
tradisi bahtsul masail di kalangan NU bukanlah sesuatu yang mengherankan,
sebab hampir seluruh perangkat metodologi dan referensi-referensi (maraji’),
serta model halaqah yang digunakan dalam pembahasan Bahtsul Masa’il di NU
dengan yang ada di pondok pesantren.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Bahtsul Masa’il yang ada di


dalam NU sesungguhnya merupakan kepanjangan dari Bahtsul Masa’il yang ada
di dalam pesantren atau dengan kata lain bahwa Bahtsul Masa’il yang ada di NU
merupakan adopsi dari tradisi Bahtsul Masa’il yang ada di pesantren yang biasa
7
Ibid, h. 187.
disebut dengan mushawarah atau takrar. Dalam pelaksanaannya antara Bahtsul
Masa’il yang ada di pesantren dan NU secara

Bahtsul al-masāil pertama dilaksanakan pada tahun 1926, beberapa bulan


setelah berdirinya NU. Sebagai forum khusus, keberadaannya hampir bersamaan
dengan keberadaan NU, sejak Muktamar I, tetapi sebagai institusi resmi ada pada
Muktamar XXVIII di Yogyakarta pada tahun 1989.8

Tugas

Tugas Bahtsul Masail, berdasarkan ART NU, adalah 'menghimpun,


membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang mauqūf dan waqi’ah yang
harus segera mendapat kepastian hukum'. Forum ini bertugas merespon masalah
waq'iyyat (aktual) yang sedang terjadi di masyarakat yang diajukan kepada
syuriah. Terhadap masalah yang mauqūf (kemacetan, tidak terjawab) dilakukan
pembahasan ulang di tingkat yang lebih tinggi hingga akhirnya ke tingkat
nasional9

Metode Penetapan Hukum Bahtsul Masail

Meotde penetapan hukum pada NU adalah bermadzhab kepada salah satu


madzhab yang empat. Pemilihan kerangka bermazhab ini didasari atas
pertimbangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh
terputus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, akan sangat jarang
ditemukan dalam bahtsul masail sebuah keputusan yang langsung merujuk kepada
al-Qur’an maupun Sunnah. Kerangka ini selanjutnya dijabarkan ke dalam dua
metode dalam menetapkan setiap persoalan fiqhiyyah yang dikaji, yakni metode
qauli dan manhaji.

a. Metode Qauli

8
Ahmad Munjin Nasih, “LEMBAGA FATWA KEAGAMAAN DI INDONESIA (Telaah Atas
Lembaga Majlis Tarjih dan Lajnah Bathsul Masail)”, Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 5 No.1
(Juni, 2013), h. 70-71.
9
Zuhroni, “STUDI KOMPARASI METODOLOGI PENETAPAN HUKUM ISLAM LEMBAGA
- LEMBAGA FATWA DI INDONESIA”, Jurnal Hukum Vol.3 No.1 (Maret, 2020), h. 49.
Metode ini adalah suatu cara penetapan hukum dengan mempelajari masalah yang
dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat
atau ulama pengikut mazhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada
bunyi teksnya. Teks yang diambil dari kitab-kitab imam mazhab disebut qaul,
sementara yang berasal dari ulama pengikut mazhab disebut dengan wajah.
Ringkasnya metode qauli adalah Mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi”
yang ada dalam kitab-kitab tersebut.

b. Metode Manhaji

Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan


yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab.

Metode manhaji dalam tradisi bahtsul masail merupakan metode


alternatif yang dipakai apabila metode qauli sudah sangat tidak bisa dipakai lagi
untuk mecari jawaban atas persoalan yang sedang dibahas. Kata kunci yang
dipakai dalam metode ini adalah istinbath. Term istinbath dalam kamus bahtsul
masail sama sekali berbeda dengan istinbath dalam kajian ushul fiqih. Apabila
dalam ushul fiqih, istinbath dimaknai dengan penggalian hukum dengan merujuk
kepada al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi istinbath hukum di kalangan NU, sesuai
dengan sikap dasar bermazhab, men-tathbiq-kan (memberlakukan) secara dinamis
nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya.10

10
Ahmad Munjin Nasih, “LEMBAGA FATWA KEAGAMAAN DI INDONESIA (Telaah Atas
Lembaga Majlis Tarjih dan Lajnah Bathsul Masail)”, Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 5 No.1
(Juni, 2013), h. 73-74.
PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan makalah diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:


Pertama, penetapan hukum tiga lembaga fatwa di Indonesia tetap memperhatikan
berbagai aspek yang melingkupi hukum ketika diproduk. Hal ini memungkinkan
lembaga fatwa menempatkan ra’yu diatas nash. Kedua, dalam sistem Hukum yang
ada di Indonesia, fatwa tidaklah mengikat bagi umat Islam di Indonesia secara
umum. Fatwa bukanlah hukum Negara yang mempunyai kedaulatan dan
legalitasnya juga tidak harus diikuti oleh umat muslim di Indonesia. Ketiga, dalam
penetapan masalah-masalah kontemporer, fatwa MUI, Bahtsul Masail dan Majelis
Tarjih pada dasarnya berusaha untuk tidak berbenturan dengan budaya local yang
ada di Indonesia. Namun tetap berpegang teguh dengan penafsiran nash secara
selektif dan terukur.
DAFTAR PUSTAKA

Riswanto, Arif Munanda. 2010. BUKU PINTAR ISLAM. Bandung: Mizan Media
Utama.
Wijaya, Abdi. 2019. “RESPON LEMBAGA FATWA TERHADAP ISU FIKIH
KONTEMPORER (Studi Komparatif Lembaga Fatwa MUI, Majelis Tarjih
Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU)” Jurnal Perbandingan Mazhab 1(2), h.
180-197.
Zuhroni. 2020. “STUDI KOMPARASI METODOLOGI PENETAPAN HUKUM
ISLAM LEMBAGA – LEMBAGA FATWA DI INDONESIA”, Jurnal Hukum
3(1), h. 47-72.
Ansori, Ahmad Insya dan Moh. Ulumuddin. 2020. “Kedudukan Fatwa MUI Dan
Lembaga Fatwa Di Indonesia”, Jurnal Mahkamah 5(1), h. 38-56.
Nasih, Ahmad Munjin. 2013. “LEMBAGA FATWA KEAGAMAAN DI
INDONESIA (Telaah Atas Lembaga Majlis Tarjih dan Lajnah Bathsul Masail)”,
Jurnal Syariah dan Hukum 5(1), h. 67-78.

Anda mungkin juga menyukai