Ansori
UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto
E-Mail: ansori@uinsaizu.ac.id
DOI: 10.18326/ ijtihad.v22i1.53-71
Secara kuantitatif, terdapat gap antara jumlah teks keagamaan yang terbatas dengan realitas konteks dinamis
yang sangat besar. Memang, dalam prinsip utama hukum Islam, setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang
Muslim harus mematuhi aturan syariah. Ketentuan syara' adalah nash-nash agama yang menyangkut perkataan,
perbuatan, atau kegiatan lain yang dilakukan oleh seseorang yang cakap hukum (mukallaf). Untuk mengatasi
kemungkinan kesenjangan antara teks dan konteks, para ulama (ulama) merumuskan berbagai metode sehingga
hukum Islam dapat menjadi media penghubung dan sarana yang efektif untuk mengkompromikan teks-teks
agama dengan aktivitas seseorang. Dengan diproduksinya berbagai metode tersebut, maka produksi teks-teks
yang telah berakhir sejak wafatnya Nabi Muhammad ± 1500 tahun yang lalu akan tetap menguasai dan mampu
membimbing umat manusia. Artikel ini membahas bagaimana fatwa, sebagai pemikiran ulama, memiliki dialektika
dengan realitas masyarakat. Selain itu, juga mengeksplorasi tingkat praktis fatwa. Padahal, fatwa merupakan
salah satu upaya mencari jawaban syar'i atas berbagai persoalan yang timbul dalam kehidupan manusia,
khususnya di zaman modern ini.
Teks-teks keagamaan yang jumlahnya terbatas, ketika dihadapkan dengan realitas yang dinamis cenderung
cenderung adanya adanya. Padahal, dalam prinsip utama hukum Islam, setiap aktivitas yang dilakukan oleh
seorang muslim harus sesuai dengan aturan syarak. Aturan syarak yang dimaksud adalah teks-teks tentang
liputan, perbuatan, atau aktifitas lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang cakap hukum (mukallaf). Untuk
mengatasi yang sangat mungkin terjadi antara teks dan konteks, para ulama merumuskan berbagai metode
agar hukum Islam bisa menjadi media menghubung dan sarana kompromi yang efektif atas teks-teks keagamaan
di satu sisi, dengan aktifitas seseorang di sisi lain. Dengan dihasilkannya berbagai metode tersebut, produksi
teks yang telah berakhir sejak wafatnya rasul ±1500 tahun yang lalu akan tetap memiliki daya kontrol dan
mampu menjadi pedoman bagi umat manusia, kapan dan di mana
53
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
manapun. Artikel ini membahas tentang fatwa, sebagai sebuah produk pemikiran dari para ulama,
berdialektika dengan realitas masyarakat, apakah fatwa tersebut diamalkan atau diabaikan.
Padahal, fatwa merupakan salah satu ikhtiar untuk menemukan jawaban syar'i atas berbagai masalah
yang muncul dalam kehidupan umat manusia, khususnya di zaman modern.
Kata kunci: Lembaga Bahtsul Masail; Efektivitas Fatwa; Komisi Fatwa; Dewan Tarjih.
pengantar
Syariah (hukum Islam) telah menjadi kode moral dan hukum yang dominan dalam masyarakat
Muslim untuk sebagian besar sejarah mereka. Selama abad-abad awal Islam, hukum Islam
memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan sosial umat Islam, yang berpuncak pada pendirian
kerajaan yang luas dan peradaban yang luar biasa. Namun, menjelang akhir abad kelima Islam,
hukum Islam mulai kehilangan perannya sebagai pedoman yang mengilhami kreativitas dan
kecerdikan umat Islam serta menumbuhkan semangat ummat Islam (Safi, 1990). Hukum Islam
menempati tempat yang relatif kecil dalam sistem hukum sebagian besar negara mayoritas Muslim,
dengan yurisdiksi seringkali terbatas pada masalah hukum keluarga (Moustafa dan Sachs, 2018).
Hukum Islam, sering disebut fiqh, dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum Syariah
yang berlaku dan disarikan dari petunjuk rinci (Mahfudz, 2003).
Dalam membahas hukum Islam, setidaknya ada tiga produk pemikiran hukum selain fatwa.
Mereka adalah fiqh, keputusan pengadilan, dan undang-undang. Di sini fiqh dipahami sebagai hasil
ijtihad para ulama tentang peristiwa hukum yang telah terjadi atau belum (Effendi, 2009). Jika
ditelusuri penyebabnya, fatwa memiliki cakupan yang lebih spesifik daripada ijtihad. Sedangkan
putusan pengadilan yang secara teknis disebut al-qadha adalah ucapan dan/atau putusan tertulis
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Kajian fatwa dalam Islam merupakan hukum Islam yang normatif. Fatwa termasuk dalam
kepustakaan hukum Islam yang mengatur, baik berupa fatwa yang dikeluarkan secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama. Dengan sifat regulasi fatwa tersebut, maka terjadi benturan normatif bidang
agama dan sosial, sehingga menempatkan kajian fatwa dalam kajian sosiologi hukum Islam dalam
arti kajian yang membahas tentang pola perilaku dan interaksi masyarakat. seputar hukum Islam
baik sebagai sebab, tanggapan, maupun dampak dari hukum Islam (Mudzhar, 2012b).
Kehadiran fatwa memiliki kedudukan yang esensial di tengah umat beragama, mengingat Al-
Qur'an dan As-Sunnah tidak dapat ditambah atau dikurangi secara kuantitas, sedangkan
54
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
tuntutan zaman yang terus meningkat dan selalu membawa implikasi hukum yang terus
berkembang. Akibatnya, muncul ungkapan di kalangan ahli hukum Islam “al-nus}ÿs}
mutanÿhiyah wa al-waqÿi' ghairu mutanÿhiyah” (naskah terhenti, sedangkan peristiwa yang
terjadi tidak dapat dicegah).
Ketimpangan ini yang melatarbelakangi para ulama (ulama), secara individu maupun
kolektif, untuk terus berkreasi (ijtihad) dalam merumuskan produk hukum Islam, salah satunya
fatwa. Fatwa itu sendiri diharapkan dapat menjadi alat penyesuaian yang dapat mengantisipasi
perkembangan dan perubahan sosial di sekitarnya.
Fatwa tersebut secara signifikan diperkuat oleh tuntutan agar Islam selalu relevan dengan
perkembangan zaman atas dasar normatif agama yang tidak dijelaskan secara rinci. Ia tidak
menjelaskan secara rinci landasan normatif agama, ternyata sangat relevan dengan tuntutan
hukum Islam untuk memiliki dialektika yang dinamis dengan perubahan sosial masyarakat
(Amin, 2008). Oleh karena itu, dapat dipahami dalam diktum hukum Islam bahwa “peristiwa
hukum, teknis dan cabang dapat berubah dan berkembang, tetapi jiwa dan prinsip teks akan
selalu konstan, permanen, stabil dan tidak berubah sepanjang waktu, tidak ada peduli
bagaimana perubahan itu terjadi” (Diamil, 1999).
Mengenai perubahan masyarakat dan persoalan hukumnya, banyak lembaga fatwa yang
lahir dan berkembang di Indonesia, baik oleh pemerintah (negara) maupun masyarakat. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dengan Komisi Fatwanya merupakan representasi dari lembaga fatwa
yang dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Nahdlatul Ulama dengan Lembaga Bahsul Masail
(LBM NU) dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih (MTM) adalah dua dari sekian banyak
fatwa tersebut. lembaga yang dibentuk oleh masyarakat (non-pemerintah). Ketiga lembaga
tersebut memiliki otoritas tertinggi dalam merumuskan fatwa hukum Islam di Indonesia,
meskipun metodologi istinbat yang berbeda dan segmentasi penerima fatwa juga beragam.
Jika segmentasi Komisi Fatwa MUI adalah masyarakat Islam pada umumnya, maka Lembaga
Bahsul Masail (LBM) NU lebih berorientasi pada nahdhiyyin (komunitas NU), dan MTM juga
berorientasi pada masyarakat Muhammadiyah.
Ketiga lembaga fatwa tersebut merupakan lembaga pengambil keputusan hukum Islam
yang produktif dan selalu mengiringi proses legislasi hukum Islam di Indonesia. Sejak berdiri
pada 26 Juli 1975, melalui proses politik yang rumit (Mudzhar, 1993),
55
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
MUI telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi umat Islam di Indonesia dengan keputusan
ratusan fatwa yang dirumuskan oleh beberapa ulama di komisi fatwa MUI (Jamaa, 2018). Majelis Tarjih
Muhammadiyah didirikan berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke- 16 di Pekalongan pada tahun
1927. Majelis Tarjih Muhammadiyah juga telah melahirkan banyak fatwa. Demikian pula LBM NU, sejak berdiri
pada tahun 1989 melalui hasil Muktamar NU ke- 28 di Yogyakarta, juga telah banyak melahirkan rumusan dan
keputusan fatwa mengenai berbagai persoalan dan bidang kehidupan (Zahro, 2004).
Menariknya, meskipun NU dan Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang paling menonjol di Indonesia
dan memiliki lembaga pembuat hukum bagi umat Islam dalam lingkup anggotanya masing-masing, dari segi cita-
cita dan efektivitas lembaga fatwa, fatwa yang dihasilkan oleh LBM NU dan MT Muhammadiyah sepertinya kurang
populer dan kurang efektif di masyarakat jika dibandingkan dengan produk fatwa dari MUI. Mengenai jam'iyyah,
MUI tidak memiliki basis massa yang militan seperti NU dan Muhammadiyah.
Berdasarkan permasalahan di atas, artikel ini mencoba mengungkap bagaimana sebuah fatwa dipraktikkan
atau diabaikan oleh masyarakat. Setidaknya melalui artikel ini dapat dipahami alasan di balik pengamalan atau
pengabaian sebuah fatwa dan upaya apa yang harus dilakukan agar setiap fatwa yang dirumuskan oleh lembaga-
lembaga fatwa dapat benar-benar menjadi pedoman yang dapat membawa perubahan bagi masyarakat.
metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memperoleh data yang mendalam dari perspektif masyarakat.
Selain itu, digunakan untuk menjaring pengetahuan informan. Penentuan informan dilakukan secara purposive,
dan peneliti menginterpretasikan hasil dari data yang disampaikan (Garna, 2009).
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi wawancara, angket, dan observasi kepada masyarakat
umum, NU, dan Muhammadiyah. Wawancara dipilih karena bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi
tentang kehidupan aktor dalam suatu komunitas (Koentjaraningrat, 1991). Selain itu, peneliti juga menyebarkan
kuesioner kepada informan/responden yang telah ditentukan di masing-masing kelompok masyarakat, seperti
masyarakat umum, NU, dan jamaah Muhammadiyah. Kuesioner diperlukan untuk memperoleh informasi yang
56
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
Responden penelitian ini adalah seratus lima puluh (150) orang yang terbagi menjadi lima puluh (50) orang.
Jamaah NU , lima puluh (50) anggota Muhammadiyah, dan lima puluh (50) Muslim non-NU atau Muhammadiyah.
Untuk masing-masing dari lima puluh orang tersebut, peneliti membagi mereka menjadi sepuluh (10) pengurus
organisasi, sepuluh (10) tokoh agama (Kiai, Imam Masjid/Mushalla), dan tiga puluh (30 orang) umat Islam
umum. Porsi untuk masyarakat umum ditingkatkan karena mereka adalah sasaran utama dari fatwa yang
dirumuskan. Ketika fatwa diposisikan sebagai jawaban atas pertanyaan umat Islam, mereka bukanlah pengurus
ormas dan tokoh Islam, tetapi jemaah umum yang tingkat aksesibilitasnya terhadap fatwa tidak terlalu baik.
Analisis data menggunakan model yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Analisis data
kualitatif dimulai dengan kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
urutan analisis data kualitatif dimulai dari memilih suatu masalah, mengumpulkan data, mereduksi data,
menyajikan data, menganalisis temuan/hasil data, dan menarik kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992).
Wacana fatwa selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan oleh para ulama khususnya di bidang
Fiqh dan Ushul Fiqh. Berbagai jenis fatwa menjadi perhatian di dalamnya. Mulai dari fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga atau majelis tertentu, fatwa yang dikeluarkan oleh mufti perseorangan, hingga fatwa yang
Di negara-negara mayoritas Muslim, fatwa biasa menjadi alat pemerintah untuk melegalkan kebijakan
tertentu (Mudzhar, 1992). Di Arab Saudi, misalnya, orientasi ulama terhadap politik-agama dan simbiosis
dengan penguasa telah diidentifikasi sejak 1744. (Kechichian, 1986). Demikian pula, fatwa juga telah digunakan
sebagai instrumen Islamisasi Badui di Yordania (Layish, 1991). Di negara-negara mayoritas Muslim lainnya
seperti Malaysia, fatwa memiliki peran penting dalam mensosialisasikan dan mensosialisasikan hukum Islam di
masyarakat. Fatwa adalah salah satu bentuk utama hukum Islam di Malaysia. Lembaga fatwa dianggap sebagai
lembaga yang paling berwibawa. Aturan-aturan yang diputuskan oleh fatwa tersebut disebarluaskan melalui
57
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
dan buku, keputusan pengadilan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan pentingnya fatwa dalam menyebarkan
Di negara-negara minoritas Muslim, fatwa sering memposisikan diri sebagai alat kompromi yang fleksibel
dan elastis vis a vis kebijakan dominasi. Apa yang disampaikan oleh Basheer M. Nafi tentang dikeluarkannya
fatwa yang ditandatangani oleh lima ulama dan cendekiawan Muslim tentang boleh tidaknya tentara Muslim
Amerika berpartisipasi dalam memerangi terorisme di Afghanistan dan negara-negara Muslim lainnya di
seluruh dunia setelah pemboman 11 September 2001. Fatwa itu, menurut Nafi, merupakan contoh penyesuaian
Dalam khazanah pemikiran Islam, fatwa secara harafiah diartikan sebagai jawaban atas suatu peristiwa
(memberikan tanggapan tegas atas segala peristiwa yang terjadi di masyarakat) (Qardawi, 1997). Sebagian
Makna etimologis fatwa tersebut nampaknya merujuk pada tiga kata kunci dalam al-Qur'an yang
membentuk konsep fatwa secara terminologi, yaitu: yas'alunaka (mereka bertanya kepadamu), yastaftunaka
(mereka meminta pendapatmu), dan dalam beberapa hal. kasus ada kata aftiinaa (beri kami solusi dari
masalah ini atau itu). Dari ketiga kata kunci tersebut, para ahli merumuskan konsep fatwa.
Menurut Hallaq, istilah istifta' dan segala turunannya mengandung arti permintaan untuk memecahkan
suatu masalah yang rumit (Hallaq, 1994). Dalam Surah Yusuf (12): 43, raja meminta orang-orang untuk
menafsirkan (aftÿni fi) mimpi yang mendalam yang dia miliki. Ratu Balqis juga meminta pendapat pejabatnya
(aftÿni fi) ketika Nabi Sulaiman mengajaknya masuk Islam. Konotasi yang sama juga ditemukan dalam ayat-
ayat hukum yang berkisar pada hak-hak perempuan dan kasus pewarisan yang kompleks. Jadi dalam
perspektif Al-Qur'an, keberadaan fatwa dan iftÿ' secara linguistik dibenarkan dalam Al-Qur'an dengan berbagai
ekspresi berbeda yang memiliki konotasi yang sama, yang mengarah pada masalah yang dianggap sangat
Menurut al-Raqhib al-Isfahani, meskipun istilah fatwa ditemukan dalam Al-Qur'an dalam derivasi yang
berbeda, sebenarnya memiliki arti yang sama; yaitu, jawaban atas pertanyaan hukum yang sering diajukan
kepada Nabi saat itu (Fu'ad dan Abdul-Baqi, 1981). Dilihat dari jawaban-jawaban yang ada di dalam Al-Qur'an,
para peminta fatwa saat itu cenderung faktual dan realistis sehingga jawaban-jawabannya menggunakan
58
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
Dalam Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih dalam menanggapi
permintaan fatwa dalam perkara yang tidak mengikat (Dahlan, 1996). Fatwa juga dapat diartikan sebagai nasehat,
nasehat, dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum (Depdikbud, 1997).
Sedangkan fatwa adalah penjelasan syara' tentang suatu masalah terhadap pertanyaan seseorang atau
kelompok. Menurut al-Syat}ibi, fatwa dalam pengertian al-iftÿ' adalah keterangan tentang hukum syara' yang tidak
mengikat untuk diikuti (Zuhaily, 1990). Al-Qard}awi mendefinisikan fatwa dengan menjelaskan aturan syara' dalam
suatu masalah sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para peminta fatwa (mustafti) baik
secara individu maupun kolektif (Qardawi, 1990). Sementara itu, Joseph Schacht mengistilahkan fatwa tersebut
Alexandre Caeiro mengatakan bahwa fatwa adalah titik temu antara teori hukum dan praktik sosial (Caeiro,
2006). Menurutnya, fatwa sosial memiliki empat fungsi, yaitu: fatwa sebagai instrumen hukum, instrumen sosial,
wacana politik, dan doktrin hukum (Caeiro, 2006). Dalam fungsinya sebagai instrumen hukum, fatwa merupakan
bagian dari proses peradilan bila menyangkut persoalan yang diangkat oleh hakim dan berdampak pada perkara
peradilan. memiliki hubungan yang harmonis dalam pemerintahan, fatwa sebagai wacana politik dan doktrin hukum
muncul misalnya ketika fatwa digunakan untuk memberikan status hukum kepada komunitas Muslim tertentu sebagai
Menurut Caireo, iftÿ' sebagai esensi tradisi Islam tidak hanya dipahami sebagai “kerangka kognitif (teoretis)”
tetapi juga sebagai bentuk praktis dari cara hidup, yaitu teknik untuk mengajar seseorang dan membentuk pola pikir
untuk mencapai tujuan. keutamaan dan nilai-nilai yang dibenarkan oleh agama. Sebagaimana Khotbah dan beberapa
ilmuwan Muslim lainnya telah menyatakan, fatwa tidak hanya sebagai instrumen untuk belajar tentang aturan dan
prosedur tetapi juga sebagai alat untuk membentuk emosi yang diperlukan untuk membentuk seorang Muslim yang
Salah satu syarat penetapan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam memberikan fatwa
Menetapkan fatwa semata-mata karena kebutuhan (li al-h}ÿjah), karena kemaslahatan (li al-mas}lah}
ah), atau karena esensi ajaran agama (li maqÿs}id al-syari'ah) tanpa menganut al-nus}us} al-syar 'iyah termasuk
golongan yang berlebihan (ifrÿt}i) (Caeiro, 2006 ). ). Di sisi lain, kelompok kaku memegang teks-teks agama (al-nus}
us} al-syari'iyah) tanpa memperhatikan kemaslahatan (li al-mas}lah}ah), dan esensi ajaran agama (li maqÿsid al-
-syari'ah } ) menyebabkan
59
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
kegagalan untuk memecahkan banyak masalah. Kelompok tersebut termasuk dalam kategori gegabah (tafrit>i}). Oleh
karena itu, seseorang harus menjaga keseimbangan dalam menggunakan manhaj yang disepakati oleh para ulama
agar tidak masuk dalam kategori memberikan fatwa tanpa mempertimbangkan dalil hukum yang jelas.
Dari segi bentuk dan pelakunya, fatwa dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: fatwa kolektif (al-
fatwÿ al-ijmÿ'i) dan fatwa pribadi (al-fatwÿ al-fardi>). Fatwa kolektif dirumuskan dan ditetapkan oleh
kelompok atau lembaga yang berwenang. Harus bebas dari pengaruh politik, budaya, dan sosial
yang berkembang (Hasballah, 1976). Di Indonesia, kelompok-kelompok fatwa kolektif tersebut
adalah Majelis Ulama Indonesia , Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahsul Masail NU, Komisi Fatwa
Majelis Dakwah Islam Indonesia, dan lain-lain (Fatah, 2006).
Beberapa kalangan mengatakan bahwa fatwa kolektif dipandang sebagai bentuk ijtihad modern
yang dianggap ideal karena proses perumusannya didasarkan pada berbagai sudut pandang ilmiah
yang lebih mendekati kebenaran (Jaya, 1996). Ijtihad kolektif diyakini efektif dalam memecahkan
berbagai persoalan kontemporer yang sangat kompleks dan membutuhkan berbagai perspektif
dengan melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu (Jaya, 1996).
Fatwa pribadi (al-fatwÿ al-fard) adalah suatu bentuk fatwa yang dihasilkan dari penelitian dan
kajian yang dilakukan oleh seseorang. Biasanya, fatwa pribadi ini lebih memberi warna pada fatwa
kolektif. Fatwa pribadi selalu didasarkan pada analisis mendalam terhadap suatu masalah yang
akan dikeluarkan fatwanya. Umumnya, fatwa kolektif diawali dengan fatwa pribadi melalui kajian
mendalam (Jaya, 1996).
Dalam wacana dan praktik fiqh di masyarakat Muslim, fatwa pribadi tampak lebih dominan
daripada fatwa kolektif. Komunitas Muslim lebih banyak, misalnya, merujuk pada fatwa Syekh
Muhammad Shaltut, Yusuf al-Qaradawi, Ibn Taimiyah, Syekh al-Maraghi, Muhammad Abduh,
Muhammad Abu Zahrah, Rashid Ridha, atau lainnya (Jaya, 1996). Di Indonesia, fatwa pribadi bisa
disebut kodifikasi fatwa dari Sirajudin Abbas, A. Hasan, Qurays Shihab, Ali Yafi, Sahal Mahfudz,
Hasbie as-Shiddiqy, atau lainnya (Rusli, 2011).
Ada beberapa pertanyaan yang penulis ajukan kepada responden untuk mengetahui apakah fatwa
dari MUI, NU, atau Muhammadiyah benar-benar dilaksanakan atau diabaikan oleh masyarakat.
Tingkat kepopuleran fatwa dari masing-masing lembaga juga bisa diketahui
60
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah seratus lima puluh, yang terbagi atas lima puluh jamaah
NU, lima puluh anggota Muhammadiyah, dan lima puluh Muslim non-NU dan non-Muhammadiyah. Untuk
masing-masing dari lima puluh orang ini, penulis membagi mereka menjadi sepuluh anggota ormas, sepuluh
pemuka agama (kiai, Imam Masjid), dan tiga puluh umat Islam umum.
Porsi untuk umat Islam umum meningkat karena mereka adalah sasaran utama dari fatwa yang dirumuskan.
Ketika fatwa diposisikan sebagai jawaban atas pertanyaan umat Islam, maka umat Islam tentu saja bukan
pengurus ormas dan tokoh Islam, tetapi umat Islam pada umumnya yang tingkat aksesibilitasnya terhadap
Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden, popularitas LBM NU cenderung baik pada
level pimpinan organisasi dan tokoh agama. Adapun masyarakat umum, kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui keberadaan LBM NU. Bahkan, di level pemuka agama, beberapa jawaban menunjukkan
bahwa mereka hanya mengetahui keberadaan lembaga tersebut tetapi tidak dapat menjelaskan tugas
dan fungsinya dengan benar. Dari segi pengamalan fatwa, karena pengetahuan masyarakat tentang
LBM NU dan produk fatwanya kurang baik, maka tingkat kepraktisan di masyarakat juga rendah. b.
Popularitas Majelis Tarjih Muhammadiyah di kalangan jemaahnya relatif lebih baik dibandingkan
LBM NU di kalangan warga Nahdhiyyin. Pada tingkat manajemen organisasi, semua responden
mengetahui dan dapat menjelaskan keberadaan Majelis Tarjih. Kegiatan keagamaan mereka juga
seluruhnya mengacu pada Kitab Putusan Tarjih. Kondisi pemuka agama Muhammadiyah juga lebih baik
dari pemuka agama Nahdhiyyin. Dari 10 tokoh agama yang ditanya, hanya 2 yang tidak bisa menjelaskan
dengan baik apa itu Majelis Tarjih. Namun, semua responden mengetahui keberadaan Majelis Tarjih
Mengenai agama, semua responden juga menjawab bahwa mereka sepenuhnya mengacu pada
61
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
Cita-cita komisi fatwa tampaknya tidak sejalan dengan realitas masyarakat. Dari data yang
diperoleh, popularitas Komisi Fatwa tampaknya kalah dengan popularitas MUI itu sendiri. Bahkan,
popularitas Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih baik dari Komisi Fatwa MUI.
Popularitas Komisi Fatwa relatif tinggi dibandingkan dengan Majelis Tarjih dan LBM NU. Hal
ini terjadi ketika responden berada di luar jamaah lembaga fatwa tersebut. Artinya responden dari
Muhammadiyah dan NU cukup mengetahui keberadaan Komisi Fatwa dibandingkan dengan
responden NU dan non-Muslim terkait Majelis Tarjih. Demikian pula responden dari Muhammadiyah
Teori fatwa menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti fatwa,
kecuali dalam hal-hal yang disepakati oleh semua lembaga fatwa, dan tidak ada ulama (individu)
yang berbeda pendapat. Namun, dalam kondisi dimana masyarakat memiliki beberapa lembaga, dan
seringkali masing-masing lembaga tidak memiliki satu pandangan hukum untuk dijadikan sebagai
fatwa, maka pelaksanaan fatwa tersebut tentunya bergantung pada kecenderungan masing-masing
umat Islam. Sebagai contoh, dalam menentukan awal Ramadhan, di Indonesia seringkali muncul
fatwa yang berbeda antara satu lembaga fatwa dengan lembaga fatwa lainnya. Padahal, Kemenag sudah memfasilita
62
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
diadakannya rapat itsbat untuk menentukan awal Ramadhan, dalam prakteknya di lapangan masih terdapat
perbedaan antara lembaga fatwa yang mengandalkan metode hisab dengan lembaga fatwa yang tetap
menggunakan metode ru'yah . Publik juga tidak dipaksa untuk mengikuti putusan sidang itsbat yang dalam
banyak kasus merupakan suara mayoritas ormas Islam di Indonesia. Pemerintah tetap mengizinkan umat
Islam untuk memilih fatwa mana yang diyakini benar, dengan catatan tidak menyalahkan umat Islam karena
Contoh lainnya adalah fatwa tentang larangan merokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Di kalangan Muhammadiyah, fatwa ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Beberapa responden memberikan
data bahwa dalam kehidupan sehari-hari masih ada warga Muhammadiyah yang merokok, padahal mereka
mengetahui bahwa merokok itu dilarang berdasarkan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Namun, jumlah
orang yang merokok sebelum dan sesudah dikeluarkannya fatwa haram dari
Majelis Tarjih mengalami penurunan yang signifikan. Fatwa larangan merokok tentunya tidak berpengaruh bagi
warga NU, dimana rokok hanya dianggap makruh oleh LBM NU. Artinya, dikeluarkannya fatwa larangan
merokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah sama sekali tidak berdampak pada jumlah perokok di NU.
Kalaupun ada warga NU yang berhenti merokok setelah dikeluarkannya fatwa haram, alasan mereka berhenti
Berdasarkan data di atas, permasalahan pengabaian fatwa dari lembaga fatwa oleh masyarakat tampaknya
Dalam wacana hukum Islam, fatwa diakui memiliki kedudukan yang tinggi. Keberadaan fatwa
dipandang sebagai alternatif yang dapat mencairkan suasana dalam perkembangan hukum Islam. Apalagi
dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap aturan hukum Islam tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil
agama, sedangkan dalil-dalil agama tidak bertambah jumlahnya, dan persoalan-persoalan yang dihadapi
Satu hal yang unik tentang fatwa adalah bahwa itu bukan dogma atau norma dengan kekuatan
mengikat yang kuat seperti norma hukum pada umumnya. Kedudukan fatwa dalam Islam pada hakikatnya adalah
63
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
tidak lebih dari nasihat atau jawaban atas pertanyaan hukum yang datang dari seorang ulama atau
lembaga fatwa individu. Dengan kata lain, fatwa itu bersifat ghairu mulzim (tidak mengikat), kebebasan
Fatwa berbeda dengan qadha'. Fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat, dan dapat diikuti atau
ditinggalkan, bahkan oleh pemohon sendiri. Sedangkan qadha' menghasilkan aturan hukum yang mengikat.
Lembaga qadha' merupakan salah satu instrumen kekuasaan di bidang peradilan, sedangkan lembaga
fatwa tidak lain adalah lembaga akademik yang mandiri dan tidak berafiliasi dengan kekuatan politik
Dalam konteks ini, menarik bahwa meskipun Komisi Fatwa MUI dianggap “milik” oleh pemerintah
sebagai lembaga fatwa, keberadaannya tetap berbeda dengan Peradilan Agama yang juga dimiliki oleh
pemerintah. Perbedaan utama antara putusan fatwa MUI dan Pengadilan Agama adalah tidak adanya
kekuatan mengikat dalam fatwa sebagaimana tertuang dalam putusan pengadilan. Apabila pemohon
fatwa mengabaikan jawaban atas permohonan fatwanya, maka ia tidak akan menerima akibat hukum
apapun. Dalam konteks ini, diterapkan atau tidaknya hasil fatwa tampaknya merupakan ranah etis,
bukan ranah yuridis. Pemohon fatwa yang mengabaikan jawaban fatwa secara etis telah melakukan
2. Keberagaman fatwa
Selain lemahnya daya ikat, banyaknya lembaga fatwa dan pemuka agama (ulama) yang sering
dimintai fatwa pribadi, menyebabkan munculnya pluralitas fatwa di masyarakat. Dalam konteks tertentu,
keragaman fatwa tidak menimbulkan masalah serius di masyarakat, tetapi dalam kondisi yang berbeda,
konflik dapat terjadi. Misalnya, beberapa MUI di Jawa Timur mengeluarkan fatwa sesat terhadap
kelompok Syiah dan mendesak MUI pusat untuk memberikan fatwa yang sama. Dalam posisi yang
berbeda, NU dan Muhammadiyah menentang lahirnya fatwa sesat tersebut karena rentan digunakan
sebagai alat legitimasi oleh kelompok tertentu untuk menindas komunitas Syiah di Indonesia (Tempo,
2018). Kekhawatiran NU dan Muhammadiyah ini dibuktikan dengan terjadinya perkusi dan pengusiran
terhadap komunitas Syiah di Madura dengan dalih fatwa sesat dari MUI (Detik.com, 2018).
Perbedaan produk fatwa antara satu lembaga fatwa dengan lembaga fatwa lainnya menunjukkan
64
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
fatwa itu dinamis. Selain perbedaan metodologi hukum, perbedaan tersebut juga disebabkan oleh
posisi fatwa sebagai respon terhadap perkembangan baru yang dihadapi masyarakat yang meminta
Sebagai pendapat hukum, fatwa memiliki nilai kebenaran relatif (dzanni). Fatwa tersebut dapat
mengandung nilai kebenaran dan juga nilai kesalahan. Apalagi jika fatwa itu menyangkut masalah-
masalah yang tidak disebutkan secara jelas (syariah) oleh Al-Qur'an atau al-Sunnah. Namun dari sisi
kekuatan kebenaran yang ditawarkan, fatwa yang bersumber dari lembaga fatwa dipandang memiliki
nilai kebenaran yang lebih kuat dibandingkan fatwa dari seorang mufti (Syarifuddin, 1997).
Nilai kebenaran substansial yang diberikan oleh fatwa-fatwa kolektif seperti Komisi Fatwa MUI,
Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan LBM NU idealnya dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam
menjalani kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, setiap fatwa yang dihasilkan
oleh masing-masing lembaga tersebut harus diketahui oleh umat Islam untuk dipraktikkan. Harus ada
Di masyarakat, fakta menunjukkan hal yang berbeda dimana proses sosialisasi tampaknya tidak
berjalan dengan baik, sehingga sebagian besar dari mereka tidak mengetahui fatwa dari masing-masing
lembaga fatwa. Orang lebih mengenal fatwa dari para ustadz, kiai, atau ulama, yang sering dimintai
pendapat agama dalam berbagai persoalan. Publik seolah-olah mengabaikan kekuatan dan kelemahan
kebenaran yang ditawarkan oleh para mufti individu dan kolektif seperti dijelaskan di atas.
Dalam kehidupan sosial keagamaan, kedudukan fatwa sangatlah penting, sehingga otoritas keagamaan
dalam suatu masyarakat dapat dibentuk melalui fatwa (Kaptein, 2004). Di beberapa daerah, perkataan
seorang ulama masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat muslim lebih dari perkataan
seorang pemimpin. Atas dasar itu, Presiden Suharto memprakarsai berdirinya MUI, selain sebagai
pemersatu masyarakat yang terpecah belah oleh ideologi masing-masing ormas, dan bentuk kesadaran
pemerintah bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia akan sulit diselesaikan tanpa melibatkan
65
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
Intervensi pemerintah terhadap MUI memang dalam banyak hal menyulitkan MUI untuk benar-
benar independen dari kehendak dan kepentingan penguasa. Dalam hal ini MUI seringkali berada
pada posisi sebagai legitimator kebijakan pemerintah, yang tentunya akan mempengaruhi fatwa MUI.
Kondisi ini semakin memperkuat tesis bahwa pengaruh sosial dan budaya tidak dapat diabaikan
dalam setiap produk fatwa dari seseorang atau lembaga fatwa (Mudzhar, 2012a).
Pada tataran praktis, fatwa menandai hubungan antara syariah (hukum Islam) dan dunia kongkrit
manusia. Fatwa juga menjadi semacam titik temu antara hukum dan kenyataan. Fatwa bukanlah
jawaban atas pertanyaan imajinatif yang dibuat oleh para mufti (Mudzhar, 2012a) tetapi merupakan
produk dari realitas masyarakat yang konkret dan pasti. Beberapa indikator dapat digunakan untuk
menjelaskan hal ini. Pertama, setiap fatwa konvensional dimulai dengan pertanyaan dari mustafti,
diikuti dengan jawaban dari mufti; Kedua, hampir semua fatwa berkaitan erat dengan individu atau
kelompok dalam kondisi dan tempat tertentu; Ketiga, fatwa seringkali diberikan untuk menjawab
pertanyaan yang kurang relevan, namun meski begitu, fatwa tersebut berasal dari dunia nyata;
Akhirnya, banyak fatwa yang menanggapi perselisihan tentang jenis kontrak tertentu. Adanya
ketidaksepakatan menandai fenomena peristiwa antara dua orang atau lebih yang berkonflik (Hallaq, 1994).
Berdasarkan beberapa indikator di atas, jelaslah bahwa fatwa tidak hanya berfungsi sebagai
sumber acuan tuntunan agama dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari.
Namun, sebuah fatwa atau kumpulan fatwa juga dapat menjadi catatan sejarah yang menandai
sejarah sosial suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini, fatwa tidak hanya berisi
penjelasan hukum agama tentang suatu masalah. Dalam merumuskan fatwa, terjadi dialog antar
umat tentang persoalan zamannya yang diwujudkan dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
(istiftÿ') dan kemudian dijawab oleh mufti sebagai tanggapannya. Di sinilah fatwa merupakan catatan
situasi sosial orang-orang tertentu pada waktu tertentu (Anwar, 2007).
Tidak dapat dipungkiri bahwa seorang mufti atau lembaga fatwa selalu memiliki kepentingan atau
kecenderungan ideologis tertentu dalam memandang suatu masalah atau fenomena. Atas dasar ini,
Syamsul Anwar mengatakan bahwa fatwa merupakan jembatan antara cita-cita syariah di satu sisi
dengan realitas kongkrit masyarakat di sisi lain. Masalah, keprihatinan, harapan, aspirasi, dan
pengalaman masyarakat diangkat dan dikonfrontasikan untuk menemukan titik temu dengan cita-cita
moral dan etika-keagamaan agama dalam syariah yang dimediasi oleh keterampilan intelektual dan ijtihad.
66
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
dari sang mufti. Dalam memberikan tanggapannya, sang mufti tidak beranjak dari ruang hampa. Dia
memiliki aspirasi, pandangan, harapan, dan kepentingan dan bahkan mungkin berada di bawah tekanan
dari pembatasan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Dengan demikian fatwa secara keseluruhan sebenarnya merupakan perjuangan dalam dimensi yang
luas. Ia mengemban berbagai misi dan mencakup kritik sosial, pembelaan status quo, dukungan atau
perlawanan terhadap rezim yang berkuasa, melakukan pemurnian agama dan reformasi sosial, serta
mencerahkan masyarakat dan bahkan mengobarkan semangat juang melawan penjajah. seperti pada
Berbeda dengan lembaga fatwa yang dimiliki MUI, LBM NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah seolah-
olah bebas dari campur tangan penguasa dalam pendiriannya.
Sebelum MUI berdiri, keduanya telah ditemukan dan menjalankan perannya secara profesional sebagai
lembaga fatwa dengan metode dan prosedurnya masing-masing. Namun, baik LBM NU maupun Majelis
Tarjih Muhammadiyah tidak berada dalam ruang hampa sosial atau budaya.
Dari segi karakteristik, ketiga lembaga fatwa tersebut memiliki persamaan dan perbedaan.
Ketiganya memiliki kesamaan yang masing-masing merupakan lembaga fatwa kolektif (jama'i), yang di
Indonesia mulai berkembang pada awal abad ke-20. Munculnya ketiganya sekaligus menggeser
Di sisi lain, ada perbedaan yang signifikan antara ketiganya. Signifikansi pertama, LBM, lembaga
fatwa milik organisasi keagamaan “tradisional” NU, mengembangkan prinsip taqlid dalam istinbat
hukumnya . Seorang tokoh sangat berpengaruh dalam merumuskan fatwa dalam LBM. Kedua, Majelis
Tarjih, sebagai lembaga fatwa yang dimiliki oleh organisasi Muhammadiyah “modernis”, mengembangkan
prinsip-prinsip istinbat hukum modernis berdasarkan teks (bukan angka) dan mengutamakan prinsip
ijtihad. Ketiga, berbeda dengan dua lembaga fatwa yang telah dijelaskan sebelumnya (LBM dan Majelis
Tarjih), yang proses pembentukannya jauh dari campur tangan pemerintah, MUI sebenarnya ada atau
berdiri atas inisiatif pemerintah. Adapun metode istinbat hukum , model yang dikembangkan MUI
tampaknya paling komprehensif karena menggabungkan apa yang dikembangkan oleh LBM dan MT.
Pasalnya, anggota Komisi Fatwa MUI merupakan perwakilan dari berbagai ormas keagamaan di
67
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
kewenangan merumuskan fatwa di N. dan MUI bukan hanya kewenangan pengurus pusat tetapi juga
tangan pengurus pusat. Dari pluralitas fatwa yang dihasilkan, regulasi yang diterapkan Muhammadiyah
tampaknya mampu menghindari pluralitas fatwa secara internal. Adapun NU dan MUI, sangat mungkin
secara internal akan terjadi pluralitas fatwa, terutama fatwa pengurus pusat dan daerah.
Meski memiliki karakter dan model istinbat yang berbeda, namun dalam perkembangannya, fatwa-
fatwa dari lembaga-lembaga fatwa diyakini paling baik dan paling dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua hal: pertama, akumulasi otoritas keagamaan (ulama)
dalam fatwa kolektif. Bagi sebagian umat Islam Indonesia, fatwa diberikan melalui proses yang melibatkan
lebih banyak ahli yang memiliki otoritas lebih tinggi. Kedua, ijtihad kolektif dianggap sebagai bentuk ijtihad
terbaik saat ini sebagai proses untuk mewujudkan fatwa kolektif. Ijtihad kolektif merupakan solusi atas
krisis pemikiran yang melanda dunia Islam. Kompleksitas permasalahan yang ada menuntut untuk
diselesaikan dengan melibatkan tidak hanya para ahli keislaman tetapi juga para ahli dari disiplin ilmu lainnya.
Dalam praktiknya, cita-cita bahwa fatwa yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut di atas tidak
harus diwujudkan secara memadai. Artinya, jika fatwa dari suatu lembaga dianggap lebih baik daripada
fatwa dari individu, banyak yang masih mengandalkan pendapat seorang kiai, ulama, atau ahli dalam
berbagai masalah agama. Selain itu, ketika Komisi Fatwa MUI melibatkan ahli fatwa lintas ormas, tingkat
kekuatan fatwa harus lebih baik dari fatwa dari masing-masing ormas. Bahkan, beberapa ormas masih
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa efektivitas fatwa yang dihasilkan oleh Komisi Fatwa
MUI, LBM NU, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah belum maksimal disosialisasikan dan dilaksanakan
oleh masyarakat luas. Tidak ada kekuatan mengikat dan memaksa yang melekat pada fatwa yang
dihasilkan. Di sisi lain, keragaman fatwa juga menjadi salah satu penyebab efektivitas fatwa tersebut tidak
terlalu tinggi bagi masyarakat umum. Terakhir, penyebab efektifitas fatwa yang dihasilkan oleh lembaga
68
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
sosialisasi dengan masyarakat, sehingga banyak yang tidak mengetahui tentang fatwa tertentu.
Hal ini tentunya menjadi masukan tersendiri bagi lembaga pembuat fatwa, mengingat fatwa
sangat penting bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Di sisi lain, fatwa
yang dihasilkan oleh beberapa lembaga fatwa juga saling melengkapi.
Bibliografi
Hallaq, WB (1994) 'From Fatwas to Fur': Growth and Change in Islamic Substantive Law', Islamic
Law and Society, 1(1), hlm. 29–65. doi: 10.2307/3399430.
Hasballah, A. (1976) Ushul al-Tasyri' al-Islami. Mesir: Dar al-Ma'arif.
Jamaa, L. (2018) 'Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan
Hukum Islam Kontemporer di Indonesia', Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies,
8(1), hlm. 29–56. doi: 10.18326/ijims.v8i1.29-56.
Jaya, A. (1996) Konsep Maqashid al-Syariah Menurut Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kaptein, NJG (2004) 'Suara Ulamÿ: Fatwa dan Otoritas Keagamaan di Indonesia', Archives de
Sciences Sociales des Religions, 125(1), hlm. 115-130. doi: 10.4000/
assr.1038.
69
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
Case Of Saudi Arabia', International Journal of Middle East Studies, 18(1), hlm. 53–71.
doi: 10.1017/S002074380003021X.
Layish, A. (1991) 'The "fatwa" as a Instrument of the Islamization of a Tribal Society in Process
of Sedentarization', Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of
London, 54(3), hlm. 449 –459. Tersedia di: http://www.jstor.org/stable/619054.
Mahfudz, S. (2003) Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS.
Miles, MB and Huberman, AM (1992) Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-
Metode Baru. Jakarta: Pers UI.
Moustafa, T. and Sachs, JA (2018) 'Law and Society Review Special Issue Introduction: Islamic
Law, Society, and the State', Law & Society Review, 52(3), hlm. 560–573. Tersedia di:
http://www.jstor.org/stable/45093928.
Mudzhar, MA (1992) Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Kajian Hukum Islam
Pemikiran di Indonesia, 1975-1988. Michigan: Ann Arbor: UMI.
Mudzhar, MA (1993) Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS.
Mudzhar, MA (2012b) 'Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini', Jurnal
Indo-Islamika, 2(1), hlm. 91-103. doi: 10.15408/idi.v2i1.1656.
Mudzhar, M. Atho (2012a) 'Prolog: Fatwa MUI Sebagai Obyek Kajian Hukum Islam dan Sumber
Sejarah Sosial', in Mudzhar, Mohamad Atho, Yusuf, CF, and Nahrawi, N. (eds) Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam perspektif hukum dan peraturan-undangan.
Jakarta: Puslitbang Kehidupan dan Diklat Kementrian Agama.
Niam, MA (2008) Sadd al-Dzari'ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Qard} awi, Y. (1990). Fiqh al-Aulawiyyat (t.tp: Mansyurat Kuliah Dakwah Islamiyah, 1990),
70
Machine Translated by Google
Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)
hlm. 203.
Qardawi, Y. (1997) Fatwa Antara Keadilan dan Kecerobohan. Jakarta: Gema Insani Pers.
Rusli (2011) 'Tipologi Fatwa Di Era Modern: Dari Offline Ke Online', HUNAFA: Jurnal Studia
Islamika, 8(2), hlm. 269–306. doi: 10.24239/jsi.v8i2.365.269-306.
Safi, LM (1990) 'Hukum Islam dan Masyarakat', The American Journal of Islamic Social Sciences,
7(2), hlm. 177-191.
Schacht, J. (1965) Sebuah Pengantar Hukum Islam. London: Pers Universitas Oxford.
Shihab, MQ (1999) Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah. Jakarta: Mizan.
Syarifuddin, A. (1997) Ushul Fiqh. Jakarta: Penerbit Logos Wacana Ilmu.
Zahro, A. (2004) Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il NU 1926-1999. Yogyakarta:
LKiS.
Zuhaily, W. (1990). Ushul Fiqh (t.tp: Mansyurat Kuliah Dakwah Islamiyah, 1990), hlm. 98.
https://LBM NUblogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-NUhtml.
https://nasional.tempo.co/read/538851/muhammadiyah-dan-nu-tolak-mui-fatwakan sesat-syiah/
full&view=ok. Diakses pada 25 Juli 2018.
https://news.detik.com/berita/1999831/kronologi-kekerasan-yang-dialami-warga-syiah
di sampang.
http://LBM NUblogspot.co.id/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-NUhtml?m=1
71
Machine Translated by Google
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71
72