Anda di halaman 1dari 20

Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan


Jil. 22, No. 1 (2022), hlm. 53-71, doi : 10.18326/ijtihad.v22i1.53-71

Posisi fatwa dalam hukum Islam:


efektivitas MUI, NU, dan
fatwa muhammadiyah

Ansori
UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto
E-Mail: ansori@uinsaizu.ac.id
DOI: 10.18326/ ijtihad.v22i1.53-71

Secara kuantitatif, terdapat gap antara jumlah teks keagamaan yang terbatas dengan realitas konteks dinamis
yang sangat besar. Memang, dalam prinsip utama hukum Islam, setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang
Muslim harus mematuhi aturan syariah. Ketentuan syara' adalah nash-nash agama yang menyangkut perkataan,
perbuatan, atau kegiatan lain yang dilakukan oleh seseorang yang cakap hukum (mukallaf). Untuk mengatasi
kemungkinan kesenjangan antara teks dan konteks, para ulama (ulama) merumuskan berbagai metode sehingga
hukum Islam dapat menjadi media penghubung dan sarana yang efektif untuk mengkompromikan teks-teks
agama dengan aktivitas seseorang. Dengan diproduksinya berbagai metode tersebut, maka produksi teks-teks
yang telah berakhir sejak wafatnya Nabi Muhammad ± 1500 tahun yang lalu akan tetap menguasai dan mampu
membimbing umat manusia. Artikel ini membahas bagaimana fatwa, sebagai pemikiran ulama, memiliki dialektika
dengan realitas masyarakat. Selain itu, juga mengeksplorasi tingkat praktis fatwa. Padahal, fatwa merupakan
salah satu upaya mencari jawaban syar'i atas berbagai persoalan yang timbul dalam kehidupan manusia,
khususnya di zaman modern ini.

Teks-teks keagamaan yang jumlahnya terbatas, ketika dihadapkan dengan realitas yang dinamis cenderung
cenderung adanya adanya. Padahal, dalam prinsip utama hukum Islam, setiap aktivitas yang dilakukan oleh
seorang muslim harus sesuai dengan aturan syarak. Aturan syarak yang dimaksud adalah teks-teks tentang
liputan, perbuatan, atau aktifitas lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang cakap hukum (mukallaf). Untuk
mengatasi yang sangat mungkin terjadi antara teks dan konteks, para ulama merumuskan berbagai metode
agar hukum Islam bisa menjadi media menghubung dan sarana kompromi yang efektif atas teks-teks keagamaan
di satu sisi, dengan aktifitas seseorang di sisi lain. Dengan dihasilkannya berbagai metode tersebut, produksi
teks yang telah berakhir sejak wafatnya rasul ±1500 tahun yang lalu akan tetap memiliki daya kontrol dan
mampu menjadi pedoman bagi umat manusia, kapan dan di mana

53
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

manapun. Artikel ini membahas tentang fatwa, sebagai sebuah produk pemikiran dari para ulama,
berdialektika dengan realitas masyarakat, apakah fatwa tersebut diamalkan atau diabaikan.
Padahal, fatwa merupakan salah satu ikhtiar untuk menemukan jawaban syar'i atas berbagai masalah
yang muncul dalam kehidupan umat manusia, khususnya di zaman modern.

Kata kunci: Lembaga Bahtsul Masail; Efektivitas Fatwa; Komisi Fatwa; Dewan Tarjih.

pengantar

Syariah (hukum Islam) telah menjadi kode moral dan hukum yang dominan dalam masyarakat
Muslim untuk sebagian besar sejarah mereka. Selama abad-abad awal Islam, hukum Islam
memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan sosial umat Islam, yang berpuncak pada pendirian
kerajaan yang luas dan peradaban yang luar biasa. Namun, menjelang akhir abad kelima Islam,
hukum Islam mulai kehilangan perannya sebagai pedoman yang mengilhami kreativitas dan
kecerdikan umat Islam serta menumbuhkan semangat ummat Islam (Safi, 1990). Hukum Islam
menempati tempat yang relatif kecil dalam sistem hukum sebagian besar negara mayoritas Muslim,
dengan yurisdiksi seringkali terbatas pada masalah hukum keluarga (Moustafa dan Sachs, 2018).
Hukum Islam, sering disebut fiqh, dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hukum Syariah
yang berlaku dan disarikan dari petunjuk rinci (Mahfudz, 2003).
Dalam membahas hukum Islam, setidaknya ada tiga produk pemikiran hukum selain fatwa.
Mereka adalah fiqh, keputusan pengadilan, dan undang-undang. Di sini fiqh dipahami sebagai hasil
ijtihad para ulama tentang peristiwa hukum yang telah terjadi atau belum (Effendi, 2009). Jika
ditelusuri penyebabnya, fatwa memiliki cakupan yang lebih spesifik daripada ijtihad. Sedangkan
putusan pengadilan yang secara teknis disebut al-qadha adalah ucapan dan/atau putusan tertulis
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Kajian fatwa dalam Islam merupakan hukum Islam yang normatif. Fatwa termasuk dalam
kepustakaan hukum Islam yang mengatur, baik berupa fatwa yang dikeluarkan secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama. Dengan sifat regulasi fatwa tersebut, maka terjadi benturan normatif bidang
agama dan sosial, sehingga menempatkan kajian fatwa dalam kajian sosiologi hukum Islam dalam
arti kajian yang membahas tentang pola perilaku dan interaksi masyarakat. seputar hukum Islam
baik sebagai sebab, tanggapan, maupun dampak dari hukum Islam (Mudzhar, 2012b).
Kehadiran fatwa memiliki kedudukan yang esensial di tengah umat beragama, mengingat Al-
Qur'an dan As-Sunnah tidak dapat ditambah atau dikurangi secara kuantitas, sedangkan

54
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

tuntutan zaman yang terus meningkat dan selalu membawa implikasi hukum yang terus
berkembang. Akibatnya, muncul ungkapan di kalangan ahli hukum Islam “al-nus}ÿs}
mutanÿhiyah wa al-waqÿi' ghairu mutanÿhiyah” (naskah terhenti, sedangkan peristiwa yang
terjadi tidak dapat dicegah).
Ketimpangan ini yang melatarbelakangi para ulama (ulama), secara individu maupun
kolektif, untuk terus berkreasi (ijtihad) dalam merumuskan produk hukum Islam, salah satunya
fatwa. Fatwa itu sendiri diharapkan dapat menjadi alat penyesuaian yang dapat mengantisipasi
perkembangan dan perubahan sosial di sekitarnya.
Fatwa tersebut secara signifikan diperkuat oleh tuntutan agar Islam selalu relevan dengan
perkembangan zaman atas dasar normatif agama yang tidak dijelaskan secara rinci. Ia tidak
menjelaskan secara rinci landasan normatif agama, ternyata sangat relevan dengan tuntutan
hukum Islam untuk memiliki dialektika yang dinamis dengan perubahan sosial masyarakat
(Amin, 2008). Oleh karena itu, dapat dipahami dalam diktum hukum Islam bahwa “peristiwa
hukum, teknis dan cabang dapat berubah dan berkembang, tetapi jiwa dan prinsip teks akan
selalu konstan, permanen, stabil dan tidak berubah sepanjang waktu, tidak ada peduli
bagaimana perubahan itu terjadi” (Diamil, 1999).
Mengenai perubahan masyarakat dan persoalan hukumnya, banyak lembaga fatwa yang
lahir dan berkembang di Indonesia, baik oleh pemerintah (negara) maupun masyarakat. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dengan Komisi Fatwanya merupakan representasi dari lembaga fatwa
yang dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Nahdlatul Ulama dengan Lembaga Bahsul Masail
(LBM NU) dan Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih (MTM) adalah dua dari sekian banyak
fatwa tersebut. lembaga yang dibentuk oleh masyarakat (non-pemerintah). Ketiga lembaga
tersebut memiliki otoritas tertinggi dalam merumuskan fatwa hukum Islam di Indonesia,
meskipun metodologi istinbat yang berbeda dan segmentasi penerima fatwa juga beragam.
Jika segmentasi Komisi Fatwa MUI adalah masyarakat Islam pada umumnya, maka Lembaga
Bahsul Masail (LBM) NU lebih berorientasi pada nahdhiyyin (komunitas NU), dan MTM juga
berorientasi pada masyarakat Muhammadiyah.
Ketiga lembaga fatwa tersebut merupakan lembaga pengambil keputusan hukum Islam
yang produktif dan selalu mengiringi proses legislasi hukum Islam di Indonesia. Sejak berdiri
pada 26 Juli 1975, melalui proses politik yang rumit (Mudzhar, 1993),

55
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

MUI telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi umat Islam di Indonesia dengan keputusan

ratusan fatwa yang dirumuskan oleh beberapa ulama di komisi fatwa MUI (Jamaa, 2018). Majelis Tarjih

Muhammadiyah didirikan berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke- 16 di Pekalongan pada tahun

1927. Majelis Tarjih Muhammadiyah juga telah melahirkan banyak fatwa. Demikian pula LBM NU, sejak berdiri

pada tahun 1989 melalui hasil Muktamar NU ke- 28 di Yogyakarta, juga telah banyak melahirkan rumusan dan

keputusan fatwa mengenai berbagai persoalan dan bidang kehidupan (Zahro, 2004).

Menariknya, meskipun NU dan Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang paling menonjol di Indonesia

dan memiliki lembaga pembuat hukum bagi umat Islam dalam lingkup anggotanya masing-masing, dari segi cita-

cita dan efektivitas lembaga fatwa, fatwa yang dihasilkan oleh LBM NU dan MT Muhammadiyah sepertinya kurang

populer dan kurang efektif di masyarakat jika dibandingkan dengan produk fatwa dari MUI. Mengenai jam'iyyah,

MUI tidak memiliki basis massa yang militan seperti NU dan Muhammadiyah.

Berdasarkan permasalahan di atas, artikel ini mencoba mengungkap bagaimana sebuah fatwa dipraktikkan

atau diabaikan oleh masyarakat. Setidaknya melalui artikel ini dapat dipahami alasan di balik pengamalan atau

pengabaian sebuah fatwa dan upaya apa yang harus dilakukan agar setiap fatwa yang dirumuskan oleh lembaga-

lembaga fatwa dapat benar-benar menjadi pedoman yang dapat membawa perubahan bagi masyarakat.

metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memperoleh data yang mendalam dari perspektif masyarakat.

Selain itu, digunakan untuk menjaring pengetahuan informan. Penentuan informan dilakukan secara purposive,

dan peneliti menginterpretasikan hasil dari data yang disampaikan (Garna, 2009).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi wawancara, angket, dan observasi kepada masyarakat

umum, NU, dan Muhammadiyah. Wawancara dipilih karena bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi

tentang kehidupan aktor dalam suatu komunitas (Koentjaraningrat, 1991). Selain itu, peneliti juga menyebarkan

kuesioner kepada informan/responden yang telah ditentukan di masing-masing kelompok masyarakat, seperti

masyarakat umum, NU, dan jamaah Muhammadiyah. Kuesioner diperlukan untuk memperoleh informasi yang

akurat, terukur, dan terstruktur dari responden.

56
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

Responden penelitian ini adalah seratus lima puluh (150) orang yang terbagi menjadi lima puluh (50) orang.

Jamaah NU , lima puluh (50) anggota Muhammadiyah, dan lima puluh (50) Muslim non-NU atau Muhammadiyah.

Untuk masing-masing dari lima puluh orang tersebut, peneliti membagi mereka menjadi sepuluh (10) pengurus

organisasi, sepuluh (10) tokoh agama (Kiai, Imam Masjid/Mushalla), dan tiga puluh (30 orang) umat Islam

umum. Porsi untuk masyarakat umum ditingkatkan karena mereka adalah sasaran utama dari fatwa yang

dirumuskan. Ketika fatwa diposisikan sebagai jawaban atas pertanyaan umat Islam, mereka bukanlah pengurus

ormas dan tokoh Islam, tetapi jemaah umum yang tingkat aksesibilitasnya terhadap fatwa tidak terlalu baik.

Analisis data menggunakan model yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992). Analisis data

kualitatif dimulai dengan kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan

dan/atau verifikasi. Dapat dipahami bahwa kombinasi dari

urutan analisis data kualitatif dimulai dari memilih suatu masalah, mengumpulkan data, mereduksi data,

menyajikan data, menganalisis temuan/hasil data, dan menarik kesimpulan (Miles dan Huberman, 1992).

Memahami wacana fatwa dalam Islam

Wacana fatwa selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan oleh para ulama khususnya di bidang

Fiqh dan Ushul Fiqh. Berbagai jenis fatwa menjadi perhatian di dalamnya. Mulai dari fatwa yang dikeluarkan

oleh lembaga atau majelis tertentu, fatwa yang dikeluarkan oleh mufti perseorangan, hingga fatwa yang

dikeluarkan tanpa didahului pertanyaan atau permintaan.

Di negara-negara mayoritas Muslim, fatwa biasa menjadi alat pemerintah untuk melegalkan kebijakan

tertentu (Mudzhar, 1992). Di Arab Saudi, misalnya, orientasi ulama terhadap politik-agama dan simbiosis

dengan penguasa telah diidentifikasi sejak 1744. (Kechichian, 1986). Demikian pula, fatwa juga telah digunakan

sebagai instrumen Islamisasi Badui di Yordania (Layish, 1991). Di negara-negara mayoritas Muslim lainnya

seperti Malaysia, fatwa memiliki peran penting dalam mensosialisasikan dan mensosialisasikan hukum Islam di

masyarakat. Fatwa adalah salah satu bentuk utama hukum Islam di Malaysia. Lembaga fatwa dianggap sebagai

lembaga yang paling berwibawa. Aturan-aturan yang diputuskan oleh fatwa tersebut disebarluaskan melalui

berbagai media, antara lain website resmi, seminar, pamflet

57
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

dan buku, keputusan pengadilan, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan pentingnya fatwa dalam menyebarkan

hukum Islam (Khairuldin, Anas dan Embong, 2018).

Di negara-negara minoritas Muslim, fatwa sering memposisikan diri sebagai alat kompromi yang fleksibel

dan elastis vis a vis kebijakan dominasi. Apa yang disampaikan oleh Basheer M. Nafi tentang dikeluarkannya

fatwa yang ditandatangani oleh lima ulama dan cendekiawan Muslim tentang boleh tidaknya tentara Muslim

Amerika berpartisipasi dalam memerangi terorisme di Afghanistan dan negara-negara Muslim lainnya di

seluruh dunia setelah pemboman 11 September 2001. Fatwa itu, menurut Nafi, merupakan contoh penyesuaian

sempurna Muslim Amerika dalam konteks kewarganegaraan.

Dalam khazanah pemikiran Islam, fatwa secara harafiah diartikan sebagai jawaban atas suatu peristiwa

(memberikan tanggapan tegas atas segala peristiwa yang terjadi di masyarakat) (Qardawi, 1997). Sebagian

ulama mengartikan fatwa sebagai jalan yang lurus (Fatah, 2006).

Makna etimologis fatwa tersebut nampaknya merujuk pada tiga kata kunci dalam al-Qur'an yang

membentuk konsep fatwa secara terminologi, yaitu: yas'alunaka (mereka bertanya kepadamu), yastaftunaka

(mereka meminta pendapatmu), dan dalam beberapa hal. kasus ada kata aftiinaa (beri kami solusi dari

masalah ini atau itu). Dari ketiga kata kunci tersebut, para ahli merumuskan konsep fatwa.

Menurut Hallaq, istilah istifta' dan segala turunannya mengandung arti permintaan untuk memecahkan

suatu masalah yang rumit (Hallaq, 1994). Dalam Surah Yusuf (12): 43, raja meminta orang-orang untuk

menafsirkan (aftÿni fi) mimpi yang mendalam yang dia miliki. Ratu Balqis juga meminta pendapat pejabatnya

(aftÿni fi) ketika Nabi Sulaiman mengajaknya masuk Islam. Konotasi yang sama juga ditemukan dalam ayat-

ayat hukum yang berkisar pada hak-hak perempuan dan kasus pewarisan yang kompleks. Jadi dalam

perspektif Al-Qur'an, keberadaan fatwa dan iftÿ' secara linguistik dibenarkan dalam Al-Qur'an dengan berbagai

ekspresi berbeda yang memiliki konotasi yang sama, yang mengarah pada masalah yang dianggap sangat

rumit dan perlu dipecahkan sebagai sedini mungkin.

Menurut al-Raqhib al-Isfahani, meskipun istilah fatwa ditemukan dalam Al-Qur'an dalam derivasi yang

berbeda, sebenarnya memiliki arti yang sama; yaitu, jawaban atas pertanyaan hukum yang sering diajukan

kepada Nabi saat itu (Fu'ad dan Abdul-Baqi, 1981). Dilihat dari jawaban-jawaban yang ada di dalam Al-Qur'an,

para peminta fatwa saat itu cenderung faktual dan realistis sehingga jawaban-jawabannya menggunakan

bahasa yang jelas dan menjawab permasalahan.

58
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

Dalam Ushul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih dalam menanggapi

permintaan fatwa dalam perkara yang tidak mengikat (Dahlan, 1996). Fatwa juga dapat diartikan sebagai nasehat,

nasehat, dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum (Depdikbud, 1997).

Sedangkan fatwa adalah penjelasan syara' tentang suatu masalah terhadap pertanyaan seseorang atau

kelompok. Menurut al-Syat}ibi, fatwa dalam pengertian al-iftÿ' adalah keterangan tentang hukum syara' yang tidak

mengikat untuk diikuti (Zuhaily, 1990). Al-Qard}awi mendefinisikan fatwa dengan menjelaskan aturan syara' dalam

suatu masalah sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para peminta fatwa (mustafti) baik

secara individu maupun kolektif (Qardawi, 1990). Sementara itu, Joseph Schacht mengistilahkan fatwa tersebut

dengan “formal legal opinion” (pendapat hukum formal) (Schacht, 1965).

Alexandre Caeiro mengatakan bahwa fatwa adalah titik temu antara teori hukum dan praktik sosial (Caeiro,

2006). Menurutnya, fatwa sosial memiliki empat fungsi, yaitu: fatwa sebagai instrumen hukum, instrumen sosial,

wacana politik, dan doktrin hukum (Caeiro, 2006). Dalam fungsinya sebagai instrumen hukum, fatwa merupakan

bagian dari proses peradilan bila menyangkut persoalan yang diangkat oleh hakim dan berdampak pada perkara

peradilan. memiliki hubungan yang harmonis dalam pemerintahan, fatwa sebagai wacana politik dan doktrin hukum

muncul misalnya ketika fatwa digunakan untuk memberikan status hukum kepada komunitas Muslim tertentu sebagai

“sesat” atau “murtad”.

Menurut Caireo, iftÿ' sebagai esensi tradisi Islam tidak hanya dipahami sebagai “kerangka kognitif (teoretis)”

tetapi juga sebagai bentuk praktis dari cara hidup, yaitu teknik untuk mengajar seseorang dan membentuk pola pikir

untuk mencapai tujuan. keutamaan dan nilai-nilai yang dibenarkan oleh agama. Sebagaimana Khotbah dan beberapa

ilmuwan Muslim lainnya telah menyatakan, fatwa tidak hanya sebagai instrumen untuk belajar tentang aturan dan

prosedur tetapi juga sebagai alat untuk membentuk emosi yang diperlukan untuk membentuk seorang Muslim yang

sempurna (Caeiro, 2006).

Salah satu syarat penetapan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam memberikan fatwa

karena penetapan fatwa tanpa mengindahkan manhaj dilarang oleh agama.

Menetapkan fatwa semata-mata karena kebutuhan (li al-h}ÿjah), karena kemaslahatan (li al-mas}lah}

ah), atau karena esensi ajaran agama (li maqÿs}id al-syari'ah) tanpa menganut al-nus}us} al-syar 'iyah termasuk

golongan yang berlebihan (ifrÿt}i) (Caeiro, 2006 ). ). Di sisi lain, kelompok kaku memegang teks-teks agama (al-nus}

us} al-syari'iyah) tanpa memperhatikan kemaslahatan (li al-mas}lah}ah), dan esensi ajaran agama (li maqÿsid al-

-syari'ah } ) menyebabkan

59
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

kegagalan untuk memecahkan banyak masalah. Kelompok tersebut termasuk dalam kategori gegabah (tafrit>i}). Oleh

karena itu, seseorang harus menjaga keseimbangan dalam menggunakan manhaj yang disepakati oleh para ulama

agar tidak masuk dalam kategori memberikan fatwa tanpa mempertimbangkan dalil hukum yang jelas.

Dari segi bentuk dan pelakunya, fatwa dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: fatwa kolektif (al-
fatwÿ al-ijmÿ'i) dan fatwa pribadi (al-fatwÿ al-fardi>). Fatwa kolektif dirumuskan dan ditetapkan oleh
kelompok atau lembaga yang berwenang. Harus bebas dari pengaruh politik, budaya, dan sosial
yang berkembang (Hasballah, 1976). Di Indonesia, kelompok-kelompok fatwa kolektif tersebut
adalah Majelis Ulama Indonesia , Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahsul Masail NU, Komisi Fatwa
Majelis Dakwah Islam Indonesia, dan lain-lain (Fatah, 2006).
Beberapa kalangan mengatakan bahwa fatwa kolektif dipandang sebagai bentuk ijtihad modern
yang dianggap ideal karena proses perumusannya didasarkan pada berbagai sudut pandang ilmiah
yang lebih mendekati kebenaran (Jaya, 1996). Ijtihad kolektif diyakini efektif dalam memecahkan
berbagai persoalan kontemporer yang sangat kompleks dan membutuhkan berbagai perspektif
dengan melibatkan berbagai pakar dari berbagai disiplin ilmu (Jaya, 1996).
Fatwa pribadi (al-fatwÿ al-fard) adalah suatu bentuk fatwa yang dihasilkan dari penelitian dan
kajian yang dilakukan oleh seseorang. Biasanya, fatwa pribadi ini lebih memberi warna pada fatwa
kolektif. Fatwa pribadi selalu didasarkan pada analisis mendalam terhadap suatu masalah yang
akan dikeluarkan fatwanya. Umumnya, fatwa kolektif diawali dengan fatwa pribadi melalui kajian
mendalam (Jaya, 1996).
Dalam wacana dan praktik fiqh di masyarakat Muslim, fatwa pribadi tampak lebih dominan
daripada fatwa kolektif. Komunitas Muslim lebih banyak, misalnya, merujuk pada fatwa Syekh
Muhammad Shaltut, Yusuf al-Qaradawi, Ibn Taimiyah, Syekh al-Maraghi, Muhammad Abduh,
Muhammad Abu Zahrah, Rashid Ridha, atau lainnya (Jaya, 1996). Di Indonesia, fatwa pribadi bisa
disebut kodifikasi fatwa dari Sirajudin Abbas, A. Hasan, Qurays Shihab, Ali Yafi, Sahal Mahfudz,
Hasbie as-Shiddiqy, atau lainnya (Rusli, 2011).

Tanggapan atas fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah

Ada beberapa pertanyaan yang penulis ajukan kepada responden untuk mengetahui apakah fatwa
dari MUI, NU, atau Muhammadiyah benar-benar dilaksanakan atau diabaikan oleh masyarakat.
Tingkat kepopuleran fatwa dari masing-masing lembaga juga bisa diketahui

60
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

dari jawaban yang diberikan responden terhadap pertanyaan penulis.

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah seratus lima puluh, yang terbagi atas lima puluh jamaah

NU, lima puluh anggota Muhammadiyah, dan lima puluh Muslim non-NU dan non-Muhammadiyah. Untuk

masing-masing dari lima puluh orang ini, penulis membagi mereka menjadi sepuluh anggota ormas, sepuluh

pemuka agama (kiai, Imam Masjid), dan tiga puluh umat Islam umum.

Porsi untuk umat Islam umum meningkat karena mereka adalah sasaran utama dari fatwa yang dirumuskan.

Ketika fatwa diposisikan sebagai jawaban atas pertanyaan umat Islam, maka umat Islam tentu saja bukan

pengurus ormas dan tokoh Islam, tetapi umat Islam pada umumnya yang tingkat aksesibilitasnya terhadap

fatwa tidak terlalu baik.

Berdasarkan jawaban responden, diperoleh data sebagai berikut:

sebuah. Popularitas dan Tingkat Kepatuhan pada Fatwa LBM NU

Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden, popularitas LBM NU cenderung baik pada

level pimpinan organisasi dan tokoh agama. Adapun masyarakat umum, kebanyakan dari mereka tidak

mengetahui keberadaan LBM NU. Bahkan, di level pemuka agama, beberapa jawaban menunjukkan

bahwa mereka hanya mengetahui keberadaan lembaga tersebut tetapi tidak dapat menjelaskan tugas

dan fungsinya dengan benar. Dari segi pengamalan fatwa, karena pengetahuan masyarakat tentang

LBM NU dan produk fatwanya kurang baik, maka tingkat kepraktisan di masyarakat juga rendah. b.

Tingkat popularitas dan kepatuhan pada Fatwa Dewan Tarjih

Popularitas Majelis Tarjih Muhammadiyah di kalangan jemaahnya relatif lebih baik dibandingkan

LBM NU di kalangan warga Nahdhiyyin. Pada tingkat manajemen organisasi, semua responden

mengetahui dan dapat menjelaskan keberadaan Majelis Tarjih. Kegiatan keagamaan mereka juga

seluruhnya mengacu pada Kitab Putusan Tarjih. Kondisi pemuka agama Muhammadiyah juga lebih baik

dari pemuka agama Nahdhiyyin. Dari 10 tokoh agama yang ditanya, hanya 2 yang tidak bisa menjelaskan

dengan baik apa itu Majelis Tarjih. Namun, semua responden mengetahui keberadaan Majelis Tarjih

dalam struktur organisasi Muhammadiyah.

Mengenai agama, semua responden juga menjawab bahwa mereka sepenuhnya mengacu pada

61
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

Persatuan Tarjih Muhammadiyah. Adapun masyarakat umum dari jemaah Muhammadiyah, 5


responden tidak dapat menjelaskan dengan benar Majelis Tarjih, padahal mereka mengetahui
keberadaannya. Mengenai pengamalan fatwa, dari 30 responden, hanya 4 yang mengaku bahwa
konsep keagamaan mereka kebanyakan berasal dari pengajian atau ceramah ustadz/kiai.
Sedangkan 4 responden lainnya menyatakan lebih menyukai buku Putusan Tarjih.

c. Popularitas dan Tingkat Kepatuhan di Komisi Fatwa MUI


Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga fatwa milik pemerintah, idealnya
memiliki popularitas yang lebih tinggi dari lembaga fatwa sebelumnya. Artinya, dari segi
popularitas, tidak ada lagi orang yang tidak mengetahui keberadaan Komisi Fatwa beserta tugas
dan fungsinya. Demikian pula setiap produk fatwa yang dihasilkan oleh Komisi Fatwa harus benar-
benar menjadi pedoman hidup umat Islam sebagai bangsa, negara, dan agama.

Cita-cita komisi fatwa tampaknya tidak sejalan dengan realitas masyarakat. Dari data yang
diperoleh, popularitas Komisi Fatwa tampaknya kalah dengan popularitas MUI itu sendiri. Bahkan,

popularitas Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih baik dari Komisi Fatwa MUI.

Popularitas Komisi Fatwa relatif tinggi dibandingkan dengan Majelis Tarjih dan LBM NU. Hal
ini terjadi ketika responden berada di luar jamaah lembaga fatwa tersebut. Artinya responden dari
Muhammadiyah dan NU cukup mengetahui keberadaan Komisi Fatwa dibandingkan dengan
responden NU dan non-Muslim terkait Majelis Tarjih. Demikian pula responden dari Muhammadiyah

dan ormas non-Muslim yang mengenal LBM NU

Teori fatwa menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti fatwa,
kecuali dalam hal-hal yang disepakati oleh semua lembaga fatwa, dan tidak ada ulama (individu)
yang berbeda pendapat. Namun, dalam kondisi dimana masyarakat memiliki beberapa lembaga, dan
seringkali masing-masing lembaga tidak memiliki satu pandangan hukum untuk dijadikan sebagai
fatwa, maka pelaksanaan fatwa tersebut tentunya bergantung pada kecenderungan masing-masing
umat Islam. Sebagai contoh, dalam menentukan awal Ramadhan, di Indonesia seringkali muncul
fatwa yang berbeda antara satu lembaga fatwa dengan lembaga fatwa lainnya. Padahal, Kemenag sudah memfasilita

62
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

diadakannya rapat itsbat untuk menentukan awal Ramadhan, dalam prakteknya di lapangan masih terdapat

perbedaan antara lembaga fatwa yang mengandalkan metode hisab dengan lembaga fatwa yang tetap

menggunakan metode ru'yah . Publik juga tidak dipaksa untuk mengikuti putusan sidang itsbat yang dalam

banyak kasus merupakan suara mayoritas ormas Islam di Indonesia. Pemerintah tetap mengizinkan umat

Islam untuk memilih fatwa mana yang diyakini benar, dengan catatan tidak menyalahkan umat Islam karena

mengikuti fatwa lain dan selalu menjaga ukhuwah Islamiyyah.

Contoh lainnya adalah fatwa tentang larangan merokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Di kalangan Muhammadiyah, fatwa ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Beberapa responden memberikan

data bahwa dalam kehidupan sehari-hari masih ada warga Muhammadiyah yang merokok, padahal mereka

mengetahui bahwa merokok itu dilarang berdasarkan keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Namun, jumlah

orang yang merokok sebelum dan sesudah dikeluarkannya fatwa haram dari

Majelis Tarjih mengalami penurunan yang signifikan. Fatwa larangan merokok tentunya tidak berpengaruh bagi

warga NU, dimana rokok hanya dianggap makruh oleh LBM NU. Artinya, dikeluarkannya fatwa larangan

merokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah sama sekali tidak berdampak pada jumlah perokok di NU.

Kalaupun ada warga NU yang berhenti merokok setelah dikeluarkannya fatwa haram, alasan mereka berhenti

sama sekali tidak terkait dengan larangan merokok.

Berdasarkan data di atas, permasalahan pengabaian fatwa dari lembaga fatwa oleh masyarakat tampaknya

disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Sifat fatwa yang tidak mengikat

Dalam wacana hukum Islam, fatwa diakui memiliki kedudukan yang tinggi. Keberadaan fatwa

dipandang sebagai alternatif yang dapat mencairkan suasana dalam perkembangan hukum Islam. Apalagi

dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap aturan hukum Islam tidak boleh bertentangan dengan dalil-dalil

agama, sedangkan dalil-dalil agama tidak bertambah jumlahnya, dan persoalan-persoalan yang dihadapi

umat Islam terus bertambah dan bertambah kompleks.

Satu hal yang unik tentang fatwa adalah bahwa itu bukan dogma atau norma dengan kekuatan

mengikat yang kuat seperti norma hukum pada umumnya. Kedudukan fatwa dalam Islam pada hakikatnya adalah

63
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

tidak lebih dari nasihat atau jawaban atas pertanyaan hukum yang datang dari seorang ulama atau

lembaga fatwa individu. Dengan kata lain, fatwa itu bersifat ghairu mulzim (tidak mengikat), kebebasan

umat Islam untuk mengikutinya (Shihab, 1999).

Fatwa berbeda dengan qadha'. Fatwa tidak memiliki kekuatan mengikat, dan dapat diikuti atau

ditinggalkan, bahkan oleh pemohon sendiri. Sedangkan qadha' menghasilkan aturan hukum yang mengikat.

Lembaga qadha' merupakan salah satu instrumen kekuasaan di bidang peradilan, sedangkan lembaga

fatwa tidak lain adalah lembaga akademik yang mandiri dan tidak berafiliasi dengan kekuatan politik

manapun, termasuk negara.

Dalam konteks ini, menarik bahwa meskipun Komisi Fatwa MUI dianggap “milik” oleh pemerintah

sebagai lembaga fatwa, keberadaannya tetap berbeda dengan Peradilan Agama yang juga dimiliki oleh

pemerintah. Perbedaan utama antara putusan fatwa MUI dan Pengadilan Agama adalah tidak adanya

kekuatan mengikat dalam fatwa sebagaimana tertuang dalam putusan pengadilan. Apabila pemohon

fatwa mengabaikan jawaban atas permohonan fatwanya, maka ia tidak akan menerima akibat hukum

apapun. Dalam konteks ini, diterapkan atau tidaknya hasil fatwa tampaknya merupakan ranah etis,

bukan ranah yuridis. Pemohon fatwa yang mengabaikan jawaban fatwa secara etis telah melakukan

kesalahan, meskipun secara hukum tidak dapat dipersalahkan.

2. Keberagaman fatwa

Selain lemahnya daya ikat, banyaknya lembaga fatwa dan pemuka agama (ulama) yang sering

dimintai fatwa pribadi, menyebabkan munculnya pluralitas fatwa di masyarakat. Dalam konteks tertentu,

keragaman fatwa tidak menimbulkan masalah serius di masyarakat, tetapi dalam kondisi yang berbeda,

konflik dapat terjadi. Misalnya, beberapa MUI di Jawa Timur mengeluarkan fatwa sesat terhadap

kelompok Syiah dan mendesak MUI pusat untuk memberikan fatwa yang sama. Dalam posisi yang

berbeda, NU dan Muhammadiyah menentang lahirnya fatwa sesat tersebut karena rentan digunakan

sebagai alat legitimasi oleh kelompok tertentu untuk menindas komunitas Syiah di Indonesia (Tempo,

2018). Kekhawatiran NU dan Muhammadiyah ini dibuktikan dengan terjadinya perkusi dan pengusiran

terhadap komunitas Syiah di Madura dengan dalih fatwa sesat dari MUI (Detik.com, 2018).

Perbedaan produk fatwa antara satu lembaga fatwa dengan lembaga fatwa lainnya menunjukkan

64
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

fatwa itu dinamis. Selain perbedaan metodologi hukum, perbedaan tersebut juga disebabkan oleh

posisi fatwa sebagai respon terhadap perkembangan baru yang dihadapi masyarakat yang meminta

fatwa dan masyarakat pada umumnya (Amin, 2011).


3. Sosialisasi yang lemah

Sebagai pendapat hukum, fatwa memiliki nilai kebenaran relatif (dzanni). Fatwa tersebut dapat

mengandung nilai kebenaran dan juga nilai kesalahan. Apalagi jika fatwa itu menyangkut masalah-

masalah yang tidak disebutkan secara jelas (syariah) oleh Al-Qur'an atau al-Sunnah. Namun dari sisi

kekuatan kebenaran yang ditawarkan, fatwa yang bersumber dari lembaga fatwa dipandang memiliki

nilai kebenaran yang lebih kuat dibandingkan fatwa dari seorang mufti (Syarifuddin, 1997).

Nilai kebenaran substansial yang diberikan oleh fatwa-fatwa kolektif seperti Komisi Fatwa MUI,

Majelis Tarjih Muhammadiyah, dan LBM NU idealnya dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam

menjalani kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, setiap fatwa yang dihasilkan

oleh masing-masing lembaga tersebut harus diketahui oleh umat Islam untuk dipraktikkan. Harus ada

upaya untuk menjangkau masyarakat agar bisa dipelajari


dan dipahami.

Di masyarakat, fakta menunjukkan hal yang berbeda dimana proses sosialisasi tampaknya tidak

berjalan dengan baik, sehingga sebagian besar dari mereka tidak mengetahui fatwa dari masing-masing

lembaga fatwa. Orang lebih mengenal fatwa dari para ustadz, kiai, atau ulama, yang sering dimintai

pendapat agama dalam berbagai persoalan. Publik seolah-olah mengabaikan kekuatan dan kelemahan

kebenaran yang ditawarkan oleh para mufti individu dan kolektif seperti dijelaskan di atas.

Fatwa dalam wacana Hukum Islam empiris

Dalam kehidupan sosial keagamaan, kedudukan fatwa sangatlah penting, sehingga otoritas keagamaan

dalam suatu masyarakat dapat dibentuk melalui fatwa (Kaptein, 2004). Di beberapa daerah, perkataan

seorang ulama masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat muslim lebih dari perkataan

seorang pemimpin. Atas dasar itu, Presiden Suharto memprakarsai berdirinya MUI, selain sebagai

pemersatu masyarakat yang terpecah belah oleh ideologi masing-masing ormas, dan bentuk kesadaran

pemerintah bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia akan sulit diselesaikan tanpa melibatkan

partisipasi ulama (Niam, 2008).

65
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

Intervensi pemerintah terhadap MUI memang dalam banyak hal menyulitkan MUI untuk benar-
benar independen dari kehendak dan kepentingan penguasa. Dalam hal ini MUI seringkali berada
pada posisi sebagai legitimator kebijakan pemerintah, yang tentunya akan mempengaruhi fatwa MUI.
Kondisi ini semakin memperkuat tesis bahwa pengaruh sosial dan budaya tidak dapat diabaikan
dalam setiap produk fatwa dari seseorang atau lembaga fatwa (Mudzhar, 2012a).

Pada tataran praktis, fatwa menandai hubungan antara syariah (hukum Islam) dan dunia kongkrit
manusia. Fatwa juga menjadi semacam titik temu antara hukum dan kenyataan. Fatwa bukanlah
jawaban atas pertanyaan imajinatif yang dibuat oleh para mufti (Mudzhar, 2012a) tetapi merupakan
produk dari realitas masyarakat yang konkret dan pasti. Beberapa indikator dapat digunakan untuk
menjelaskan hal ini. Pertama, setiap fatwa konvensional dimulai dengan pertanyaan dari mustafti,
diikuti dengan jawaban dari mufti; Kedua, hampir semua fatwa berkaitan erat dengan individu atau
kelompok dalam kondisi dan tempat tertentu; Ketiga, fatwa seringkali diberikan untuk menjawab
pertanyaan yang kurang relevan, namun meski begitu, fatwa tersebut berasal dari dunia nyata;
Akhirnya, banyak fatwa yang menanggapi perselisihan tentang jenis kontrak tertentu. Adanya
ketidaksepakatan menandai fenomena peristiwa antara dua orang atau lebih yang berkonflik (Hallaq, 1994).
Berdasarkan beberapa indikator di atas, jelaslah bahwa fatwa tidak hanya berfungsi sebagai

sumber acuan tuntunan agama dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari.
Namun, sebuah fatwa atau kumpulan fatwa juga dapat menjadi catatan sejarah yang menandai

sejarah sosial suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini, fatwa tidak hanya berisi

penjelasan hukum agama tentang suatu masalah. Dalam merumuskan fatwa, terjadi dialog antar
umat tentang persoalan zamannya yang diwujudkan dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
(istiftÿ') dan kemudian dijawab oleh mufti sebagai tanggapannya. Di sinilah fatwa merupakan catatan
situasi sosial orang-orang tertentu pada waktu tertentu (Anwar, 2007).

Tidak dapat dipungkiri bahwa seorang mufti atau lembaga fatwa selalu memiliki kepentingan atau
kecenderungan ideologis tertentu dalam memandang suatu masalah atau fenomena. Atas dasar ini,
Syamsul Anwar mengatakan bahwa fatwa merupakan jembatan antara cita-cita syariah di satu sisi
dengan realitas kongkrit masyarakat di sisi lain. Masalah, keprihatinan, harapan, aspirasi, dan
pengalaman masyarakat diangkat dan dikonfrontasikan untuk menemukan titik temu dengan cita-cita

moral dan etika-keagamaan agama dalam syariah yang dimediasi oleh keterampilan intelektual dan ijtihad.

66
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

dari sang mufti. Dalam memberikan tanggapannya, sang mufti tidak beranjak dari ruang hampa. Dia

memiliki aspirasi, pandangan, harapan, dan kepentingan dan bahkan mungkin berada di bawah tekanan
dari pembatasan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Dengan demikian fatwa secara keseluruhan sebenarnya merupakan perjuangan dalam dimensi yang

luas. Ia mengemban berbagai misi dan mencakup kritik sosial, pembelaan status quo, dukungan atau

perlawanan terhadap rezim yang berkuasa, melakukan pemurnian agama dan reformasi sosial, serta

mencerahkan masyarakat dan bahkan mengobarkan semangat juang melawan penjajah. seperti pada

era kolonialisme (Kaptein, 2004).

Berbeda dengan lembaga fatwa yang dimiliki MUI, LBM NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah seolah-
olah bebas dari campur tangan penguasa dalam pendiriannya.

Sebelum MUI berdiri, keduanya telah ditemukan dan menjalankan perannya secara profesional sebagai

lembaga fatwa dengan metode dan prosedurnya masing-masing. Namun, baik LBM NU maupun Majelis

Tarjih Muhammadiyah tidak berada dalam ruang hampa sosial atau budaya.
Dari segi karakteristik, ketiga lembaga fatwa tersebut memiliki persamaan dan perbedaan.

Ketiganya memiliki kesamaan yang masing-masing merupakan lembaga fatwa kolektif (jama'i), yang di

Indonesia mulai berkembang pada awal abad ke-20. Munculnya ketiganya sekaligus menggeser

popularitas fatwa individu (fardiy) dari ulama nusantara (Kaptein, 2004).

Di sisi lain, ada perbedaan yang signifikan antara ketiganya. Signifikansi pertama, LBM, lembaga

fatwa milik organisasi keagamaan “tradisional” NU, mengembangkan prinsip taqlid dalam istinbat

hukumnya . Seorang tokoh sangat berpengaruh dalam merumuskan fatwa dalam LBM. Kedua, Majelis

Tarjih, sebagai lembaga fatwa yang dimiliki oleh organisasi Muhammadiyah “modernis”, mengembangkan

prinsip-prinsip istinbat hukum modernis berdasarkan teks (bukan angka) dan mengutamakan prinsip

ijtihad. Ketiga, berbeda dengan dua lembaga fatwa yang telah dijelaskan sebelumnya (LBM dan Majelis

Tarjih), yang proses pembentukannya jauh dari campur tangan pemerintah, MUI sebenarnya ada atau

berdiri atas inisiatif pemerintah. Adapun metode istinbat hukum , model yang dikembangkan MUI

tampaknya paling komprehensif karena menggabungkan apa yang dikembangkan oleh LBM dan MT.

Pasalnya, anggota Komisi Fatwa MUI merupakan perwakilan dari berbagai ormas keagamaan di

Indonesia, termasuk NU dan Muhammadiyah. Akhirnya,

67
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

kewenangan merumuskan fatwa di N. dan MUI bukan hanya kewenangan pengurus pusat tetapi juga

kewenangan perangkat daerah. Adapun Muhammadiyah, kewenangan merumuskan fatwa hanya di

tangan pengurus pusat. Dari pluralitas fatwa yang dihasilkan, regulasi yang diterapkan Muhammadiyah

tampaknya mampu menghindari pluralitas fatwa secara internal. Adapun NU dan MUI, sangat mungkin

secara internal akan terjadi pluralitas fatwa, terutama fatwa pengurus pusat dan daerah.

Meski memiliki karakter dan model istinbat yang berbeda, namun dalam perkembangannya, fatwa-

fatwa dari lembaga-lembaga fatwa diyakini paling baik dan paling dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua hal: pertama, akumulasi otoritas keagamaan (ulama)

dalam fatwa kolektif. Bagi sebagian umat Islam Indonesia, fatwa diberikan melalui proses yang melibatkan

lebih banyak ahli yang memiliki otoritas lebih tinggi. Kedua, ijtihad kolektif dianggap sebagai bentuk ijtihad

terbaik saat ini sebagai proses untuk mewujudkan fatwa kolektif. Ijtihad kolektif merupakan solusi atas

krisis pemikiran yang melanda dunia Islam. Kompleksitas permasalahan yang ada menuntut untuk

diselesaikan dengan melibatkan tidak hanya para ahli keislaman tetapi juga para ahli dari disiplin ilmu lainnya.

Dalam praktiknya, cita-cita bahwa fatwa yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut di atas tidak

harus diwujudkan secara memadai. Artinya, jika fatwa dari suatu lembaga dianggap lebih baik daripada

fatwa dari individu, banyak yang masih mengandalkan pendapat seorang kiai, ulama, atau ahli dalam

berbagai masalah agama. Selain itu, ketika Komisi Fatwa MUI melibatkan ahli fatwa lintas ormas, tingkat

kekuatan fatwa harus lebih baik dari fatwa dari masing-masing ormas. Bahkan, beberapa ormas masih

memilih menjalankan fatwanya sendiri ketimbang fatwa MUI.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa efektivitas fatwa yang dihasilkan oleh Komisi Fatwa

MUI, LBM NU, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah belum maksimal disosialisasikan dan dilaksanakan

oleh masyarakat luas. Tidak ada kekuatan mengikat dan memaksa yang melekat pada fatwa yang

dihasilkan. Di sisi lain, keragaman fatwa juga menjadi salah satu penyebab efektivitas fatwa tersebut tidak

terlalu tinggi bagi masyarakat umum. Terakhir, penyebab efektifitas fatwa yang dihasilkan oleh lembaga

fatwa adalah kurangnya arahan langsung

68
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

sosialisasi dengan masyarakat, sehingga banyak yang tidak mengetahui tentang fatwa tertentu.
Hal ini tentunya menjadi masukan tersendiri bagi lembaga pembuat fatwa, mengingat fatwa
sangat penting bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Di sisi lain, fatwa
yang dihasilkan oleh beberapa lembaga fatwa juga saling melengkapi.

Bibliografi

Amin, M. (2008) Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAQ.


Amin, M. (2011) Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Hijrah Saputra.
Anwar, S. (2007) Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Buku.
Caeiro, A. (2006) 'The Shifting Moral Universes of the Islamic Tradition of Ifta': A Diachronic Study
of Four Adab al-Fatwa Manuals', The Muslim World, 96, hlm. 661–685.
Dahlan, AA (1996) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Depdikbud (1997) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Diamil, F. (1999) Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logo.
Effendi, S. (2009) Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Fatah, RA (2006) Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Fu'ad, M. dan Abdul-Baqi (1981) Mu`jam al-mufahras li alfaz al-Qur'an al-Karim. Dar al-fikr.
Garna, JK (2009) Metode Penelitian: Kualitatif. Bandung: Yayasan Judistira dan
Primako Akademika.

Hallaq, WB (1994) 'From Fatwas to Fur': Growth and Change in Islamic Substantive Law', Islamic
Law and Society, 1(1), hlm. 29–65. doi: 10.2307/3399430.
Hasballah, A. (1976) Ushul al-Tasyri' al-Islami. Mesir: Dar al-Ma'arif.
Jamaa, L. (2018) 'Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan
Hukum Islam Kontemporer di Indonesia', Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies,
8(1), hlm. 29–56. doi: 10.18326/ijims.v8i1.29-56.
Jaya, A. (1996) Konsep Maqashid al-Syariah Menurut Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kaptein, NJG (2004) 'Suara Ulamÿ: Fatwa dan Otoritas Keagamaan di Indonesia', Archives de
Sciences Sociales des Religions, 125(1), hlm. 115-130. doi: 10.4000/
assr.1038.

Kechichian, JA (1986) 'Peranan Ulama Dalam Politik Negara Islam:

69
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

Case Of Saudi Arabia', International Journal of Middle East Studies, 18(1), hlm. 53–71.
doi: 10.1017/S002074380003021X.

Khairuldin, WMKFW, Anas, WNIWN and Embong, AH (2018) 'Fatwa as a Disseminator of


Islamic Laws between Community of Malaysia', International Journal of Academic Research
in Business and Social Sciences, 8(11), hlm. 516–521. doi: 10.6007/
ijarbss/v8-i11/4925.
Koentjaraningrat (1991) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Layish, A. (1991) 'The "fatwa" as a Instrument of the Islamization of a Tribal Society in Process
of Sedentarization', Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of
London, 54(3), hlm. 449 –459. Tersedia di: http://www.jstor.org/stable/619054.
Mahfudz, S. (2003) Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS.
Miles, MB and Huberman, AM (1992) Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-
Metode Baru. Jakarta: Pers UI.
Moustafa, T. and Sachs, JA (2018) 'Law and Society Review Special Issue Introduction: Islamic
Law, Society, and the State', Law & Society Review, 52(3), hlm. 560–573. Tersedia di:
http://www.jstor.org/stable/45093928.
Mudzhar, MA (1992) Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Kajian Hukum Islam
Pemikiran di Indonesia, 1975-1988. Michigan: Ann Arbor: UMI.
Mudzhar, MA (1993) Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS.
Mudzhar, MA (2012b) 'Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini', Jurnal
Indo-Islamika, 2(1), hlm. 91-103. doi: 10.15408/idi.v2i1.1656.
Mudzhar, M. Atho (2012a) 'Prolog: Fatwa MUI Sebagai Obyek Kajian Hukum Islam dan Sumber
Sejarah Sosial', in Mudzhar, Mohamad Atho, Yusuf, CF, and Nahrawi, N. (eds) Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam perspektif hukum dan peraturan-undangan.
Jakarta: Puslitbang Kehidupan dan Diklat Kementrian Agama.
Niam, MA (2008) Sadd al-Dzari'ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Qard} awi, Y. (1990). Fiqh al-Aulawiyyat (t.tp: Mansyurat Kuliah Dakwah Islamiyah, 1990),

70
Machine Translated by Google

Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam: Keefektifan Fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah (Ansori)

hlm. 203.

Qardawi, Y. (1997) Fatwa Antara Keadilan dan Kecerobohan. Jakarta: Gema Insani Pers.
Rusli (2011) 'Tipologi Fatwa Di Era Modern: Dari Offline Ke Online', HUNAFA: Jurnal Studia
Islamika, 8(2), hlm. 269–306. doi: 10.24239/jsi.v8i2.365.269-306.
Safi, LM (1990) 'Hukum Islam dan Masyarakat', The American Journal of Islamic Social Sciences,
7(2), hlm. 177-191.
Schacht, J. (1965) Sebuah Pengantar Hukum Islam. London: Pers Universitas Oxford.
Shihab, MQ (1999) Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah. Jakarta: Mizan.
Syarifuddin, A. (1997) Ushul Fiqh. Jakarta: Penerbit Logos Wacana Ilmu.
Zahro, A. (2004) Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il NU 1926-1999. Yogyakarta:
LKiS.

Zuhaily, W. (1990). Ushul Fiqh (t.tp: Mansyurat Kuliah Dakwah Islamiyah, 1990), hlm. 98.
https://LBM NUblogspot.com/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-NUhtml.
https://nasional.tempo.co/read/538851/muhammadiyah-dan-nu-tolak-mui-fatwakan sesat-syiah/
full&view=ok. Diakses pada 25 Juli 2018.
https://news.detik.com/berita/1999831/kronologi-kekerasan-yang-dialami-warga-syiah
di sampang.
http://LBM NUblogspot.co.id/p/sejarah-lembaga-bahtsul-masail-NUhtml?m=1

71
Machine Translated by Google

Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 22, No. 1, Juni 2022: 53-71

72

Anda mungkin juga menyukai