Anda di halaman 1dari 27

TUGAS LAPORAN BAACAAN

MATA KULIAH HUKUM ISLAM


Dosen Pengampu: Dr. Achmad Husen, M.Pd

DISUSUN OLEH:

Kemal Rafcha Fauzan


1401618081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2020
1.Pandangan Hukum berdasarkan Paham Ketuhanan YME dan Pandangan Hukum
berdasarkan Paham Kemasyarakatan.

A. Hukum Berdasarkan Paham Ketuhanan Yang Maha Esa

Istilah negara hukum di Indonesia sering disebut dengan rechtstaats atau the rule of law.
Konsep negara hukum (rechtstaats) di Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai yang tercermin
dalam Pancasila. Sesuai dengan makna negara hukum yang berdasarkan Pancasila, maka bangsa
Indonesia memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan, serta sifat religius dan dalam pengertian
inilah maka bangsa Indonesia pada hakikatnya dikatakan sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana terdapat dalam Pembukaan
UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada Negara Indonesia, yaitu bukan merupakan
negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara dan juga bukan merupakan negara
agama yaitu negara yang mendasarkan atas agama tertentu. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang menunjukkan bahwa negara Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama.

Dan bukti bahwa Pandangan hukum berdasarkan paham ketuhanan yang maha esa yaitu
tercermin dalam setiap putusan pengadilan di Indonesia didahului dengan kalimat irah-irah
berjudul, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan demikian,
berlaku untuk semua lingkungan peradilan di Indonesia (Wajdi, 2017).

Landasan yuridisnya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Kalimat tersebut adalah roh atau turunan Pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945).

Urgensi dari ketentuan itu adalah semua putusan hakim akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah SWT. Kalimat itu adalah pedoman utama bagi hakim dalam mengambil setiap
tindakan keputusan atau perbuatan menjatuhkan putusan senantiasa dilandasi niatan menegakkan
keadilan (QS. Al-Ma’idah, 5: 5-8).
B. Hukum Berdasarkan Paham Kemasyarakatan

Hukum adalah seperangkat aturan yang mengikat dan memaksa masyarakat. Proses
pelaksanaanya harus dipaksakan dengan jalan menjatuhkan sanksi agar tujuan daripada hukum
dapat tercapai. Tujuan hukum memberikan kemanfaatan yang bersifat universal yaitu bagaimana
menciptakan perdamaian dan ketentraman dalam lingkungan masyarakat yang dapat dirasakan
secara konkret oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dalam masyarakat ada suatu keinginan yang ingin dicapai, kemudian hukum dijadikan
sebagai alat untuk merubah tingkah laku masyarakat agar terbawa kearah tujuan yang
dikehendaki. (Effendi & dkk,.) Keberadaan hukum dalam masyarakat adalah sebagai suatu
fenomena yang harus dioperasikan dalam masyarakat. Mengkaji tentang fungsi hukum, memang
sangat urgen dilakukan mengingat dalam kehidupan sosial masyarakat senantiasa terjadi
perbedaan kepentingan antara setiap individu. Perbedaan kepentingan itu diantaranya ada yang
selaras dengan kepentingan warga masyarakat lainnya, tetapi ada pula kepentingan yang
kemungkinan tidak selaras dan dapat menimbulkan konflik. Jadi, dalam pandangan masyarakat
biasa, hukum dikonstruksikan sebagai suatu kehidupan bersama dalam masyarakat yang diatur
secara adil. Jadi, nilai-nilai keadilan dalam hukum yang dipandang sebagai norma yang lebih
tinggi dibandingkan dengan norma hukum dalam suatu undang-undang. Artinya hukum dapat
memberikan kebahagiaan (keadilan) bagi masyarakat.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hukum adalah hal yang sangat
urgen dalam masyarakat karena masyarakat tanpa hukum, maka akan terjadi kacau balau, begitu
pula sebaliknya hukum tanpa masyarakat maka, hukum itu tidak berarti sama sekali.

2. Pengertian Hukum dalam isalm,Syari’ah dan Fiqih serta perbandingan antar ketiganya
Syariah. Menurutkan akar katanya syar’i yang berarti jalan menuju sumber air Menurut istilah:
Hukum yang diatur oleh Allah SWT, untuk hambanya melalui lisan para Rasul. Para Rasul
menyampaikan kepada umatnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik berbentuk
aqidah, hukum, akhlak, muamalah dan sebagainya, secara singkat dapat dikatakan bahwa syariah
Islam adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam wacana
keislaman, kata syari’ah (atau syariat) memang memiliki makna dan signifikansi yang penting,
karena secara eksplisit tercantum dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW., dua
sumber utama ajaran Islam. Kata ‘syari’at’ dan pecahannya tercantum lima kali dalam al-
Qur’an.Dalam bentuk kata kerja (syara’a dan syara’u) terdapat masing-masing pada ayat 42:13
dan 42:21. Tiga bentuk kata bendanya tercantum pada tiga ayat berbeda, masing-masing 7:123,
5:48 dan 45:18. Ayat terakhir inilah yang terpenting dan sering ditabalkan menjadi salah satu
konsep kunci dalam pemikiran hukum Islam. Syari’ah yang awalnya berarti jalan, terutama jalan
menuju sumber air, dipergunakan di kalangan umat Islam dengan arti seluruh pandanan Allah
(khitabllah) yang terkait dengan perbuatan manusia. Kata syari’ah biasanya dinisbahkan kepada
para utusan Tuhan, seperti syari’ah Nabi Musa,. syari’ah Nabi Ibrahim dan syari’ah Muhammad
SAW. Meskipun Allah sebagai syari’ (pembuat syari’ah) mungkin berbeda pada para utusan-
Nya, tetapi segera setelah periode risalahnya selesai, apalagi dengan selesainya risalah penutup
para nabi (khatam al-nabiyyin), syari’ah itu menjadi permanen. Kata syari’ah telah dipakai dalam
pengertian dan makna yang beragam dalam lingkup yang berbeda dlan masa yang berbeda.
Manna’ al-Qattan, seumpamanya, mendefinisikannya sebagai ‘segala ketentuan Allah yang
disyariatkan, bagi hamba-hamba-Nya, baik menyangkut ritual, sosial, ekonomi, moral, hukum
dan lain-lainnya.
2. Fiqih menurut etimologi (lughah) adalah berarti paham, yaitu memahami segala sesuatu,
seperti saya paham (mengerti) bahwa langit di atas kita, dan bumi di bawah kita, atau memahami
satu setengah dari dua dan sebagainya. Menurut istilah, fiqh adalalah pengetahuan tentang
hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci A. Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1972, hal 11. Adapula ulama yang mendifinisikan fiqih dengan usaha
yang dihasilkan oleh manusia melalui ijtihad setelah dianalisis dan perenungan (al Juryany)
(Syarifuddin, 1993).

Hukum secara etimologi (lughah) kata hukum yang berarti ”menolak kezhaliman/penganiayaan
atau dengan arti menetapkan, atau memutuskan dan lain-lain. Secara terminologi/istilah ushul
fiqh. Hukum itu adalah titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
berupa tuntutan (perintah dan larangan) pilihan, atau menjadi sebab-syarat, dan mani’
(penghalang).

Dari definisi diatas diketahui hukum itu terbagi kepada 2 (dua) bahagian, yaitu hukum taklifi
yang mengandung perintah yaitu wajjib dan sunnat, dan larangan yaitu, haram dan makruh dan
pilihan yaitu mubah (harus) boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.

Bagian kedua yaitu hukum wad’y, yaitu yang dijadikan sebab, seperti, tergelincirnya matahari
menjadi sebab wajib shalat zuhur, syarat, seperti berwudhu menjadi syarat sahnya shalat, dan
mani’ (pengahalang) seperti haid dan nifas menjadi pengahalang wajibnya shalat dan puasa.
Dalam hukum Islam, hukum lebih diartikan kepada fiqih Islam sebagai penjabaran dari syari’ah.
Syari’ah sulit akan dilaksanakan tanpa fiqih, maka fiqih adalah ujung tombak dalam pelaksanaan
syari’ah Islam. Antara syari’ah dan fiqih dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Untuk
memperjelas persamaan dan perbedaan antara syari’ah dan fiqih dibawah ini dijelaskan sebagai
berikut:

Syari’ah terdapat di dalam al Qur’an dan sunnah Rasul saw. Kalau kita berbicara tentang
syari’ah yang dimaksud adalah wahyu Allah dalam al Qur’an dan sunnah Rasul. Sedangkan fiqih
terdapat dalam berbagai kitab fiqih, dan yang dimaksud dengan fiqih adalah pemahaman atau
penalaran pemikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad tentang syari’at. Syariah
dan fikih dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan, karena fikih adalah ujung tombak dari
syariah (operasional syariah)

3. Asas asas dan prinsip hukum islam


Azas secara etimologi memiliki makna dalah dasar, alas, pondamen (Muhammad Ali, TT : 18).
Adapun secara terminologinya Hasbi Ash-Shiddiqie mengungkapkan bahwa hukum Islam
sebagai hukum yang lain mempunyai azas dan tiang pokok sebagai berikut :

1. Azas Nafyul Haraji meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu
berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran
sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan
hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.

2. Azas Qillatu Taklif tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan
pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.

3. Azas Tadarruj bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi
setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4. Azas Kemuslihatan Manusia Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada
dilingkungannya.

5. Azas Keadilan Merata artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang
satu terhadap yang lainnya.

6. Azas Estetika artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk


mempergunakan/memperhatiakn segala sesuatu yang indah.

7. Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat Hukum Islam
dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.

8. Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal
memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan
bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai
dengan perkembangan peradaban manusia.

-Prinsip prinsip

Syari‟at Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan
manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah. Dalam kajian ilmu ushul fiqh,
yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang
ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur
hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam
semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan
perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetapan Allah

dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan perbuatan mukalaf. (Zahrah, 1994)Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara
lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. (Ash-Shiddiqie, 1958). Sebagaimana hukum-
hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat
atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh
masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya. (Ash-Shiddiqie M. H., 1958). Secara
etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja
memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan;titik tolak;
atau al-mabda. (Praja, 1995). Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal
yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang
membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum
dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat
unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.

Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :

1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada
dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat
La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali
Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan
ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai
manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan
sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan
penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya. Prinsip tauhid inipun menghendaki
dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang
tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S.
ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47). Dari prinsip umum tauhid ini, maka lahirlah prinsip khusus
yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini, umpamanya yang berlaku dalam fiqih ibadah
sebagai berikut :
a. Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara - Artinya bahwa tak
seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di sembah.
b. Prinsip Kedua : Beban hukum (takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman,
penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur - Artinya hamba Allah
dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.

2. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata
keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti
keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25. Keadilan
pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,
keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai
prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena
esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan
kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan
untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan
masyarakat.(10)

Penggunaan “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :


a. QS. Al-Maidah : 8 - Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya
kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan
kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi) ;
b. QS. Al-An‟am : 152 - Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal terutama
kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan
dalam bermuamalah/berdagang ;
c. QS. An-Nisa : 128 - Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri ;
d. QS. Al-Hujrat : 9 - Keadilan sesama muslim ;
e. QS. Al-An‟am :52 - Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus
dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut.

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat
berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum
Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu :
Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas; apabila
perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.

Teori keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :


1) al-sala’h wa al-aslah dan
2) al-Husna wa al-qubh.

Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :


a. Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan” perbuatan
tanpa tujuan dan hikmah adalah sia-sia
b. Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif sehingga
dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam
perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah
masalah akal.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar

Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang
baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan
sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan
pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan
berdasarkan wahyu dan akal.
4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan
tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi.
Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup
berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama
dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-
Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)

5. Prinsip Persamaan/Egalite

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah),
yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas
manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan
berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

6. Prinsip At-Ta‟awun

Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai
prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

7. Prinsip Toleransi

Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak
terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya tegasnya toleransi hanya dapat diterima
apabila tidak merugikan agama Islam. Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi
tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari
kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk
meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak
hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik
muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.

4. Sumber-sumber hukum islam


1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at
islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu 105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat

2. Hadist

Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan
manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian
dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:

1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah


2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah

Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam
Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai
penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum
sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-
unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).

3. Al-Ijma’

Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli
istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan
beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya
istihad umat islam setalah qiyas.

Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’
mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu
berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma
berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih
dari abad tertentu mengenai masalah hukum. (Zainuddin, 2005)

Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka
terdapat dua macam ijma’ yaitu :

1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau
mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah
mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.

Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat
digolongkan menjadi :

1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak
pasti.

4. Al-Qiyas

Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada
kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat
hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber
hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran,
timbangan.

Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari
garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu
keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang
lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :

“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk
berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah :
ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya
akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan demikian sifat memabukkan
dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap
minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam. (Jazim,
2004)

.5 Hukum perkawinan dan hukum waris sebagai hukum poositif dalam sistem hukum nasional

Hukum Perkawinan sebagai Hukum Positif dalam Sistem Hukum Nasional

Perkawinan merupakan hal yang sakral dan diagungkan oleh keluarga yang
melaksanakannya. Perkawinan merupakan perpaduan instink manusiawiantara laki-laki dan
perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhanjasmani melainkan juga untuk
pemehuhan kebutuhan lahiriah.Lebih tegasnya perkawinan adalah suatu perkataan
untukmenghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, dalamrangka
mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa ketentramanserta kasih sayang dengan
cara diridhoi oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya;”Dan diantara
tanda-tanda (Kemaha Besaran)-Nya adalah bahwa diamenciptakan jodoh-jodohmu sendiri agar
merasa tenang bersamamereka dan Dia menciptakan rasa cinta kasih diantara
kamu.Sesungguhnya di dalam hal itu terdapat tanda-tanda kemaha besaranAllah SWT bagi
orang-orang yang mau berfikir”.
Diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak lepas
dari upaya Negara dalam hal ini pemerintah untuk memberikan kepastiah hukum bagi warga
negara khususnya yang beragama Islam. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur seputar
masalah perkawinan dan akibat hukumnya bagi mereka yang beragama Islam. Berdasarkan
uraian di atas, maka setiap perkawinan yang dilangsungkan oleh warga negara yang beragama
Islam setidaknya harus mengacu dan berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang No. 1 tahun 1974. Materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pada dasarnya
merupakan kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung dalam al-Qur’an, Sunnah
Rasulullah, dan kitab-kitab fikih klasik maupun fikih kontenporer yangt telah berhasil diangkat
oleh sistem hukum nasional dari hukum normatif menjadi hukum tertulis yang mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa kepada rakyat Indonesia, terutama umat muslim.
Negara telah menjamin kehidupan beragama dan telah ikut serta mengamankannya
melaui aturan perundang-undangan, bahkan banyak pruduk hukum yang mengacu pada materi
hukum Islam normatif seperti dalam banyak aturan dan ketentuan pada Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencerminkan penghargaan dan kepedulian pemerintah
terhadap sendi-sendi ajaran agama, khususnya agama Islam. Apa yang telah dikenal selama ini
dalam Hukum Islam (law in the books) yang terdapat didalam al-Qur’an dan Hadist serta kitab-
kitab fikih, tidak akan ada apa-apanya, tidak akan ada pengaruh dan kekuatannya tanpa
diupayakan menjadi hukum tarapan yang dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, akan menjadi produk hukum yang memiliki daya paksa yang kuat untuk
dilaksanakan oleh warga masyarakat, dan jadilah sebagai hukum yang biasa disebut sebagai law
in action. Jadi sangat beralasan ketika seluruh Umat Islam di Indonesia untuk mengapresiasi dan
mendukung segala upaya yang di tempuh oleh negara dalam mengangkat eksistensi hukum Islam
dari law in the books menjadi law in action.

6. Pengertian,tujuan,prinsip dan hukum perkawinan dalam islam


Pengertian Perkawinan
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang
diridhai oleh Allah SWT. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan, Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan.

Perkawinan Menurut Hukum Islam


Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan
pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh
antara pendapat yang satu dengan yang lain. Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal nikah atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya
dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya. Suatu
akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti akan kithabah, akad salam,
akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna akad dan secara majas bermakna wat’un.
( Nawawi, Nibayah Al Zayn, 298.)

Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak diwajibkan tetapi juga tidak
dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam Alquran surat an-Nur ayat 32 yang Artinya :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. Dengan berdasarkan pada perubahan
illatnya atau keadaan masing-masing orang yang hendak melakukan perkawinan, maka
perkawinan hukumnya dapat menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.Perkawinan hukumnya
menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya sudah memungkinkan untuk
kawin dan dari segi materi telah mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu
sunnah baginya untuk kawin. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah
bagi orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan
melanjutkan keturunan. Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi
biaya hidup sudah mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah mendesak untuk kawin, sehingga
kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan, maka bagi orang yang
demikian itu wajiblah baginya untuk kawin. Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila
seseorang yang dipandang dari segi jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat
mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan
menyengsarakan hidup isteri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian itu makruh
baginya untuk kawin. Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari
bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban
batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar dirinya tidak mampu
memenuhi hak-hak suami, atau ada hal-hal yang menyebabkan dia tidak bisa melayani
kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia
tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu kepada laki-lakinya.
Ibaratnya seperti seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya
bilamana ada aibnya.

Prinsip-prinsip hukum islam


Di antara beberapa prinsip hukum Islam yang patut disebutkan di sini adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Hubungan dengan Allah SWT

Hukum Islam mengacu pada hukuman yang seluas-luasnya tidak hanya hubungan antar manusia
(hamba) dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan manusia.

2. Prinsip Khitbah kepada Allah swt


Dari prinsip ini, para ahli fikih senantiasa mendasarkan pada pikirannya atas kebenaran wahyu,
kemudian mereka menetapkan bahwa pembuat hukum itu adalah Allah.

3. Prinsip Hubungan Akidah dengan Akhlak Karimah.

Prinsip ini berkaitan erat dengan kehormatan manusia, manusia mempunyai hak dan kedudukan
yang sama dalam kehormatan itu, manusia paling mulia adalah yang paling bertakwa.

4. Prinsip Kebaikan dan Kesucian Jiwa

Prinsip ini merupakan nilai akhlak yang merupakan dasar lain dalam hubungan antara manusia
(perseorangan atau golongan) prinsip ini pun ditetapkan terhadap seluruh mahkluk Allah dimuka
bumi yang tercermin dalam kasih sayang.

5. Prinsip Keselarasan

Ini menunjukkan bahwa seluruh hukum Islam yang terinci dalam berbagai bidang hukum
bertujuan meraih maslahat dan menolak keburukan.

6. Prinsip Persamaan

Manusia adalah umat yang satu yang termaktub dalam beberapa ayat al-Quran seperti
diantaranya adalah; Qs.al-Baqarah:213, Qs. an-Nisa:1, dan Qs.al-A’raf:189, dan perbedaan itu
sebenarnya merupakan sunatullah dalam kejadian manusia Qs. ar-Rum: 22.

7. Prinsip Penyerahan

Prinsip ini menunjukkan keadilan yang tertinggi, keadilan adalah hak semua manusia baik kawan
maupun lawan. Orang baik atau jahat mendapat perlakuan yang adil dari hakim. Islam
menganggap keadilan terhadap musuh lebih dekat kepada taqwa (Qs. an-Nahl:102, Qs. An-
Nisa:135) semua rasul membawa tugas agar kehidupan manusia berjalan dengan adil (Qs. al-
Hadiid: 25). Islam tidak membenarkan perlakuan sewenang-wenang terhadap si lemah.

8. Prinsip Toleransi

Toleransi atau tasamuh merupakan dasar pembinaan masyarakat dalam hukum Islam, tasamuh
dalam Islam adalah toleransi yang bertitik tolak dari agamanya bukan tasamuh karena kebutuhan
temporal.
9. Prinsip Kemerdekaan dan Kebebasan

Kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh
hawa nafsu dan syahwat serta mengendalikannya di bawah bimbingan akal dan iman. Banyak
hadits yang menyerukan pengendalian nafsu oleh akal sehat dan iman. Dengan demikian
kebebasan bukanlah kebebasan mutlak melainkan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap
Allah dan terhadap kehidupan yang melihat dimuka bumi. Seperti dalam Qs. al-Baqarah: 256,
Qs. Yunus: 99, Qs. an-Naml: 60-64.

10. Prinsip Ta’awun

Berdasarkan prinsip ta ’awun insani (kerjasama kemanusiaan) Allah memerintahkan kita


membantu dan menolong di dalam kebijakan dan ketaqwaan serta melarangnya di dalam
kejelekan (dosa) dan permusuhan (Hanafi, 1967)

Tujuan Hukum Islam

Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan atau menciptakan kemaslahatan hidup bagi
seluruh umat manusia di muka bumi ini. Secara umum ada 3 tujuan hukum islam, antara lain:
mendidik setiap individu agar mampu menjadi sumber atau membawa kebaikan bagi masyarakat
dan tidak menjadi sumber atau yang membawa malapetaka bagi orang lain.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ankabut; 45, yang artinya:

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah lebih besar”

Selain itu tujuan hukum islam adalah menegakkan keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah
keadilan bagi seluruh umat manusia yang tidak terbatas pada kaum tertentu saja. Islam tidak
membedakan manusia berdasarkan keturunan dan suku atau warna kulit dan berbagai macam
perbedaan lainnya, kecuali ketaqwaannya.

Telah disebutkan dalam firman Allah SWT QS. Al-Hujurat;13, yang artinya:
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa diantara kamu”

Mengenai tujuan hukum islam yang ingin menegakkan keadilan, Allah SWT berfirman dalam
QS. Al-Maidah; 8, yang artinya:

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”

Selanjutnya, tujuan hukum Islam adalah mewujudkan atau menciptakan kemaslahatan yang
hakiki bagi seluruh umat manusia. Kemaslahatan yang hakiki adalah kemaslahatan sejati, bukan
kemaslahatan yang semu atau kemaslahatan bagi sekelompok orang saja.

Kemaslahatan hakiki sebagai tujuan Hukum Islam, meliputi 5 hal, yakni: memelihara agama,
jiwa, akal dan keturunan serta harta yang selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1). Memelihara agama adalah memelihara pelaksanaan agama, yakni menjalankan agama sesuai
dengan apa yang diperintahkan oleh agama.

2). Memelihara jiwa adalah memelihara diri dari segala ancaman. Menyuburkan keikhlasan hati
dalam beribadah dan berinteraksi bersama dengan masyarakat.

3). Memelihara akal adalah menjaga akal pikiran agar selalu dapat berpikir secara sehat dan
senantiasa berbuat baik dan benar.

4). Memelihara keturunan adalah menjaga dan memberikan kasih sayang kepada anak keturunan
agar dapat tumbuh dengan normal dan dalam pendidikan yang baik.

5). Memelihara harta benda adalah mengatur agar mendapatkan rejeki yang baik, yang benar dan
halal serta senantiasa berbagi harta benda yang dimiliki kepada orang yang tidak mampu sesuai
dengan perintah agama.

7. Hal-hal yang perlu di perhatikan sebelum perkawinan


· Persiapan Fisik
Seorang calon mempelai yang akan menikah hendaknya telah siap fisik dan tubuhnya dengan
kata lain, ia telah mencapai akil baligh dan telah siap memenuhi tugasnya sebagai seorang istri
maupun sebagai seorang suami.

· Persiapan mental

Calon mempelai semestinya sudah siap melangsungkan pernikahan dan telah menyadari bahwa
ia akan menikah dan memiliki kehidupan yang baru. Agar tidak stress atau mengalami masalah
setelah menikah maka sebaiknya mempelai mempersiapkan mentalnya agar ia mampu menerima
segala tanggung jawab sebagai seorang suami maupun seorang istri.

Persiapan spiritual

Menikah tidak hanya suatu hal yang membutuhkan persiapan mental dan fisik saja melainkan
dibutuhan juga kesiapan spiritual. Seseorang yang menikah hendaknya meminta petunjuk kepada
Allah SWT dan mendekatkan diri pada-Nya agar pernikahan yang nantinya ia jalani adalah
sesuai dengan syariah yang diberikan bagi umat islam.

Persiapan ekonomi

Pasangan yang akan menikah tentunya mesti memikirkan juga kehidupan mereka setelah
menikah, oleh sebab itu sebaiknya sebelum melaksanakan pernikahan baik pria dan wanita telah
memiliki kesiapan materiil terutama bagi pihak mempelai pria yang nantinya akan mencari
nafkah bagi keluarganya.

· Persiapan sosial

Persiapan sosial yang dimaksud adalah segala hal yang menyangkut kedudukan seseorang di
masyarakat, dalam hal ini seseorang yang akan menikah sebaiknya memeiliki hubungan yang

baik dengan masyarakat terutama di tempat nantinya pasangan yang akan menikah itu tinggal.

8. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berlangsungnya perkawinan (syarat,


rukun, wajib dan sunnah)
A. Syarat Sah Perkawinan [ CITATION Mei19 \l 1057 ]
1. Beragama islam bagi pengantin laki-laki
2. Bukan laki-laki mahram bagi calon istri
3. Mengetahui wali akad nikah
4. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji
5. Tidak karena paksaan

B. Rukun Perkawinan

Rukun Perkawinan Adapun rukun perkawinan itu ada lima, yang terdiri dari :
1. Calon Isteri
Calon mempelai wanita, yang dalam hal ini isteri tersebut boleh dinikahi dan sah secara
syar’i karena tidak ada penyebab-penyebab tertentu yang menjadikan pernikahan
terlarang atau dilarang.
2. Calon Suami
Calon mempelai pria yang dalam hal ini harus memenuhi syarat, seperti calon suami
bukan termasuk saudara atau mahram isteri, tidak terpaksa artinya atas kemauan sendiri,
orangnya tertentu atau jelas, dan tidak sedang ihram haji.
3. Wali
Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Mengenai wali bagi calon mempelai wanita ini
terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh). Karena perkawinan
itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya.

Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi apabila seorang
wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat menjadi hakim maka ada 3cara:
1) Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.
2) Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.
3) Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan diceritakan dari
Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali baginya harus mengangkat seorang wali
(hakim) yang ahli dan mujtahid.

Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan (dalam perjalanan
jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia memperwalikan seseorang
laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian itu diperbolehkan. Hal ini dapat
disamakan dengan memperwalikan seseorang hakim (penguasa Negara atau pejabat yang
mewakilinya) dikala tidak terdapat seorang wali nikah yang sah.”
Demikian pula menurut al-Qurtubi, apabila seorang perempuan berada di suatu tempat
yang ada kekuasaan kaum muslim padanya dan tidak ada seorang pun walinya, maka ia
dibenarkan menuaskan urusan pernikahannya kepada seorang tokoh atau tetangga yang
dipercainya di tempat itu, sehingga dalam keadaan seperti itu ia dapat bertindak sebagai
pengganti walinya sendiri.
Hal ini mengingat bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sangat diperlukan, dan
karenanya harus dilakukan hal yang terbaik agar dapat terlaksana. Dan apabila terjadi
perpisahan antara wali nasab dengan wanita yang akan dinikahinya, izin wali nasab itu dapat
diganti dengan izin wali hakim. Di Indonesia, soal wali hakim ini diatur dalam peraturan
menteri Agama nomor 1 tahun 1952 jo nomor 4 tahun 1952. Wali menurut hukum Islam
terbagi menjadi dua. Wali nasab yaitu anggota keluarga laki-laki calon pengantin
perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita. Wali nasab
ini digolongkan menjadi dua yaitu wali mujbir dan wali nasab biasa; wali hakim adalah
penguasa atau wakil penguasa dalam bidang perkawinan.
4. Dua orang saksi
Adanya dua orang saksi yang adil, golongan syafi’i mengatakan apabila perkawinan
disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil tidaknya, maka hukum tetap sah.
Karena pernikahan itu terjadi di berbagai tempat, di kampungkampung, daerah-daerah
terpencil maupun di kota, bagaimana kita dapat mengetahui orang adil tidaknya, jika
diharuskan mengetahui terlebih dahulu tentang adil tidaknya, hal ini akan menyusahkan.
Oleh karena itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya saja pada saat itu sehingga ia tidak
terlihat fasik.
Maka apabila di kemudian hari terjadi sifat fasiknya setelah terjadinya akad nikah maka
akad nikah yang terjadi tidak terpengaruh oleh kefasikan saksi. Dalam arti perkawinannya
tetap dianggap sah. Menurut juhur ulama’ perkawinan yang tidak dihdiri oleh para saksi
yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain,
perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya pernikahan, bahwa
Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun. Jika para saksi
tersebut hadir dan dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan
memberitahukan kepada orang lain, maka perkawinannya tetap sah.
5. Sighat (Ijab Kabul)
Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan
mereka untuk mengikat huidup berkeluarga karena ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang
tak dapat dilihat dengan mata kepala. Karena itu harus ada pertimbangan yang tegas untuk
menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri. Perlambangan itu diutarakan
dengan katakata oleh kedua belah pihak yang melaksanakan akad. Pengucapan: sigat (yakni
pengucapan “ijab” yang mengandung menyerahkan dari pihak wali si perempuan, dan
“qabul” yang mengandung penerimaan dari pihak wali calon suami).38 Para ahli fiqh
mensyaratkan ucapan ijab qabul itu dengan lafadz fi’il madi (kata kerja yang telah lalu) atau
salah satunya dengan fi’il madi dan yang lain fi’il mustaqbal (kata kerja sedang). [ CITATION
Bag02 \l 1033 ]

C. Wajib dan Sunnah dalam Perkawinan


1. Hal Wajib dalam Perkawinan
Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang memiliki kemampuan untuk
membangun rumah tangga atau menikah serta ia tidak dapat menahan dirinya dari hal-hal
yang dapat menjuruskannya pada perbuatan zina. Orang tersebut wajib hukumnya untuk
melaksanakan pernikahan karena dikhawatirkan jika tidak menikah ia bisa melakukan
perbuatan zina yang dilarang dalam islam (zina dalam islam). Hal ini sesuai dengan kaidah
yang artinya: “Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu
yang lain itu pun wajib”
2. Hak Sunnah dalam Perkawinan
Berdasarkan pendapat para ulama, pernikahan hukumnya sunnah jika seseorang memiliki
kemampuan untuk menikah atau sudah siap untuk membangun rumah tangga akan tetapi ia
dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu menjerumuskannya dalam perbuatan
zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya sunnah untuk menikah jika ia tidak
dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia tidak menikah. Meskipun demikian, agama
islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika sudah memiliki kemampuan dan
melakukan pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah. [ CITATION Sab13 \l 1033 ]

9. Hak dan Kewajiban Suami-Istri


1. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)

2. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya.


(An-Nisa’: 19 - Al- Hujuraat: 10)

3. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’:19)

4. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

SUAMI KEPADA ISTRI


1. Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-
aubah: 24)
2. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya.
(At-Taghabun: 14)
3. Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
4. Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan,
pakaian,tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu.
(AI-Ghazali)

5. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan:
(a) Memberi nasehat,
(b) Pisah kamar,
(c)Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
(An-Nisa’: 34)
‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.

6. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling
ramah terhadap istrinya/keluarganya.(Tirmudzi)

7. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq:7)

8. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)

9. Suami hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin
Khattab ra., Hasan Bashri)

10.Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)

11.Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa
kasar dan zhalim.(An-Nisa’: 19)

12.Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan,memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri.
(Abu Dawud).

13.Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim :
6,Muttafaqun Alaih)

14.Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan denganwanita (hukum-hukum


haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)

15.Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)

16.Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)

17.Apabila istri tidak mentaati suami(durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya
dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (Al-Ghazali)

18.Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya.
ISTRI KEPADA SUAMI

1. Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)

2. Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri.
(Al-Baqarah: 228)

3. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’:39)

4. Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:


a. Menyerahkan dirinya,
b. Mentaati suami,
c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami,
e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

5. Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan.
(Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)

6. Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri
menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)

7. Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-
dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)

8. Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan
suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)

9. Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya.
(Timidzi)

10.Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)

11.Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)

12.Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat
suami tidak dirumah). (An-Nisa’: 34)

13.Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu:


(1) Banyak anak
(2) Sedikit harta
(3) Tetangga yang buruk
(4) lstri yang berkhianat.
(Hasan Al-Bashri)

14.Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan
sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)

15.Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga
kemaluannya. (An-Nur: 30-31)
10. Putusnya Perkawinan dalam Islam, (Talak Iddah dan Rujju)
1. Talak

a. Pengertian Talak

Kata talak sebagaimana dijelaskan oleh Saleh Al-Fauzan dalam bukunya, Fiqih Sehari-
hari, diambil dari bahasa Arab yaitu at-Takhaliyatu yang artinya melepas atau pelepasan. (Al-
Fauzan, 2009)

Sedangkan Talak menurut istilah agama, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah,
mendefinisikannya sebagai berikut:

“talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.”


(Sabiq, 1986)

b. Hukum Talak

Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya, menurut Mahmud
Yunus, hukum talak ada lima, yaitu wajib, makruh, mubah (boleh), sunat dan haram. (Yunus,
1986).

Dari beberapa pendapat tersebut, Sayyid Sabiq menyatakan pendapat yang paling benar
adalah yang mengatakan “terlarang (makruh)”, kecuali karena alasan yang benar. Adapun
golongan yang berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali, mereka
melandaskan hal ini pada hadis Rasullullah SAW. :

“Rasullullah SAW. Bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan
bercerai.” (maksutnya suka kawin dan cerai)” (Sabiq S. , 1987)

Macam-macam Talak
Mahmud Yunus dalam bukunya, Hukum Perkawinan Dalam Islam, menjelaskan secara
lengkap macam-macam talak, (Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, 1986) yang pada
intinya adalah sebagai berikut:

1) Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak yang boleh suami rujuk kembali kepada bekas istrinya dengan
tidak perlu melakukan perkawinan baru dan masih dalam masa iddah sang istri, seperti talak satu
dan talak dua yang tidak disertai dengan uang (iwad) dari pihak istri.

2) Talak Ba’in

Talak ba’in adalah talak yang tidak boleh dirujuki kembali oleh seorang suami kepada
bekas istrinya, kecuali dengan akad nikah baru.

a) Talak ba’in kecil

Talak ba’in kecil adalah talak satu dan talak dua yang disertai dengan uang (iwad) yang
diberikan oleh pihak istri kepada suami. Selain itu, suami yang menjatuhkan talak kepada
istrinya yang belum dicampuri, juga termasuk talak ba’in kecil.

Jika talak ba’in kecil ini telah terjadi dan ingin rujuk kembali, maka harus menikah
dengan akad nikah yang baru.

b) Talak ba’in besar

Talak ba’in besar adalah talak tiga. Suami yang menjatuh- kan talak tiga kepada istrinya,
tidak boleh rujuk kembali dengan bekas istrinya, kecuali bekas istrinya itu telah menikah dengan
laki-laki lain, serta telah bersetubuh, bercerai dan telah habis masa iddahnya.

2. Rujuk

a. Pengertian Rujuk

Rujuk adalah upaya suami berbaikan dengan istrinya dimasa iddah, yakni kembali kepada
wanita yang telah diceraikan, bukan dengan talak ba’in, hingga hubungan suami istri seperti
biasanya tanpa diikuti dengan akad nikah baru, (Fauzan, 2009) rujuk dapat terlaksana dengan
ucapan dan perbuatan.

Rujuk merupakan hak suami, suami berhak kembali kepada istrinya baik istrinya suka
maupun tidak suka, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Abd. al-‘Adzim Ma’ani & Ahmad al-
Ghundur dalam buku Hukum-Hukum dari Al-Qur’an dan Hadis yang menerangkan bahwa rujuk
merupakan hak mutlak suami dan tidak diharuskan adanya kerelaan dari istrinya.

3. Iddah

a. Pengertian Iddah

Salah satu pengaruh dari perceraian adalah adanya masa iddah, yakni masa penantian
yang telah ditentukan waktunya dalam syari’at.

Iddah berasal dari bahasa arab adad yang artinya menghitung. (Sabiq S. , Fiqih Sunnah,
1978) Maksudnya, seorang perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.

Iddah dalam istilah agama adalah masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah pisah ( cerai ) dari suaminya kecuali
bagi istri yang belum dicampuri, ia tidak diberikan iddah sama sekali, sehingga setelah
perpisahan ( perceraian) berlangsung, seorang istri yang belum dicampuri boleh menikah lagi.

11. Undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan

Dalam Pasal 1 Undang-undang (UU) Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974
disebutkan ‘perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pasal 1 ini kita dapat memahami dua hal
pokok disini. Pertama, perkawinan adalah sebuah ikatan. Kedua, perkawinan mempunyai tujuan
tertentu. Perkawinan adalah sebuah ikatan
Sebagai sebuah ikatan, perkawinan yang dibentuk antara seorang pria dan seorang wanita itu,
pertama-tama berdasarkan ikatan batin. Ikatan batin, bukan soal ketertarikan fisik, melainkan
gerakan hati yang terdalam antara kedua belapihak bahwa keduanya cocok untuk hidup bersama.
Disini, sisi kecocokan hati yang merasuk dalam batin menjadi motivasi dasar untuk mau
mengikatkan diri secara lahiriah. Menjadi jelas disini ialah motivasi dasarnya yaitu ungkapan
batin.

Ungkapan batin kedua belapihak ini, hanya dapat dirasa dan diketahui oleh kedua belapihak.
Karena hanya diketahui oleh kedua belapihak, maka makna visioner ialah tak terpisahkan secara
batin. Ini belum sah menurut aturan keagamaan dan negara, serta sosiologis suatu masyarakat.
Karena itu, supaya diakui secara resmi, maka berdasarkan ungkapan hati keduanya itu, yang
telah menjadi suatu institusi dasar, yang menurut hemat saya menjadi pembentuk institusi lain
adalah ‘institusi batin’ kedua pasangan itu.

Ungkapan pengikatan diri secara batin yang sudah ada didalam ‘institusi batin’ sejatinya harus
diakui secara keagamaan dan sosial-kemasyarakatan. Sehingga ‘institusi batin’ dapat diketahui
oleh masyarakat umum bahwa kedua pasangan ini telah menjadi suami istri. Maka, kedua
pasangan ini menyatakan diri didalam janji kesepakatan perkawinan antara keduanya didepan
wakil lembaga keagamaan dan disaksikan oleh wali perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai