Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUKUM DAN PEMBAGIAN HUKUM DALAM ILMU KALAM


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Mujib Hidayat, M.Pd.I

Disusun oleh:
1. Muhammad Irfan Maulana (2121167)
2. Nur Fitri Amelia (2121169)
3. Sekar Fika Sari (2121174)

KELAS E
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, taufiq,
serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang
berjudul “Hukum dan pembagian hukum dalam ilmu kalam”, yang menjadi salah
satu tugas mata kuliah Ilmu Kalam dengan baik dan lancar.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati
perkenankanlah kami menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak Mujib Hidayat, M.Pd.I, selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Kalam.
2. Teman-teman yang membantu dan mendorong serta memberikan
informasi yang sangat diperlukan dalam penyusunan makalah ini.
Kami sebagai penyusun makalah menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penulisan ini masih jauh dari taraf sempurna. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.
Terima kasih.

Pekalongan, 23 September 2021

Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga atau
intuisi hukum untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat,
bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipenuhi oleh
masyarakat.1
Dalam kehidupan ini , segala perbuatan manusia baik itu perilaku
maupun tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syari’at, baik
hukum syari’at yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maupun yan tidak
tercantum dalam keduanya akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui
jumhur ulama yaitu Ijma dan Qiyas. Jika sesorang telah melanggar salah
satu dari hukum peraturan tersebut, maka ia akan dikenakan sanksi, atau
diambil tindakan oleh undang-undang yang tertera dan tercatat dalam
peraturan itu sendiri. Hukum Islam merupakan sebuah pedoman dan aturan
bagi umat Islam. Dengan adanya hukum tersebut, tingkah laku dan
perbuatan kita pasti akan terjaga dan tidak berlaku sesuai dengan
keinginannnya. Dengan menegetahui hukum, kita dapat menjalankan
kehidupan ini, terutama ibadah yang kita kerjakan sesuai apa yang
diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, agar kita lebih
mengetahui dan memahami tentang hukum dan pembagian hukum dalam
Ilmu Kalam, makalah ini berusaha untuk menjelaskan sedikit tentang hukum
dan pembagian hukum dalam Ilmu Kalam

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian hukum?
2. Bagaimana pembagian hukum dalam ilmu kalam?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Mengetahui apa itu hukum.
2. Mengetahui bagaimana pembagian hukum dalam ilmu kalam.

1
.Rudy Hidana,M.Pd.,Etika Profesi dan Aspek Hukum Bidang Kesehatan, (Bandung:Widina
Bhakti Persada Bandung, 2021),hlm.11.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita
adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah
laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma, yakni
berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak
tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam
peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat.2
1. Pengertian Hukum menurut KBBI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada beberapa
definisi hukum yaitu: 3
1) Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
2) Undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat.
3) Patokan (kaidah,ketentuan) mengenal peristiwa (alam, dan
sebagainya) yang tertentu.
4) Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam
pengadilan) vonis.
2. Definisi Hukum Menurut Berbagai Ahli
Adapun beberapa ahli hukum yang memberikan difinisi hukum
untuk dijadikan sebagai pedoman dalam tulisan ini dapat dikemukakan
antara lain sebagai berikut:
a. E Utrecht dalam bukunya tersebut memberikan definisi hukum sebagai
kaidah (normal) yaitu sebagai berikut:
2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Cet:20, Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 43.
3
KBBI Digital.
“Sebagai kaidah (normal) hukum dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup-perintah dan larangan- yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati
oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran
petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah
atau penguasa masyarakat itu”.4
b. Van Kan dalam bukunya yang terkenal (Inleiding Tot De
Rechtswensenchap). Juris dari Negeri Belanda ini mendefinisikan
hukum sebagai berikut:
“Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa
untuk melindungi kepentingan manusia dalam masyarakat”5
c. Abdul Wahab Khalaf memandang hukum sebagai tuntutan Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang yang sudah dewasa menyangkut
perintah, larangan, dan boleh tidaknya untuk melaksanakan atau
meninggalkan sesuatu.6
d. Menurut SM. Amin, “Hukum adalah kumpulan perauran-peraturan
yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang mana tujuan dari
peraturan ini adalah untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan
manusia sehinggan keamanan dan ketertiban menjadi terpelihara”.7

Secara sederhana hukum dapat didefinisikan, yaitu: “Seperangkat


peraturan tentang tingkah-laku manusia yang diakui sekelompok
masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.8
Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi
hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya di tetapkan oleh Allah,

4
Enju Juanda, Hukum Dan Kekuasaan, Vol.5, No.2 – September 2017.hlm.182.
5
Ibid, hlm.182.
6
Wibowo T. Tunardy, “Pengertian Hukum Menurut Para Ahli”, jurnalhukum.com,(diakses: 27
September 2021, pukul 10.38).
7
Dayat, “Pengertian Hukum: Tujuan, Fungsi, Unsur dan Macamnya”,
https://penerbitbukudeepublish.com/materi/pengertian-hukum, (diakses: 27 September 2021,
pukul 10.58).
8
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Cet: 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000).hlm.5.
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya,
karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai
hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung
di muka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan
hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam
sekitarnya. Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu di atur
oleh seperangkat ukuran tingkah-laku yang di dalam bahasa Arab
disebut hukm jamaknya ahkam".9

B. Pembagian Hukum
1. Hukum Syar’i

Syahid Bagir Shadr mendefinisikan Hukum Syar’i sebagai


pensyariatan yang datang dari Allah SWT. guna mengatur kehidupan
manusia. Berbeda dengan definisi klasik yang mengatakan bahwa, Hukum
Syar’i adalah pesan syar’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Mukallaf, yakni seorang yang memenuhi persyaratan taklif; baligh, akal dan
mampu. 10

Dalam definisi lain Hukum Syar’i adalah hukum yang berkaitan


dengan perintah dan larangan Allah terhadap manusia. Hukum syar’i tentu
bidangnya lebih lengkap dan luas. Kelengkapan ini timbul karena hukum
syar’i tidak dibuat oleh manusia dan tidak dipengaruhi oleh perbuatan
manusia, murni dari Allah. Hukum ini dibuat dan ditentukan oleh syara’
atau agama. Maka tidak ada suatu apapun dari kehidupan manusia yang
tidak diatur oleh agama Islam.11
9
Muhammad Daud Ali. Loc. Cit., hlm. 43-44.
10
Ilyas, “Hukum Syar’i: Pengertian dan Pembagiannya”, http://ikmalonline.com/hukum-syari-
pengertian-dan pembagianyya, ( diakses: 27 September 2021, pukul 11.32).
11
Hasan Husen Assegaf, “Hukum (Syar’i, Adi’ dan Akli)”, https://hasanassaggaf-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/hasanassaggaf.wordpress.com/2010/05/31/hukum-syari-adi-dan-
akli/amp/?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D
%3D#aoh=16321367685136&referrer=https%3A%2F%, (diakses: 27 September 2021, pukul
Hukum syar’i dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Wajib / Fardhu
Wajib merupakan suatu hal yang wajib atau harus dilakukan atas
diri setiap muslim mukallaf (akil dan baligh) baik laki-laki atau
perempuan.
Wajib ada dua macam, yaitu:
1) Fardhu ‘Ain
Wajib ‘Ain atau Fardhu ‘Ain ialah wajib yang harus dilakukan atas
diri setiap muslim mukallaf (berakal sehat dan baligh) baik laki-laki
atau perempuan.
Contohnya sholat lima waktu
2) Fardhu Kifayah
Fardhu Kifayah adalah kewajiban yang dikenakan pada kelompok
(kewajiban kolektif) dengan ketentuan bahwa apabila ada diantara
anggota kelompok yang melaksanakannya, seluruh kelompok terbebas
dari sanksi.12

Contohnya mendirikan sholat jenazah. Sholat ini wajib dilakukan oleh


setiap muslim. Jika tidak dilakukan sholat bagi mayat maka semua
muslim akan berdosa dan jika salah seorang telah melakukanya maka
terlepaslah kewajiban bagi semuanya.

2. Haram
Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah, jika seseorang
melakukan larangan tersebut akan diancam / siksa oleh Allah diakhirat.
Haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-
Qur’an maupun hadits baik dengan pernyataan tegas maupun dalam
bentuk prinsip, yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, tidak dianjurkan,
membahayakan, atau yang tidak pernah didiamkan Allah dan Rasulnya.13

11.44).
12
Ali Yafie, Fardhu Kifayah, “Jurnal Hukum Siktum”, Vol 9, No. 2, Juli 2011, hlm. 132-138.
13
Gema Rahmadani, “Halal dan Haram dalam Islam”, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, Vol 2,
No. 1, 2015, hlm. 23.
Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi 2 :14
1. Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh
makan bangkai, minum khamr, berzina.
2. Al Muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena
essensinya tetapi karena kondisi eksternal seperti jual beli barang secara
riba.
3. Mandub (Sunnah)
Sunnah secara literal adalah jalan, baik jalan kebaikan ataupun
jalan keburukan, sementara sunnah menurut pemaknaan terminologis
para muhadditsin, sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan, sifat
(watak budi atau jasmani) baik sebelum menjadi Rasulullah SAW.
maupun sesudahnya.15
Hukum mandhub / sunnah terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:16
a) Sunnah Hai-at atau Sunnat ‘Ain yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan
untuk dilaksanakan oleh setiap muslim, seperti sholat sunah rawatib
(sebelum atau sesudah sholat fardhu), sholat tahajud, sholat tasbih,
sholat dhuha dan sebagainya.
b) Sunnah Kifayah yaitu suatu pekerjaan yang dianjurkan untuk
dilaksanakan oleh setiap muslim, namun sunnah ini cukup jika telah
dilaksanakan oleh satu orang. Misalnya memberi salam, menjawab
orang yang bersin dan lain-lain.
c) Sunnah Muakkadah yaitu suatu pekerjaan yang selalu dilaksanakan
oleh Rasulullah saw. seperti sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adhha
dan sebagainya.
d) Sunnah Ghairu Muakkadah yaitu segala sunah yang tidak selalu
dikerjakan oleh Rasulullah saw. misalnya puasa tasua’ pada tanggal 9
Muharram yang ingin dilaksanakan oleh Nabi saw namun belum
sempat dilakukannya beliau keburu wafat, kemudian para sahabat
melanjutkannya berpuasa pada tanggal tersebut.
4. Makruh
14
Umay, “Makruh dalam Konsep Ushul Fiqih”, arsippkuliah.blogspot.com, 11 April 2017, hlm.2.
15
Ummu Farida, Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: “ Perspektif Ushuluyyin dan
Muhadditsin”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, hlm. 238.
16
Hasan Husen Assegaf, “Hukum (Syar’i, Adi’ dan Akli)”, https://hasanassaggaf-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/hasanassaggaf.wordpress.com/2010/05/31/hukum-syari-adi-dan-
akli/amp/?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D
%3D#aoh=16321367685136&referrer=https%3A%2F%, (diakses:27 September 2021, pukul
13.00).
Makruh merupakan perkara yang dilarang tetapi larangan tidak
bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan hukum
haramnya. Makruh dibagi menjadi dua, yaitu:
 Tahrim, sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya,
larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.
 Tanzih, sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya,
tetapi larangan tidak bersifat pasti seperti memakan daging kuda saat
sangat butuh di waktu perang.
5. Mubah
Mubah merupakan perkara yang dikerjakan ataupun ditinggalkan
tidak memberikan ganjaran apapun baik dosa atau pahala. Hukum ini
menjadi keringanan oleh Allah Swt. kepada umat Islam, seperti berdoa
tidak menggunakan bahasa arab.17
Al-Mubah secara bahasa berasal dari kata bauh (‫ )وبح‬yang
berarti tampak jelas, tidak tertutup. Dari kata ini muncul istilah
bahah ad-daar (‫ )باحة الدار‬yang berarti halaman rumah. Diantara derivasi
kata ini adalah kata abaaha ( ‫ )حاءبا‬yang berarti menghalalkan atau
membolehkan, dan dari kata terakhir inilah diturunkan kepada kata
mubaah (‫ )حمبا‬yang berarti sesuatu yang dihalalkan atau dibolehkan.
Disamping itu, kata al-mubah secara bahasa juga berarti al-muwassa’
fih (‫)الم^^و ّس^ع فيه‬sesuatu yang di dalamnya terdapat kelapangan. Mubah
dalam Syara’ ialah sesuatu pekerjaan yang boleh dilakukan atau
boleh juga ditinggalkan. Jika ditinggalkan tidak berdosa dan jika
dikerjakan tidak berpahala, misalnya makan, minum, tidur, mandi
dan masih banyak lagi contoh lainnya. Mubah dinamakan juga
Halal atau Jaiz. Namun, kadang-kadang yang mubah itu, bisa
menjadi sunnah. Umpamanya, kita makan tetapi diniatkan untuk
menguatkan tubuh agar lebih giat beribadah kepada Allah, atau
berpakaian yang bagus dengan niat untuk menambah bersihnya

17
Phooby Kamaratih, “Pengertian Hukum Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah dalam
Islam”, m.oase.id, (diakses:27 September 2021, pukul 13.28).
dalam beribadah kepada Allah, bukan untuk ria’ atau menunjukkan
kesombongan dalam berpakaian, dan lain sebagainya. (lihat kitab
Ad-Durusul Fiqhiyyah juz ke 4 oleh Habib Abdurahman bin Saggaf
Assagaf).
2. Hukum ‘Adi (Hukum Adat / Kebiasaan)
‫ هو إثبات أمر ألمر أو نفيه عنه بواسطة التكرا‬: ‫الحكم العادي‬
Hukum ‘Adi atau hukum adat/kebiasaan ialah menetapkan
sesuatu bagi sesuatu yang lain, atau menolak sesuatu karena sesuatu itu
sudah ada karena kejadian yang berulang-ulang.
Hukum ‘adi adalah hukum berdasarkan kebiasaan atau adat. Hukum ‘adi
kadang-kadang memang bisa terbukti dan kadang-kadang tidak.
Misalnya api itu panas dan dapat membakar kertas. Jika orang berpeang
teguh pada kebiasaan yang telah diketahui secara berulang-ulang itu,
maka ditetapkan suatu hukum bahwa setiap api itu panas dan mesti dapat
membakar segala macam kertas. Dan apabila dikatakan sebaliknya maka
adalah muhal atau mustahil, atau hal yang aneh atau tidak bisa dipercaya
dan tidak diterima oleh akal. Contoh api yang tidak membakar ialah api
untuk membakar Nabi Ibrahim a.s. yang tidak hangus (ketika dibakar
oleh raja Namrud). Kejadian di atas merupakan kepastian dari kebiasaan
yang telah terbukti kepastiannya dengan berulang kali. Adapun menurut
pendapat akal, kejadian itu masih harus disebut hal yang mungkin saja
terjadi, dan mungkin saja tidak terjadi. Maka dari itu, jelas bahwa hukum
adat/kebiasaan tidak sama dengan hukum akal. Menurut akal, masih
perlu diselidiki apakah yang menyebabkan adanya adat atau kebiasaan
itu? Apakah yang menyebabkan api itu panas dan dapat membakar? Dan
apakah yang menyebabkan air mengalir ke tempat yang rendah? Dan apa
yang menyebabkan tiap-tiap zat mempunyai sifat dan tabiat yang
berlainan? Demikian seterusnya. Dalam hukum ‘adi tidak ada
pembagian. Berbeda dengan hukum syar’i dan hukum aqli yang terdapat
pembagian.
3. Hukum Aqli ( Hukum Akal)
‫الحكم العقلي هو اثبات امر ألمر او نفيه عنه من غير توقف علي وضع واضع او تكرا‬
Arti hukum Akal itu, adalah menetapkan sesuatu keadaan
untuk adanya sesuatu. Atau mentiadakan sesuatu karena ketidakannya
sesuatu itu. Para ahli tauhid (ilmu kalam), membagi yang “maklum”
(al-maklum yang dapat dicapai oleh akal) kepada tiga bagian. Yaitu
“mungkin/ jaiz” bagi dzat -Nya, “wajib” bagi dzat-Nya, dan “mustahil”
bagi dzat-Nya.
Hukum Aqli adalah hukum yang harus diketahui sebelum
membahas kenyakinan-kenyakinan. Hukum aqli ialah hukum yang
penetapan atau peniadaan terhadap sesuatu berdasarkan pengetahuan
akal. Contohnya adalah membutuhkan ruang secukupnya bagi suatu
benda itu penerapannya pada keharusan butuhnya benda pada suatu
ruang itu penalarannya pada akal. Akal tidak membenarkan bahwa
benda tidak membutuhkan ruang. Hukum aqli itu bukan berdasarkan
kejadian yang terus menerus atau berulang-ulang (kebiasaan). Kalau
berdasarkan kebiasaan atau kejadian terus menerus itu namanya hukum
‘adi. Hukum aqli harus diketahui sebelum membahas kenyakinan-
kenyakinan di ilmu kalam dan harus dikaji serta dipahami. Pembagian
dalam hukum aqli ada 3, yaitu : Wajib, mustahil, dan jaiz. Adapun yang
”wajib”, ialah sesuatu yang zatnya memang sudah semestinya ada.
Adapun yang “mustahil menurut istilah mereka, ialah sesuatu yang
zatnya memdikatakan tidak ada zatnya, ang tidak mungkin ada. Sedang
yang “mungkin/jaiz” ialah sesuatu yang tidak ada wujudnya, tetapi tidak
pula dapat dapat dikatakan tidak ada zatnya, karena ia bisa juga
terwujud oleh sesuatu sebab yang menyebabkan adanya. Misalnya,tidak
mungkin ada sebuah rumah jika tidak ada tukang pembuat rumah
tersebut. Maka jatuhlah hukum mustahil adanya. Karena tidak
mungkin rumah itu bisa membentuk dirinya sendiri. Jadi harus ada yang
membentuk rumah itu. Rumah merupakan bukti nyata akan
keberadaanya tukang embuat rumah. Demikian pula kayu tidak
mungkin akan menjadi kursi dengan sendirinya jika tidak ada tukang
kayu yang memotong kayu lalu membuatnya menjadi kursi. Jadi kursi
itu merupakan bukti nyata akan keberadaanya tukang kayu.
Demikianlah suatu contoh pengambilan hukum akal. Dan kita bisa
mengqiyaskan dengan contoh-contoh yang lainnya sehingga menjadi
berkembang pengertiannya yang kemudian menjadi suatu cabang ilmu
yang sangat penting bagi masyarakat.
Dari contoh diatas kita bisa mengambil bukti akan keberadaan Allah.
Allah itu ada karena adanya ciptaan yang diciptakan-Nya. Adanya
langit, bumi dan seisi isinya merupakan bukti kuat akan keberadaan
Allah. Tidak mugkin langit, bumi dan seisi isinya jadi dengan
sendiririnya. Sudah pasti ada yang menciptakannya yaitu Allah.
Ada satu kisah menarik. Seorang Arab Badui (Arab dari
pegunungan) ditanya “Dari mana kamu mengetahui Allah itu ada”.
Kebetulan di muka orang Badui itu ada segunduk kotoran unta.
Badui itu menjawab “kamu lihat kototran unta ini! Setiap kotoran unta
pasti ada untanya”. Jadi, yang dinamakan akal yang sempruna ialah
cahaya yang ge milang dan terletak di dalam hati seorang mukmin dan
dengan akal yang jernih itu kita akan bisa membagi hukum.
Hukum Akal dibagi menjadi tiga bagian :
a. Wajib Aqli
Wajib aqli adalah sesuatu yang tidak mungkin tidak ada berdasarkan
akal atau sesuatu yang pasti ada. Wajib aqli itu bukan berdasarkan
kejadian yang berulang-ulang (kebiasaan) dan juga bukan beradsarkan
Kitabullah, Kalamullah yang terkait dengan perbuatan-perbuatan orang
mukallaf. Setiap mukallaf wajib mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi
Allah.sifat-sifat yang menurut akal tidak dibenarkan tidak adanya. Wajib
aqli menurut akal tidak dibenarkan tidak adanya atau dengan kata lain
sifat-sifat yang pasti ada pada Allah.
Contoh wajib aqli (sesuatu yang tidak mungkin tidak ada / sesuatu yang
menurut akal tidak dibenarkan tidak adanya) yaitu membutuhkan ruang
secukupnya pada benda itu sebuah kewajiban/ kepastian artinya akal
tidak membenarkan kalau ada benda tidak butuh ruangan, sampai
kapanpun yang namanya benda itu pasti butuh ruangan. Dan yang tidak
butuh tempat/ ruang hanyalah Allah SWT. karena Allah memiliki sifat
wajib Mukholafatul Lilhawaditsi (Berbeda dengan makhluk ciptaan-
Nya). Maka tidak bisa dihukumi bahwa Allah itu bertempat. Meskipun di
bumi bertempat pada Arasy. Karena arasy itu bukan Tuhan yang berarti
arasy itu makhluk, kalau makhluk berarti diciptakan. Sebelum arasy
diciptakan, Allah itu tidak bertempat. Sifatnya Allah itu tidak bertempat,
sedangkan makhluk itu sifatnya bertempat. Allah itu pasti Esa, ke-Esa-an
bagi Allah itu sebuah kewajiban artinya akal tidak membenarkan tidak
adanya (artinya Allah pasti Esa). Maka karena itu wajib aqli, ulama-
ulama ahli kalam mutakalimi didalam menyuguhkan dalil terhadap ke-
Esa-an Allah dengan menunjukan dalil-dalil aqli meskipun dikuatkan
juga dengan dalil naqli. Contoh dalil ke-Esa-an Allah yaitu dalil Burhan.
Dalil burhan adalah dalil yang termasuk dalil aqli dan dalil yang tersusun
dari muqodimmah-muqodimmah yang pasti benarnya. Contoh dalil ke-
Esa-an Allah adalah kalau Allah tidak esa maka langit dan bumi tidak
akan tercipta, tetapi langit dan bumi bukan tidak wujud (yang artinya
adalah wujud). Dan berarti Allah itu bukan tidak Esa, artinya Allah itu
Esa.
Sifat-sifat wajib bagi Allah ada 20, yaitu:
1. Wujud = Ada
2. Qidam = Tidak ada awalnya
3. Baqa’ = Kekal / Abadi
4. Mukholafatu Lilkhawadisi = Tidak sama dengan makhluk
5. Qiyamuhu bi nafsihi = Berdiri sendiri (Tidak butuh pada zat)
6. Wahdaniyah = Esa
7. Qodrat = Berkuasa
8. Irodat = Berkehendak
9. ‘Ilmun = Mengetahui
10. Hayyat = Hidup
11. Sama’ = Mendengar
12. Bashar = Melihat
13. Kalam = Berfirman
14. Qadiron = Berkuasa
15. Muridan = Berkehendak
16. ‘Aliman = Mengetahui
17. Hayyan = Hidup
18. Sami’an = Mendengar
19. Bashiron = Melihat
20. Mutakalliman = Berfirman
Pembagian sifat- sifat wajib Allah ada 4. Yang pertama ,
Sifat Wujud disebut sifat nafsiyah. Karena segala sesuatu tanpa wujud
tidak akan dapat diakui. Ulama-ulama ahli Tauhid membahas sifat-
sifat wujud, karena segala sesuatu tidak dapat di definisikan tanpa
sifat wujud. Oleh karena itu sifat wujud disebut sifat nafsiyah.
Dan sifat wujud ditepatkan pada yang pertama, karena sesuatu
tanpa wujud tidak dapat diketahui.
Yang kedua, sifat Qidam, Baqo’, Mukholafatul Lilhawaditsi,
Qiyamuhu Binafsihi, Wahdaniyah adalah Sifat salbiyah. Salbiyah
artinya meniadakan. Sifat salbiyah adalah sifat-sifat yang
mempunyai fungsi meniadakan, sehingga semua sifat-sifat yang
termasuk salbiyah ada makna “tidak”.Yang ketiga, Sifat Qudrat,
Iradah, Ilmun, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam adalah sifat
Ma’ani. Sifat ma’ani ialah sifat yang diwajibkan bagi zat Allah suatu
hukum atau sifat yang pasti ada pada Dzat Allah. Yang keempat,
Sifat Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu Aliman,
Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu
Mutakalliman adalah sifat Ma’nawiyah. Sifat ma’nawiyah adalah sifat
Allah yang dilazimkan atau tidak bisa dipisahkan dengan Sifat
Ma’ani. Sifat Ma’nawiyah adalah sifat yang mulazimah atau menjadi
akibat dari sifat ma’ani.
2. Mustahil Aqli
Mustahil adalah Sesuatu yang tidak mungkin ada (sesuatu yang
pasti tidak ada) atau sesuatu yang adanya tidak dibenarkan
oleh akal. Contoh yang terkait dengan makhluk adalah akal
tidak membenarkan kalau ada benda tidak membutuhkan
ruang/tempat. Contoh yang terkait dengan Tuhan adalah mati bagi
Allah itu mustahil, mempunyai anak dan istri bagi Allah itu
mustahil, ada tuhan selain Allah itu mustahil, bodoh bagi Allah
itu mustahil, sama dengan makhluk bagi Allah itu mustahil,
tidak ada awal dan akhirnya bagi Allah itu mustahil, Allah
mebutuhkan tempat itu mustahil (karena Allah itu tidak butuh
ruang/tempat), dan lain sebagainya.
Sifat-sifat mustahil bagi Allah ada 20 :
1. ‘Adam = Tiada (bisa mati)
2. Huduth = Baharu (bisa di perbaharui)
3. Fana’ = Binasa (tidak kekal/mati)
4. Mumatsalatu lil hawaditsi = Menyerupai makhluknya
5. Qiyamuhu Bighayrihi = Berdiri dengan yang lain
6. Ta’addud = Berbilang – bilang (lebih dari satu)
7. Ajzun = Lemah
8. Karahah = Terpaksa
9. Jahlun = Bodoh
10. Mautun = Mati
11. Shamamun = Tuli
12. ‘Umyun = Buta
13. Bukmun = Bisu
14. Kaunuhu ‘Ajizan = Zat yang lemah
15. Kaunuhu Karihan = Zat yang terpaksa
16. Kaunuhu Jahilan = Zat yang bodoh
17. Kaunuhu Mayyitan = Zat yang mati
18. Kaunuhu Asshama = Zat yang tuli
19. Kaunuhu ‘Ama = Zat yang buta
20. Kaunuhu Abkama = Zat yang bisu

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh
penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga atau intuisi
hukum untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, bersifat
memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipenuhi oleh masyarakat.
Dalam Ilmu Kam hukum dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Hukum Syar’i (Syariat / fiqih)
Yaitu hukum yang berkaitan dengan larangan dan perintah Allah
SWT.
2. Hukum ‘Adi (adat)
Yaitu hukum yang berkaitan dengan adat atau kebasaan manusia.
3. Hukum Aqli (akal)
Yaitu hukum yang berkaitan dengan akal manusia.

B. Saran
Penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena masih
terdapat kesalahan dari segi penulisnya, bahasa dan kelengkapan materi.
Kita tau bahwa manusia itu tidak luput dari kesalahan baik itu disengaja
maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, penulis sangat membutuhkan
saran atau kritikan yang membangun untuk dapat kami jadikan sebagai
batu loncatan untuk kearah yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Daud, Ali Muhammad, 2014. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Daud,Ali Muhammad, Loc.It.
Dayat.”Pengertian Hukum: Tujuan,fumgsi,unsur,dan macamnya”.
Farida,Ummu. Diskursus Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam: “ Perspektif
Ushuluyyin dan Muhadditsin”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam,
hlm 238.
Hidana, Rudi. 2021. Etika Profesi dan Aspek Hukum Bidang Kesehatan.
Bandung: Widina Bhakti Persada.
Husen Assegaf, Hasan.2009.”Hukum(Syar’i, adi,dan aqli)”.
https://hasanassaggaf
wordpress.com.cdn.ampproject.org/v/s/hasanassaggaf.wordpress.com/2010/05
/31/hukum-syari-adidanakli/amp/?
amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D
%3D#aoh=16321367685136&referrer=https%3A%2F%. Diakses pada 27
September 2021 pukul 11.44.
Ibid, hlm 182.
Ilyas. 2017. “ Hukum Syar’i: Pengertian dan Pembagiannya”.
http://ikmalonline.com/hukum-syari-pengertian-dan pembagianyya, Diakses
pada 27 September pukul 11.32.
Juanda, Enju, 2017. “Hukum dan Kekuasaan”. Vol.5, No.2, hlm 182.
Kamaratih, Phobby. “Pengertian Hukum Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan
Mubah dalam Islam”, m.oase.id, Diakses pada: 27 September 2021, pukul
13.28.
KBBI. Digital.
Rahmadani, Gema. “ Halal dan Haram dalam Islam”. Jurnal Ilmiah Penegakan
Hukum, Vol. 2, No.1, hlm 23.
Syarifuddin, Amir. 2000, Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
T. Tunardy, Wibowo, “ Pengertian Hukum Menurut Para Ahli”.
Umay. 2017. “Makruh dalam Konsep Ushul Fiqih”, arsipkuliah.blogspot.con
m, 11 April, hlm 2.
Yafie, Ali. 2011. “Fardhu Kifayah”. Jurnal Hukum Siktum. Vol. 9, No. 2, hlm
132-138.
Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Ushulul Fiqhil Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005
M], juz I.

Anda mungkin juga menyukai