Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH: HUKUM ISLAM

MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DOSEN PENGAMPU: SUGIANTO, S.Pd., M.A.

OLEH KELOMPOK SEMBILAN (9):

Voni Sepianti 2183210014

Eko Agus Herianto 2183210023

Amalia Utami 2183210033

Calvine William 2183210017

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya hingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Makalah ini bertujuan untuk membantu para mahasiswa dan
mahasiswi dalam menambah referensi bahan bacaan. Tidak lupa kami sebagai penyusun
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin mungkin makalah ini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Medan, September 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... 1

DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................ 3

A. Latar Belakang .............................................................................................. 3


B. Rumusan Masaah .......................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................ 3
D. Manfaat .......................................................................................................... 3

BAB II: PEMBAHASAN ......................................................................................... 4

A. Pengertian Hukum Islam .............................................................................. 4


B. Ruang Lingkup Hukum Islam ...................................................................... 4
C. Bagian-Bagian Hukum Islam ....................................................................... 6
D. Jenis-jenis Hukum Islam ............................................................................... 10
E. Tujuan Hukum Islam .................................................................................... 11
F. Sumber Hukum Islam .................................................................................. 12

BAB III: PENUTUP ................................................................................................. 13

A. Simpulan ..................................................................................................... 13
B. Saran ........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 14

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-
peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri
seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu massa
tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun
dalam kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan
hukum yang lain.
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam bermasyarakat, dan hubungan
manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hukum Islam ?
2. Apa saja ruang lingkup Hukup Islam ?
3. Apa tujuan Hukum Islam ?
4. Apa saja sumber-sumber Hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui ruang lingkup hukum Islam sebagai bagian dari Agama
Islam di Indonesia
2. Agar tatanan hukum di Indonesia bisa didasarkan atas syariat islam.
3. Untuk memperjelas dan memberikan pemahaman pentingnya hukum islam.
D. Manfaat Penulisan
Sebagai bahan yang dapat memberikan suatu wacana bagi kita agar dapat mengenal
berbagai macam landasan hukum yang berkaitan dengan Syari’at Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam


Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah
laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan
ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum
adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama islam.
Dalam konsepsi hukum Islam , dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT.
yang diatur tidak hanya hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat termasuk
dirinya sendiri dan benda serta alam semesta,tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam sistem hukum Islam terdapat lima kaidah yang dipergunakan untuk mengukur
perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di bidang mu’amalah. Kelima jenis kaidah
tersebut dinamakan al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima yakni jaiz
atau mubah atau ibahah, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Dalam pembahasan kerangka
dasar agama islam disebutkan bahwa komponen kedua agama Islam adalah syari’at yang
terdiri dari dua bagian yakni ibadah dan mu’amalah. Adapun ilmu yang membahas tentang
syari’at disebut dengan ilmu fikih.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Hukum islam baik dalam pengertian syaariatr maupun fikih di bagi menjadi dua
bagian besar, yaitu:
1. Ibadah (mahdhah)

4
Ibadah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ عبد يعبد عبادة‬yang artinya
melayani, patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologi adalah sebutan yang mencakup
seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT, baik berupa ucapan, perbuatan, yang
zhahir maupun yang bathin.
Ibadah Hakikatnya adalah sikap tunduk semata-mata mengagungkan Dzat yang
disembah. Abu A’la Al-Maududi menyatakan bahwa ibadah adalah dari akar kata “Abd”
yang artinya pelayan dan budak. Jadi Hakikat ibadah adalah perhambaan dan perbudakan.
Sedangkan arti terminologinya adalah usaha mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan
Allah dalam menjalankan kehidupan yang sesuai dengan perintah-perintah-Nya, mulai akil
baligh sampai meninggal dunia. Indikasi ibadah adalah kesetiaan, kepatuhan, dan
penghormatan serta penghargaan kepada Allah SWT serta dilakakan tanpa batasan waktu.
Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seoraang muslim
dalam menjalankan hubingan kepada Allah, seperti shalat, membayar zakat, menjalankan
ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap, tidak ditambah-tambah maupun dikurangi.
Ketentuannya telah di atur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan
demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secaara asasi
mengenai hukum, susunan dan tata cara beribadat. Yang mungkin berubah hanyalah
penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya.
Ibadah tidak hanya sebatas pengabdian kepada Allah secara ritual saja, akan tetapi
juga termasuk ibadah-ibadah sosial lainya yang merupakan hal yang sangat penting
dilakukan dalam menjalani kehidupan didunia ini, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qura'n
pada Surat Adz-dzariat : 56:
ِ ‫س إِ َّل ِليَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”.

2. Muamalah (ghairu mahdhah)


Secara bahasa kata muamalah berasal dari kata bahasa arab ‘amala –yu’amilu –
mu’amalatan. Kata tersebut memiliki arti saling bertindak, saling berbuat atau saling
mengamalkan. Kata “saling” dalam kamus besar bahasa indonesia merupakan kata yang
menerangkan perbuatan yang berbalas-balasan. Sehingga secara bahasa pengertian muamalah
menunjukkan dimensi sosial ajaran islam, melalui interaksi antar individu. Sedangkan,
pengertian muamalah secara istilah tidak berbeda jauh dengan pengertian muamalah secara

5
bahasa. Namun, saat ini terdapat pergeseran pengertian mumalah dalam kehidupan sehari-
hari. Yaitu, definisi umum dan definisi khusus muamalah. Muamalah adalah ketetapan Allah
yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas
pada pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad
manusia yang memenuhi syarat melakukan usaha itu. Ayat yang membicarakan Muamalah
adalah:
ِّ ِ ‫َّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َر َم‬
‫الر َبا‬ َ ‫َوأ َ َح َل‬
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275]

C. Bagian-Bagian Hukum Islam


1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban
sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan
tuntutan.Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang
mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut
seorang mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. Misalnya
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110,
ِ ُ ‫َو أ َ ق ِ ي ُم وا ال صَ ََل ة َ َو آ ت ُوا ال َز ك َا ة َ ۚ َو َم ا ت ُق َ د ِ ِّ ُم وا ِِل َن ْ ف‬
‫س ك ُ ْم ِم ْن َخ ي ٍْر ت َِج د ُو ه ُ ِع ن ْ د َ َّللاَ ِ ۗ إ ِ َن َّللاَ َ ب ِ َم ا‬
‫ص ير‬ ِ َ ‫ت َع ْ َم ل ُ و َن ب‬
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya
Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33, artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang
benar.”Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu :
a. Wajib
Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan
mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah SWT, yang disebut
dengan istilah “wajib”. Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
Dibawah ini akan disebutkan beberapa pembagian wajib, diantaranya yakni :
1) Pembagian wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan

6
a) Wajib muthlaq.Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan
arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu
melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya
tidak ditentukan oleh syara’.
b) Wajib muaqqad. Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan
tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib
ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
c) Wajib muwassa’. Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu
melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu. Contohnya waktu shalat lima waktu,
shalat isya dari petang sampai subuh.
d) Wajib mudhayyaq. Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan
kewajibanitu sendiri.Contohnyapuasaramadhanwaktu mulainya dan berakhirnya
sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
e) Wajib dzu syahnaini. Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu
tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan
mudhayyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya
panjang, contohnya ibadah haji.

2) Pembagian wajib dari segi pelaksana


a) Wajib ‘ain
b) Wajib kifayah
3) Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut
a) Wajib muhaddad. Kewajiban yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat
b) Wajib ghairu muhaddad. Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
4) Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut
a) Wajib mu’ayyan. Wajib yang ditentukan zatnya, contoh : membaca Al Fatihah
dalam shalat.
b) Wajib mukhayyar. Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah
sumpah.
b. Sunah
Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk
dikerjakan,yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat
ganjaran di sisi Allah SWT,dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang

7
dikenal dengan istilah “Nadb(sunah)”. Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis,
dll.
Mandub(sunah) dibagi menjadi dua yakni :
1) Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi
dua, yaitu :
a) Sunah muakkadah. Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada
keteranganyang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang
fardhu.
b) Sunah ghairu muakkadah. Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi,
tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.
2) Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi tiga, yaitu:
a) Sunah hadyu. Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu
besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap
sesat.Contohnya shalat hari raya.
b) Sunah zaidah. Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan
bila ditinggalkan tidak mendapat dosa.Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru
dan tidak dicela bila ditinggalkan.
c) Sunah nafal. Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.

c. Haram
Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila
dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah SWT dan
apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”.
Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil yang
menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan oleh dalil-dalil zhanni
disebut karahah tahrim. Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
d. Makruh
Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan
yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang
dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”. Contohnya: merokok,dll.
e. Mubah
Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Hal

8
ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah”
sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
2. Hukum Wadh’i
Allah SWT menjadikan syariat itu kabar gembira dan kemudahan bagi hambanya,dari
keadaan yang lemah dan segala urusan yang darurat. Hukum Wadh’i sebagaimana telah
disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih,yang ditulis oleh Muhammad Sulaiman
Abdullah al-Assqar. Bahwasannya titah Allah SWT dalam kitabnya,dengan menjadikan
sebuah perintah, sebagai tanda atas perintah yang lainnya.
Adapun menurut pendapat yang lainnya,dalam buku Ushul Fikih bagi Pemula yang
ditulis oleh Abdul Mughits, M.Ag hukum Wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan
dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan
disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu’), antara
hukum yang sah dan hukum yang tidak sah. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai beberapa
macam-macam Hukum Wadh’i yakni :
a. Sebab (al-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis artinya adalah
“sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan.”Dari kata inilah
dinamakan “jalan” itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang kepada
tujuan. Menurut terminologi, Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan sifat Zhahir yang dapat
diukur yang ditunjukkan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an dan sunnah) bahwa keberadaannya
sebagai pengenal bagi hukum syari’.
Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafii, M.A dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih,
bahwa “sebab” menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah
adalah suatu sifat yang dijadikan sari’ (syarat) sebagai tanda dari hukum.
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan illat walaupun sebenarnya ada
perbedaan antara sebab dengan illat tersebut. Akan tetapi tidak setiap sebab
disebut illat.Jadi, sebab itu masih bersifat umum sedangkan illat itu sudah bersifat khusus.
Contoh dari adanya sebab sesuatu adalah sebagaimana Allah SWTberfirman yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,… “ (QS. Al-Maidah:6)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ untuk
mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab

9
tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut.
Seperti firman Allah SWT.dalamQS.al-Isra`: 78 yang artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah
matahari tergelincir.” Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi
al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.
b. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari’, tetapi keberadaan hukum
syara’ bergantung kepadanya.Apabila syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi
adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contohnya seperti ketika kita akan
melaksanakan shalat, maka syarat yang harus dipenuhi adalah berwudhu. Akan tetapi ketika
kita berwudhu, kita tidak harus melaksanakan shalat.
c. Pencegah (Al-Mani’)
Definisi al-mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.Secara
terminologi; sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab.Sebuah akad perkawinan yang sah karena telah
mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi.Tetapi masalah waris
mewarisi itu bisa terhalang disebabkan suami misalnya membunuh istrinya.
D. Jenis-jenis Hukum Islam
1. Munakahat
Hukum yang mengatur sesuatau yang berhubunngan dengan perkawinan, perceraian dan
akibat-akibatnya.
2. Wirasah
Hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris,
harta warisan daan cara pembagian waarisan.
3. Muamalat
Hukum yang mengatur masalah kebendaan daan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia
dalam persoalan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan lain-lain.
4. Jinayat
Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
baik dalam jarimah hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumnya dalam al quran daan sunah nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau perbuatan yang
bentuk dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
ِ ‫اص َحيَاة يَا أُو ِلي ْاِل َ ْلبَا‬
َ‫ب لَعَلَ ُك ْم تَتَقُون‬ ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم فِي ْال ِق‬
Artinya: Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]

10
5. Al-ahkam as-sulthaniyah
Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan
pusat maupun daerah, tentara, pajak daan sebagainya.
6. Siyar
Hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk
agama dan negara lain.

E. Tujuan Hukum Islam


Tujuan hukum islam secara umum adalah Dar-ul mafaasidiwajalbul mashaalihi
(mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Abu Ishaq As-Sathibi
merumuskan lima tujuan hukum islam:
1. Memelihara agama
Agama adalah sesuatu yang harus dimilki oleh setiap manusia oleh martabatnyadapat
terangkat lebih tinggi dan martabat makhluk lain danmemenuhi hajat jiwanya. Agama islam
memberi perlindungan kepada pemeluk agam lain untuk menjalankan agama sesuai dengan
keyakinannya.
2. Memelihara jiwa
Menurut hukum islam jiwa harus dilindungi. Hukum islam wajib memelihara hak
manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Islam melarang pembunuhan
sebagai penghilangan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh
manusia untuk mempertahankan kemaslahatannya hidupnya.
3. Memelihara akal
Islam mewajibkan seseorang untuk memlihara akalnya, karena akal mempunyai
peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Seseorang tidak akan dapat
menjalankan hukum islam dengan baik dan benar tanpa mempergunakan akal sehat.
4. Memelihara keturunan
Dalam hukum islam memlihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Karena itu,
meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan Yang ada
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dilarang melakukan perzinahaan.
5. Memelihara harta
Menurut ajaran islam harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk
kelangsungan hidup mereka. Untuk itu manusia sebagai khalifah di bumi dilindungi haknya
untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal, sah menurut hukum dan benar menurut
aturan moral. Jadi huku slam ditetapkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup

11
manusia itu sendiri, baik yang bersifat primer, sekunder, maupun tersier (dloruri, haaji, dan
tahsini).

F. Sumber Hukum Islam


Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupa
oleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifat alternatif. Sumber tertib
hukum Islam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firman Allah dalam QS. An-nisa:
59:
‫سو ِل‬
ُ ‫الر‬
َ ‫َّللاِ َو‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاِل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
َ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى‬ َ ‫َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَذِينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
‫سنُ ت َأ ْ ِويل‬َ ْ‫اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخيْر َوأَح‬
َ ِ‫إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ب‬
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan ulil amri di
antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada
Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kapada Allah dan
hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya)".(QS. An-
nisa: 59)
Dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hukum
agamanya harus didasarkan urutan:
1. Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam
alquran.
2. Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3. Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam).
4. Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan
hukum
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1. Al Quran
2. Sunah atau hadits Rasul
3. Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal‘aqdi (legislatif),
amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun masing- masing konsensus
kolektif (ijma’)
4. Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran kemmbali jika
terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan hukum.
Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:
a. Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah.
b. Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia.

12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Artinya hukum Islam bertujuan pada pemeliharaan agama, menjamin,
menjaga dan memelihara kehidupan dan jiwa, memelihara kemurnian akal sehat dan menjaga
ketertiban keturunan manusia serta menjaga hak milik harta kekayaan untuk kemaslahatan
hidup umat manusia.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena hukum ini
mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai kemaslahatan.
2. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena hak ini
sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3. Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum, hak dan
kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya berdasarkan prinsip-
prinsip yang diajarkan Islam.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia
Jakarta, Gema Insani Press, 1994.
Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam, Jakarta, Media Sarana Press, 1987
Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004.
http://blumewahabi.wordpress.com/2007/06/12/hukum-islam-di-indonesia-dulu-dan-
sekarang-2/
Hasby Asy-Shidiqiy, Falsafah Hukum Islam, Yogyakarta Bulan Bintang 1975.
http://kwalitaspemuda.com/pengertian-hukum-islam-tujuan-dan-sumbernya/
Ilyas, Muhtarom. Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2009

14

Anda mungkin juga menyukai