Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MENGENAL HUKUM ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KEBUDAYAAN DAN


PERADABAN ISLAM
Dosen pengampun : Hepi Andi baston, MA

Kelas : 1D

Kelompok 6

Disusun Oleh :

Afifah Haura 2118777

Aura Syifa Labibah 2118810

Devika Tusyaniah 2118830

Fadhil Aprilian 2118847

Hasby azzikry 2118875

Nada Avia Edwina 2118936

Raihan Akbar 2118963

Syahnur Reza 2119002

Wahyuni Zara Lubis 2119009

POLITEKNIK AKA BOGOR


PROGRAM STUDI ANALIS KIMIA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Mengenal Hukum Islam”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Agama Islam.

Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sarat kami harapkan untuk
menjadikan makalah ini lebih baik lagi. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bogor, 1 November 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................i

Daftar Isi............................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan.............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1


1.2 Rumus Masalah......................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................1

Bab II Pembahasan............................................................................................................2

2.1 Perngertian Hukum................................................................................................2


2.2 Hubungan Syariah dan Fiqih dalam Hukum Islam...............................................3
2.3 Sumber Hukum Islam............................................................................................4
2.4 Tujuan Hukum Islam Menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi.....................................10

Bab III Penutup................................................................................................................13

Daftar Pustaka..................................................................................................................14

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum islam merupakan bagian terpenting dalam penerapan agama islam.


Hukum islam dapat dikenal juga sebagai syariat islam yang menurut istilah
berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah SWT untuk umat-Nya yang
dibawa oleh Nabi yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun
amaliyah. Sementara itu menurut bahasa syariat islam berarti jalan yang dilalui
umat manusia untuk menuju kepada Allah SWT.

Dalam kehidupan nyata islam tidak hanya sebuah agama yang mengajarkan
tatacara beribadah kepada Tuhan-Nya. Akan tetapi, terdapat aturan atau sistem
ketentuan Allah SWT yang mengatur hubungan antara Allah Ta’ala dengan
umatnya dan hubungan antara sesama umatnya.

Di Indonesia Hukum Islam juga berkembang secara meluas sebagai agama


yang dianut masyarakat indonesia. Hal ini dapat dilihat dari mulai adanya
kerajaan islam, dilanjutkan dengan adanya organisasi Islam dari mulai masa
penjajah, kemerdekaan, sampai hari ini.

1.2 Rumusan Masalah

 Apa yang dimaksud hukum Islam?

 Apa hubungannya hukum islam dengan istilah Syariah dan fiqih?

 Apa saja sumber hukum islam?

 Apa tujuan hukum islam menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi?

1.3 Tujuan

Tujuannya adalah para pembaca dapat mengetahui pengertian hukum islam


dan macam sumber hukum islam. Selain itu juga para pembaca dapat
mengetahui hubungan hukum islam dengan syariat dan fiqih dan hukum islam
menurut Abu Ishaq asy-syathibi.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Islam


hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidahkaidah yang didasarkan pada wahyu
Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat
dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Dan hal
ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya secara total.
Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umatNya
yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan 1 Dosen
Universitas Jambi (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah. Syariat Islam menurut
bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada Allah hanya sebuah
agama yang mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja.
Keberadaan aturan atau sistem ketentuan Allah swt untuk mengatur hubungan manusia manusia
dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran
dan Hadits. Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah
untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan)
yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya
 Menurut Ulama dan Ahli
Hukum islam dapat diartikan sebagai kerangka dasar aturan islam yang merujuk pada
Al-Quran dan Hadis.
Sesuai dengan namanya, hukum islam mengatur hubungan antaPengertian hukum islam
menurut beberapa tokoh, dapat diartikan sebagai berikut. 
1. Abdul Ghani Abdullah 
Menurut Abdul Ghani Abdullah dalam bukunya yang diterbitkan di Gema Insani
Press mengungkapkan bahwa hukum islam sebagai hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama islam. Ia pun juga menyebutkan bahwa konsepsi hukum islam sebagai
dasar dan kerangka hukum yang ditetapkan oleh Allah. 
Hukum islam menurut Abdul Ghani Abdullah, tidak hanya mengatur antara manusia
dengan Tuhannya saja. tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia.
Juga mengatur antara hubungan manusia dengan alam semesta. 
2. Amir Syarifuddin 
Beda lagi dengan pendapat Amir Syarifuddin, hukum islam menurutnya sebagai
perangkat peraturan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukalaf yang diakui dan diyakini. 
3. Eva Iryani 
Hukum islam menurut Eva Iryani adalah syariat islam yang berisi sistem kaidah-
kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rosul mengenai tingkah
laku orang yang sudah dapat dibebani kewajiban, yang diakui dan diyakini, yang
mengikat semua pemeluknya. 
Eva Iryani menjelaskan bahwa tingkah laku yang dimaksud adalah mengacu pada
segala perilaku dan sikap Rasulullah. Disebutkan pula syariat diambil berdasarkan pada
istilah yang merunut pada hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umat-Nya
dengan amaliyah. 
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dapat diartikan sebagai
kerangka dasar aturan islam yang merujuk pada Al-Quran dan Hadis.
Sesuai dengan namanya, hukum islam mengatur hubungan antara manusia dengan
tuhannya. Ataupun hubungan antara manusia dengan manusia bahkan dengan alam
semesta.
2.2 Hubungan Syariah dan Fiqih dalam Hukum Islam
Hukum Islam itu dipahami sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam, maka
sulit dicari padanan yang dalam literatur Islam persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua
istilah yang dapat dipadankan dengan istilah hukum Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua
istilah ini, sebagaimana sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang berbeda tetapi
tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sangat terkait erat.
Dengan memahami kedua istilah ini dengan berbagai karakteristiknya masing-masing,
dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan
sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa hukum Islam itu
berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan adalah pengertian
hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam yang
dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih,
sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya,
apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak
dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim,
sehingga mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat bahkan salah.
Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah
merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap
syariah. Pemakaian kedua istilah ini sering rancu, artinya ketika seseorang menggunakan
istilah syariah terkadang maksudnya adalah fikih, dan sebaliknya ketika seseorang
menggunakan istilah fikih terkadang maksudnya adalah syariah. Hanya saja kemungkinan
yang kedua ini sangat jarang.
Meskipun syariah dan fikih tidak dapat dipisahkan, tetapi keduanya berbeda. Syariah
diartikan dengan ketentuan atau aturan yang ditetapkan oleh Allah tentang tingkah laku
manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan
syariah terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda Rasulullah. Semua
tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik harus tunduk
kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasulullah itu sebagian telah
terdapat secara tertulis dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut syariah, sedang sebagian
besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu, atau yang tersirat.
Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku
manusia itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syariah hingga secara amaliyah
syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimana pun. Hasil pemahaman itu
dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tingkah
laku orang mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap
syariah itu disebut fikih.
Pemahaman terhadap hukum syara’ atau formulasi fikih itu mengalami perubahan
sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi manusia dan dinamika serta perkembangan
zaman. Fikih biasanya dinisbatkan kepada para mujtahid yang memformulasikannya, seperti
Fikih Hanafi, Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari (Fikih Syi’ah), dan
lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum-hukum fikih merupakan refleksi
dari perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi
zamannya. Mazhab fikih tidak lain dari refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam
dunia Islam, karenanya mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan situasi serta kondisi
masyarakat yang ada.
Jadi, secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan
Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah hukum Islam
yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash, baik al-
Quran maupun Sunnah.
Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa
syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan
perbuatan manusia; sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya
dipahami sebagai tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu
(pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada al- Quran dan Sunnah;
dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus
dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan
fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah
atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat
berbagai tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi
hukum sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang
dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara syariah dan fikih
sebagai berikut:
1) Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedang fikih berasal dari pemikiran
manusia.
2) Syariah terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat dalam
kitab-kitab fikih.
3) Syariah bersifat fundamental dan mempunyai cakupan yang lebih luas, karena oleh
sebagian ahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak, sedang fikih bersifat instrumental dan
cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia.
4) Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut) dan berlaku abadi, sedang fikih
mempunyai kebenaran yang relatif dan bersifat dinamis.
5) Syariah hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti terlihat dalam mazhab-
mazhab fikih.
6) Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman
dalam Islam.
2.3 Sumber Hukum Islam
Sumber hukum merupakan segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan
sebagainya yang digunakan oleh suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu.
Dalam ajaran Islam terdapat sumber hukum pokok yang menjadi pedoman atau rujukan bagi
umat Islam.
Pada umumnya sumber hukum islam, yaitu Al-qur’an, hadits, ijma dan ijtihad.Al-qur’an
sebagai sumber hukum Islam. terdapat sumber atau dalil lain yang penggunaannya sebagai
sumber atau dalil hukum Islam tidak disepakati seluruh ulama berikut adalah penjelasan
tentang sumber-sumber hukum islam yang disepakati dan yang tidak disepakiti ulama
a. Sumber Hukum Islam yang Disepakati Ulama
Sumber hukum Islam adalah asal atau pangkal pengambilan keputusan dalam
menentukan hukum syarri’ah sehingga sesuai dengan yang Nabi Muhammad ajarkan. Dalam
sumber hukum islam terdapat hukum Islam yang disetujui dan juga sumber hukum Islam
yang tidak disetujui oleh para ulama.
Terdapat 4 sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama, yaitu Al-Qur’an, Hadits,
Ijma, dan Qiyas. Al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas mempunyai kedudukan dan fungsi yang
sangat penting bagi umat Islam itu sendiri.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. yang diturunkan kepada Muhammad dalam
bahasa Arab yang berisi wahyu Allah SWT. dengan perantaraan Malaikat Jibril dan berfungsi
sebagai pedoman bagi umat Islam. Fungsi Al-Qur’an adalah sebagai pedoman bagi umat
manusia. Menurut Ali Syari’ati, petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an berupa tiga hal,
yaitu :
a. Petunjuk yang berupa dokrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia
di dalamnya, seperti petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at.
b. Petunjuk yang terdapat dalam ringkasan sejarah manusia baik para raja, orang-orang suci,
Nabi, kaum, dan sebagainya.
c. Petunjuk yang berupa mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari.
Al-Qur’an juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat bagi Nabi Muhammad
SAW. dalam menyampaikan risalah kerasulan dan pedoman hidup bagi manusia serta hukum-
hukum yang wajib dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al-Qur’an sebagai kalam Allah SWT. dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan
atau kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun
manusia itu adalah orang pinter.
2. Hadits
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta mengakui bahwa sabda,
perbuatan dan persetujuan Rasulullah Muhammad SAW. tersebut adalah sumber hukum Islam
yang kedua setelah Al-Qur’an. Dalam penggunaannya sebagai sumber ijtihad, para ulama
cenderung menganggap Al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan hadits mana saja tanpa
memperhatikan unsur waktu dan keterkaitan antara keduanya.
Hadits sebagai sumber hukum yang kedua berfungsi sebagai penguat, sebagai
pemberi keterangan, sebagai pentakhshis keumuman, dan membuat hukum baru yang
ketentuannya tidak ada di dalam Al Quran. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah
Muhammad SAW ada kalanya atas petunjuk (ilham) dari Allah SWT, dan adakalanya berasal
dari ijtihad.
3. Ijma
Ijma mempunyai arti kesepakatan atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Para
ulama mendefinisikan ijma sebagai kesepakatan seluruh mujtahid para suatu masa terhadap
suatu hukum syara’ setelah wafatnya Rasulullah. Fungsi ijma antara lain, yaitu menyatukan
pendapat-pendapat yang berbeda melalui kesepakatan yang dicapai, menjamin penafsiran
yang tepat atas Al-Qur’an dan keotentikan hadits.
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma sukuti. Ijma sharih
atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik melalui pendapat maupun perbuatan
terhadap hukum masalah tertentu. Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu,
kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya
tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar luas serta
diketahui orang banyak.
4. Qiyas
Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya
(nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan
‘illat. Menganalogikan diartikan sebagai mempersamakan dua persoalan hukum sekaligus
status hukum di antara keduanya. Dalam pelaksanaanya, qiyas harus memenuhi rukun-rukun
sebagai berikut :
a. Ashl (Maqis alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada
nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits.
b. Furu’ (Maqis): yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya.
c. Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
Illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan dapat dicapai
dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
b. Sumber Hukum Islam Yang Tidak Disepakati Ulama
1. Istihsan
a. Pengertian Istihsan
            Istihsan berasal dari kata hasan yang artinya baik. Jadi istihsan adalah sesuatu yang
dianggap baik menurut akal.  Menurut para ulama fuqaha istihsan secara etimologis berarti
“berbuat sesuatu yang lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik.Secara istilah Istihsan
mempunyai arti yakni suatu perpindahan ketentuan hukum yang bersandar pada suatu dalil
syara’, dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya. Serta hal tersebut dianggap lebih baik
menurut syara’ ataupun menurut adat kebiasaan dan dapat menimbulkan maslahat bagi banyak
orang.
b. Macam macam Istihsan
Istihsan terbagi menjadi beberapa macam apabila ditinjau dari beberapa ulama yang
menggunakan istihsan sebagai hujjah, yakni menurut ulama hanafiyah terdapat tiga macam
yakni:
 Berpindah dari qiyas zhahir ke qiyas khafi, yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Contoh : dalam ketentuan hukum wakaf tanah pertanian. Menurut qiyas zhahir hukum  wakaf
sama dengan hukum jual beli karena sama sama melepaskan tanah dari pemiliknya. Akan tetapi
para ulama haafiyah memindahkan hukum nya kepada yakni hukum sewa menyewa dalam sewa
menyewa memiliki tujuan yang sama yakni sama sama mengambil manfaat dari tanah tersebut.
Namun dari segi kekuatan illatnya dianggap lemah, sehingga dinamakan dengan qiyas Khafi
(samar). Walaupun seperti itu mujtahid tetap menggunakan cara ini karena dianggap lebih
memudahkan. 
 Beralih dari tuntutan nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Yakni beralihnya
dalil yang umum kepada dalil khusus  karena lebih besar mashlahatnya bagi umat.
Contoh : dalam penerapan hukum terhadap pencuri berdasarkan ketentuan umum dalil umum
yang ada yakni alqur’an surat Al maidah ayat 38 :
‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا َأ ْي ِديَهُ َما‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬
“pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya”
Dalam ayat tersebut diberlakukannya hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi apabila mencuri
pada masa paceklil atau kelaparan dari orang kaya yang tidak mau berbagi kepada orang yang
tidak mampu, karena pada dasarnya mereka mengambil hak yang ada pada orang kaya tersebut.
Maka dalam hal ini hukum potong tangan tidak diberlakukan. Karena dalam kasus ini
diperlalukan hukum yang bersifat khusus.
 Berpindah dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian.
Contoh :  seperti dalalam usaha laundry tidak bertanggung jawab atas kerusakan pada pakaian
konsumen saat pakaianya rusak saat proses pencucian. Karena pada akad jasa laundry tersebut
telah mengandung makna bahwa konsumen telah percaya kepada kemampuan dan kehati hatian
pihak laundry. Para ulama hanafiyah melihat bahwa kepuasan konsumen harus diutamakan, jadi
penyedia jasa laundry harus bertanggung jawab penuh atas kerusakan pakaian konsumennya,
kecuali kerusakan tersebut diakibatkan hal hal yang diluar kendali manusia. Seperti terkena
banjir, gunung meletus atau tsunami.
Menurut ulama Malikiyah istihsan terbagi menjadi tiga macam yakni:
a.       Istihsan yang sanad nya Urf. (adat kebiasaan)
Yakni menerapkan kaidah kulli berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contoh : seseorang yang bersumpah tidak akan memakan daging, kemudian dia memakan ikan,
maka tidak dinyatakan melanggar sumpah karena urf yang berlaku sehari hari ikan bukanlah
termasuk dalam kategori yang dikatakan sebagai daging.
b.      Istihsan yang sanadnya Maslahat
Yakni  meninggalkan dalil atau kaidah umum yang berdampak tidak terapainya maslahat, dengan
menggunakan hukum yang dapat menimbulkan kemaslahatan.
Contoh : seorang yang tengah menyewa motor pada sebuah rental, kemudian motor tersebut
mengalami kerusakaan saat digunakan, harusnya penyewa tersebut tidak perlu mengganti
kerusakan kecuali karena kelalaian dari si penyewa. Menurut qiyas si penyewa tidak perlu
mengganti, tetapi hukumnya dipindahkan berdasarkan maslahat, agar terpelihara dan terjaganya
harta seseorang.
c.       Istihsan yang sanadnya daf’ul haraj (menghilangkan kesulitan)
Yakni meninggalkan kaidah umum yang biasa digunakan untuk menghindarkan dari kesulitan
dan memberi kemudahan untuk umat.
Contoh : sedikit dilebihkan suatu takaran dalam suatu ukuran yang banyak. Tindakan tersebut
dibenarkan, meskipun berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam menakar itu harus pas dan
sesuai standar yang berlaku.
c. Kehujjahan Istihsan
Jumhur ulama Malikiyah, hanafiyah dan hanabillah menetapkan bahwa istihsan adalah suatu
dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum terhadap sesutu yang
telah ditetapkan qiyas atau keumuman nas.
Sedangkan golongan syafi’iyah menolak istihsan karena berhujah dengan istihsan dianggap
menetapkan suatu hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata mata didasarkan hawa nafsunya.
2. Istishab
a. Pengertian Istishab
Menurut bahasa istishab bermakna  mencari sesuatu yang ada hubungannya. Sedangkan
menurut istilah Istishab ialah menetapkan hukum suatu perkara menurut keadaan sebelumnya
hingga terdapat dalil yang merubah hukum tersebut. Menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala
ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada
masa sekarang.
b. Macam-Macam Istishab
 Istishab Albaraa’atul ashliyyah (kebebasan asli)
      Secara etimologis al-bara’ah mempunyai arti “bersih” maksudnya yakni bersi atau bebas
dari bebas dari tanggung jawab syara’, sebelum ada hal yang menunjukkan adanya beban syara’
tersebut. Contoh : tidak adanya hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga adanya pernikahan.
Atau seorang muslim terbebas dari kewajiban puasa dibulan syawal, karena tidak adanya dalil
yang menegaskan kewajiban tersebut.
 Istishab yangkeberadaanya diakui oleh syara’ dan akal
Adalah suatu  hukum yang ketentuan hukumnya telah ditetapkan oleh syara’ dan secara akal
hukum tersebut tetap berlaku sampai adanya dalil yang mengubahnya. Contoh : adanya tanggung
jawab dalam membayar hutang, sebelum ada bukti yang menyatakan bahwa hutang tersebut telah
dilunasi atau dibebaskan oleh si pemberi hutang.
 Istishabul Hukmi (istishab hukum)
Adalah tetap berlakunya suatu hukum baik mubah ataupun haram, sebelum adanya dalil yang
mengubahnya. Contoh : memakan kuda tidak dijelaskan hukumnya didalam nash jadi memakan
kuda adalah mubah, karena kuda tidak memiliki sifat sebagai hewan yag diharamkan oleh syara’.
 Istishab Al-wasfy
Adalah istishab yang didasarkan pada anggapan terhadap suatu sifat yang diketahui pada
sesuatu sampai ada bukti yang merubahnya. Contoh: air sifatnya adalah suci. sifat tersebut
tetap melekat sampai ada bukti yang menampakkan ke najisannya baik dari segi warna ataupu
baunya.
c. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada
dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi:
1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk menolak
akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda (kebalikan)
dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum yang baru.
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa
menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada
yang adil mengubahnya.
3. Maslahah Mursalah
Secara istilah maslahah mursalah  merupakan bentuk penetapan hukum mengenai
suatu masalah tertentu agar tercapainya suatu kemaslahatan umat dimana permasalahan
tersebut tidak diatur atau disebutkan secara jelas dalam Al-Quran dan hadis diharapkan
penetapan hukum ini bisa mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan bagi manusia
sesuai dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Adapun beberapa contoh masalah yang menggunakan ketentuan hukum berdasarkan maslahat
yaitu antara lain:
 Sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf alasannya semata- mata karena
maslahat, yaitu menjaga Al-qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatiranya
karena meninggalnya sejumlah besar penghapal Al-quran dari generasi sahabat.
 Khulafau ar-Rasyidin menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada pada para
tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas
kepercayaan. Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggung jawab
mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk
menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggungjawabnya.
 Apabila uang kas negara mengalami defisit, dan tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan- kebutuhan pembiayaan tentara, maka bagi pemerintah diperbolehkan menarik
pungutan wajib kepada orang- orang kaya untuk menutupi kebutuhan mereka yang
mendesak, sampai baitul mal mendapatkan masukan uang atau kebutuhan mereka
tercukupi.
4. 'Urf (adat istiadat)
 Pengertian Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima akal
sehat”. Sedang secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu “ sesuatu yang tidak
asing lagi bagi suatu masyarakat karna telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Adapun pembagian ‘Urf dibagi menjadi dua macam:
1. ‘Urf yang Fasid ( rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘Urf yang bertentangan
dengan Nash Qath’i
2. ‘Urf yang shahih( baik/Benar), suatu kebiasaan  baik yang tidak bertentangan dengan
syariat.
 Macam-macam al ‘Urf
1. Urf shahih adalah sesuatu yang telah dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan
dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.
2. Urf fasid adalah sesuatu yang telah sering dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan
hukun syara’,atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang wajib.
 Kehujjahan 'Urf
Mengenai kehujjahan urf menurut  pendapat kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:
Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk
menetapkan hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat al
A’rof ayat 199:
َ ‫َن ْا‬
. َ‫لجا ِهلِيْن‬ ِ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأ ُم ْر بِاْل ُع ْر‬
ْ ‫ف َواَ ْع ِر‬
ِ ‫ضع‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering
mereka lakukan (yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-
Nya untuk mengerjakan suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf
dianggap oleh syara’
sebagai dalil hukum.
5. Madzhab ash-Shahabi
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW
tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang
atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak
terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.Misalnya: adzan dua
kali shalat Jum’at yang merupakan syariat dari Utsman bin Affan.
6. Syar’u man Qablana
 Pengertian Syar’u Man Qoblana
Secara etimologis syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh
Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang diturunkan Allah
kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama sebelum datangnya
ajaran agama Islam melalui perantara  nabi Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi
Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
 Macam-macam Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari
umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Ulama’ sepakat bahwa
macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah.
 Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Sebagaian Sahabat Abu hanifah, Sebagian Ulama’ Malikiyah, Sebagian sahabat Imam
Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa hukum – hukum yang disebutkan
dalam Al qur’an atau sunah nabi meskipun objeknya tidak untuk Umat Nabi Muhammad,
selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi
Muhammad.
Jumhur Ulama’ haanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta
Ulama’ kalam As’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat Bahwa ajaran – ajaran terdahulu tidak
berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad SAW selama tidak dijelaskan pemeberlakuannya
untuk umat Nabi Mjhammmad SAW. Alasanya adalah bahwa syari’at terdahulu itu secara
khusus berlaku bagi umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum.
2.4 Tujuan Hukum Islam Menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi
Secara umum tujuan syariat Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di dunia maupun kemashlahatan di
akhirat. Hal ini berdasarkan Firman Allah ta’ala:
َ‫َو َمآ َأرْ َس ْل ٰنَكَ ِإاَّل َرحْ َم ۭةً لِّ ْل ٰ َعلَ ِمين‬
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. QS. Al-Anbiya: 107. 
Dalam ayat yang lainnya Allah ta’ala berfirman: 
ِ َّ‫اب ٱلن‬
‫ار‬ ِ ‫َو ِم ْنهُم َّمن يَقُو ُل َربَّنَآ َءاتِنَا فِى ٱل ُّد ْنيَا َح َسنَ ۭةً َوفِى ٱلْ َء‬
َ ‫اخ َر ِة َح َسنَ ۭةً َوقِنَا َع َذ‬
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” QS. Al-Baqarah:
201-202
ٓ
۟ ‫يب ِّم َّما َك َسب‬
‚ِ ‫ُوا ۚ َوٱهَّلل ُ َس ِري ُع ْٱل ِح َسا‬
‫ب‬ ِ ‫ُأ ۟و ٰلَِئكَ لَهُ ْم ن‬
ٌۭ ‫َص‬
Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan;
dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
Ayat 201 surat Al-Baqarah dan seterusnya di atas memuji orang yang berdoa untuk
mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat , dimaksudkan sebagai contoh teladan bagi
kaum muslimin. 
Apabila dipelajari secara seksama ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat di
dalam Al-Quran dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahui tujuan
hukum Islam. Sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat
dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik
rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk
kehidupan dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
Selanjutnya Imam asy-Syatibi membagi tujuan penerapan syariah (maqashid) menjadi tiga
bagian, yaitu:
 Dharuriyat artinya sesuatu yang harus ada demi keselamatan hamba, yang jika tidak
ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam. Bila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi, tidak akan tercapai keselamatan di dunia, bahkan terancam kerusakan
dalam kehidupan.
 Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan dan
bila mana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami kesulitan. Contohnya, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi
orang sakit, atau shalat dengan cara duduk bagi yang sakit.
 Tahsinat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan
keburukan, seperti berpakaian indah.
Menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi, ada lima hal yang termasuk dharuriyat atau yang
lebih dikenal dengan khamsu dharuriyat. Kelima hal itu adalah:
1.    Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)
Pemeliharan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena
agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain
komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat
juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan
dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut
oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut
keyakinannya.
2.    Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa) 
Untuk tujuan ini, Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam
dengan hukuman Qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian
diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena
apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau jika orang
yang dibunuh itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
3.    Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal) 
Manusia adalah makhluk Allah ta’ala, ada dua hal yang membedakan manusia
dengan makhluk lain. Pertama, Allah S ta’ala telah menjadikan manusia dalam bentuk
yang paling baik, dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai
makhluk lain. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala sendiri dalam Al-Quran At-Tiin
Ayat 4 berbunyi :
‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ٱِإْل ن ٰ َسنَ فِ ٓى َأحْ َس ِن تَ ْق ِو ۢ ٍيم‬
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
4.    Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan) 
Perlindungan Islam terhadap keturunan adalah dengan mensyariatkannya
pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh
dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang
harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan pencampuran antara dua
manusia yang belainan jenis itu tidak dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari
ayahnya. Malahan tidak melarang itu saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat
membawa kepada zina.
Sebagaimana firman Allah ta’ala: 
‫وا فَ ٰ َو ِح َدةً َأوْ َما‬ ‫ِإ‬ َ َ‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َسآ ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬
۟ ُ‫ث َو ُر ٰبَ َع ۖ فَ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدل‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح‬
َ َ‫ُوا َما ط‬ َ
۟ ُ‫َو ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسط‬
‫ِإ‬
۟
 .‫ك َأ ْدن َٰى تَعُولوا‬
ُ ‫اَّل‬‫َأ‬ ٓ َ ِ‫َت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۚ ٰ َذل‬
ْ ‫َملَك‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. 
5.    Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta)
Islam meyakini bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala,
manusia hanya berhak untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam juga
mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada
harta benda, sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini
Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-
menyewa, gadai menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan
mewajibkan kepada orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta
yang dirusak oleh anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh
binatang peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta benda seseorang tercermin dalam firmanNya: 
َ‫اض ِّمن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُ ٓو ۟ا َأنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكان‬ ۟ ‫۟ ْأ‬ ٓ
ٍ ۢ ‫ٰيََأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُوا اَل تَ ُكلُ ٓوا َأ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل ِإآَّل َأن تَ ُكونَ تِ ٰ َج َرةً عَن ت ََر‬
‫بِ ُك ْم َر ِحي ًۭما‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam mempelajari pengertian hukum islam, ada istilah-istilah penting yang


dapat digunakan yaitu: Syari‟ah yang berarti aturan-aturan Allah SWT, Fiqih yang artinya
penjelasan atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh Syariah, dan
Hukum islam yang artinya hukm yang bersumber dari ajaran agama islam. Ada beberapa
sumber hukum dalam islam baik yang disepakati ulama dan yang tidak disepakasi ulama,
yaitu : Al-Qur‟an, Sunnah (Hadist), dan Ijtihad (sumber hukum yang disepakati ulama) dan
Istihan, Maslahah Mursalah, Istihab, ‘Urf, Muaszhab ash-Shahabi, dan Syar’u man qablana
(sumber yang tidak disepakati ulama) . Hubungan antara Syariah dengan fiqih tidak dapat
dipisahkan dan begitu erat, Syariah merupakan landasan fiqih, sedangkan fiqih merupakan
pemahaman terhadap Syariah.
Ada beberapa hukum islam menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi, yaitu: menjaga agama,
menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kerurunan, dan mejaga harta.
DAFTAR PUSTAKA

Muhyidin, M. (2019). Maqashid Al-Syari'ah (Tujuan-Tujuan Hukum Islam) Sebagai Pondasi


Dasar Pengembangan Hukum. Gema Keadilan, 6(1), 13-32. Dilihat pada 27 Oktober 2021
dari : https://www.neliti.com/publications/285933/maqashid-al-syariah-tujuan-tujuan-hukum-
islam-sebagai-pondasi-dasar-pengembangan

https://suduthukum.com/2015/06/hubungan-antara-hukum-islam-syariah-dan.html
https://www.scribd.com/doc/69858297/makalah-sumber-hukum-islam-full

http://download.garuda.ristekdikti.go.id

Anda mungkin juga menyukai