Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

SUBYEK HUKUM DALAM HPII

.Dosen pengampu : IMRON CHOERI S.H.I.,M.H

: DI SUSUN OLEH

(191410000652) Muhammad azrul faris .1

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

2022
KATA PENGANTAR

Selaku hamba Allah yang beriman dan bertaqwa marilah kita memohon kepada Allah SWT
yang mana atas hidayah-Nya dan petunjuk yang di berikan kepada umatnya, sehingga
patutlah kita sujud dan selalu memohon agar senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan
agar supaya apa yang kita laksanakan mendapat nilai ibadah dan nilai ketaqwaan. Amiin

Shalawat dan salam senantiasa kita kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat, keluarga, serta pangikutnya yang senantiasa bersama Rasululah SAW dalam
memperjuangkan syariat Islam dengan benar kepada seluruh umatnya yang percaya kepada
Allah SWT. Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak selaku
Pembina dan pembimbing pada Mata kuliah HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA.
Penulis sangat mengharapkan agar supaya Makalah ini dapat menamba kualitas bagi teman-
teman pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari teman-
teman sekalian,demi kesempurnaan makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN………… …..……………………...………..……… 1

A. Latar Belakang ……………………………………………………... 1


B. Permasalahn …. …………………………………………...………. 1

BAB II. HUKUM PERDATA ISLAM …………………………………….…. 2

A. subyek hukum islam syaksiyyah ……………………………….………. 2

B.kecakapamn hokum aliyyah …………… ………………………… …………........


2

C.tentang anak dan perwalian ...……………………...…………5

D.badan hukum……………………………………………….………... 7

BAB III. PENUTUP………………………………………………………….….8

A. Kesimpulan…………………………………….………………..…….8
B. Saran…...................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum sebagai norma mempunyai cirri kekhususan, yaitu hendak melindungi,


mengatur, dan memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentimgan umum, sesuai
dengan tujuannya untuk mencapai tata tertib demi keadilan,maka aturan hokum akan
berkembang sejalan dengan perkembangan pergaulan hidup manusia.Perkambangan
aturan-aturan hukumitu dalam pelaksanaannya menunjukan adanya pengganti terhadap
aturan-aturan hukum yang sedang berlaku karena sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan akan hukum masyarakat.

Peraturan yang berlaku di dalam suatu kelompok social, ketentuannya tidak bersebar
bebas dan terpiah-pisah, melainkan ada didalam suatu kesatuan keseluruhan yang masing-
masing keseluruhan itu berlaku sediri-sendiri,sistem hukum digunkan oleh Negara-negara
yang memerlukan hukum negaranya yang sesuai dengan tujuan dalam bernegara.

B. Rumusan Masaalah

Adapun rumusan masaalah dalam pembahasan makalah ini ialah ;

1. apa Pengertian subyek hokum ?

2. apa pengertian kecakapan hokum ?

3. bagaimanakah pengertian tentang anak dan perwalian ?

4. apa yang dimaksud badan hukum badan hokum ?


BAB II

PEMBAHASAN

KONSEP SUBYEK HUKUM ISLAM

1. Subyek Hukum Islam syaksiyyah

Dalam kitab-kitab fiqh klasik pada prinsipnya para musannif (pengarang) tidak

mempergunakan term Hukum Islam. Istilah Hukum Islam, sebagaimana diketahui

adalah khas Indonesia yang merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata

Islam”. Secara terpisah merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa arab dan “

juga dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, meskipun tidak di temukan arti

secara definitif. Term Hukum Islam baru muncul ketika para Orientalis mulai

mengadakan penelitian terhadap ketentuan syari‘at Islam dengan term Islamic Law yang

secara harfiah diartikan Hukum Islam.3

Term“Hukum Islam” merupakan terjemahan dari kata bahasa Arab al-fiqh al-islāmī

yang dalam literatur Barat disebut The Islamic Law sebagaimana telah disebut

sebelumnya atau dalam batas-batas yang lebih longgar disebut dengan The Islamic

Jurisprudence. Kata yang pertama lebih cenderung kepada syari‘ah sedangkan kata yang

kedua lebih cenderung kepada fiqh, namun demikian keduanya tidak tidak dapat

digunakan secara konsisten.4Term Hukum Islam juga mengalami ambigiutas antara fiqh

dan syari‘ah5, karena secara teknis, term Hukum Islam sering digunakan untuk

.menggantikan keduanya

Secara etimologi term Hukum berasal dari bahasa Arab “al-hukm” yang

,mempunyaiarti keputusan, ketetapan, peraturan, ketentuan, kekuasan, pemerintahan

norma atau nilai hukum.6 Dari pengertian ini, maka term Hukum dapat diartikan

sebagai sebuah kumpulan aturan, baik berupa hasil pengundangan formal maupun adat

yang mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai ,)kebiasaan(
anggota atau subjeknya. Jika tem hukum disandingkan dengan term Islam, maka

Hukum Islam” bisa berarti sejumlah aturan yang bersumber pada wahyu Allah, yang “

mengatur tingkah laku manusia, yang diakui dan diyakini serta harus dikerjakan oleh

umat Islam.7

Menurut ulama usūliyyīn, Hukum Islam berarti penetapan sesuatu terhadap sesuatu

yang lain, baik untuk menyatakan hubungan afirmasi atau al-qadā’ (penegasan atau

penguatan) maupun negasiatau al-man‘ (pencegahan atau penolakan). Adapun secara

terminologi, term Hukum Islam (al-hukm asy-syar’ī) diartikan sebagai sapaan Allah

yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan )khitab Allah(

pilihan (takhyīr) maupun penetapan (wad‘ī).8 ,)taklīf(

Dari pengertian Hukum Islam tersebut dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur

:Hukum Islam adalah sebagaimana berikut

.a. Pembuat Hukum Islam (al-hākim) adalah Allah

b. Subyek Hukum Islam (mahkūm ‘alaih) adalah mukallaf, yaitu orang yang dibebani

hukum, yaitu orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang

.berhubungan dengan perintah Allah maupun larangannya

c. Obyek Hukum Islam (mahkūm fīh) adalah perbuatan mukallaf yang terkait dengan

.sapaan Allah

d. Sapaan Allah tersebut berisi tuntutan, pilihan dan penetapan.9

,Jadi,hukum dalam pandangan usūliyyīn merupakan aksi Tuhan kepada manusia

yang mewajibkan, melarang dan setererusnya. Karena itu, term yang digunakan

.merupakan derivasi dari kata kerja (fi‘il) seperti ījāb (bentuk masdar) dan tahrīm

,Adapun menurut fuqahā’ hukum merupakan akibat atau efek dari sapaan Tuhan

bukan merupakan sapaan itu sendiri. Oleh karena itu mereka menggunakan term wujūb

sebagai efek dari perbuatan Tuhan mewajibkan, hirmah sebagai efek dari perbuatan

yang yang mengharamkan, ibāhah dan seterusnya.10 Perbedaan pandangan antara

.usūliyyīn dan fuqahā’ ini dikarenakan perbedaan sudut pandang

Selain merupakan aksi dan efek dari sapaan Tuhan, hukum juga merupakan
kategorisasi atau penilaian tingkah laku. Hukum sebagai sapaan Tuhan berakibat pada

,pengkategorian perbuatan mukallaf. Misalnya sapaan Tuhan untuk mendirikan shalat

berakibat pada tuntutan untuk mendirikan shalat. Itu berarti, perbuatan mendirikan

shalat termasuk ke dalam kategori tuntutan. Oleh karena itu, term-term yang

.digunakan pun berupa term-term seperti: wajib, haram, makruh dan sebagainya

Berangkat dari pengertian umum Hukum Islam menurut Usūliyyīn di atas, dapat

diketahui bahwa Hukum Islam terdiri dari hukum taklīfī, takhyīrīdan wad‘ī. Hukum

taklīfī adalah hukum yang memuat perintah, larangan, dan pilihan untuk melakukan

sesuatu atau meninggalkannya. Perintah dan larangan tersebut ada yang berbentuk

pasti dan ada pula yang tidak pasti. Jika bentuk perintah itu pasti maka disebut wajib

dan jika tidak pasti maka disebut mandūb atau sunnah. Demikian pula jika bentuk

larangan itu pasti maka disebut haram dan jika tidak pasti maka disebut makrūh. Adapun

hukum takhyīrī adalah hukum mubāh. Mubāh adalahsuatu hukum yang memberikan

kepada seorang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau

meninggalkannya. Sedangkan hukum wad‘īa dalah hukum yang berupa sebab yang

.mewajibkan, syarat yang mesti dipenuhi, dan māni‘ (penghalang)

Dalam diskursus Hukum Islam, sumber hukum biasanya disebut dalīl. Secara

bahasa dalīl berarti menunjukkan kepada sesuatu yang baik, yang kongkrit, maupun

yang abstrak. Adapun secara istilah dalil adalah sesuatu yang di dalamnya dicari

petunjuk dengan penglihatan yangbenar tentang hukum syar‘i ‘amali (praktis) baik

secara qat‘ī maupun zannī. Dalam istilah yang lain sumber hukum juga disebut dengan

masādir at-tasyrī‘ yang secara bahasa memiliki arti sumber pensyari‘atan, pembentukan

atau pembinaan Hukum Islam. Dalam ilmu fiqh masādir at-tasyrī‘ berarti tempat

mencari dalil atau sumber dalam menetapkan hukum suatu kasus yang terjadi.11

Sumber Hukum Islam dalam pengklasifikasiannya didasarkan pada dua sisi

pandang. Pembagian pertama, didasarkan pada kesepakatan ulama’ atas ditetapkannya

:beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari’at. Pembagian pertama ini meliputi
-a. Sesuatu yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ sebagai sumber hukum, yaitu al

.Qur’ān dan Sunnah

b. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) Ulama’ sebagai sumber hukum, yaitu

ijmā‘12dan qiyās.13

c. Sesuatu yang menjadi perdebatan di antara ulama’, bahkan oleh mayoritasnya yaitu

maslahah mursalah,14istihsān,15‘urf,16 syadd az-zarī‘ah,17istishāb,18 mazhab sahabī, dan syar‘u

.man qablanā

Pembagian kedua didasarkan pada cara pengambilan dan perujukannya. Dari sudut

-ini sumber Hukum Islam dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber

sumber hukum yang bersifat naqlī (dogmatic) atau ada yang menyebutnya dalil nass

yakni al-Qur’ān dan Sunnah. Bagian kedua adalah sumber Hukum Islam )tesktual(

yang bersifat ‘aqlī (penalaran logis) atau ada yang menyebutnya dalil gairu nass

Sumber Hukum Islam yang bersifat ‘aqlī ada yang berupa ijtihad jama‘ī .)paratekstual(

dan ada juga yang berupa ijtihad fardī (pribadi).19 Ijtihad jama‘ī (kolektif) )kolektif(

adalah ijtihad yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para mujtahid.20 Adapun ijtihad

,fardī (pribadi) meliputi: yaitu qiyās, maslahah mursalah, istihsān, ‘urf, syadd az-zarī‘ah

.istishāb, mazhab sahabī dan syar‘u man qablanā

2.kecakapan hukum Ahliyah

Secara etimologi : “kecakapan menangani suatu urusan” Secara terminologi Ahliyah ialah, “Suatu
sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara. “Kecakapan seseorang karena kesempurnaan akalnya, sehingga
”’seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara

Dua Jenis Ahliyah :

A. Ahliyah Ada’ 
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun
negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’, maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan
larangan, maka ia berdosa. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran
dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialah aqil, baligh dan cerdas

B. Ahliyah Wujub

Ahliyatul Wujub yaitu “Kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi
ia belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.

Misalnya : a) anak yang bisa menerima hibah. b) Apabila harta anak tsb dirusak orang lain, ia
dianggap mampu untuk menerima ganti rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia merusak harta orang
lain, maka gantinya diambil dari harta anak tsb,c) Selain itu juga ia dianggap mampu untuk
menerima harta waris.

Berikut ini adalah pembagian ahyatul wujub :

1) Ahliyah al-Wujub al-Naqishah

Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap
memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat
menjadi miliknya, sebelum ia lahir. Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin :
1.Hak keturunan dari ayahnya
2.Hak warisan dari pewarisnya yang wafat
3.Hak wasiat
4.Harta waqaf yang ditujukan kepadanya

2) Ahliyah al Wujuh al Kamilah

Yaitu “kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai baligh
dan berakal”. Seorang yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat
ibadah mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik. Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang
merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan
berhak memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya
berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah
wujub kamilah tersebut, tidak bisa dipertangungjawabkan secara hukum syara, (misalnya ia
dihukum qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum.

Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyatul wujub adalah
sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. Sifat ini telah
dimiliki seseorang semenjak lahir. Berdasarkan ahliyatul wujub, maka anak yang baru lahir
berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia tetapi,
harta seorang anak yang belum balIgh tak boleh dikelola sendiri olehnya, melainkan dikelola
oleh walinya.

Anda mungkin juga menyukai