: DI SUSUN OLEH
2022
KATA PENGANTAR
Selaku hamba Allah yang beriman dan bertaqwa marilah kita memohon kepada Allah SWT
yang mana atas hidayah-Nya dan petunjuk yang di berikan kepada umatnya, sehingga
patutlah kita sujud dan selalu memohon agar senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan
agar supaya apa yang kita laksanakan mendapat nilai ibadah dan nilai ketaqwaan. Amiin
Shalawat dan salam senantiasa kita kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat, keluarga, serta pangikutnya yang senantiasa bersama Rasululah SAW dalam
memperjuangkan syariat Islam dengan benar kepada seluruh umatnya yang percaya kepada
Allah SWT. Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak selaku
Pembina dan pembimbing pada Mata kuliah HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA.
Penulis sangat mengharapkan agar supaya Makalah ini dapat menamba kualitas bagi teman-
teman pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari teman-
teman sekalian,demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
D.badan hukum……………………………………………….………... 7
A. Kesimpulan…………………………………….………………..…….8
B. Saran…...................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peraturan yang berlaku di dalam suatu kelompok social, ketentuannya tidak bersebar
bebas dan terpiah-pisah, melainkan ada didalam suatu kesatuan keseluruhan yang masing-
masing keseluruhan itu berlaku sediri-sendiri,sistem hukum digunkan oleh Negara-negara
yang memerlukan hukum negaranya yang sesuai dengan tujuan dalam bernegara.
B. Rumusan Masaalah
PEMBAHASAN
adalah khas Indonesia yang merupakan rangkaian dari kata “Hukum” dan kata
Islam”. Secara terpisah merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa arab dan “
juga dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, meskipun tidak di temukan arti
secara definitif. Term Hukum Islam baru muncul ketika para Orientalis mulai
sebelumnya atau dalam batas-batas yang lebih longgar disebut dengan The Islamic
Jurisprudence. Kata yang pertama lebih cenderung kepada syari‘ah sedangkan kata yang
kedua lebih cenderung kepada fiqh, namun demikian keduanya tidak tidak dapat
dan syari‘ah5, karena secara teknis, term Hukum Islam sering digunakan untuk
.menggantikan keduanya
Secara etimologi term Hukum berasal dari bahasa Arab “al-hukm” yang
norma atau nilai hukum.6 Dari pengertian ini, maka term Hukum dapat diartikan
sebagai sebuah kumpulan aturan, baik berupa hasil pengundangan formal maupun adat
yang mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai ,)kebiasaan(
anggota atau subjeknya. Jika tem hukum disandingkan dengan term Islam, maka
Hukum Islam” bisa berarti sejumlah aturan yang bersumber pada wahyu Allah, yang “
mengatur tingkah laku manusia, yang diakui dan diyakini serta harus dikerjakan oleh
umat Islam.7
terminologi, term Hukum Islam (al-hukm asy-syar’ī) diartikan sebagai sapaan Allah
hukum, yaitu orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang
c. Obyek Hukum Islam (mahkūm fīh) adalah perbuatan mukallaf yang terkait dengan
.sapaan Allah
yang mewajibkan, melarang dan setererusnya. Karena itu, term yang digunakan
bukan merupakan sapaan itu sendiri. Oleh karena itu mereka menggunakan term wujūb
Selain merupakan aksi dan efek dari sapaan Tuhan, hukum juga merupakan
kategorisasi atau penilaian tingkah laku. Hukum sebagai sapaan Tuhan berakibat pada
berakibat pada tuntutan untuk mendirikan shalat. Itu berarti, perbuatan mendirikan
shalat termasuk ke dalam kategori tuntutan. Oleh karena itu, term-term yang
.digunakan pun berupa term-term seperti: wajib, haram, makruh dan sebagainya
taklīfī adalah hukum yang memuat perintah, larangan, dan pilihan untuk melakukan
sesuatu atau meninggalkannya. Perintah dan larangan tersebut ada yang berbentuk
pasti dan ada pula yang tidak pasti. Jika bentuk perintah itu pasti maka disebut wajib
dan jika tidak pasti maka disebut mandūb atau sunnah. Demikian pula jika bentuk
larangan itu pasti maka disebut haram dan jika tidak pasti maka disebut makrūh. Adapun
kepada seorang mukallaf untuk memilih antara mengerjakan suatu perbuatan atau
secara qat‘ī maupun zannī. Dalam istilah yang lain sumber hukum juga disebut dengan
mencari dalil atau sumber dalam menetapkan hukum suatu kasus yang terjadi.11
:beberapa hal ini menjadi sumber hukum syari’at. Pembagian pertama ini meliputi
-a. Sesuatu yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ sebagai sumber hukum, yaitu al
b. Sesuatu yang disepakati mayoritas (jumhur) Ulama’ sebagai sumber hukum, yaitu
ijmā‘12dan qiyās.13
c. Sesuatu yang menjadi perdebatan di antara ulama’, bahkan oleh mayoritasnya yaitu
.man qablanā
-ini sumber Hukum Islam dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu sumber
yakni al-Qur’ān dan Sunnah. Bagian kedua adalah sumber Hukum Islam )tesktual(
yang bersifat ‘aqlī (penalaran logis) atau ada yang menyebutnya dalil gairu nass
Sumber Hukum Islam yang bersifat ‘aqlī ada yang berupa ijtihad jama‘ī .)paratekstual(
Secara etimologi : “kecakapan menangani suatu urusan” Secara terminologi Ahliyah ialah, “Suatu
sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara. “Kecakapan seseorang karena kesempurnaan akalnya, sehingga
”’seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara
A. Ahliyah Ada’
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun
negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’, maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan
larangan, maka ia berdosa. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran
dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyatul ada’ ialah aqil, baligh dan cerdas
B. Ahliyah Wujub
Ahliyatul Wujub yaitu “Kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi
ia belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.
Misalnya : a) anak yang bisa menerima hibah. b) Apabila harta anak tsb dirusak orang lain, ia
dianggap mampu untuk menerima ganti rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia merusak harta orang
lain, maka gantinya diambil dari harta anak tsb,c) Selain itu juga ia dianggap mampu untuk
menerima harta waris.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah dianggap
memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat
menjadi miliknya, sebelum ia lahir. Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin :
1.Hak keturunan dari ayahnya
2.Hak warisan dari pewarisnya yang wafat
3.Hak wasiat
4.Harta waqaf yang ditujukan kepadanya
Yaitu “kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai baligh
dan berakal”. Seorang yang ahliyah wujub tidak dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat
ibadah mahdhah seperti shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik. Namun, bila mereka melakukan tindakan hukum yang
merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan
berhak memerintahkan walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya
berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan hukum anak yang ahliyah
wujub kamilah tersebut, tidak bisa dipertangungjawabkan secara hukum syara, (misalnya ia
dihukum qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum.
Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyatul wujub adalah
sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh dan kecerdasan. Sifat ini telah
dimiliki seseorang semenjak lahir. Berdasarkan ahliyatul wujub, maka anak yang baru lahir
berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika muwarrisnya meninggal dunia tetapi,
harta seorang anak yang belum balIgh tak boleh dikelola sendiri olehnya, melainkan dikelola
oleh walinya.