Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIQH JINAYAH TENTANG PENGHAPUSAN

HUKUMAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah


Dosen Pengampu : Muhammad Husni Arafat, Lc., M.S.I.

Disusun oleh :

Muhammad azrul faris (191410000652)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

i
DAFTAR ISI

MAKALAH....................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

Latar Belakang............................................................................................................1

Batasan Masalah.........................................................................................................1

Tujuan Penulisan........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2

Metode Penelitian.......................................................................................................2

Pengertian Hukuman..................................................................................................2

Hukum yang bisa dihapuskan.....................................................................................2

Sebab sebab hapusnya hukuman ...............................................................................5


BAB III PENUTUP......................................................................................................11

Kesimpulan...............................................................................................................11

Saran.........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat
inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan
berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib
mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu
memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram
). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan
represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai
dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash,
Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang
diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan
kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.

B. Batasan Masalah
. Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang
akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah Hapusnya hukuman, hukuman apa saja yang
di hapuskan dan sebab-sebab hapusnya hukuman .

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
Mengetahui jenis hukuman, alasan penghapusan hukuman beserta macam dan hikmahnya.

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam Bahasa Arab disebut ‘Uqubah. Lafaz ini menurut bahasa berasal dari ‘Aqabah
yang sinonimnya: Khalafahu wajaa’a Biaqabihi artinya mengiringya dan datang dari
belakangnya. dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati istilah barangkali lafaz tersebut
bisa di ambil dari lafaz Aqabah yang sinonimnya Jazaahu Sawaan bimaa Fa’ala artinya
membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena
mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari
pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan
balasan terhadap perbuatan yang meyimpang yang telah dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia hukuman diartikan sebagai “Siksa atau Keputusan yang dijatuhkan
Hakim”. Dalam hukum positif di Indonesia istilah hukuman hampir sama dengan pidana
walaupun sebenarnya seperti apa yang dikatakan oleh Wirjono Projodikoro kata hukuman
sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata pidana, oleh karena ada istilah hukuman pidana
dan hukuman perdata seperti misalnya ganti rugi.
Menurut Hukum Pidana Islam hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara
kepentinan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.

2. Macam-Macam Hukuman
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
a. Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al- Qur’an dan al-
Hadist. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi
pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
- Hukman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti
percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.
b. Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat
dibagi menjadi empat yaitu:
• Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi suatu kejahatan , seperti
hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
• Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok
apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi
pembunuh yang sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila
karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
• Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada
pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk
mendapat waris dari harta terbunuh.
• Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai
pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.

Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya
hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka
membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a. Jarimah Hudud,
b. Jarimah Qishash
c. Jarimah Ta’zir

3. Hapusnya Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat
dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung
tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau
waktu untuk melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan

4. Macam Hukuman Yang tidak Bisa Dihapuskan Dan Yang Bisa Dihapuskan.
4.1. Hukuman Yang Tidak Bisa Dihapuskan
- Jarimah Hudud.
Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas
yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah
dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau
masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam
jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan
penyamun (hirobah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
- Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur
syar’i sesudah dinasihatkan.
- Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
- Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
- Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai mati pada penzina
yg sudah kawin.
- Hukuman rotan 80 kali kepad orang yang menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
- Rotan 80 kali untuk peminum arak

2. Hukuman yang bisa dihapuskan


a. Jarimah Qishosh Diyat.
Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat
merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi
tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang
menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti
hukuman qishosh bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan
menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain:
- pembunuhan sengaja
- pembunuhan semi sengaja
- pembunuhan keliru
- penganiayaan sengaja
- penganiayaan
Diantara jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku tindak
pidana pembunuhan sengaja, karena hukuman baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang
haram menghilangkan orang lain tanpa alasan syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa
yang lebih besar lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang
siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di
dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang besar
baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, ” Sesuatu yang pertama diadili di
antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”. (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat
mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar
diyat yaitu denda senilai 100 onta (Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat
merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman
asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
b. Jarimah Ta’zir.
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan
umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran
terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam
penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan
umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu,
penegakan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nas).
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu:
i. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat,
baik itu shubhat fi al fi’li, fi al fa’il, maupun fi al mahal, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan
pencurian yang bukan harta benda.
ii. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah
diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu,
mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
iii. Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa
demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang
paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan
pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.

Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang
memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa
orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah pengausa atau imam namun diperkenankan
pula untuk:
1) Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil
dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman
kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
2) Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya
maupun hak Allah.
3) Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apbila istrinya
melakukan nusyuz.

Hukuman hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai
hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman
hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya.
Hukuman hukuman ta’zir antara lain:

1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran
(ta’dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh ada
pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha’
memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati
jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana
kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang
membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada
hukuman mati.

2. Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut
pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa
karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya
jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid
dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.

3. Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)


Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama
waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah
satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas
tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah
zina. Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan
maslahat.
Kedua, Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak
ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau
taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya
atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan
masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan
baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang
yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.

4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk
jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir
hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum
si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan
wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut
fuqoha’ tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran (Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan
bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum
dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang
memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, “Wahai
Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang
masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah.”
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau
hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur’an sebagaimana
hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.

6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)


Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari’atkan oleh Islam.
Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang
tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah, dan Hilal bin
Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara, sehingga turunlah
firman Allah:
“Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka
meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat
berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka
bertaubat.”

7. Hukuman Denda (tahdid)


Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai
pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali
harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Sabda
Rosulullah saw, “Dan barang siapa yang membawa sesuatu keluar, maka atasnya denda
sebanyak dua kalinya besrta hukuman.” Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang
yang menyembunyikan barang hilang.

3. Sebab-sebab Hapusnya Hukuman


Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri pembuat, sedang
sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Adapun sebab-
sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut:
1. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fugaha tentang paksaan.Pertama paksaan
ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain dan oleh karena itu hilang
kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua paksaan ialah suatu perbuatan yang ke
luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan
yang mendorong dirinya untuk melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga paksaan
merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya.
Ke empat paksaan ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan
dan menyakitinya.
2. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk atau tidak.
Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh jilid sebagai
hukuman pokok.
Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang mabuk maka menurut pendapat yang kuat
dari empat kalangan mazhab fiqhi ialah bahwa dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah
yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak
mengetahui bahwa apa yang diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.
3. Gila
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani
pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir dan
kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak ada maka
hapus pula pertanggung jawab tersebut. Oleh karena itu Orang Gila tidak dikenakan hukum
Jarimah karena ia tidak mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan meilih dalam bahasa Arab
disebut juga Junun atau Gila.
4. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggung jawab anak belum dewasa
merupakan Konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya, namun menyamai teori
terbaru di kalangan hukum positif.
Menurut Syari’at Islam pertanggung jawab pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan
berpikit dan pilihan iradah dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda
menurut masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kdua
perkara tersebut.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum
yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti
membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam
(Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir.
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia
adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi
kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak Allah. Kejahatan
ini diancam dengan hukuman hadd. Sementara qishosh berada pada posisi diantara hudud dan
ta’zir dalam hal beratnya hukuman. Ta’zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara
jnis-jenis hukuman yang lain.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, macam-macam hukuman diatas dapat dihapuskan. Pada
dasarnya yang dimaksud dengan hapusnya hukuman di sini adalah tidak dapat dilaksanakannya
hukuman-hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim, berhubung tempat badan atau
bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah tidak ada lagi atau waktu untuk
melaksanakannya telah lewat.
Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah:
a. Meninggalnya Pelaku
b. Hilangnya Anggota badan yang akan di Qishas
c. Tobatnya pelaku
d. Perdamaian
e. Pengampunan


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1991
Asas-asas Hukum Pidana Islam, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1993,
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar Ibnu Al-Khattab, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1991
Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islaam, Penerbit PT aal-Ma’arif, Bandung, 1991.

Anda mungkin juga menyukai