Anda di halaman 1dari 20

KLASIFIKASI PIDANA ISLAM DARI SEGI BERAT

RINGANNYA HUKUMAN
MAKALAH
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Fiqih Jinayah

Disusun Oleh :
Kelompok II
Abdul Mukisan (1222045)
Ridwan Ramadhan (1222058)
Zarkani (1222067)

Dosen Pengampu :
Hamdani, Lc., M.A

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M. DJAMIL
DJAMBEK BUKITTINGGI
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah singkat tepat pada waktunya.
Adapun judul dari makalah ilmiah ini adalah “Klasifikasi Pidana Islam dari Segi
Berat Ringannya Hukuman”. Tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqih Jinayah dan ini diharapkan dapat menjadi penambah wawasan bagi
pembaca serta bagi penulis sendiri.

Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Hamdani, Lc., M.A selaku dosen pengampu pada mata kuliah Fiqih
Jinayah yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan makalah ilmiah ini.
Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah singkat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menulis makalah singkat ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan
dapat membuat makalah ilmiah ini menjadi lebih baik serta bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Bukittinggi, 09 Maret 2024

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 1

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 4

BAB II. PEMBAHASAN


A. Jarimah Qishash ................................................................................... 5
B. Jarimah Hudud ..................................................................................... 11
C. Jarimah Ta’zir ...................................................................................... 13

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan .......................................................................................... 17
B. Saran .................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyebutan kata jarimah lebih khusus dari pada jinayah, sering para Ulama
menyebut jarimah pada tiga bagian saja, yakni jarimah Hudud, jarimah qisas
diyat dan jarimah ta’zir. Dengan penyebutan jarimah oleh Ulama ini, sehingga
dipahami bahwa jarimah-jarimah inilah yang akan dibicarakan dalam Fiqih
Jinayah. Ketiga jarimah ini mempunyai kelompok masing-maing. Jarimah
Hudud, meliputi perzinahan, menuduh zina, pencurian, khamar, hirabah, murtad.
Jarimah Qisasa/diyat, meliputi qisas atas jiwa dan qisas atas badan, sedangkan
jarimah ta’zir merupakan delik aduan yang dimungkinkan untuk pembaruan
jarimah dalam fiqih jinayah terutama ketika jarimah ta’zir sebagai hukuman
pengganti hukum pokok atau sebagai pengembangan jarimah-jarimah baru.

Namun, dengan perkembangan jaman modern sekarang ini, betapa banyak


kejahatan-kejahatan yang tidak termasuk dalam pembagian jarimah yang
dimaksud oleh Ulama di atas. Sehingga, memerlukan penalaran yang lebih tajam
sesuai dengan perkembangan kejahatan di dunia modern seperti ini. Sehingga,
dipahami fiqih jinayah ketinggalan zaman. Dia harus dinamis tidak boleh statis
dengan perkembangan kejahatan dewasa ini.

Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar dapat dibagi dengan meninjaunya dari berbagai segi. Ditinjau
dari segi berat ringanya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian antara
lain: jarimah qishash / diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta’zir. Maka inilah yang
akan menjadi pembahasan makalah ini.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembahasan jarimah qishash ?
2. Bagaimana pembahasan jarimah hudud ?
3. Bagaimana pembahasan jarimah ta’zir ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pembahasan jarimah qishash
2. Untuk menjelaskan pembahasan jarimah hudud
3. Untuk menjelaskan pembahasan jarimah ta’zir

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jarimah Qishash

Para Ulama dalam menyebut qisas ini menggunakan kata-kata jarimah qisas,
namun sesungguhnya qisas ini adalah sanksi atas pembunuhan sengaja, namun
karena sudah populer oleh Ulama Fiqih menyebutnya dengan jarimah qisas maka
tidak salah juga kita sebut jarimah qisas. Haliman (1971:275), Qisas berasal dari
kata Qashsah, yang berarti memotong, ataupun berasal dari kata Aqtasha yang
berarti mengikuti, yakni mengikuti perbuatan penjahat untuk pembalasan yang
sama dari pada perbuatannya itu, Qalyubi, memahamkan qisas sebagai hukum
bunuh atau qawad, hukum qisas ialah akibat yang sama yang dikenakan kepada
oang yag menghilangkan jiwa atau melukai atau menghilangkan anggota badan
orang lain seperti apa yag telah diperbuatnya.1

Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
qishas atau diyat. Baik qishash maupun diyat keduanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa
had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diyat adalah
hak manusia (individu).2

Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diyat maka pengertian hak
manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan
oleh korban atau keluarganya. Dengan demikian maka ciri khas dari jarimah
qishash dan diyat itu adalah:

a. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan


oleh syara' dan tidak ada batas minimal atau maksimal;

1
Ismail Rumadan, Pembaruan Jarimah dalam Fiqih Jinayah, (Surabaya: Nariz Bakti Mulia,
2021), hlm. 47.
2
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah, (Palembang: Amanah, 2020), hlm. 58.

5
b. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti
bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku. Jarimah qishash dan diyat ini hanya ada dua macam,
yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada
lima macam, yaitu:
1) Pembunuhan Sengaja
2) Pembunuhan Menyerupai Sengaja
3) Penganiayaan Sengaja
4) Penganiayaan Tidak Sengaja3

Ulama fiqih membedakan jarimah pembunuhan menjadi tiga kategori, yaitu


sebagai berikut :

a. Pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan semi sengaja
c. Pembunuhan tersalah

Ketiga macam pembunuhan tersebut telah disepakati oleh jumhur ulama,


kecuali Imam Malik. Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah mengatakan,
perbedaan pendapat yang mendasar bahwa Imam Malik tidak mengenal jenis
pembunuhan semi sengaja, karena menurutnya di dalam Al-Qur’an hanya ada
jenis pembunuhan sengaja dan tersalah. Barang siapa menambah satu macam
lagi, bearti ia menambah ketentuan nash.4

Dari ketiga jenis tindak pidana pembunuhan tersebut, sanksi hukuman


qishash hanya berlaku pada pembunuhan jenis pertama, yaitu jenis pembunuhan
sengaja. Nash yang mewajibkan hukuman qishash ini tidak hanya berdasarkan
Alquran, tetapi juga hadis Nabi dan tindakan para sahabat.

Sanksi hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan


sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah berikut.

3
Ibid., hlm. 58-59.
4
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 6.

6
‫اص ِِف الْ أقْت لأى‬ ِ ِ ِ َّ
ُ ‫ص‬‫ب أعلأْي ُك ُم الْق أ‬
‫ين ءأ أامنُوا ُكت أ‬
‫أَيأيُّ أها الذ أ‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah (2): 178)

Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuh yang melakukan
kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku.
Kalau keluarga korban ternyata memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak
berlaku dan beralih menjadi hukuman diyat.5

Sementara itu qishash yang disyariatkan karena melakukan jarimah


penganiayaan, secara eksplisit dijelaskan oleh Allah sebagai berikut.

‫وح‬
‫اْلُُر أ‬
ِ ‫الس َّن ِِب‬
ْ ‫لس أن أو‬ ِ ‫أنف و ْاْلُذُ أن ِِبْْلُذُ ِن و‬
‫أ‬
ِ ِ ‫ْي و ْاْل أ‬
‫أنف ِبْْل أ‬
ِ ِ ‫س والْ أع ْ أ‬
‫ْي ِبلْ أع ْ أ‬ ‫س ِبلنَّ ْف ِ أ‬ َّ ‫أوأكتأ ْب نأا أعلأْي ِه ْم فِ أيها أ‬
ِ ‫أن النَّ ْف‬
‫أ‬
‫اص‬ ِ
ُ ‫ص‬‫قأ‬

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya


jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. (QS. Al-
Ma'idah (5): 45)

Dalam kajian ushul fiqh, ayat ini termasuk salah satu syariat umat sebelum
Islam yang diperselisihkan oleh ulama. Di satu sisi ayat ini merupakan salah satu
bentuk hukum yang tidak secara tegas dinyatakan berlaku bagi umat Islam, tetapi
di sisi lain tidak terdapat keterangan yang menyatakan sudah terhapus dan tidak
berlaku lagi.

Apakah qishash dalam hal jarimah penganiayaan sebagaimana yang


diinformasikan oleh ayat di atas tetap berlaku dan wajib dilakukan oleh umat
Islam? Mengenai masalah ini terdapat tiga pendapat, yaitu sebagai berikut.

5
Ibid., hlm. 5.

7
a. Menurut jumhur ulama, Hanafiyah, Malikiyah, sebagian Syafi'iyah, dan
sebuah riwayat Ahmad-di mana pendapat ini dinilai sebagai yang paling
tepat, ayat-ayat tentang qishash terhadap anggota badan tetap berlaku bagi
umat Islam.
b. Menurut ulama-ulama kalangan Asy'ariyah, Mu'tazilah, sebagian pengikut
Syafi'iyah, dan dalam riwayat Imam Ahmad yang lain; bahwa syariat
yang seperti ini tidak berlaku bagi orang Islam. Pendapat ini menurut Al-
Zuhaili didukung oleh Al-Ghazali, Al-Amidi, Al-Razi, dan Ibnu Hazm.
c. Menurut Ibnu Al-Qusyairi dan Ibnu Burhan, terhadap ayat-ayat semacam
ini sebaiknya tawaqquf (bersikap diam) sampai terdapat dalil shahih yang
menegaskannya.6

Adapun jenis-jenis jarimah penganiayaan, yaitu sebagai berikut.

a. Memotong anggota tubuh atau bagian yang semakna dengannya.


b. Menghilangkan fungsi anggota tubuh, walupun secara fisik anggota tubuh
tersebut masih utuh
c. Melukai dibagian kepala korban
d. Melukai dibagian tubuh koran
e. Melukai bagian-bagian lain yang belum disebutkan di atas.7

Adapun mengenai sebab-sebab penghalang qishash, sebagai berikut.

a. Korban bagian dari pelaku, jika korban termasuk bagian dari pelaku,
hukuman qisas menjadi terhalang, jika korban adalah ank pelaku,bila
seorang Ayah melukai anaknya, memotong anggota badannya, atau
melukai kepalnya ia tidak berhak qisas, ini sesuai sabda Rasul: Tidak
diqisas Ayah karena membunuh anaknya. Adapun anak harus diqisas
karena membunuh Ayahnya, hal ini berdasarkan Nash-Nash yang bersifat
umum, termasuk dalam katagori Ayah dan Anak, setiap Ayah sampai ke

6
Ibid., hlm. 9.
7
Ibid., hlm. 10.

8
atas dan setiap anak smpai kebawah, kedudukan Ibu dan Ayah sama
dalam status hukum.
Atas dasar ini, tidak ada perbedaan diantara empat imam Mazhab, tentang
terhalangnya qisas dari seorang Ayah yang melakukan tindak pidana
terhadap anaknya, pda tindak pidana selain jiwa.
b. Tidak ada kesetaraan
Jika kesetaran antara korban dan pelaku tidak ada, hukuman qisas tidak
ada kesetaraan hanya dilihat dari sisi korban,bukan dari sisi pelaku. Asas
kesetaran menurut Imam Malik Syafi,i dan Ahmad bin hambal adalah
kemerdekaan dan Islam. Menurut Imam Abu hanifa, adalah kemerdekaan
dan jenis, maka dapat disimpulkan, Kemerdekaan, Jenis dan Islam.
c. Islam
Imam Malik, Asyafi, dan Ahmad bin hanbal. Bahwa orang kafis tidak
setara dengan orang Muslim, menurut mereka orang Muslim yang
membunuh Kafir Zimmi tidak ada qisas. Adapun Menurut Imam Abu
hanifa bahwa Orang kafir stara dengan orang Muslim selama ia maksum
darahnya, dan ismahnya tidak tercamur dengan kesamaran, misalnya
orang kafir mustakmin, dengan demikian, tindak pidana mewajibakan
qisas bagi orang yang melakukan tindak pidana atas mereka.
d. Jenis
Menurut Kaedh Imam Mazhab yang Empat, perempuan harus diqisas
karena membunuh laki-laki dan laki-laki wajib diqisas karena membunuh
perempuan, Imam Malik, Asyafi dan Ahmad bin Hanbal, menetapkan
kaedah ini dengan tindak pidana penganiayaan, menurut mereka orang
yang berlaku qisas atas jiwanya, berlaku qisas juga atas anggota
badannya. Menurut Imam Abu Hanif, dalam masaah ini tidak
mensederajatkan laki sama dengan perempuan, karena ia menggunakn
kaedah lain, karena diyat perempuan separoh dari diyat laki-laki dan diyat
anggota badannya juga tidak sama dengan diyat anggota badan laki-laki,

9
jika tidak ada persamaan antara keduanya, qisas juga terhalang bagi
anggota badan keduanya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan.8

Kemudian mengenai hapusnya Hukuman Qisas, sebagai berikut.

a. Hilangnya tempat untuk qisas


b. Pemaafan
c. Perdamaian
d. Digariskan hak qisas9

Yang dimaksud dengan hilangnya tempat qisas adalah hilangnya anggota


badan atau jiwa yang mau diqisas sebelum dilaksanakan hukuman qisas. Para
Ulama berbeda pendapat, dalam hal hilangnya tempat untuk qisas. Menurut
Imam Abu Hanifa bahwa Hilangnya anggota badan atu jiwa yang wajib qisas itu
menyebabkan hapusnya diyat, karena bila yang qisas itu tidak meninggal, dan
tidak hilang anggota badannya, maka yang wajib qisas itu bukan diyat.

Sedangkan Imam Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal, kasus di atas qisas dan
segala aspeknya menjadi hapus, akan tetapi menjadi wajib diyat, karena qisas dan
diyat itu keduanya wajib, bila salah satunya tidak dapat dilaksanakan maka
diganti dengn hukuman lainnya.

Menyangkut dengan pemaafan Allah tegaskan dalam surat al baqarah ayat


178, Artinya: “Maka barang siapa yang mendapat satu pemaafan dari
saudaranya...”dan Al-Maidah ayat 45 Artiya: “Barang siapa yang melepakan
hak qisasnya ,maka lepaslah hak itu menjadi penebus dosa bagimu.”. Serta
Sabda Rasul Artinya: “Setiap permasalahan selalu diserhkan kepada Rasulullah
semasa Hdupnya, Maka Rasulullah selalu memerintahkan agar dimaafkan.”

Orang yang berhak mengadakan perdamain adalah orang yang berhak atas
qisas dan pemaafan, qisas juga dapat hapus karena diwariskan kepada keluarga
korban, pemaafan yang melakukan pembunuhan dan atau pelukaan dari sikorban

8
Ismail Rumadan, Op. Cit., hlm. 59-60.
9
Ibid., hlm. 60.

10
atau keluarganya sangat didorong dan terpuji, walaupun demikian tidak berarti
pelaku tidak dikenai hukuman, maka sanksi diserahkan kepada Ulil Amri.

B. Jarimah Hudud

Jarimah hudud yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had
yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa
dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang
mewakili (ulil amri).10

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had,


pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan
menjadi hak Allah (hak masyarakat). Para ulama sepakat bahwa yang termasuk
kategori dalam jarimah hudud ada 7 yaitu :

a. Jarimah zina
b. Jarimah qazaf (menuduh zina)
c. Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras)
d. Jarimah pencurian (sariqah)
e. Jarimah hirabah (perampokan)
f. Jarimah riddah (keluar dari Islam)
g. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan)11

Di antara ayat al-Qur’an yang berbicara masalah hudud adalah firman Allah
surat al-Talaq ayat 1:

‫ٱَّللِ فأ أق ْد ظألأ أم نأ ْف أسهُۥ‬


َّ ‫ود‬ َِّ ‫وتِْلك حدود‬
‫ٱَّلل ۚ أوأمن يأتأ أع َّد ُح ُد أ‬ ُ ُُ ‫أ أ‬

Artinya: “Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar


hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri.”

10
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, (Mataram: Sanabil, 2020), hlm. 12.
11
Ibid.

11
Ayat tersebut di atas berbicara tentang masalah hitungan waktu ‘iddah cerai.
Meskipun ayat tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan hudud yang
dimaksudkan dalam konteks jarimah, akan tetapi dapat dipahami hudud adalah
batas-batas hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya.12

Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara'
dan menjadi hak Allah (hak masyarakat). Dengan demikian ciri khas jarimah
hudud itu sebagai berikut.

a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah


ditentukan oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak
manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut
sebagai berikut: hak Allah adalah sekitar yang bersangkut dengan
kepentingan umum dan kemaslahatan bersama, tidak tertentu mengenai
orang seorang. Demikian hak Allah, sedangkan Allah tidak
mengharapkan apa-apa melainkan semata-mata untuk membesar hak itu
di mata manusia dan menyatakan kepentingannya terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali
kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang.13

Dalam jarimah zina, syurbul khamar, hirabah, riddah, dan pemberontakan


yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah
pencurian dan qazaf (penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah
juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.14

12
Reni Surya, “Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya dalam Perspektif Hukum
Islam”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Volume 2 No. 2. Juli-Desember 2018, hlm.
533.
13
Marsaid, Op. Cit., hlm. 60.
14
Ibid., hlm. 61.

12
C. Jarimah Ta’zir

Jarimah ta'zir menurut ‘Audah adalah Jarimah yang diancam dengan


hukuman ta'zir. Dan di dalam ketentuan syari’ah, jika tidak batasan hukumannya,
maka masuk kategori Jarimah ta'zir, yaitu semua jarīmah yang belum/tidak
ditentukan kadar hukumannya.15

Sedangkan menurut Abu Zahrah bahwa jarīmah ta’zir adalah tindak pidana
(jarimah) yang bentuk hukuman dan kadarnya tidak dijelaskan oleh pembuat
undang-undang (‫ )الشارع‬dalam teks, tetapi kadar bentuk hukumannya diserahkan
kepada penguasa (pemerintah dan lembaga peradilan).16

Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir.


Pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran. Ta'zir juga
diartikan ar-rad wa al-man'u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi
menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi.

“Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang
tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman ini berbeda-beda, sesuai
dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari satu segi, ta'zir ini sejalan dengan
hukum had; yakni ia adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku
manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang
sama seperti itu.”17

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta'zir itu adalah hukuman
yang belum ditetapkan oleh syara', melainkan diserahkan kepada ulil amri, baik
penentuannya maupun pelaksanaannya. Dalam menentukan hukuman tersebut,
penguasa hanya menetapkan hukuman secara global saja. Artinya pembuat
undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta'zir,
melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-
ringannya sampai yang seberat-beratnya.

15
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 185.
16
Ibid.
17
Marsaid, Op. Cit., hlm. 62.

13
Menurut penulis penguasa (pemerintah) berwenang untuk membuat undang-
undang atau peraturan ketika kehidupan meng alami perubahan dan pembaruan,
maka pemerintah harus memper baharui apa yang terkait dengan stempel dosa
(bersalah) pada setiap perubahan dan pembaruan, artinya pada satu saat penguasa
bisa memperberat hukuman dan pada saat yang lain bisa meringankan hukuman.
Oleh karena itu, semua jarimah ḥudud dan qishash-diyat yang tidak terpenuhi
persyaratannya, maka masuk ke dalam kategori jarīmah ta’zir.18

Dengan demikian ciri khas dari jarimah ta'zir itu adalah sebagai berikut.

a. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut


belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan
ada batas maksimal.
b. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa
Berbeda dengan jarimah hudud dan qisâs maka jarimah ta'zir tidak
ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jarimah ta'zir
ini adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had
dan qisâs, yang jumlahnya sangat banyak. Tentang jenis- jenis jarimah
ta'zir ini Ibn Taimiyah mengemukakan bahwa perbuatan-perbuatan
maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti
mencium anak-anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang bukan
istri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan, atau memakan barang yang
tidak halal seperti darah dan bangkai... maka semuanya itu dikenakan
hukuman ta'zir sebagai pembalasan dan pengajaran, dengan kadar
hukuman yang ditetapkan oleh penguasa.
Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta'zir dan
hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat mengatur
masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa
menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat
mendadak.

18
Rokhmadi, Op. Cit., hlm. 186.

14
Jarimah ta'zir di samping ada yang diserahkan penentuannya
sepenuhnya kepada ulil amri, juga ada yang memang sudah ditetapkan
oleh syara', seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk ke dalam
kelompok ini jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan
hukumannya oleh syara' (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk
dilaksanakannya hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya, pencurian
yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri kurang dari nishab
pencurian, yang seperempat dinar.19

Menurut ‘Audah, ta’zir dibagi menjadi tiga macam:

a. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat (‫)تعزير على المعاصى‬


b. Ta’zir untuk kepentingan umum (‫)تعزير للمصلحة العامة‬
c. Ta’zīr karena pelanggaran (‫)تعزير على المخالفات‬

Yang dimaksud maksiat adalah semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan
atau wajib untuk tidak melakukannya. Para ulama’ telah sepakat bahwa ta’zir
adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dijatuhi hukuman (hadd) maupun
kaffarat, baik maksiat yang menyinggung hak Allah maupun hak adami.

Adapun ta’zir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang
berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Sedangkan ta’zir yang
menyinggung hak adami adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian
kepada orang tertentu, bukan orang banyak.20

Dasar hukum disyari’atkan ta’zir dalam beberapa Ḥadis di bawah ini:

‫ ال جيلد فوق عشر جلدات إال ِف‬:‫كان النيب صلى اهللا عليه وسلم يقول‬: :‫عن أيب بردة رضي اهللا عنه قال‬

‫حد من حدود هللا‬

19
Marsaid, Op. Cit., hlm. 62-64.
20
Rokhmadi, Op. Cit., hlm. 189.

15
Dari Abi Burdah ra. berkata: bahwasannya Nabi Saw. ber sabda: “Tidak
boleh dijilid di atas 10 (sepuluh) jilidan, kecuali di dalam hukuman yang telah
ditentukan oleh Allah.”

Adapun mengenai macam-macam hukuman ta’zir menurut ‘Audah, adalah


sebagai berikut:

a. Hukuman Mati (‫)عقوبة القتل‬


b. Hukuman Cambuk ( ‫)عقوبة الجلد‬
c. Penjara (‫)الحبس‬
d. Pengasingan (‫)التغريب و اإلبعاد‬
e. Salib (‫)الصلب‬
f. Nasehat (‫)عقوبة الوعظ‬
g. Peringatan Keras (‫)عقوبة التهديد‬
h. Pengucilan Pengucilan atau Pisahkan (‫)الهجر عقوبة‬21

21
Ibid., hlm. 193-197.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ditinjau dari segi berat ringanya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga
bagian antara lain: jarimah qishash / diyat, jarimah hudud, dan jarimah ta’zir.

1. Jarimah Qishash

Jarimah Qishash ialah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash


(hukuman sepadan / sebanding) dan atau hukuman diyat (denda / ganti rugi),
yang sudah ditentukan batasan hukumannya, namun dikategorikan sebagai
hak adami (manusia / perorangan), di mana pihak korban ataupun
keluarganya dapat memaafkan si pelaku, sehingga hukuman (Qishash - diyat)
tersebut bisa hapus sama sekali. Akan tetapi menurut Khallaf pemerintah
masih berhak untuk memberikan hukuman ta’zir, jika pelakunya dimaafkan
oleh korban (keluarga korban).

2. Jarimah Hudud

Jarīmah Hudud ialah jarīmah yang diancam hukuman hadd, yaitu


hukuman yang telah ditentukan secara pasti dan tegas mengenai macam dan
jumlahnya, serta bersifat tetap, tidak dapat dihapus atau dirubah, dan menjadi
hak Allah, karena menyangkut kepentingan umum (masyarakat).

3. Jarimah Ta’zir

Jarimah Ta’zir ialah Jarimah yang diancam satu atau beberapa hukuman
ta’zir, yaitu hukuman yang bersifat pengajaran (‫ )التأديب‬dan semacamnya yang
tidak ditentukan hukumannya dan hukumannya diserahkan kepada
kebijaksanaan penguasa (hakim).

17
B. Saran

Walaupun penulis menginginkan kerapihan dan kesempurnaan ketika


menyusun makalah ini namun pada kenyatannya masih banyak sekali
kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki ulang oleh penulis. Persoalan ini
dikarenakan masih sangat sedikitnya pengetahuan penulis. Maka dari itu penulis
sangat berharap sekali bahwa para pembaca selalu memberikan sebuah kritikan
dan saran kepada penulis agar penulis bisa menjadikan saran dan kritikan yang
diberikan oleh para pembaca ini dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk
selanjutnya.

Demikianlah pemaparan materi tentang “Klasifikasi Pidana Islam dari Segi


Berat Ringannya Hukuman”, dengan ini penulis berharap kepada pembaca untuk
dapat memahami dan mengamalkan pesan yang tercantum dalam :

1. Pembahasan jarimah qishash


2. Pembahasan jarimah hudud
3. Pembahasan jarimah ta’zir

18
DAFTAR PUSTAKA

Hamim, Khairul. 2020. Fikih Jinayah. Mataram: Sanabil.

Irfan, Nurul dan Masyrofah. 2013. Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah.

Marsaid. 2020. Al-Fiqh Al-Jinayah. Palembang: Amanah.

Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam. Semarang: Karya Abadi Jaya.

Rumadan, Ismail. 2021. Pembaruan Jarimah dalam Fiqih Jinayah. Surabaya:


Nariz Bakti Mulia.

Surya, Reni. 2018. “Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya dalam
Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam.
Volume 2 No. 2.

19

Anda mungkin juga menyukai