Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

JINAYAH (PEMBUNUHAN)

Disusun Oleh :

1. Nur Fauziah Siregar


2. Winda Khairani Hasibuan

Dosen Pengampu :
Ahmad Yasir Pohan, M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


PADANG LAWAS (STIT-PL)
GUNUNGTUA
2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini. Shalawat dan salam tercurahkan kepada junjungan kita sang
revolusioner Nabi Muhammad SAW, serta para sahabat dan pengikut beliau yang
memperjuangkan dinul islam dimuka bumi ini. Semoga kebaikannya bernilai
ibadah.

Serang, Februari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I, PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 1
BAB II, PEMBAHASAN ............................................................................... 2
A. Tujuan Variasi Mengajar...................................................................... 3
B. Prinsip Penggunaan Variasi Mengajar ................................................. 7
C. Komponen-Komponen Variasi Mengajar ............................................ 8
BAB III, PENUTUP ....................................................................................... 13
A. Kesimpulan .......................................................................................... 13
B. Saran..................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pandangan masyarakat, khusus dalam kehidupan Islam terdapat


berbagai permasalahan yang menyangkut tindakan pelanggaran yang dilakukan
manusia. Dengan adanya hal itu, maka dibuatlah aturan yang mempunyai
kekuatan hukum dengan berbagai macam sangsi. Sanksi yang diberikan sesuai
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam hukum Islam
diterapkan jarimah (hukuman) dalam hukum Jinayah Islam yang bertindak
sebagai pencegahan kepada setiap manusia, dan tujuan utamanya adalah supaya
jera dan merasa berdosa jika ia melanggar.
Jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai,
memotong anggota tubuh, dan menghilangkan manfaat badan, misalnya
menghilangkan salah satu pancaindera.
Sedangkan hudud merpakan suatu peraturan yang membatasi undang-undang
Allah berkenaan dengan hal-hal haram dan halal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan jinayah ?
2. Apa saja unsur-unsur dan rukun jinayah ?
3. Apa saja macam-macam jinayah ?
4. Apa pendapat para ulama tentang jinayah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mampu memahami pengertian jinayat.
2. Agar mampu memahami unsur-unsur dan rukun jinayah.
3. Agar mampu mengetahui macam-macam jinayah.
4. Agar mampu memahami pendapat para ulama tentang jinayah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN JINAYAH
Pada dasarnya, pengertian jinayah dari istilah jinayah mengacu pada hasil
perbuatan seseorang. Pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang.
Istilah lain sepandang pada istilah jinayah adalaah jarimah yaitu larangan-larangan
syara yang diancam oleh Allah dengan hukum had atau ta’zir.1 Jinayat adalah
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak atau larangan Allah,
hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan wajib
mendapatkan atau diberi hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam rumusan lain disebut bahwa : jinayat yaitu perbuatan dosa besar atau
kejahatan ( pidana/kriminal) seperti membunuh, melukai seseorang, atau membuat
cacat anggota badan seseorang.2
Mengenai pengertian Jinayah diatas, maka jinayah dapat dibagi menjadi
dua jenis pengertian, yaitu: pengertian luas dan pengertian sempit. Klasifikasi ini
dapat dilihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah.
1. Dalam pengertian luas, jinayah merupaka perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh syara dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir.
2. Dalam pegertian sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara dan menimbulkan hukku had dan ta’zir.
B. UNSUR ATAU RUKUN JINAYAH
Unsur dan rukun jinayah tersebut adalah:
a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
ancaman hukum atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan
formal (al-Rukn al-Syar’i).
b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur
ini dikenal dengan istilah “unsur meterial” (al-Rukn al-Madi).

1
A.Djazuli, Fiqih Jinayah (Jakarta: Raja grafindo persada, 1997) cet ke-2, hal 1.
2
Dzajuli.A, Kaidah-kaidah Fikih ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) hal.348.

2
c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitbah atau dapat
memahami taklif., artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga
mereka dapat dituntut atas kejahatan yng mereka lakukan. Unsur ini dikenal
dengan istilah “unsur moral” (al-Rukn al-Adabi).
Sebuah perbuatan dapat dikatagorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut
mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun tadi.3 Tanpa ketiga unsur tersebut,
sesuatu perbuatan tidak dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jinayah.
Ini merupakan unsur utama kajian fiqh jinayah jika dikaitkan dengan unsur-unsur
tidak pidana atau arkn al-jarimah.
C. MACAM-MACAM JINAYAH ATAU JARIMAH
1. Jarimah Qishash
Qishah secara etimologi berarti mengikuti, menelusuri jejak atau lngkah.
Adapun arti qishas secara terminologi yang dikemukakan oleh al jurjani, yaitu
mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada pelaku persis seperti
tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).4 Ada
beberapa macam qishas diantarany yaitu :
a. Jarimah pembunuhan
para ulama mendefenisikan pembunhan adalah suatau perbuatan manusia
yang menyebabkan hilangnya nyawa. para ulama Hanafiah, Safiiyah, dan
Hanafiah membagi pembunuhan menjadi tiga macam.
1. Pembunuhan segaja, yaitu suatu perbuatan penganiyaan terhadap
seseorang dengan maksud untuk menghilagkan nyawa.
2. Pembunuhan semi sengaja, yaitu perbuatan penganiyaan terhadap
seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi
mengakibatkan kemtiaan.
3. Pembunuhan karena kesalahan dalam jenis ini ada tiga kemungkinan,
yaitu:
a Bila Si Pelaku pembunuhan sengaja melakukan suatu perbuatan
dengan tanpa maksud melakukan suatu kejahatan, tetapi

3
A.Djazuli, Fiqih Jinayah (Jakarta: Raja grafindo persada, 1997) cet ke-2, hal 3.
4
M. Nurul Irfan, Fiqih Jinayah (Jakarta : Amzah, 2013) hlm.4

3
mengakibatkan kematian seseorang; kesalahan seperti ini disebut
salah dalam perbuatan (error in concrito).
b Bila sipelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat
membunuh seseorang yang dalam perasangkanya boleh dibunuh,
namun ternyata orang tersebut tidak dibunuh. Misalnya sengaja
menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan,
tetapi ternyata kawan sendiri; kesalahan demikian disebut salah
dalam maksud (error in objecto)`
c Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat
kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti seseorang
terjatuh dan menimpa bayi yang berada dibawahnya hingga mati.
b. Jarimah penganiayaan
2. Jarimah hudud
Kata hudud adalah bentuk jamak dari kata had. Menurut bahasa, had berarti
cegahan. Had juga berarti kemaksiatan sebagaimana dalam firman Allah
dalam qur’an surat al-baqarah aya 1875 :

    

“Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS.Al-Baqarah :


187)6
Para ulama sepakat bahwa kategori jarimah hudud itu terbagi menjadi 7 yaitu :

a. Jarimah zina.
Para Fuqaha sepakat bahwa yang dinamakan dengan zina adalah:
Setiap persetubuhan yang diharamkan adalah zina
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam mengkualifikasikan
persetubuhan yang diharamkan tersebut yang berkibat pada hukuman dera
atau rajam (had zina) sebagaimana yang dikemukakan dalam al-quran dan
sunnah.
b. Jarimah qadzf (manuduh muslimah baik-baik berbuat zina)

5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hal. 128
6
Adhwaul Bayan, Al-qur’an dan terjemah Mushaf Al-Insaani, (Jakarta: CV. Dua hati, 2016)

4
Menurut bahasa qadzf secara bahasa juga berarti menuduh, melempar,
dengan batu atau dengan benda-benda lain.
Hal ini seperti di dalam firman Allah berikut:

          

            

“(yaitu), letakkanlah dia (Musa) di dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia


ke Sungai (Nil), maka biarlah (arus) sungai itu membawanya ke tepi, dia
akan diambil oleh (Fir’aun)musuh-ku dan musuhnya. Aku telah
melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-ku, dan agar
engkau diasuh di bawah pengawasanku.” (QS. Taha (20):39)7
Adapun secara terminologi, qadzf berarti menuduh berzinah. Akan tetapi
para ahli fiqh tidak sama persis dalam berumusan defenisi.8 Adapun unsur-
unsur qadzf ada tiga, yaitu:
a Menuduh zina atau mengingkari nasab
b Orang yang dituduh itu muhsah
c Ada itikad jahat.9
c. Jarimah syurb al-khamr (meminum-minuman keras)
Menurut imam maliki, imam syafi’i, dan imam ahmad sebagaimana dikutip
oleh abdul qadir audah bahwa pengertian asy-syurbu (meminum ) adalah :
“ pengertian minuman ini adalah minum minuman yang memabukan, baik
minuman tersebut dinamakan khamr, maupun bukan khamr, baik berasal dari
perasan anggur mapun berasal dari bahan-bahan yang lain”.
Unsur jarimah minuman khamr ada dua yaitu: as-Syurbu (meminum), dan niat
yang melawan hukum. Seseorang dianggap meminum apabila barang yang
diminumnya telah sampai ke tenggorokan.

7
Adhwaul Bayan, Al-qur’an dan terjemah Mushaf Al-Insaani, (Jakarta: CV. Dua hati, 2016)
8
M. Nurul Irfan, fiqih jinayah (jakarta : Amzah, 2013) hlm. 41
9
A. Dzajuli, Fiqh Jinayah (Jakarta : Raja Grafindo persada, 1997) hlm. 66

5
Adapun hukuman untuk peminum khamr menurut imam maliki dan imam abu
hanafi hukum untuk peminum minuman keras (khamr) adalah dera 80 kali.
Sedangkan menurut imam syafi’I dan imam ahmad, hukuman untuk peminum
khamr adalah dera 40 kali. Akan tetapi mereka membolehkan dera 80 kali
apabila hakim memandang perlu.
Pembuktian untuk jarimah khamr dapat dilakukan dengan 3 macam:
1. Dengan saksi
2. Dengan pengakuan
3. Dengan qarinah ( qarinah untuk khamr yaitu bau minuman, mabuk, dan
mumtah).10
d. Jarimah al-baghyu (pemberontak)
kekuatan dan pemimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala Negara
(imam), dengan menggunakan alasan ta’wil yang Menurut syafi’iyah dan
hanafiah pemeberontak adalah keluarnya kelompok yang memiliki tidak
benar. unsur-unsur jarimah pemeberontak ada 3 yaitu:
1. Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam), yaitu menentang dan
berupaya untuk menggulingkannya.
2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan.
3. Adanya niatan yang melawan hukum.11
Adapun hukuman terhadap pemberontak ulama fiqih membagi jarimah
pemeberontakan menjadi dua bentuk, yaitu :
a Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintahan
boleh memenjarakan mereka sampai mereka taubat.
b Para pemberontak yang menguasai daeran dan memiliki kekuatan
senjata, pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan
petunjuk surat al hujurat ayat 9

10
Wardi Ahmad Muslich, Hukum pidana islam, (Jakarta : Sinar grafika, 2005), hlm. 73-76
11
Wardi Ahmad Muslich, Hukum pidana islam, (Jakarta : Sinar grafika, 2005), hlm. 73-79

6
           

             

       

“Dan apabila dua golongan orang mukmin berperang, maka


damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat
dzalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang
berbuat dzalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.
Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”12

Pemerintahan harus menghimbau mereka untuk mematuhi segala


peraturan yeng berlaku. Apabila usaha ini disambut dengan gerakan
senjata, pemerintah boleh memerangi mereka.13
e. Jarimah al-riddah (murtad)
Al-riddah adalah bentuk masdar dari kata radda-yaruddu yang secara
etimologi berarti memalinkanya, mengembalikannya. Nash yang berkaitan
dengan kemurtadan dalam al-quran adalah:

              

           

          

12
Adhwaul Bayan, Al-qur’an dan terjemah Mushaf Al-Insaani, (Jakarta: CV. Dua hati, 2016)
13
. M Nurul Irfan, Fiqih Jinayah (Jakarta : Amzah, 2013) hlm 119-131

7
           

           

  

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan


haram. Katakanlah, “berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar.
Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-nya,
(menghalangi orang masuk) masjidil haram, dan mengusir penduduk dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan
fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti
memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika
mereka sanggup. Barang siapa murtad diantara kamu dari agamanya,
lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka tu sia-sia amalnya di dunia
dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS Al-Baqarah:217).14
Arti riddah menurut bahasa adalah kembali.menurut syara adalah keluar
dari Islam.15
Unsur-unsur yang terdapat di dalam riddah adalah
a Keluar dari islam
b Ada itikad tidak baik
Yang dimaksud dengan keluar dari islam disebutkan dari para ulama
ada tiga macam
 Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuataan`
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan
perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau
meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai

14
Adhwaul Bayan, Al-qur’an dan terjemah Mushaf Al-Insaani, (Jakarta: CV. Dua hati, 2016)
15
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997) hlm. 114

8
perbuatan yang tidak wajib, baik dengan sengaja maupun dengan
menyepelekan.
 Murtad dengan ucapan
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran,
seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan
bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
 Murtad dengan itikad.
Murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan
itikad(akidah) islam, seperti beritikad langgengnya alam, Allah itu
sama dengan makhluknya. Sesungguhnya itikad an sich tidak
menyebabkan seseorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam
bentuk ucapan atau perbuatan.

Hukuman untuk jarimah riddah ada tiga macam yaitu:

a Hukuman pokok, yaitu hukuman mati dan statusnya sebagai


hukuman had.
b Hukuman penggantian, berlaku dalam dua keadaan, yang
pertama apabila hukuman pokok gugur karena tobat, maka
hakim menggantinya dengan hukuman ta’zir. Dan yang kedua
yaitu apabila hukuman pokok gugur karena syubhat.
c Hukuman tambahan, yaitu penyitaan atau perampasan harta
dan berkurangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf.16

Menurut imam Malik, Imam Syari’I dan Imam Ahmad bila


orang murtad itu meninggal, maka hartanya menjadi harta
musyi’ yaitu tidak dapat warisan, baik kepada orang muslim
maupun kepada non muslim. Menurut ulama lain harta itu
dimiliki oleh pemerintahan dan penjadi harta fay,’ menurut
mahzab Hanafi, bila harta tersebut didapatkan pada waktu ia
muslim, maka diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim

16
Wardi Ahmad Muslich, Hukum pidana islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 131

9
dan harta yang didapatkan ketika ia murtad, maka hartanya
menjadi milik pemerintah.17

f. Jarimah al-sariqah (pencurian)


Pencurian bila ditinjau dari segi hukumnya dibagi menjadi dua: pencurian
yang diancam dengan hukuman had dan pencurian yang diancam dengan
hukum ta’zir. Hukman tar’zi yang berarti mencegah, dan menolak kejahatan,
ataupun hukuman yang berupa pelajaran.
Pencurian yang diancam dengan hukuman had dibagi menjadi dua yaitu:
sariqah sughra ( pencurian kecil/biasa) , dan sariqah kubra (pencurian
besar/pembegalan). Yang dimaksud dengan pencurian kecil adalah
pengambilan harta orang lain secara diam-diam, sedangkan pencurian besar
adalah pengambilan harta orang lain secara terangpteragan atau dengan
kekerasan. Pencurian jenis kedua ini disebut pula hirabah, yang akan diuraikan
lebih lanjut pada bagian lain.
Perbedaan pencurian biasa dengan hirabah, antara lain bahwa dalam
pencurian biasa ada dua syaratyang harus dipenuhi, mengambil harta tanpa
sepengetahuan pemiliknya dan pengambilannya itu tanpa kerelaan pemiliknya.
Sedangkan unsur pokok dalam pembegalan adalah terang-terangan atau
kekerasan yang dipakai, sekalipun tidak mengambil harta.18
Pencurian yang diancam dengan ta’zir pun ada dua macam : pertama,
pencurian yang diancam dengan had, namun tidak memenuhi syarat untuk
dapat dilaksanakan had lantaran ada syubhat (seperti mengambil harta anak
sendiri atau mengambil harta sesama); dan kedua, mengambil harta dengan
sepengetahuan pemiliknya, namun tidak atas dasar kerelaan pemiliknya, juga
tidak menggunakan kekerasan ( misalnya mengambil jam tangan yang berada
ditangan pemiliknya dan membawanya lari atau menggelapkan uang titipan).
Adapun pencurian yang hukumannya had terbagi kepada dua bagian yaitu
:
1. Pencurian ringan, yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara
diam-diam, yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi.

17
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) hlm. 117
18
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997) hlm. 71

10
2. Pencurian berat, yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara
kekerasan.

Pembuktian untuk tindak pidana pencurian dapat dilakukan dengan dua


cara yaitu:

 Dengan saksi, minimal dua laki-laki atau seorang laki-laki dan dua
orang perempuan.
 Dengan pengakuan
 Dengan sumpah, apabila tersangka enggan bersumpah maka sumpah
dikembalikan kepada penuntut mau bersumpah maka tindak pidana
pencurian bisa dibuktikan dengan sumpah tersebut dan keenganan
tersangka.

Hukman untuk tindak pidana pencurian yaitu ada dua macam


hukuman:

 Penggantian kerugian, menurut Abu Hanafi penggantian kergian dapat


dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenankan hukuman
potong tangan, dan apabila pencuri dikenakan potong tangan maka
tidak dikenakan penggantian kerugian. Sedangkan menurut Imam
Syafi`I dan Imam Ahmad, kedua hukuman tersebut bisa dilaksanakan
bersama.
 Hukum potong tanggan, hukum ini merupakan hukuman pokok untuk
tindak pidana pencurian, ketentuan ini berdasarkan surah Al-Maidah
ayat 38

            

 

“adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduaya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

11
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa,
mahabijaksana.”19

Juhrum ulama sepakat bahwa pencurian yang dikenai had potong tangan
adalah pencuri harta yang telah mencapai nisabnya. Abu Hanafiah
berpendapat bahwa batasan nisabnya adalah 1 dinar atau 10 dirham.20
g. Jarimah al-hirabah (perampokan)
Hibbara adalah bentuk masdar dari kata haraba, yuhaaribu, muhaarabatan,
haraabatan yang secara etimologis berarti memerangi.21 Secara terminology,
hirrabah, yang juga disebut qutta’u al-tariq didefinisikan oleh beberapa
penulis antara lain:
1. Imam Al-Syafi’i dalam Al-Umm
perampokan qutta’u al-tariq ialah mereka yang melakukan penyerangan
dengan membawa senjata kepada sebuah komunitas orang sehingga para
pelaku merampas harta kekayaan mereka dtempat-tempatterbuka secara
terang-terangan.
2. Muhamad Abu Zahra. Ia mengutip pendapat kalangan Hanafiyah`
Ulama kalangan Hanafiah mendefenisikan hirrabah adalah keluar untuk
menyerang dan merampas harta bendanya bemda yang dibawa oleh para
pengguna jalan dengan cara paksa, sehingga meereka terhalang-halangi,
tidak bisa lewat karena jalanya terputus
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa hirrabah ialah tindak
kekerasan yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain, baik
dilakukan didalam rumah untuk menguasain harta orang lain atau
membunuh korban untuk menakut-nakuti.
Perbedaan yang asasi antara pencuri dan pembegalan atau perampok
terletak pada cara pengambilan harta, yakni dalam pencurian secara diam-
diam sedangkan perampokan secara terang-terangan atau disertai
kekerasan.teknik operasional perampokan itu ada beberapa kemungkinan,
yaitu:

19
Adhwaul Bayan, Al-qur’an dan terjemah Mushaf Al-Insaani, (Jakarta: CV. Dua hati, 2016)
20
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faiz, Kaidah Fiqih Jinayah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004) hlm. 147
21
M. Nurul Irfan, Fiqih Jinayah (Jakarta: Amzah, 2013) hlm. 122

12
1. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-
terangan dan mengadakan intimidasi. Namun ia tidak jadi mengambil
harta dan membunuh`
2. Seseorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan
terang-terangan dan kemudian mengambilharta termasuk tetapi tidak
membunuh.
3. Seseorang berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh
tapi tidak mengambil harta korban.
4. Seseorang berangkat untuk merampok kemudian ia mengambil harta
dan membunuh pemiliknya.22
Pembuktian untuk jarimah hirrabah dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu:
 Dengan saksi minimal dua laki-laki yang memenuhi syarat
persaksian, apabilak tidak ada maka bisa juga seorang laki-laki
dan dua orang perempuan atau empat orang perempuan.
 Pembuktian dengan pengakuan`
Hukuman jarimah hirrabah menurut Imam Abu Hanafiyah , dan
Imam Syafi’i, hukum untuk pelakuan perampokan berdbeda-beda
sesuai dengan perbedaan jenis perbuatanyang dilakukan yaitu:
 Hukuman untuk menakut-nakuti adalah pengasingan
 Hukuman untuk mengambil harta tanpa membunuh
menurut Abu Hanafiah, Imam syafi’I Ahmad, hukumanya
adalah dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang`
 Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta
hukumanya adalah hukuman mati sebagai hukuman had.
 Hukuman untuk membunuh dan mengambil harta menurut
Imam Syafi’i, Imam Ahmad Syiah Zaidiyah, Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhamad, hukumnya adalah hukuman
mati dan disalib tanpa potong tangan dan kaki. 23 Hapusnya
Hukuman

22
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) hlm. 86-87
23
Wardi Ahmad Muslich, Hukum pidana islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 81-102

13
Hukuman perampok dapat dihapus karena sebab-sebab yang
menghapuskan hukuman pada kasus pencurian dank arena tobat
sebelum berhasil ditangkap.24
Akan tetapi hukuman yang dapatdapat dihapus adalah hukuman
yang berkaitan dengan hirabahnya, bukan hukuman yang berkaitan
dengan pelanggaran atas hak hamba. Seperti pembunuhan dan
pengambilan harta.
Bila perampok bertonat setelah ditangkap, maka tobatnya tidak
dapat di menghapuskan hukuman, baikbaik hukuman yang
berkaitan yang berkaitan dengan hak Allah maupun yang berkaitan
dengan hak hamba. Hal ini disebabkan karena:
a. Tobat sebelum ditangkap itu adalah tobat yang ikhlas, yakni
muncul dari hati nurani untuk menjadi orang yang benar.
sedangkan tobat setelah ditanggkap pada umumnya takut
terhadap ancaman hukuman yang akan dinakan kepadanya.
b. Tobat sebelum ditangkap muncul karena kecenerungan
perampok itu untuk meninggalkan perbuatan yang membawa
kerusakan dimuka bumi. Sedangkat tobat setelah ditangkap
prinsip kecenderungan ini tidak tampak karena tidak ada
kesempatan lagi baginya untuk menggubah atau melestarikan
tingkah laku jahatnya.
3. Jarimah Ta’zir
Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata azara-yu’ziru yang secara etimologi berarti
menolak dan mencegah.kata ini seperti dalam firman Allah surat al-fath ayat 925

       

24
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) hlm. 91
25
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas hukum pidana islam fikih jinayah (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) hlm. 12

14
“ supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang.”26
Tarzih juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan
tar’zi karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi siterhukum untuk tidak
kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Disamping itu,
dari defenisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah tar’zi adalah sebagai
beriku:
 Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut
belum ditentukan oleh syara’ da nada batas minimal maksimal`
 Penentuan hukuman tersebut adalah hak M4
Sedangkan menurut pendapat ulama sanksi ta’zir , berikut ini
penjelasanya:
1. Menurut golongan malikiyah, ta’zir hukuman yang wajib sebagai hudud
karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk menegakkan hak Allah
dan seseorang kepala Negara atau kepala daerah tidak boleh mengabaikanya.
2. Menurut mahzab Syafi’I, ta’zir hukuman yang tidak wajib. Seorang kepala
Negara atau kepaladaerah boleh meninggalkanya jika hukum itu menyangkut
hak adamin.
3. Manurut mahzab Hanafiah ta’zir hukuman wajib apabila berkaitan dengan
adami.tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat
digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu.
Tujuan dan syarat-syarat sanksi Ta’zir adalah untuk pencegahan, agar pelaku tidak
mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari, agar mampu memperbaiki
perilaku terpidana dikemudian hari, dan diharapkan agar dapat menggubah pola
hidupnya kearah yang lebih baik.27

26
Adhwaul Bayan, Al-qur’an dan terjemah Mushaf Al-Insaani, (Jakarta: CV. Dua hati, 2016)
27
Wardi Ahmad, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika) xii

15
Perbedaan jarimah Hudud, Qishash, dan Ta’zir
No Hudud Qishash Ta’zir
Tidak ada pemaaf
1. Ada pemaafan dari Ada pemaafan, baik
baik perorangan korban atau keluarga perorangan maupun
maupun uli amri. korban (ahli waris) ulil amri, apabila
maslahat.
Hukuman telah3. Hukuman telah Hakim dapat memilih
ditentukan ditentukan hukuman yang lebih
tepat bagi pelaku
sesuai kondisi pelaku,
situasi, dan tempat
kejahatan.
Pembuktian harus ada Pembuktian harus ada Pembuktianya sangat
saksi atau saksi atau pengakuan. luas kemungkinannya.
pengakuaan.
Tidak dapat Tidak dapat dikenakan Dapat dikenakan
dikenakan kepada kepada anak kecil, kepada anak kecil,
anak kecil, karena karena syaratnya karena ta’zir dilakukan
syaratnya pelaku pelaku harus balig. untuk mendidik
harus balig.
Hukuman kadar sudah Hukuman kadar sudah Kadar ketentuanya
ditentukan secara ditentukan secara pasti diserahkan kepada
pasti oleh syariat. oleh syariat. ijtihad hakim dan
beratringanya
hukuman disesuaikan
menurut
pelanggaranya.

D. PENDAPAT ULAMA TENTANG JINAYAH


Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid
dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas
tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas

16
kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam
ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat
pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat
kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman
jilid pada ta’zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan
syarat bahwa jarimah ta’zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama
dengan pendapat madzhab Syafi’i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa
jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman
yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi
hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa
hukuman ta’zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari
Abu Darda sebagai berikut: “Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali,
kecuali dalam salah satu hukuman hudud”.
Menurut Wahbah Zuhaili hukuman ta’zir yaitu dimana syara’
memasrahkan pemberian hukuman kepada kebijakan negara sesuai dengan tingkat
kejahatan yang dilakukan dengan memperhatikan keadaan, waktu, dan ruang
seseorang yang bersangkutan dan perkembangan yang ada. Sehingga hal itu bisa
berbeda-beda sesuai tingkat kemajuan zaman dan peradaban masyarakat suatu
negara.28
Hukuman-Kawalan (Penjara Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini
didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas.
Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama’
berbeda pendapat. Ulama’ Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun,
karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina.
Sementara ulama’ ulama’ lain menyerahkan semuanya pada penguasa
berdasarkan maslahat.

28
Wahabh Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Darul Fikr, 2012), hal. 259

17
BAB III
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Jinayah adalaah jarimah yaitu larangan-larangan syara yang diancam Allah
dengan hukum had atau ta,zir. Jinayat adalah pelanggaran yang dilakukan oleh
seseorang terhadap hak atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang
dimana orang yang melakukan wajib mendapatkan atau diberi hukuman yang
sesuai baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rumusan lain disebut bahwa:
jinayat yaitu perbuatan dosa besar atau kejahatan (pidana/kriminal) seperti
membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan seseorang.
Unsur dan rukun jinayah tersebut adalah
a) Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai
ancaman hukum atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan
formal. (al-Rukn al-Syar’i).
b) Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur meterial” (al-Rukn al-Madi).
Macam-macam jinayah atau jarimah
1. Jarimah qishas yang terdiri atas, jarimah pembunuhan, jarimah
penganiyaan.
2. Jarimah hudud yang terdiri atas, jarimah zina, jamah qadzf, syurb al-
khamar, al-baghyu, al-riddah, al-syariqah, al-hirabbah.
3. Jarimah ta,zir.
B. SARAN
Karena keterbatasan pengetahuan kami, hingga hanya inilah yang dapat
kami sajikan, dan tentu saja masih sangat kurang dari sisi materinya, maka itu
kami mengharapkan masukan baik itu kritik maupun saran dari pembaca demi
melengkapi kekurangan tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

A, Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.


Ahmad, Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Ahmad, Wardi, Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Bayan, Adhwaul. Al-qur’an dan Terjemah Mushaf Al-Insaani. Jakarta: CV. Dua
Hati, 2016.
Djazuli, A. Fiqh Jinayah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Mubarok, Jaih dan Enceng Arif Faiz. Kaidah Fiqih Jinayah. Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2004.
Nurul, M, Irfan. Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif, 1988.
Wardi, Ahmad, Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa adillatuhu Jilid 7. Jakarta: Darul Fikr, 2012.

19

Anda mungkin juga menyukai