Kelompok 14
Tentang :
Disusun oleh :
2022/2023
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
A. Pengertian Jinayah........................................................................................5
B. Tujuan dan ruang lingkup jinayah................................................................6
C. Azaz dan hikmah jinayah..............................................................................8
D. Qishah.........................................................................................................13
E. Hudud dan Ta`zir........................................................................................15
BAB III..................................................................................................................37
PENUTUP..............................................................................................................37
A. Kesimpulan.................................................................................................37
B. Saran............................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................38
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian
dari agama islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam
adalah kebahagiaan hidup manusia didunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan
mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh
Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani
kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Al-qur’an dan hadist.
Oleh karena itu, selain melengkapi tugas dari penulis sendiri, penulis
merasa bahwa jinayah dan aturannya adalah hal yang sangat penting untuk di
pelajari. Pada makalah ini penulis akan coba menjelaskan dan memberikan
referensi tentang jinayah dan aturan aturannya
4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jinayah
Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau
jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara
etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan
perbuatan dosa atau perbuatan salah.
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian,
seperti yang diungkapkan oleh oleh Abd al-Qadir Awdah, jinayah adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta
benda, atau lainnya. Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa
kata jinayah menurut tradisi syariat Islam ialah segala tindakan yang dilarang
oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang dilarang ialah setiap
perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena perbuatan ini
menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi),
harga diri, dan harta benda. (Marsaid, AL-FIQH AL-JINAYAH, 2020, p. 53)
a. Tujuan jinayah
Hukum Islam diturunkan oleh Allah SWT. Untuk kemaslahatan umat
manusia, para ahli hukum Islam mengklasifikasikan tujuan luas syariah
sebagai berikut:
1. Menjamin keamanan al maqshid al syari’ah Al khamsah (lima tujuan
syariah) yang bersifat primer (daruriyyat) yaitu:
a. Hifzh al din (memelihara agama)
b. Hifzh al nafsi (memelihara jiwa)
c. Hifzh al mal (memelihara harta)
6
d. Hifzh al nasli (memelihara keturunan)
e. Hifzh al aqli (memelihara akal pikiran)
2. Tujuan kedua menjamin mereka keperluan-keperluan yang bersifat
sekunder (hajiyat) yaitu keperluan-keperluan yang dapat menyingkirkan
kesuliatan-kesulitan dari masyarakat dan dapat membuat hidup mereka
lebih mudah.
3. Tujuan ketiga syariah adalah membuat perbaikan perbaikan, yaitu
mengarahkan manusia kepada urusan urusan hidup yang lebih baik atau
biasa disebut tahsinat.
Berdasarkan tujuan syariah di atas, dapat dirumuskan bahwa tujuan
hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara
umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum pidana Islam
amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. (Haq, 2020, pp. 27-28)
7
3. Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian ta’zir menurut bahasa ialah ta’dib atau memberi pelajaran.
Ta’zir juga diartikan ar rad wa al man’u, artinnya menolak dan
mencegah. Akan tetapi menurut Istilah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Al Mawardi. Ta’zir itu adalah hukuman atas
tindakan pelanggaran dan kriminalitas yang tidak diatur secara pasti
dalam hukuman had. (Marsaid, Masail Fiqhiyah Al Jinayah, 2020, p.
54)
1. Azaz Jinayah
Dalam fikih Jinayah atau Hukum Pidana Islam dikenal tiga
kelompok asas hukum, yaitu asas legalitas yang berhubungan dengan
unsur formal Hukum Pidana Islam, asas Moralitas yang berhubungan
dengan unsur moral Hukum Pidana Islam, asas material yang berhubungan
dengan unsur material Hukum Pidana Islam.
a. Azaz Legalitas
Asas Legalitas merupakan asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya.artinya suatu perbuatan baru dianggap sebagai Jarimah
yang harus dituntut apabila ada nash yang melarang perbuatan tarsebut
dan mengancamnya dengan hukuman Kelanjutan dari asas Legalitas ini
adalah:
1. Asas tidak berlaku surut (the principal of non retro activity). Dalam
Hukum Pidana Islam Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke
belakang kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Undang
undang harus berlaku hanya bagi perbuatan perbuatan yang
dilakukan setelah setelah diundangkannya ketentuan itu.
2. Asas praduga tak bersalah (The presumption of Innocence) Asas
praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang
8
yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak
bersalah sebelum hakim dengan bukti bukti yang meyakinkan
menyatakan dengan tegas kesalahannya itu tanpa ada keraguan. Jika
suatu keraguan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.
3. Asas tidak sahnya hukuman karena keraguan. putusan untuk
menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa ada
keraguan. Mazhab Syafii mengkalisifikasi keraguan menjadi 3
kategori yaitu : Keraguan yang berhubungan dengan pelaku,
Keraguan yang berkaitan dengan kepemilikan Bersama, dan
Keraguan yang berkaitan dengan objek atau tempat
4. Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya. Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam dalam penerapannya tidak membeda-bedakan
tingkatan manusia. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dan orang
miskin, pemimpin dan rakyat biasa, pria dan wanita. Jadi setiap
orang yang melakukan tindak pidana harus dijatuhi hukuman, baik ia
orang kaya atau orang miskin, penguasa atau rakyat biasa.
b. Azaz Material
Asas material hukum pidana menyatakan bahwa tindak pidana
ialah perbuatan yang membentuk Jarimah, baik berupa perbuatan nyata
(positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif). Jadi Asas material dalam
Hukum pidana Islam berhubungan dengan perbuatan pelaku Jarimah
(kejahatan) yang menimbulkan kerugian individu atau masyarakat. Asas
material Jarimah meliputi percobaan atau Jarimah yang tidak selesai
dan turut serta melakukan tindak pidana.
1. Percobaan melakukan Jarimah
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan
pidana namun si pelaku ada niat dan adanya permulaan perbuatan
pidana. Fikih Jinayah (hukum pidana Islam) tidak banyak membahas
tentang delik percobaan, tetapi lebih menekankan pada Jarimah yang
telah selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan
isi teori tentang delik percobaan.
9
Ada dua faktor yang menjadi penyebab kurangnya perhatian
fuqaha terhadap delik percobaan. Pertama: percobaan melakukan
Jarimah tidak dikenakan hukuman Had atau qisas, melainkan dengan
hukuman ta’zir. Di mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada
penguasa negara atau hakim. Takzir juga dapat mengalami
perubahan sesuai perubahan masyarakat dari masa ke masa dan dari
tempat ke tempat lain, dan juga unsur unsurnya juga bisa berganti-
ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa
negara. Oleh karena itu kalangan fuqaha kurang mencurahkan
perhatian terhadap percobaan melakukan Jarimah karena percobaan
melakukan Jarimah masuk dalam Jarimah takzir. Faktor kedua:
dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari Syara’ tentang
hukuman Jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk tindak
percobaan tidak perlu diadakan. sebab hukuman ta’zir dijatuhkan
atas segala perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan
hukuman Had dan kifarat, dengan kata lain, setiap perbuatan yang
dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap ma’siat dan
dapat dijatuhi hukuman ta’zir. Karena hukuman Had dan kifarat
hanya dikenakan atas Jarimah-Jarimah tertentu yang benar benar
telah selesai.
2. Turut Serta Melakukan Jarimah (al Iystirak Fi Al Jarimah)
Turut serta melakukan Jarimah ialah melakukan Jarimah secara
bersama-sama. Baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut,
menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan
berbagai bentuk agar perbuatan Jarimah dapat dilakukan.
Untuk membedakan antara turut-berbuat-langsung dengan turut-
berbuat-tidak-langsung, para ahli fiqh menyebutkan dua hal, yaitu
langsung (mubasyir) dan tidak langsung (ghayr mubasyir)
a. Turut serta secara langsung adalah apabila orang yang melakukan
tindak pidana dengan nyata melebihi satu orang. Yang dimaksud
dengan tindak pidana dengan nyata di sini adalah setiap orang
10
yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara
langsung walaupun tidak selesai.
b. Pelaku tidak langsung Pelaku-tidak-langsung, yaitu setiap orang
yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain,
atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan
disertai kesengajaan. Adapun unsur-unsur turut-berbuat-tidak
langsung adalah sebagai berikut:
1. adanya niat dari orang yang urut berbuat, agar dengan sikapnya
perbuatan itu dapat terjadi.
2. adanya perbuatan di mana kawan berbuat-tidak langsung
memberi bagian dalam pelaksanaannya.
3. adanya kesepakatan atau hasutan atau bantuan, yang dimaksud
oleh kawan berbuat-tidak langsung untuk terjadinya Jarimah
tertentu.
11
sedikit bahayanya daripada pelaku langsung. Oleh karenanya,
hukuman terhadapnya tidak sama.
c. Asas Moralitas
Asas moral yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
dilakukannya Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
2. Hikmah Jinayah
1. Menjaga dan menyelamatkan kelangsungan hidup manusia
2. Menempatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia
12
3. Membatasi kemauan manusia untuk berbuat semena-mena terhadap jiwa
manusia
4. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
D. Qishah
1. Pengertian Qishah
Secara harfiah, kata qisâs dalam Kamus Al- Munawwir diartikan
pidana qisâs. Pengertian lain menyatakan bahwa qisâs dalam arti bahasa
adalah menelusuri jejak. Pengertian tersebut digunakan untuk arti
hukuman, karena orang yang berhak atas qisâs mengikuti dan menelusuri
jejak tindak pidana dari pelaku. Qisâs juga diartikan yaitu keseimbangan
dan kesepadanan. Dari pengertian yang kedua inilah kemudian diambil
pengertian menurut istilah. adalah qisâs yang artinya syara', istilah
Menurut memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya.
(Marsaid, AL-FIQH AL-JINAYAH, 2020, p. 109)
13
c. Terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang
membunuh tidak mendapat waris apapun”.
Hukuman pokok (uqubat ashliyah) untuk pembunuhan sengaja
adalah Qishash. Qishash disini adalah hukum bunuh. Ketika mustahiq
al-qishâsh memaafkan dengan tanpa meminta diyat, maka menurut
mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi`I dalam sebuah pendapat ; maka
tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyat secara paksa. Hanya
saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari
mustahiq al-qishâsh tadi. Secara hukum si mustahiq alqishâsh berhak
untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan diyat.
Mustahiq al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan
tuntutan diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan
pembunuh. Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari Qishash. Dalam
hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman pokok dengan
gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia
tidak boleh diqishash dan sekaligus membayar diyat. Sedangkan cara
qishash pula terjadi khilaf. Menurut madzhab Hanafi, Qishash hanya
boleh dilaksanakan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya,
hukuman qishash dilaksanakan hanya dengan senjata, tidak dengan
membalas seperti cara pembunuh tersebut membunuh atau lainnya.
Hukum ini juga ditetapkan menurut sebuah riwayat yang paling shahih
menurut madzhab hambali. Hukuman Pengganti (al-uqubat badaliyah)
adalah membayar diyat mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi‟I
sebagai qaul jadîd diyat tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki
yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta
jadza`ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka
berpindah pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul
qadîm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000
dirham. Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah
separuhnya diyat lelaki, yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta
jadza`ah, dan 20 unta khalifah. Hukuman Tambahan (al-uqubat
14
althaba`iyah) kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk menerima
waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk
wasiat masih terjadi perbedaan pendapat.
2. Bagi Pembunuhan yang seperti sengaja maka sanksinya ada 3 yaitu :
a. Hukuman Pokok (al-uqubat ashliyah)
b. Hukuman Pengganti (al-uqubat badaliyah)
c. Hukuman Tambahan (al-uqubat al Thaba`iyah).
Hukuman Pokok (uqubat ashliyah) bagi pembunuhan yang seperti
sengaja adalah membayar diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan
membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada
penangung jawab dan waktu membayarnya. Hukuman pengganti
(uqubat badaliyah) bagi pembunuhan seperti sengaja ini adalah ta`zir.
dan hukuman tambahan (uqubat al-thaba`iyah) pembunuhan yang
menyamai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat
seperti yang telah lewat. (Marsaid, AL-FIQH AL-JINAYAH, 2020, pp.
112-114)
4. Diyat
Diyat secara terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar
dan diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai
ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada
korban.
15
Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku,
karena terjadi tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan
diberikan kepada korban atau walinya. Dalam definisi lain disebutkan
bahwa diat adalah denda / suatu harta yang wajib di berikan pada ahli
waris dengan sebab melukai jiwa atau anggota badan yang lain pada diri.
(Marsaid, AL-FIQH AL-JINAYAH, 2020, p. 116)
1. Hudud
Jarimah hudud adalah Jarimah yang diancam dengan hukuman Had.
Had secara bahasa adalah pemisah antara dua hal supaya tidak bercampur
dengan yang lainnya, atau batasan antara satu dengan yang lainnya, atau
pemisah antara dua hal yang sudah mempunyai batas.
Had adalah hukuman yang telah ditentukan batas, jenis dan
jumlahnya, dan hukuman itu merupakan hak Allah dengan pengertian
bahwa hukuman tersebut tidak bisa ditambah, dikurangi oleh siapapun dan
tidak mempunyai batas tertinggi atau terendah. Juga yang dimaksud
dengan hak Allah di sini adalah setiap hukuman yang dikehendaki oleh
kepentingan umum untuk memelihara ketenteraman dan keamanan
masyarakat.
Ciri-ciri Jarimah hudud adalah sebagai berikut:
a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dan tidak ada batas minimal dan
maksimal
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata
Mengenai pembagian hudud ini terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama, menurut Imam Syafi’i tindakan Jarimah yang wajib
dihukum Had ada 7 yaitu: zina, qadzaf (menuduh zina), sariqah
(pencurian), Syurb Al Khamar (minuman keras), dan hirabah
(perampokan), riddah (murtad), al bagyu (pemberontakan). Sedangkan
menurut Imam Hanafi, Jarimah yang telah di tetapkan dalam Al-qur’an,
16
hudud hanya ada 5 yaitu: zina, sariqah (pencurian), syurb al-khamar
(minum khamr), qath’u thariq (perampokan), dan qhazaf (menuduh zina)
(Haq, 2020, pp. 55-56)
A. Zina
1. Pengertian Zina
Secara bahasa, kata zina berasal dari kosa kata bahasa Arab,
yaitu kata zina-yazni-zinan yang mempunyai arti berbuat zina,
pelacuran, perbuatan terlarang. Zina adalah hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan
yang sah dan dilakukan dengan sadar tanpa adanya unsur syubhat.
Zina termasuk dalam kategori dosa besar.
2. Unsur - unsur Zina
Unsur-unsur zina itu ada dua, yaitu:
a. Persetubuhan yang diharamkan. Persetubuhan yang dianggap
sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji (kemaluan).
Yang dimaksud persetubuhan disini adalah masuknya alat
kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan walaupun
cuman sedikit atau dengan adanya penghalang antara alat
kelamin laki-laki dan perempuanya, selama penghalangnya
tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan
bersenggama.
b. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum. Unsur
yang kedua dari jarimah zina adalah adanya niat dari pelaku
yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku
melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu
bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita yang
diharamkan baginya. Dengan demikian, apabila seseorang
mengerjakan suatu perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak
tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya haram maka ia tidak
dikenai hukum hadd.
17
3. Hukuman Zina
a. Hukuman untuk Pezina Ghairu Muhshan
Zina ghairu muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-
laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk
zina ghairu muhshan ini ada dua macam, yaitu:
- Hukuman Dera Apabila jejaka dan gadis melakukan
perbuatan zina, maka mereka dikenai hukuman dera
sebanyak seratus kali. Hukuman dera adalah hukuman
yang had
- Hukuman Pengasingan untuk pezina ghairu muhshan
adalah hukuman pengasingan selama satu tahun. Akan
tetapi, apakah hukuman ini wajib dilaksanakan
bersama-sama dengan hukuman dera atau tidaknya,
para ulama berbeda pendapatnya. Menurut Imam Abu
Hanifah dan kawan-kawannya hukuman pengasingan
tidak wajib dilaksanakan. Namun, mereka
memperbolehkan bagi imam untuk menggabungkan
antara dera seratus kali dan pengasingan selama satu
tahun apabila hal itu dipandang maslahat. Dengan
demikian, menurut mereka hukuman pengasingan itu
bukan merupakan hukuman hadd, melainkan hukuman
ta‟zir.
b. Hukuman untuk Zina Muhshan
Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki
dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri).
Hukuman untuk pelaku zina muhshan ini ada dua macam
yaitu:
- Dera seratus kali
- Rajam
18
1. Pengertian Qadzaf
Abu Rahman Al-Jairi mengatakan, qadzaf adalah suatu
ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang lain dengan
tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas)
atau secara dilalah (tidak jelas).
2. Unsur-Unsur Jarimah Qadzaf
Unsur-unsur jarimah qadzaf ada tiga, yaitu:
a. Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab.
b. Orang yang dituduh adalah orang yang muhshan.
c. Adanya maksud jahat atau niat yang melawan hukum
3. Alat Bukti Qadzaf
Adapun pembuktian qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga
macam alat bukti, yaitu:
a. Dengan saksi-saksi merupakan salah satu alat bukti untuk
qadzaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat dalam jarimah
zina, yaitu; baligh, berakal, adil, dapat berbicara, islam dan tidak
ada penghalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi dalam
qadzaf sekurang-kurangnya adalah dua orang.
b. Qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku
(penuduh) bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina.
Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majelis
pengadilan.
c. Dengan Sumpah, menurut Imam Syafi‟I, qadzaf bisa dibuktikan
dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya
adalah orang yang dituduh menyuruh kepada orang yang
menuduh untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan
penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka
jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keengganannya untuk
bersumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh bisa
meminta kepada orang yang dituduh bahwa penuduh benar
melakukan tuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan
19
melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh
dibebaskan dari hukuman hadqadzaf
4. Hukuman Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam yaitu
sebagai berikut.
a. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh
kali Hukuman ini adalah hukuman had yang telah ditentukan
oleh syara‟, sehingga ulil amri tidak punya hak untuk
memberikan pengampunan.
b. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya dan
dianggap orang yang fasik Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan gugur atau tidaknya kesaksian pelaku jarimah
qadzaf setelah bertobat. Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak
dapat diterima kesaksiannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad,
Imam Syafi`i, Imam Malik, dapat diterima kembali
persaksiannya apabila telah tobat.
20
d. Adanya niat yang melawan hukum
3. Hukuman pencurian
Apabila tindak pidana pencurian dapat dibuktikan dan
melengkapi segala unsur dan syarat-syaratnya maka pencurian itu
akan dijatuhi dua hukuman, yaitu:
a. Pengganti kerugian (Dhaman)
b. Potong tangan
21
adalah diasingkan dari tempat kediamannya, kalau jaman
sekarang dinamakan penjara.
c. Jika perampok itu hanya membunuh tanpa mengambil harta,
maka sanksinya adalah hukuman mati.
d. Jika perampok itu mengambil hartanya kemudian membunuh
korbannya, maka sanksinya adalah dibunuh disalib.
22
Sanksi tersebut dikenakan kepada para pemakai yang telah
mencapai usia dewasa dan berakal sehat, bukan atas keterpaksaan,
dan mengetahui kalau benda yang dikonsumsinya itu
memabukkan. Dalam islam selain ditetapkan hukumnya minuman
keras (khamr) juga ditetapkan hukumannya terhadap seseorang
yang mengonsumsinya
F. Pemberontakan (Al-Baghyu)
1. Pengertian Al-Baghyu
Pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki
kekuatan dan pimimpin yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala
negara (imam), dengan menggunakan alasan (ta‟wil) yang benar.
2. Unsur unsur pemberontakan
Dari ulasan pengertian di atas maka dapat diketahui unsur-
unsur pemberontakan, kejahatan pemberontakan belum bisa
dikatakan tindak pidana sebelum dia melakukan unsur-unsur
pemberontakan, yakni :
a. Pembangkangan terhadap kepala Negara
b. Pembangkanan yang dilakukan dengan kekuatan
c. Adanya niat melawan hukum
3. Tanggung Jawab Pidana dan Perdata Al-Baghyu (Pemberontakan)
a. Pertanggungjawaban sebelum mugholabah dan sesudahnya
Orang yang melakukan pemberontakan dibebani
pertanggungjawaban atas semua tindak pidana yang
dilakukannya sebelum mugholabah (pertempuran), baik
perdata maupun pidana, sebagai pelaku jarimah biasa.
Demikian pula halnya jarimah yang terjadi setelah selesainya
mugholabah (pertempuran). Apabila sebelum terjadinya
pemberontakan itu ia membunuh orang, ia dikenakan hukuman
qishosh. Jika ia melakukan pencurian maka ia dihukum
sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila syarat-syarat
23
terpenuhi. Apabila ia merampas harta milik orang lain maka ia
diwajibkan mengganti kerugian. Jadi dalam hal ini ia tidak
dihukum sebagai pemberontak, meskipun tujuan akhirnya
pemberontakan.
b. Pertanggungjawaban atas perbuatan pada saat mugholabah
Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya
pemberontakan dan pertempuran ada dua macam, yaitu :
1. Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan
pemberontakan. Yang dimaksud disini adalah seperti
halnya merusak jembatan, mengebom gudang amunisi,
merusak gedung pemerintahan, membunuh para pejabat
atau menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan
hukuman jarimah biasa melainkan dengan hukuman
jarimah pemberontakan. Yaitu hukuman mati tidak ada
pengampunan. Dengan cara melakukan penumpasan yang
bertujuan untuk menghentikan pemberontakannya dan
melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah dan
meletakkan senjatanya, penumpasan harus dihentikan dan
mereka dijamin keselamatan jiwa dan hartanya. Tindakan
selanjutnya, pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni
mereka atau menghukum mereka dengan hukuman ta‟zir
atas tindakan pemberontakan mereka, bukan karena
jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat
terjadinya pemberontak setelah mereka dilumpuhkan dan
ditangkap adalah hukuman ta`zir.
2. Tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pemberontakan
Yang dimaksud disini adalah tindak pidana yang terjadi
saat berkecamuknya pertempuran tetapi berkaitan dengan
pemberontakan, seperti minum minuman keras, zina atau
pemerkosaan dan dianggap sebagai jarimah biasanya
sedangkan pelakunya dihukum sesuai dengan hukuman
24
hudud dengan jarimah yang tela mereka lakukan. Dengan
demikian jika ada seseorang yang berzina pada waktu
berkecamuknya peperangan (pemberontakan) maka ia
dikenakan hukuman jera (jilid) seratus kali ditambah
dengan pengasingan. Adapun pertanggungjawaban perdata
bagi para pemberontak tidak ada jika mereka merusak dan
menghancurkan aset-aset negara yang dianggap oleh
mereka perlu dihancurkan. Adapun kerusakan harta secara
individu yang menyangkut kekayaan individu maka
mereka tetap dibebani pertanggung jawaban perdata.
Dengan demikian, barang yang diambil harus
dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti.
Pendapat ini dikemukakan oleh imam hanafi dan pendapat
yang shohih di kalangan madzhab syafi‟i. Namun,
dikalangan madzhab syafi‟i ada yang berpendapat bahwa
pemberontak harus bertanggung jawab atas semua
perbuatan yang telah dilakukannya seperti halnya hancur
dan hilangnya benda atau yang lain baik yang berkaitan
dengan pemberontakan atau tidak, karena hal itu mereka
laukan dengan tujuan melawan hukum.
G. Murtad
1. Pengertian murtad
Murtad adalah terputus islam dengan niat atau perkataan,
atau perbuatan yang membawa kekufuran, seperti menyangkal
adanya pencipta Alam mendustakan Rasul-Rasul, menhalalkan
yang haram dan sebagainya.
2. Unsur unsur murtad
Unsur-unsur murtad adalah:
a. Keluar dari Islam
b. Ada itikad tidak baik.
25
Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh
para ulama ada tiga macam:
a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.
b. Murtad dengan ucapan.
c. Murtad dengan itikad.
3. Hukuman murtad
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman:
1. hukuman pokok
2. hukuman pengganti
3. hukuman tambahan.
Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati,
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang murtad
hukumannya dibunuh baik laki-laki maupun perempuan. Namun
demikian terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab
mengenai perempuan yang murtad. Menurut abu hanifah,
perempuan yang murtad tidak dibunuh melainkan dihukum
penjara dan dipaksa memeluk agama islam kembali. Jika ia mau
maka dilepaskan dari penjara, dan jika tidak mau maka
dipenjarakan seumur hidup. Argumentasinya karena rasulullah
SAW. Melarang pembunuhan terhadap perempuan kafir. Secara
analogi, jika perempuan tidak dubunuh karena kekafirannya
secara asli, maka kekafiran karena murtad tentu tidak boleh
dibunuh.
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu
harus diberi kesempatan untuk bertobat. Waktu yang disediakan
baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam
Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk
bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu
selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan
dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa
26
yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan agama
Islam. Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok
tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti itu berupa ta`zir.
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan
hilangnya terpidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya.
Menurut imam malik, syafi`i, dan pendapat yang paling kuat
dalam mazhab hanbali, semua harta orang murtad dirampas.
Menurut imam abu hanifah dan pendapat yang tidak kuat dalam
mazhab hanbali, hanya harta yang diperolehnya sesudah murtad
itu saja yang di rampas, sedang harta yang diperoleh sebelum
murtad diberikan kepada keluarga (ahli waris) yang beragama
islam. Namun demikian, pada intinya hukuman bagi orang yang
murtad itu diserahkan kepada Allah kelak.
2. Ta`zir
27
Unsur-unsur jarimah secara umum yang harus dipenuhi dalam
menetapkan suatu perbuatan dalam menetapkan suatu perbuatan
jarimah, yaitu:
28
melanggar syara` karena pelanggaran hukum had atau ta`zir baik
didahului dengan unsur- unsur pembunuhan sengaja dengan suatu
perencanaan ataupun tidak didahului suatu perencanaan. Selain itu,
pengertian jarimah pembunuhan dapat pula diartikan sebagai tindak
pidana pelanggaran terhadap syara` karena baik pelanggaran hukum
had atau ta`zir yang diberikan sanksi bagi pembunuhan sengaja yaitu
pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash.Seperti diketahui bahwa
pembunuhan itu diancam dengan hukuman mati dan apabila qishash
diyatnya dimaafkan, maka ulil amri berhak menjatuhkan ta`zir bila
hal itu dipandang maslahat. Adanya sanksi ta`zir kepada pembunuh
sengaja yang dimaafkan dari qishash dan diyat adalah aturan yang
baik dan membawa kemaslahatan. Karena pembunuhan itu tidak
hanya melanggar hak perorangan melainkan juga melanggar hak
masyarakat. Dengan demikian ta`zir dapat dijatuhkan terhadap
pembunuh dimana sanksi qishash tidak dapat dilaksanakan karena
tidak memenuhi syarat.
29
selain qishash itu merupakan sanksi yang diancamkan kepada
perbuatan yang berkaitan dengan hak perorangan maupun
masyarakat. Maka kejahatan yang berkaitan dengan jama`ah dijatuhi
sanksi ta`zir. Sudah tentu percobaan perlukaan merupakan jarimah
ta‟zir yang diancam dengan sanksi ta`zir.
30
pemalsuan uang atau surat-surat berharga, penghiatan atas amanat
(barang titipan) dan pencurian yang tidak mencapai nisab. Dalam
kasus-kasus tersebut diatas, tidak selamanya para ulama sepakat
mengkategorikan sebagai jarimah ta`zir akan tetapi, kecenderunagan
jumhur memasukkannya ke dalam jarimah ta`zir, selain itu saksi
dijatuhkan atas pencurian yang hilang anggota badannya yang
hendak dipotong. Begitu juga pencurian untuk yang kelima kalinya.
Kasus perampokan dan gangguan keamanan yang tidak memenuhui
persyaratan hirabah juga termasuk jarimah ta`zir ada pula jarimah
ta`zir yang berupa ganguan stabilitas ummat, seperti percobaan
memecah belah ummat, sebservasi, dan tidak taat kepada
pemerintah.
31
hukum yang berlaku. Selain itu jarimah ta`zir yang berkaitan dengan
kepentingan umum juga yang berkenaan langsung dengan masalah
ekonomi seperti penimbunan barang untuk kepentingan pribadi atau
mempermainkan harga bahan pokok karena hal itu bertentangan
dengan maqasid al-syari`ah.
1. Hukuman mati
32
Dalam jarimah ta`zir hukuman mati ini diterapkan oleh para
fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil al-
amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta`zir dalam
jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati
apabila jarimahitu dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian
yang berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang
dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta`zir untuk
jarimah-jarimah tertentu, seperti spionase dan melakukan
kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh
sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail. Sebagian
fuqaha Syafiiyah membolehkan hukuman mati sebagai ta`zir dalam
kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran
alQuran dan as-Sunnah.
Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk
jarimah ta`zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang
sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-
hukuman hudud selain hukuman mati.
b. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan
terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang
menyebar di bumi.
2. Hukuman Jilid
33
oleh karena hukuman had dalam jarimah hudud itu berbeda-beda
antara satu jarimah dengan jarimah yang lainnya. Zina hukuman
jilidnya seratus kali, qadzaf delapan puluh kali, sedangkan syurbul
khamar ada yang mengatakan empat puluh kali dan ada yang
delapan puluh kali.
3. Hukuman penjara
4. Hukuman pengasingan
34
Hukuman pengasingan merupakan salah satu jenis
hukuman ta`zir. Untuk jariman-jarimah selain zina, hukuman ini
diterapkan apabila perbuatan pelaku dapat menjalar atau merugikan
orang lain. Hukuman pengasingan ini tidak boleh diperpanjang
waktunya. Sebab tidak ada nash yang menerangkan batas
maksimal bagi sanksi pengasingan. Meski demikian, tatkala
menjatuhkan sanksi pengasingan bagi pezina (laki-laki dan
perempuan) yang statusnya ghairu muhshan, syara` telah
menetapkan satu tahun lamanya. Dan meskipun nafiy bukanlah had
yang wajib (dalam kasus zina), akan tetapi imam boleh
menyandarkan pengasingan kepada jilid, meskipun syara` tidak
menjadikannya lebih dari 1 tahun. Selain itu tidak ada nash yang
melarang penjatuhan sanksi pengasingan lebih dari waktu tersebut.
Namun dengan syarat batas waktu tersebut tidak dianggap mukim
(menetap) menurut kebiasaan. Pengasingan hanya terjadi di dalam
batas Daulah Islamiyah saja. Jadi, pengasingan tidak boleh
dilakukan di luar batas Daulah Islamiyah.
5. Hukuman pemboikotan
35
pun pernah menghukum Shabigh dengan menjilidnya,
mengusirnya, dan memerintahkan masyarakat untuk tidak
berbicara dengannya. Namun demikian, sanksi ini diberlakukan
jika sanksi tersebut bisa menjadi pencegah, yakni bagi mereka
yang memiliki perasaan.
6. Hukuman salib
Sanksi ini berlaku dalam satu kondisi, yaitu jika sanksi bagi
pelaku kejahatan adalah hukuman mati. Terhadapnya boleh
dijatuhi hukuman salib. Ia (terhukum) tidak dilarang untuk makan,
minum, wudu, dan salat dengan isyarat. Masa penyaliban ini tidak
boleh lebih dari tiga hari. Di antara sumber hukumnya adalah
sunnah fi`liyah, di mana Nabi pernah menjatuhkan hukuman salib
sebagai ta`zir yang dilakukan di suatu pegunungan Abu Nab.
7. Hukuman denda
36
Apabila seorang qodli telah menetapkan sanksi tertentu,
maka ia tidak boleh membatalkan ketetapannya. Dalam kondisi
semacam ini, yakni dalam kondisi pelaku dosa tidak mampu
membayar ghuramah (ganti rugi), yang lebih tepat adalah denda
harus diambil dari harta yang ada padanya, itupun jika ada. Namun
jika ternyata tidak ada, maka ditunggu sampai ia memiliki harta,
baru kemudian ghuramah (ganti rugi) tersebut diserahkan kepada
negara.
8. Hukuman lain
1. Peringatan keras.
3. Nasihat.
4. Celaan.
5. Pengucilan.
6. Pemecatan.
37
7. Pengumuman kesalahan secara terbuka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jinayah dan jarimah adalah dua istilah yang memiliki kesamaan dan
perbedaannya secara etimologis, kedua istilah bermakna tunggal, mempunyai
arti yang sama dan mengarah pada konotasi perbuatan yang negative, salah
atau dosa. Adapun perbedaanya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan,
serta dalam rangkaian penggunaan. Qishas, hudud, dan ta`zir adalah bagian
bagianya.
B. Saran
38
Di dalam penulisan makalah ini, masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami menyarankan kepada membaca untuk
mencari referensi tambahan dari sumber sumber lain yang terpercaya.
DAFTAR PUSTAKA
39
40