Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FIQH JINAYAH

ASAS-ASAS PIDANA ISLAM DAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA ISLAM

Disusun oleh :

Kelompok 3

Wardatul Jannah (0205222117)

Indah Aurani (0205222084)

Fiqri Alarif (0205222125)

Dosen pengampu:
Marhawati Dongoran, S.H., M.H.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat allah SWT atas segala rahmat dan hidayah Nya, sehingga
kelompok kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Asas-Asas Pidana Islam dan Unsur-
Unsur Tindak Pidana Islam” Tak lupa shalawat serta salam di haturkan kepada nabi Muhammad
SAW, semoga kita bisa mendapatkan syafaat beliau di yaumul akhir nanti. Makalah ini tersusun
untuk melengkapi tugas mata kuliah Fiqh Jinayat, kami ucapkan terima kasih pada dosen
pengampu Marhawati Dongoran, S.H., M.H. Kami menyadari Makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu kami harapkan kritik dan saran untuk kesempurnaannya. Semoga makalah
ini bisa bemanfaat bagi kita semua

Medan, 9 September 2022

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................3

A. Latar Belakang..........................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................3

C. Tujuan Pembahasan..................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4

1. Pengertian Hukum Pidana Islam...............................................................................................4

2. Asas-asas Pidana Islam.............................................................................................................5

3. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam.............................................................................................9

BAB III PENUTUP......................................................................................................................12

A. Kesimpulan.............................................................................................................................12

B. Saran........................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya,
baik itu pelanggaran secara fisik maupun nonfisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah
maupun kejahatan terhadap harta benda, dibahas dalam jinayah. Pembahasan terhadap masalah
yang sama dalam ilmu hukum, dinamai dengan hukum pidana.
Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan masalah jinayah ini hanya dikhususkan pada
perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran (objek) badan atau jiwa saja. Adapun perbuatan
dosa selain sasaran badan dan jiwa, seperti kejahatan terhadap harta, agama, negara, dan lain lain
tidak termasuk dalam jinayah, tetapi dibahas secara terpisah-pisah pada berbagai bab tersendiri.
Buku atau kitab yang membuat rincian perbuatan pelanggaran atau kejahatan dan
hukuman yang diancamkan kepada pelaku yang berbuat kesalahan atau perbuatan tersebut
dinamakan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Namun suatu perbuatan tidak akan dinamakan jarimah jika tidak terdapat tiga unsur yaitu
pertama unsur formal adalah adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa
perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang
dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang
dilakukan. Kedua unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, dan ketiga
unsur moral adalah perbuatan jarimah atau bisa disebut pembuat tindak pidana atau delik
haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya maka dari itu dalam makalah
ini akan kami bahas mengenai unsur-unsur hukum pidana islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hukum pidana islam?
2. Bagaimana penerapan asas-asas pidana islam?
3. Apa saja unsur-unsur dalam tindak pidana islam?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian dari hukum pidana islam.
2. Menjelaskan penerapan asas-asas pidana islam
3. Mengetahui unsur-unsur dalam tindak pidana islam

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Pidana Islam


Hukum pidana islam disebut juga dalam fiqih dengan istilah jinayah atau jarimah.
Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara bahasa jana berarti
berbuat dosa atau salah selain itu jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. 1 Hukum
pidana islam merupakan terjemahan dari kata fiqih jinayah. Fiqih jinayah ialah segala ketentuan
hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang
mukallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci di alqur’an dan
hadist. Tindakan kriminal dimaksud juga tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu
ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang telah
bersumber dari alqur’an dan hadist.
Hukum pidana islam merupakan syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.syari’at islam dimaksud secara material
mengandung kewajiban asasi bagi seluruh manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban
asasi syariat yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, bagi yang ada pada diri
sendiri maupun pada diri orang lain. Setiap orang hanya pelaksana, yang berkewajiban memenuhi
perintah Allah yang harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Dalam bahasa Indonesia pengertian jinayah sering disebut dengan istilah peristiwa
pidana, delik atau tindakan pidana. Istilah jinayah atau jarimah sering kali digunakan oleh para
fuqaha. Istilah jarimah mempunyai arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa
maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa, jarimah ialah kata jadian (masdar) dengan asal kata
jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah. Fiqih
jinayah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut:

‫زير الجرئم محظورات شرعية زجراهلل تعالى عنها بحد أوتع‬

Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah
dengan hukuman hat atau ta’zir.

1
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1967), 2.
4
Hukuman hat adalah suatu sanksi yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nas. Adapun
hukuman ta’zir adalah hukuman yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Hukum ta’zir dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana, di situasi dna
kondisi masyarakat, serta tuntutan kepentingan umum lainnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa
hukuman ta’zir diterapkan tidak secara definitif tetapi melihat situasi dan kondisi, bagaimana
perbuatan jarimah itu terjadi, kapan waktunya, siapa korbannya dna sanksi apa yang pantas
dikenakan demi menjamin ketenteraman dan kemaslahatan ummat.
Dalam istilah lain, jarimah juga disebut dengan jinayah, yang menurut Abdul Qodir
Audah pengertian jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh Syara’, baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya.
Jadi, pengertian jinayah ialah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang
diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ (hukum islam). Apabila
dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi yang sangat membahayakan agama, jiwa,
akal, kehormatan dan harta benda.

2. Asas-asas Pidana Islam


A. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa arab yakni asasun yang diartikan sebagai prindip atau
dasar, legalitas sendiri berasal dari bahasa latin yaitu lex (katabenda) yang berarti undang undang
atau dari kata jadian legalisis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Jadi
dapat di arttikan bahwa legalitas adalah “kebahasaan sesuatu menurut undang-undang”2
Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbach dan
penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (1) kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
kekuatan perundang-undangan.” Adapun istilah legalitas dalam syariat islam tidak ditentukan
secara jelas sebagimana yang diterapkan dalam kitab undang-undang hukum positif. Dengan
demikian, bukan berarti syari’at islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang
menyatakan hukum pidana islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak
meneliti secraa detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas
legalitas.3
2
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1969, halaman 63
3
Abd al Qodir Audah, Attasyri Al Jinnai Al Islami, (Beirut:Dar Al Fikr, T.T.), 1:118
5
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum
Nula Poena Sine Pravia Lege Peonali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih
dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas
aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan
kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi
yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang
perbuatan-perbuatan illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas tidak ada suatu perbuatan
yang boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu
hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana
hanya terhadap seorang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagi tindak
pidana.
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan
Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya
beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut Allah tidak akan menjatuhkan hukuman
pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan
dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat
manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang
sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur’an surat Al-Isra’: 15

‫از َرةٌ ِو ْز َر ُأ ْخ َر ٰى ۗ َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذبِينَ َحتَّ ٰى‬ َ ‫َم ِن ا ْهتَد َٰى فَِإنَّ َما يَ ْهتَ ِدي لِنَ ْف ِس ِه ۖ َو َم ْن‬
ِ َ‫ض َّل فَِإنَّ َما ي‬
ِ ‫ضلُّ َعلَ ْيهَا ۚ َواَل ت َِز ُر َو‬
‫ث َر ُسواًل‬ َ ‫نَ ْب َع‬

Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya
Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat
Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
meng’azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.

Al-Qur’an surat Al-Qashash: 59

6
َ‫ى ِإاَّل َوَأ ْهلُهَا ٰظَلِ ُمون‬ ۟ ُ‫ث فِ ٓى ُأ ِّمهَا َر ُسواًل يَ ْتل‬
ٓ ٰ ‫وا َعلَ ْي ِه ْم َءا ٰيَتِنَا ۚ َو َما ُكنَّا ُم ْهلِ ِكى ْٱلقُ َر‬ َ ‫ك ُم ْهلِكَ ْٱلقُ َر ٰى َحتَّ ٰى يَ ْب َع‬
َ ُّ‫َو َما َكانَ َرب‬

Artinya: Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di
ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan
tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam
Keadaan melakukan kezaliman.

Kaidah Fiqh yang berisi:


“Tidak ada hukuman bagi tindakan manusia sebelum adanya aturannya”.
Asas legalitas ini secara tegas diterapkan pada kejahatan hudud. Di mana mereka yang
melanggar akan dikenai hukuman dengan sanksi hukum yang pasti. Selain itu, juga diterapkan
pada kejahatan berupa qishash dan diyat dengan menggunakan prosedur secara khusus dan
sanksinya juga disesuaikan.
Berdasarkan Asas legalitas dan kaidah “tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf
sebelum adanya ketentuan nas4, maka perbuatan mukalaf tidak bisa dikenai tuntutan atau
pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari’at Islam belum berlaku
sebelum diundangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian
hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan.
B. Asas Makruf Nahi Munkar
Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai fungsi social
engineering, sedang nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan penegakan hukum.
Berdasar prinsip inilah di dalam hukum Islam dikenal adanya istilah perintah dan larangan. Islam
memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya baik kebebasan individu maupun kolektif,
kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan
beragama, kebebasan berpolitik, dan lain sebagainya5
Di mana setiap individu memiliki hak untuk menentukan sikapnya, namun kebebasan
seseorang tetap dibatasi dengan kebebasan dan kemerdekaan orang lain.
C. Asas Teritorial
Dalam hukum pidana Islam juga terdapat asas territorial. Menurut konsepsi hukum
Islam Asas teritorial yaitu hukum pidana Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam
diberlakukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak
4
I b I d., halaman 316.
5
Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2009, halaman 50
7
pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan
pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-muslim 6.
Aturan-aturan pidana Islam hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim 7.
Bagi orang Islam yang berbalik agama (murtad) dan meninggalkan negeri Islam, kemudian
memperbuat jarimah di negeri bukan Islam, dan sesudah itu ia masuk lagi ke negeri Islam, maka
ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimahnya, meskipun ia menyatakan memeluk lagi agama Islam,
sebab dengan murtadnya itu ia telah menjadi orang harbi, yang berarti pada waktu itu
mengerjakan jarimahnya ia tidak terikat dengan hukum Islam.
D. Asas Material
asas material berarti segala sesuatu yang dilarang oleh hukum, baik itu tindakan yang
dilarang atau tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam dengan hukum
berupa had atau ta’zir. Dalam asas teritorial ini diberlakukan dua sanksi berupa hudud yang
berarti sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik
al-Qur’an maupun hadits, sedangkan ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak
ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang
berbunyi: “Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat”
Selain itu asas material mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan
taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan
maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat.
Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk
lain, seperti langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang
menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa.
E. Asas Moralitas
Asas moralitas dalam hukum pidana Islam ini juga terbagi menjadi empat bagian.
Diantaranya:
1. Asas adamul uzri: seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa ia tidak
mengetahui hukum.

6
Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al- Wad‘iy, Juz. I, Muasasah ar-
Risalah, Beirut, 1994, halaman 280
7
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Ed.2, Cet.3., PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2000. halaman 10
8
2. Asas rufiul qalam: sanksi dari suatu tindak pidana bisa dihilangkan dengan alasan-
alasan tertentu. Alasan tersebut seperti masih di bawah umur bagi si pelaku, orang
yang sedang tidur, dan orang gila.
3. Asas al-khath wa nis-yan: asas ini berarti kesalahan atau kelupaan. Di mana
seseorang tidak akan mendapatkan tuntutan pertanggungjawaban dari tindak
pidananya jika dalam melakukannya karena ada unsur kesalahan atau lupa. Asas ini
didasarkan atas surat al-Baqarah: 286

ْ‫ت ۗ َربَّنَا اَل تَُؤ ا ِخ ْذنَٓا ِإن نَّ ِسينَٓا َأوْ َأ ْخطَْأنَا ۚ َربَّنَا َواَل تَحْ ِمل‬ ْ َ‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ نَ ْفسًا ِإاَّل ُو ْس َعهَا ۚ لَهَا َما َك َسب‬
ْ َ‫ت َو َعلَ ْيهَا َما ٱ ْكتَ َسب‬
َ‫َعلَ ْينَٓا ِإصْ رًا َك َما َح َم ْلتَهۥُ َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِنَا ۚ َربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِ ِهۦ ۖ َوٱعْفُ َعنَّا َوٱ ْغفِرْ َلنَا َوٱرْ َح ْمنَٓا ۚ َأنت‬
َ‫َموْ لَ ٰىنَا فَٱنصُرْ نَا َعلَى ْٱلقَوْ ِم ْٱل ٰ َكفِ ِرين‬
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

4. Asas suquth al-‘uqubah: asas ini berarti gugurnya hukuman. Di mana sanksi dari
hukuman tindak pidana bisa gugur dikarenakan dua hal. Yakni si pelaku melakukan
tindakan tersebut karena menjalankan tugas dan karena ada unsur keterpaksaan.

3. Unsur-unsur Tindak Pidana Islam


Seperti yang telah kita singgung sebelumnya, pengertian jarimah terpulang pada perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan pelakunya dapat di ancam dengan hukuman. Adakalanya
larangan untuk berbuat dan adakalanya larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang jelas-
jelas dilarang oleh syara’, seperti berzina, mencuri dan sebagainya.
Perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan pidana, bila dipenuhi unsur- unsurnya, yaitu:
9
1. Unsur Formal (al-Rukn al-Syar’i)
Ada nas yang melarang disertai sanksi hukumnya. Unsur ini disebut unsur formal (rukun
syar’i). yang dimaksud dengan unsur formal adalah yaitu dengan adanya nash, yang melarang
perbuatan perbuatan tersebut yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas8.
Dalam KUHP pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan
hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang
mengundangkannya. Adanya ketentuan syara’ atau dnash (ayat) yang mengancam hukuman
terhadap perbuatan yang dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum
perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknnya. Kaidah yang yang mendukung unsur ini adalah
“tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan
kecuali adanya ketentuan nash”. Kaidah lain menyebutkan “tiada hukuman bagi perbuatan
mukalaf sebelum adanya ketentuan nash”. Dalam hal ini berlakulah kaidah “Tidak ada hukuman
bagi orang orang yang berakal sebelum turunnya ayat.”9.
Maka perbuatan tersebut tidak bisa di kenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana
sebelum diundangkan dan dikenai oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi peringatan, bahwa
hukum pidana islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkan. Dengan kata lain,
bahwa hukum pidana islam tidak mengenal system berlaku surut10
2. Unsur Material (al-Rukn al-Madi)
Adanya perbuatan pidana. Unsur ini disebut unsur materiel karena adanya unsur
perbuatan yang membentuk jarimah baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau
meninggalkan perbuatan yang diharuskan11. Jika kita kembalikan kepada kasus diatas bahwa
pencurian adalah tindakan pelaku memindahkan atau mengambil barang milik orang lain,
tindakan pelaku itu termasuk unsur material yaitu perilaku yang membentuk jarimah. Dalam
hukum positif, perilaku tersebut sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan
hukum.12.
3. Unsur Moral (al-Rukn al-Adabi)
Unsur moral berarti adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Unsur ini menyangkut
tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiar

8
A. Djazuli, fiqih jinayah (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 3.
9
A. Djazuli, Hukum Pidana Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 52
10
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam (Jogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 23.
11
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2015), 3.
12
A. Djazuli, Hukum Pidan , …., 53
10
(berkebebasan berbuat)13. Unsur mural ini juga bisa disebut dengan al-mas’uliyyah al jiniyyah
( pertanggung jawaban pidana). Maksudnya ialah pembuat jarimah atau pembuat tidan pidana
atau delik haruslah orang yang dapat membertangguang jawabkan perbuatannya.
Unsur-umsur umum diatas tidak selamanya terlihat jelas dan terang, namun
dikemukakan guna mempermudah dalam mengksji persoalan-persoalan hukum pidana hukum
pidana islam dari sisi kapan peristiwa pidana terjadi14.
Disamping unsur umum tadi, ada unsur khusus. Yang dimaksud unsur khusus adalah
unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara khusus
pada jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah yang lain15

13
Dedi Ismatullah, Hukum Pidana Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2013), 84
14
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 36
15
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam (Jogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 11
11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya ,dapat diambil kesimpulan
bahwasanya,dalam hukum pidana islam apabila muncul ketentuan hukuman bagi pelaku
kejahatan,pelaku harus diberikan hukuman yang maslahat ,walaupun kejahatannya
tersebut ia lakukan Ketika sangsi lama berlaku. Namun apabila pelaku di jatuhkan
hukuman sangsi berdasarkan aturan yang lama,ia tidak boleh di berikan sangsi berdasaran
aturan yang baru ,dikarenakan sangsi dimaksud untuk menjaga agar kejahatan tidak
terulang dan kemaslahatan masyarakat terjamin .

B. Saran
Setelah mendalami apa yang penulis teliti dan uraikan, maka penulis dapat
mengemukakan beberapa saran yakni sebagai berikut:
Kepada aparat penegak hukum dalam menangani dan menjatuhkan sanksi kepada
pelaku kekerasan dalam rumah tangga harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang
ada dan sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

12
DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai