Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

FIQIH TENTANG JINAYAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah


fiqih

Dosen Pengampu: Ahmad Parawis Siregar, S.Pd.I., M.Ag

Disusun oleh:

Kelompok 14

Aulia Anggraini 0705182050

Amriansyah Simatupang 0705182076

FISIKA-3/SEMESTER 3

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah Swt atas bekat rahmat dan hidayah-Nya
yang telah memberikan saya kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa
pertolongan-Nya, mungkin saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikannya. Sholawat
beriring salam semoga terlimpah curahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW.
Makalah yang berjudul “JINAYAH” ini saya susun untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Ushul Fiqih. Dalam makalah ini saya membahas tentang: Konsep Jinayah dan Jarimah
dalam Hukum Islam, Hubungan Jarimah dengan Larangan Syara’, Sumber Hukum Pidana
Islam, Ruang Lingkup Hukuman dan Jarimah dalam Hukum Pidana Islam serta Ketentuan
Jinayah.
Saya mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua bantuan yang
telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan makalah ini
hingga selesai. Secara khusus rasa terimakasih tersebut kami sampaikan kepada: Bapak
Ahmad Parawis Siregar, S.Pd.I., M.Ag, selaku dosen pengampu yang telah memberikan
bimbingan dan dorongan dalam penyusunan makalah ini
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya menerima dengan tangan
terbuka segala kritik dan saran dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Terakhir penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan hal yang
bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca khususnya bagi penulis serta dapat
memahami penjelasan mengenai Jinayah.

Medan, Oktober 2019

Pemakalah
DAFTAR ISI

COVER HALAMAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

PENDAHULUAN.......................................................................................................iii

1.1 Latar Belakang...................................................................................................iii

PEMBAHASAN..............................................................................................................1

2.1 Pengertian Jinayah.................................................................................................1

2.2 Kedudukan Jinayah................................................................................................2

2.3 Tujuan Fiqih Jinayah..............................................................................................2

2.4 Pembagian Jinayah.................................................................................................3

2.5 Hukum Membunuh Orang Tanpa Hak..................................................................4

2.6 Macam-Macam Pembunuhan................................................................................4

2.7 Diyat.......................................................................................................................8

2.8 Qisas.....................................................................................................................10

2.9 Hudud...................................................................................................................12

PENUTUP.................................................................................................................20

3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Pidana Islam atau Fiqih Jinayah merupakan salah satu mata kuliah yang
disajikan di perguruan tinggi Islam di Indonesia, terutama di beberapa fakultasnya. Hukum
yang bersumber dari ajaran islam pun semakin banyak dikaji para ahli hukum, dan
ditransformasikan ke dalam hukum nasional, baik nilai-nilai maupun isi yang terkandung di
dalamnya. Hal tersebut dikarenakan berbagai peraturan perundang-undnagan di Indonesia
dipandang bisa menerapkan sebagaimana penghukuman dalam hukum pidana islam.

Dengan berbagai pertimbangan inilah, pengkajian terhadap hukum pidana islam


semakin menarik dan dibutuhkan oleh semua pihak. Baik mahasiswa, para penegak hukum,
jaksa, hakim, pengacara maupun masyarakat umum. Hukum pidana yang diberlakukan secara
nasional akan memberikan rasa adil bagi masyarakat. Menimbulkan efek jera bagi pelaku
tindak pidana serta kehidupan menjadi damai.

Hukum pidana islam berasal dari peraturan Allah swt, yang terdapat di dalam Alquran
dan Sunnah. Hukum pidana islam yang mengatur tata cara dan menjaga hak Allah, hak
masyarakat dan hak individu dari tindakan-tindakan yang tidak diperkenankan menurut
hukum. Dalam pembahasan jinayah membahas tentang qisas, pembayaran diyat bagi pelaku
dosa dan bagaimana hudud (had) bagi pelaku tersebut.

Tujuan pemidanan adalah menimbulkan efek jera bagi pelaku jarimah, sehingga tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Kedudukan hukum pidana islam sangat mendukung eksistensi
islam di tengah kemajemukan masyarakat dalam pergaulan dunia internasional. Terlebih lagi
jika hukum pidana islam mampu diterapkan dalam kehidupan masyarat, khususnya di Negara
yang penduduknya mayoritas muslim.

Maka dari itu, Makalah tentang jinayah ini disusun agar pembaca sekalian memahami
apa itu Jinayah, qisas dan pelaksanaannya, hudud pada beberapa perbuatan dosa dan
bagaimna melakukan pembelaan diri agar terbebas dari hukuman dalam aturan yang telah
ditetapkan oleh Islam. Dan ketika kita telah memahami pembahasannya, maka diharapkan
dapat mengurangi dan mengendalikan diri dari perbuatan dosa tadi. Oleh sebab itu,
pembuatan makalah ini sangat dibutuhkan, semoga mempermudah pembaca sekalian untuk
memahami pembahsan yang tertera di dalamnya.

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jinayah


Kata al-jinayah (‫ )الجناية‬bentuk jamaknya jinayat (‫)جنايات‬. Secara bahasa, jinayat
adalah pelanggaran terhadap badan, harta atau kehormatan. Jinayat secara syar’i adalah
pelaanggaran terhadap badan yang mengharuskan qishash, denda harta atau kafarat. Jinayah
mengadung arti perbuatan dosa, maksiat atau kejahatan, sedangkan menurut istilah fuqaha
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik mengenai jiwa, harta dan sebagainya.
Jarimah itu sendiri adalah larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman hadd dan
ta’zir. Tindak pidana pencurian, murtad dan sejenisnya masuk kedalam istilah jinayah.1
Konsep jinayah berasal dari jana, yaitu yang berarti kejahatan, pidana atau kriminal.
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian
atau kerusakan agama, jiwa, akal dan harta benda. Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur perbuatan-perbuatan pidana. Dasar-dasar dan peraturan tersebut bertujuan sebagai
berikut:
a. Menentukan jenis-jenis perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang disertai
ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi para pelanggar larangan tersebut.
b. Menentukan waktu dan bentuk yang telah dilanggar yang dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara pemindahan yang dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hukum pidana islam berasal dari konsep hukum islam yang berhubungan dengan tindak
kriminal. Istilah-istilah lain:
a. ‘Uqubah, yang berarti hukuman atau siksa, sedangkan menurut terminologi
huukum islam, ‘uqubah adalah hukum pidana islam yang meliputi, hal-hal yang
merugikan atau kriminal.
b. Jarimah, berasal dari kata jarama, yajrimu, jarimatan yang berarti “berbuat” dan
“memotong”. Kemudian secara khusus diperguanakan “perbuatan dosa” atau
“perbuatan yang dibenci”.2

1
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. Fiqih dan Usul Fiqih. Hal. 177.

2
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiayah). Hal. 14.
2.2 Kedudukan Jinayah
Hukum pidana islam merupakan salah satu peraturan Allah yang terdapat dalam Alquran dan
Hadis. Kedudukan inti hukum pidana islam adalah sebagai berikut:
a. Penciptaa keadilan ilahiah dan insaniah.
b. Penciptaan kemanusiaan universal.
c. Penghapusan dosa-dosa duniawi.
d. Pelaksanaan keamanan.
e. Perwujudan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW.
f. Pelaksanaan lembaga keadilan yang bermartabat dan berkeadilan.
g. Perwujudan tanggung jawab manusia dalam segala bentuk perbuatan.
h. Perwujudan tujuan hukum, yakni menjerakan pelaku kejahatan.3
2.3 Tujuan Fiqih Jinayah
Jinayah merupakan bagian dari hukum islam, dan tujuan yang di dalamnya tidak
terlepas dari hukum islam. Para ahli hukum mengatakan bahwa jinayah bertujuan untuk
mencipatakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik dunia maupun akhirat. Hukuman-
hukuman yang berlaku untuk tindakan dosa, diterapkan demi mencapai kemaslahatan indivdu
dan masyarakat. Dengan demikian hukuman yang baik adalah:

a. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat karena hukuman itu untuk
mencegah sebelum teradinya perbuatan dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan.
b. Batas tertinggi dan terendah hukuman bergantung pada kemaslahatan masyarakat.
Apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman, hukuman diperberat.
Demikian pula sebaliknya, jika kemaslahatan menghendaki hukuman ringan. Maka,
hukuman di peringan.
c. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti
dendam, tetapi bertujuan untuk kemaslahatannya.
d. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjaga seseorang agar tidak berbuat
kemaksiatan.4

Dalam konsep islam, seorang muslim akan terjaga dari perbuatan jahat apabila:

a. Memiliki iman yang kuat.


b. Berakhlak mulia, seperti jujur terhadap dirinya dan orang lain, atau merasa malu
apabila melakukan maksiat, selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat.

3
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiayah). Hal. 23.
4
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiayah). Hal. 29.
c. Sanksi duniawi diharapkan mampu menjaga seseorang dari terjatuhnya ke dalam
tindak pidana.5

2.4 Pembagian Jinayah


A. Jinayat terhadap nyawa
Jinayat (tindak kriminal) terhadap nyawa adalah semua perbuatan yang menyebabkan
nyawa melayang, yaitu membunuh. Kaum muslimin sepakat diharamkannya membunuh
tanpa alasan yang benar, berdasarkan firman Allah SWT:
        
Artinya : “ Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
kecuali dengan satu (alasan) yang benar. (QS. Al- Isra’: 33)

Dan berdasarkan Hadis Ibnu Mas’ud, Rasulullah bersabda :

،‫ الثَّيِّب ال َّزانى‬:‫ هللا إال بإحدى ثالث‬b‫امرئ مسلمين يشهدان الاله االهللا وانِّي رسول‬
ٍ ‫اليحل دم‬

‫ لدينه المفارق للجماعة‬b‫ والتاَّرك‬،‫والنفس باِلنفس‬

“ Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak a
disembah kecuali Allah), dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan sebab satu dari
tiga perkara, yaitu: pezina muhshan, jiwa dengan jiwa, dan orang yang meninggalkan
agamanya”. (HR. Al- Bukhari, No. 3335 dan Muslim, No. 1677)
B. Jinayat terhadap selain nyawa
Semua pelanggaran terhadap seseorang yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa
seperti luka, terputusnya anggota tubuh. Tindakan menyakiti seperti ini, menetapkan adanya
qisas, karena ia ditetapkan di dalam Alquran dan Sunah serta ijma’. Adapun Alquran, yaitu
firman Allah:6
       
        
            
   
“ Dan Kami telah tetapkan bagi mereka di dalamnya, bahwasannya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata di balas dengan mata hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi dan luka-luka dengan qisasnya.” (QS. A l-Maidah: 45)
Sedangkan, As-Sunnah, sabda Nabi tentang kisah patahnya gigi seorang wanita yang
dilakukan oleh Rubbayi:
5
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jiayah). Hal. 29.
6
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh. Fikih Muyassar. Hal. 565.
.‫كتاب هللا القصاص‬
“ Keputusan Allah adalah qisas”
Dan para ulama telah berijma’ atas diwajibkannya qisas dalam tindak kriminal terhadap
selain nyawa bila memungkinkan. Jinayat terbagi menjadi tiga:
a. Jinayat dengan melukai.
b. Jianyat dengan memotong anggota tubuh.
c. Jinayat dengan melenyapkan fungsi anggota tubuh.7
2.5 Hukum Membunuh Orang Tanpa Hak
Bila seseorang membunuh orang lain dengan sengaja tanpa alasan yang benar, maka
ia adalah fasik hukumnya, karena dia melakukan salah satu dosa besar. Allah berfirman:
           
   “ Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Ma’idah: 32)
Dan Nabi bersabda :
ً ‫لن يزال المؤمن فى فسحة من دينه مالم يصب دماًحراما‬
“ Seorang mukmin senantiasa dalam kelapangan agamanya selama tidak menumpahkan darah
yang haram”. (HR. Al-Bukhari No. 6862)8
2.6 Macam-Macam Pembunuhan
1. Pembunuhan dengan sengaja
Hakikatnya ialah pelaku bersengaja membunuh manusia yang darahnya dilindungi
oleh syariat, dia membunuhnya dengan alat yang biasa digunakan untuk membunuh.
Berdasarkan hal ini, maka pembunuh dianggap sengaja manakalah terpenuhi tiga kriteria:
a. Adanya niat dari pelaku, yaitu keinginan untuk membunuh.
b. Pembunuh mengetahui bahwa korbannya adalah manusia yang terjaga
darahnya.
c. Alat yang digunakan adalah alat yang bisa membunuh dalam kebiasaan, apakah
tajam ataupun tidak.
Bila satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka bukan termasuk pembunuhan yang
disengaja.
A. Bentuk-bentuk pembunuhan yang disengaja

7
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 545
8
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 546.
a. Menebas korban dengan alat tajam, yaitu alat yang dapat memotong dan
menusuk ke dalam tubuh. Seperti, pedang, Pisau, tombak dan yang sepertinya.
b. Membunuh dengan alat yang berat, seperti batu besar, godam dan yang
sejenisnya.
c. Menahan nafasnya, misalnya dengan mencekiknya menggunakan tali atau
menyumpal mulut dan hidungnya hingga mati.
d. Memberinya minuman beracun yang tidak diketahuinya atau memberikan
makanan yang membunuh sehingga dia mati disebabkan oleh minuman atau
makanan tersebut.
e. Memasukkannya ke dalam air sehingga tenggelam atau api sehingga terbakar
sementara dia tidak bisa lolos.
f. Memenjarakannya tanpa memberinya makan dan minum dalam waktu yang
lama, sehingga membuatnya mati karena kelaparan dan kehausan.
g. Melemparkannya ke hewan buas, seperti singa atau ular dengan bisa yang
ganas, hingga dia mati karena itu.
h. Menjadi sebab kematiannya dengan yang umumnya membunuh, misalnya
bersaksi dan terdakwa dengan sesuatu yang membuatnya dibunuh karena zina
atau murtad. Membunuh hingga terdakwa dihukum bunuh, kemudian para
saksi membatalkan kesaksian mereka, dan mereka berkata “kami sengaja
berbohong agar dia dibunuh.” Maka mereka semuanya dibunuh.9
B. Hukum pembunuhan yang disengaja
a. Hukum akhirat, yaitu haramnya membunuh dan pelakunya melakukan dosa besar
diancam dengan azab yang pedih manakala tidak bertaubat.
         
 
    
“ Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah meraka jahannam. Ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa : 93)
b. Hukum dunia, pembunuhan yang disengaja ini mengakibatkan hukuman qisas bila
wali-wali korban tidak memaafkannya.
         
 
         
 
9
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 551.
          
  
    
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan
cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya
siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah: 178)
Dan berdasarkan Hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
b.‫ إماأن يعفووإماأنيقتل‬:‫من قتل له قتيل فهوبخير النظرين‬
“ Barangsiapa yang salah satu anggota keluarganya dibunuh, maka dia berhak
memilih satu yang terbaik dari dua perkara: memaafkan atau membunuh.”
Dalam sebuah riwayat,
.‫إماأن يقادوإماان يفدى‬
“ Bisa (pembunuh) tersebut diqisas (untuk keluarga korban) dan bisa dia diberi diyat.”
(HR. Bukhari, no. 4295 dan Muslim, no. 1354)10
2. Pembunuhan menyerupai sengaja
Hakikatnya adalah seseorang bersengaja melakukan pelanggaran terhadap seseorang
dengan sesuatu yang biasanya tidak membunuh, tetapi mati. Ia disebut juga sebagai
pembunuh ‘kesalahan sengaja’. ‘Sengaja’ dari niat melakukan pemukulan, dan menyerupai
‘kesalahan’ dari sisi dia memukul dengan alat yang umumnya tidak digunakan untuk
membunuh, karena ini hukumnya berada diantara sengaja dan salah. Tidak berbeda
maksudnya adalah melakukan pelanggaran atau memberi pelajaran.

A. Bentuk-bentuk Pembunuhan Menyerupai Sengaja


Diantara bentuk dan contoh pembunuhan menyerupai sengaja:
a. Memukul sesorang dengan bagian tubuh yang tidak vital (seperti tangan)
dengan cambuk atau kerikil dengan tidak sengaja lalu ia mati.
b. Mengikat seseorang dan memasukkannya disamping air yang bisa bertambah
atau tidak. Namun, ternyata airnya bertambah dia mati karenanya. Demikian

10
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 556.
juga, bila dia memasukkannya ke dalam kolam air yang dangkal dan biasanya
tidak menenggelamkan, namun (ternyata) dia meninggal.
B. Hukum membunuh menyerupai sengaja
a. Hukum akhirat, yaitu haram, pelakunya diancam dosa dan azab, karena
perbuatannya menyebabkan terbunuhnya seseorang yang darahnya dilindungi,
hanya saja hukumannya lebih rendah dari pembunuhan yang di sengaja.
b. Hukum dunia, pembunuhan ini menyebabkan kewajiban diyat yang berat,
namun tidak menetapkan qisas seperti pembunuhan yang disengaja, sekalipun
keluarga korban menuntutnya. Wajib dikeluarkan kafarat dari si pelaku, yaitu:
memerdekakan hamba sahaya atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Sementara diyat ditetapkan untuk keluarga korban yang dipukul dari
pembunuh dan dibayarkan secara menyicil selama tiga tahun. Berdasarkan
Hadis Rasulullah SAW:
.‫عقل شبه العمد مغلظ مثل عقل العمد وال يقتل صاحبه‬
“ Diyat ‘pembunuhan’ menyerupai sengaja’ itu diperberat, seperti diyat pembunuhan
yang disengaja, dan pelakunya tidak di qisas” (HR. Muslim, no. 1682)
3. Pembunuhan tersalah
Hakikatnya adalah seseorang membunuh orang lain tanpa bermaksud segaja
membunuhnya.11
A. Bentuk-bentuknya
a. Kesalahan dalam perbuatan, yaitu seseorang melakukan apa yang boleh dilakukan
namun perbuatanya mengenai manusia yang darahnya dilindungi. Misalnya, ia
menembak hewan buruan tetapi mengenai seseorang sehingga membunuhnya.
b. Kesalahan dalam niat, misalnya dia memanah sesuatu yang diduganya boleh
dibunuh (misalnya monyet buas) ternyata dia seorang manusia, atau misalnya dia
memanah hewan buruan dan ternyata manusia dan mati.
c. Pembunuh tersebut melakukan dengan sengaja, tetapi dia anak-anak atau orang
gila. Kesengajaan anak-anak atau orang gila dijatuhi hukuman salah.
B. Hukum pembunuhan tersalah
a. Hukum akhirat, yaitu tidak berdosa dan tidak dihukum, berdasarkan Hadis Ibnu
Abbas bahwa Nabi bersabda:
.‫ان هللا تجاوزعنأمتي الخطأ والنسيان وما استكرهواعليه‬

11
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 558.
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari ummatku kekeliruan, kalupaan dan apa yang
mereka dipaksa melakukannya.” (HR. Ibnu Majah, no. 2043)
b. Hukum dunia, yaitu kewajiban diyat atas pelaku, dibayarkan menyicil selama tiga
tahun dan diringankan dengan bentuk lima jenis unta.12
Pembunuh tersalah, selain harus membayar diyat dia juga harus membayar kafarat sebagai
berikut:
a. Memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
b. Berpuasan dua bulan berturut-turut, berdasarkan firman Allah:
           
  
“Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebagai (syarat) di terimanya taubat oleh Allah” (QS. An-
Nisa: 92)
Bila tidak mampu berpuasa karena sakit atau lansia, maka kafaratnya tetap dipikul olehnya
dan tidak bisa digantikan dengan memberi makan.
2.7 Diyat
A. Definisi Diyat
Secara bahasa, kata ad-Diyah (‫ )الديه‬berasal dari ‫))وديت القتل أديه دية‬, “aku membayar
diyat korban pembunuhan”, yaitu bila aku memberikan diyatnya. Secara syariat, diyat adalah
harta yang dibayarkan kepada korban kejahatan atau walinya disebabkan kejahatan.13
1. Hikmah pensyariatan diyat
Diyat disyariatkan dalam rangka menjaga nyawa, melindungi darah orang yang
tidak berdosa, dan memperingatkan siapa saja yang meremehlan urusan jiwa manusia.
Barangsiapa melenyapkan manusia atau sebagainya, maka tidak terlepas dari salah satu
dua kemungkinan:

a. Bila jinayah yang menyebabkan nyawa orang lain melayang terjadi karena
keslahan murni, maka diyat dipikul oleh pembunuh dari seluruh hartanya
manakala keluarga korban memaafkan sehingga qisas gugur, karena ganti rugi
kerusakan wajib ditanggung oleh pelaku.
b. Bila jinayah menyerupai sengaja, maka diyat ditanggung oleh aqilah pembunuh.
c. Bila jianyah tersalah, diyat ditanggung oleh pembunuh karena jinayah tersalah
berjumlah banyak dan pelakunya dikatakan udzur, maka dibutuhkan tolong-

12
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 559
13
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 565.
menolong untuk menenangkannya, berbeda dengan sengaja, karena pelaku
pembunuhan sengaja mmebayar diyat untuk menebus dirinya dari hukuman mati,
bila dimaafkan dari hukuman ini, maka dialah yang memikul diyatnya sendiri.
2. Macam- macam diyat dan kadarnya
a. Macam-macam diyat
Dasar pada diyat adalah unta, berdasarkan sabda Nabi:
.‫ والعصامأت من اإلبل‬b‫ وإن قتيل الخطإ شبه العمد ماكان بالسوط‬,‫أل‬
“ ketahuilah, sesungguhnya diyat korban pembunuhan ynag salah menyerupai
sengaja yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah 100 unta.” (HR. An-
Nasai, no. 4791)
b. Kadar diyat
1. Diyat laki-laki muslim merdeka 100 unta, diperberat untuk
pembunuhan yang disengaja dan menyerupai sengaja, bentuk
pemberatannya adalah dari 100 ekor unta tersebut ada 40 yang hamil.
2. Diyat laki-laki ahli kitab merdeka, diyatnya adalah setengah diyat
muslim.
3. Diyat wanita muslim merdeka adalah setengah diyat laki-laki merdeka
yang muslim.
4. Diyat wanita majusi, ahli kitab dan penyembah berhala adalah
setengah diyat dari laki-laki yang merdeka, sebagaimana diyat wanita
muslimah setengah dari diyat laki-laki muslim.
5. Diyat janin bila lahir keguguran karena tindak pidana terhadap ibunya,
sengaja atau tersalah, diyat janin tersebut ditaksir dengan sepersepuluh
diyat ibunya, yaitu 5 ekor unta, dan ibunya mewarisi hamba sahaya
darinya da seolah-olah ia gugur dalam keadaan hidup.14
3. Jenis pembunuhan dan diyat:
a. Pembunuhan dengan sengaja, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja dengan niat benar-benar ingin membunuh korban dengan
menggunakan alat yang memungkinkan terjadinya pembunuhan. Hukuman
yang dikenakan pada pelaku pidana ini adalah qisas, artinya pelakunya
dikenakan hukuman mati. Jika pihak keluarga terbunuh memaafkannya, maka
pembunuh harus membayar diyat (denda).

14
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassr. Hal. 570.
b. Pembunuhan menyerupai dengan sengaja, yaitu pembunuhan yang dilakukan
dengan cara sengaja terhadap korban, tetapi tidak disertai dengan niat
membunuh. Hukuman yang dikenakan pada tindak pidana ini adalah diyat
yang berat, berupa 100 ekor unta dengan perincian: 30 ekor unta betina umur
3-4 tahun, 30 ekor unta betina umur 4-5 tahun, 40 ekor unta betina yang
sedang hamil. Diyat ini wajib dibayar oleh pelaku pidana dengan tunai. Jika
unta-unta tersebut tidak didapatkan, maka dapat diganti dengan nilai uang
seharga unta-unta yang telah disebutkan.
c. Pembunuhan kesalahan semata, yaitu pembunuhan yang semata-mata teerjadi
karena kesalahan pelakunya, seperti orang yang terjatuh menimpa orang lain
menyebabkan kematiannya. Hukuman yang diberikan terhadap pelaku pidana
ini adalah diyat ringan berupa 100 ekor unta dengan perincian: 20 ekor unta
betina umur 1 sampai 2 tahun, 2 sampai 3 tahun, 4 sampai 5 tahun dengan
masing masing 20 ekor dan 20 ekor unta jantan umur 2 sampai 3 tahun. Harga
unta-unta ini dapat digantikan dengan membayar uang.
2.8 Qisas

Qisas secara bahasa berarti, hukuman-hukuman, balasan-balasan, atau pembalasan


yang sepadan terhadap suatu kelakuan yang diperbuat. Sementara itu, menurut definisi qisas
adalah hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dengan perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang berbentuk pembunuhan, pelukaan,
pengerusakan anggota badan atau menghilangkan manfaat anggota badan lainnya
berdasarkan ketentuan syara’.15

A. Hikmah Qisas

Allah mensyariatkan qisas sebagai rahmat bagi manusia, menjaga tumpahnya darah
mereka, mencegah nyawa mereka dari pelanggaran, menghukum pelaku sesuai dengan apa
yang dilakukan terhadap korban, menghilangkan amarah yang terpendam dalam hati keluarga
korabn.
B. Syarat-syarat qisas pada nyawa

15
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqih dan Usul Fiqih, h. 177 dan 178.
Wali korban berhak atas qisos dengan empat syarat:
a. Pembunuh adalah mukallaf, yaitu orang yang dewasa dan berakal, sehingga tidak ada
qisas atas anak-anak, orang gila dan berakal lemah.
b. Korban memiliki status darah yang terlindungi, karena qisas diisyaratkan untuk
melindungi darah, sedangkan orang yang darahnya boleh ditumpahkan itu untuk tidak
dilindungi. Seandainya, seorang muslim membunuh kafir harbi atau murtad sebelum
ia bertaubat, pezina muhshan, maka tidak ada qisas atasnya namun ia perlu di ta’zir
karena melanggar hak pemimpin.
c. Kesamaan derajat antara pelaku dengan korban, sama dalam kebebasan dan
perbudakan serta agama, maka seorang muslim tidak di qisas dengan sebab
membunuh orang kafir, sekalipun seorang muslim tersebut adalah hamba sahaya dan
orang kafir tersebut adalah orang yang merdeka., berdasarkan sabda Nabi:

.‫اليقتل مسلم بكافر‬


“ Seorang muslim tidak dibunuh dengan sebab (membunuh) orang kafir.” (HR.
Bukhari, no. 6915)
d. Ada hubungan kelahiran, korban bukanlah anak pelaku atau anak-anaknya ke bawah,
maka salah satu dari bapak ibu ke atas tidak dibunuh dengan sebab (membunuh) anak
ke bawah. Berdasarkan Hadis berikut:
.‫اليقتل والدبولده‬
“ Bapak tidak bisa di qishas karena (membunuh) anaknya.” (HR. At- Tirmidzi, no.
1433, dan Ibnu Majah, no. 2661, 2662)16
e. Kesepakatan wali-wali korban yang berhak menuntut qisas seluruhnya untuk
menerapkannya, tidak berhak menuntutnya secara sendirian agar dia tidak mengambil
hak orang lain tanpa izinnya, maka apabila yang masih anak-anak ditunggu hingga
dewasa dan gila ditunggu sembuh. Bila dia antara pihak penuntut ada yang
meninggal, maka ahli warisnya yang menggantikan. Bila sebagian pihak yang
menuntut qisas memaafkan, maka qisas telah gugur.17
f. Harus dijamin aman, tidak dilampaui batas selain pelaku.
2.9 Hudud
Hudud jamak dari hadd yang berarti larangan atau batas antara dua barang yang
bertentangan. Menurut istilah syara’ adalah, batas-batas ketentuan Allah swt tentang
16
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh. Fikih Muyassar. Hal. 553.
17
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Fikih Muyassar. Hal. 554.
hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang berbuat dosa atau melanggar hukum.
Hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan atau digugurkan, baik oleh individu maupun negara.
Hukuman itu harus dilaksanakan karena menyangkut persoalan keamanan masyarakat secara
umum. Tujuan hukum islam adalah mencapai kemashlahatan bagi individu dan bagi
masyarakat. Dikatakan maslahah karena mengambil manfaat dan menolak kerugian atau
kerusakan bagi individu dan masyarakat. Artinya, secara hakiki hukum islam telah
memberikan manfaat bagi manusia, untuk ini tujuan itu dapat dipahami sebagai berikut:

a. Hukuman harus mampu mencegah seseorang dari berbuat maksiat.


b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman sangat bergantung pada kebutuhan
kemaslahatan masyarakat. Jika kemaskahtan menghendaki hukuman berat, maka
hukuman diperberat. Demikian pula, kemslahatan ringan, maka hukuman di
peringan.
c. Pemberian hukuman pada orang yang melakukan kejahatan itu bukan berarti balas
dendam, melainkan untuk kemaslahatan.
d. Hukuman adalah upaya terakhir dalam menjagga sesorang agar tidak jatuh ke
dalam suatu maksiat.18
Tindak kejahatan yang termasuk dalam perkara hudud yaitu:
1. Murtad
Murtad adalah orang yang keluar dari agama islam, baik secara jelas diucapkan
dengan lidah, melakukan perbuatan yang menunjukkan ke kafiran (misalnya sujud pada
berhala), maupun melakukan iktikad atau keyakinan yang bertentangan dengan iktikad
islam. Hukunan yang dikenakan terhadap orang yang keluar dari islam ialah hukuman
mati jika tidak bertaubat sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

.‫من بدل دينه فاقتلوه‬

“ Barangsiapa mengganti agamanya (keluar dari islam), maka bunuhlah ia. (HR.
Bukhari, no. 2794)
2. Bagyu

18
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqih dan Usul Fiqih. Hal. 186.
Al- Bagyu adalah orang yang telah keluar dari kebijakan pemerintah dengan
terang-terangan memberontak kepada pemerintah dan mempunyai krkuatan untuk
mendorong pemberontakan tersebut. Firman Allah dalam QS. An-Nisa: 58:
         
   
            
 
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa: 58)19
3. Hirabah
Hirabah adalah orang yang memerangi Allah swt beserta Rasulullah SAW dan
membuat kerusakan di muka bumi seperti perampok, penyamun, perompak ataupun yang
mengganggu keamanan lainnya. Sayyid Sabid memberikan ciri hiarabah itu dengan
sekelompok orang yang bergerak untuk mengadakan kekacauan untuk menumpahkan
darah, menjarah harta orang lain, merampok, merusak kehormatan, memusnahkan
tanaman dan hal itu dimaksud menentang islam, akhlak, peraturan dan undang-undang
yang berlaku.20
Dengan demikian, hukuman pelaku tindak pidana ini adalah dibunuh dan disalib
jika penjahatnya ini melakukan pembunuhan terhadap korban dan mengambil hartanya.
Dihukum mati tanpa salib jika melakukan pembunuhan terhadap koran, tetapi tidak
mengambil hartanya. Dipotong- potong tangan kanan dan kirinya jika ia tidak membunuh
korbannya, tetapi mengambil hartanya minimal sebanyak satu nisab. Dipenjara atau
hukuman lainnya jika ia hanya menakut-nakuti korban tanpa mengambil harta ataupun
membunuhnya.
4. Zina
A. Definisi Zina
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan seorang mukalaf (baligh), tidak dipaksa
dan tahu keharamannya dan dia tidak punya hak kepemilikan atau yang menyerupainya.
B. Hukum zina

19
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. Fiqih dan Usul Fiqih. Hal. 180
20
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. Fiqih dan Usul Fiqih. Hal.181.
Zina adalah salah satu dosa yang terbesar setelah dosa kekafiran, kesyirikan dan
pembunuhan jiwa, serta perbuatan keji yang paling besar secara mutlak. Allah swt
mengahamkan zina melalui firmannya:

         


“ dan jangalah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji
dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Hukuman yang diberikan kepada pelaku zina ini terbagi menjadi dua jenis:

a. Pezina ghairu muhshan (pemuda yang belum menikah melakukan perzinahan),


maka hukumannya ialah 100 kali cambuk dan di buang ke daerah selama
setahun.
b. Pezina muhshan (sudah menikah), maka hukumannya di rajam dengan cara
dilempar batu hingga tewas

C. Hikmah Diharamkannya Zina


Diantara hikmah diharamkannya zina adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjaga kesucian masyarakat islam.
2. Melindungi kehormatan kaum muslimin dan menyucikan jiwa-jiwa mereka.
3. Mempertahankan kemuliaan mereka, menjaga kemulian nashab mereka, dan
menjaga kesucian jiwa mereka.21

D. Had zina
Had zina dibedakan sesuai pelakunya. Jika pelakunya adalah ghairu muhshan,
yaitu orang yang belum pernah menikah dalam pernikahan yang syari, kemudian
karena pernikahan tersebut ia bisa berduaan atau menggauli pasangannya, maka ia di
dera sebanyak 100 kali dan di asingkan dari negerinya selama satu tahun. Hal yang
sama juga diberlakukan bagi wanita pezina ghairu muhshana. Hanya saja, jika dalam
pengasingan dari negerinya menimbulkan mudharat, maka ia di asingkan, karena
Allah swt berfirman:

        


“ perempuan yang berzina dan laki- laki yang berzina, maka deralah tiap- tiap orang
dari keduanya 100 kali dera.” (QS. An-Nur: 2)
E. Syarat penegakan had zina
21
Abu Bakar Jabir Al-Jazari, Minhajul Muslim, h. 974 dan 975.
Dalam menegakkan had terhadap pelaku zina harus memenuhi syarat- syarat
berikut ini:
1. Pelakunya adalah orang muslim yang berakal, baligh, dan melakukan zina
dengan sukarela tanpa paksaan.
2. Pezina betul- betul terbukti
Pezina bisa terbukti dengan:
a. Pengakuan pelaku dalam kondisi dirinya normal bahwa ia telah berzina,
b. Atau berdasarkan kesaksian empat orang saksi yang adil, yang bersaksi
bahwa mereka melihat pelaku berzina, dan menyaksikannya.22
c. Atau dengan terlihatnya kehamilan pada seorang wanita dan ketika ditanya
tentang sebab kehamilannya, ia tidak mampu mendatangkan bukti yang
dapat menggurkan had darinya, misalnya ia hamil karena di perkosa, atau
karena ia digauli karena subhat (salah pasangan) atau karena ia tidak
mengetahui keharaman zina. Jika ia bisa mendatangkan subhat (keragu-
raguan), maka had tidak dijatuhkan terhadapnya.
d. Pelaku tidak menarik kembali pengakuannya.
Apabila pelaku menarik kembali pengakuannya sebelum had
diterapkan kepadanya, misalnya ia mendustakan pengakuan dirinya dengan
berkata “ aku tidak berzina”, maka had zina tidak dilakukan. Sebab,
diriwayatkan bahwa ketika ma’iz dirajam dengan batu, ia lari. Kemudian para
sahabat mengerjarnya dan berhasil menagkapnya. Setelah itu, mereka
merajamnya lagi hingga meninggal dunia.23
F. Tata Cara Pelaksanaan Had Terhadap Pelaku Zina
Pelaku zina dibuatkan lubang di tanah dengan kedalaman sedada. Setelah itu dia
dimasukkan ke dalam lubang tersebut dan dirajam dengan batu hingga meninggal dunia
dengan disaksikan oleh imam atau wakilnya dan kelompok dari kaum muslimin yang
berjumlah minimal empat orang. Karena Allah berfirman:
     

“ Dan hendaklah ( pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari


orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur : 2)

22
Abu Bakar Jabir Al-Jazari. Minhajul Musli. Hal. 977.

23
Abu Bakar Jabir Al-Jazari. Minhajul Muslim. Hal. 978.
Wanita pezina juga dijtuhkan hukuman sama, hanya saja pakaiannya diikat agar
auratnya tidak tersingkap. Ketentuan tersebut untuk had rajam. Adapun had cambuk bagi
pelaku zina ghairu muhshan.

1. Had liwath (homoseks) adalah dirajam hingga meninggal dunia tanpa


membedakan apakah ia muhshan ataupun ghairu muhshan. Para sahabat berbeda
pendapat tentang tata cara pembunuhan keduanya. Diantara mereka ada yang
membakar keduanya dengan api, dan di antara mereka ada yang membunuhnya
dengan merajam dengan batu hingga meninggal dunia.
2. Barang siapa menggauli salah satu hewan, ia wajib dijatuhi sanksi disiplin terberat
yaitu pemukulan dan penjara karena ia melakukan perbuatan keji yang
diharamkan.
3. Jika budak laki-laki dan budak wanita berzina, maka had keduanya adalah cambuk
saja, kendati keduanya adalah muhshan ( sudah menikah). Juga karena kematian
itu tidak bisa dibagi dua, maka cambuk ditentukan sebanyak 50 kali tanpa rajam.
Tuan dari budak tersebut berhak mencambuk budak laki-lakinya, dan budak
wanitanya atau menyerahkan keduanya kepada imam.24
5. Qazf (Menuduh Berzina)
A. Definisi Qazf
Qazf adalah menuduh orang lain berzina tanpa mendapatkan empat orang saksi.
Qazhaf ialah menuduh orang lain berzina, misalnya si A berkata kepada si B, “hai pezina”
atau ia berkata “aku lihat si B berzina” atau ia berkata, “ aku lihat si B melakukan zina atau
liwath.” had qazhaf ialah 80 kali dera. Sebagaimana Firman Allah swt dalam surah An-Nur :
4, berbunyi:

       


        
   
“ Dan orang- orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) itu delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka selama- lamanya.”

Berdasarkan ayat di atas, dijelaskan bahwa bagi pelaku ynag menuduh orang lain
yang baik- baik berzina dengan tidak mendatangkan empat orang saksi dalam kejadian di

24
Abu Bakar Jabir Al-Jazari. Minhajul Muslim. Hal. 979.
dera 80 kali. Namun, jika penuduh itu seorang budak maka, di dera 40 kali. Hal ini
dikarenakan hukuman hadd bagi seorang budak adalah setengah dari orang merdeka.
B. Hikmah Ditetapkannya Had Qazhaf
Diantara hikmah persyariatan had qazhaf adalah untuk menjaga kebersihan,
kehormatan dan kemuliaan seorang muslim, dan menjaga masyarakat dari maraknya
perzinahan dan tersebarnya akhlak tercela diantara kaum muslimin dimana mereka adalah
oran- orang adil dan orang- orang bersih.25
C. Syarat- Syarat Penerapan Had Qazhaf
Dalam penerapan had qazhaf harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:

1. Pelaku qazhaf adalah muslim yang berakal dan baligh.


2. Orang yang dituduh berzina adalah orang bersih, tidak pernah dikenal berbuat zina
oleh masyarakat.
3. Orang yang dituduh berbuat zina menuntut penerapan had qazhaf terhadap
penuduh, karena ia mempunyai hak untuk hal tersebut. Ia boleh menuntut atau
memaafkan.
4. Penuduh tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang bersedia bersaksi atas
kebenaran qazhaf-nya terhadap tertuduh.
Jika salah satu syarat qazhaf di atas tidak terpenuhi, maka had qazhaf tidak dapat
dilaksanakan.

F. Dakwaan Pembunuhan Dengan Tidak Ada Saksi

Misalnya ada seseorang terbunuh, tetapi tidak diketahui siapa yang membunuhnya,
saksi pun tidak ada. Keluarganya mendakwa seseorang, sedangkan dakwaannya itu disertai
qarinah (tanda-tanda) yang kuat, sampai sampai menimbulkan sangkaan boleh jadi
dakwaannya itu benar. Untuk menguatkan dakwaannya itu di muka hakim, dia boleh
bersumpah lima puluh kali. Sesudah bersumpah dia berhak mengambil diyat (denda). Tetapi
kalau tidak ada tanda yang kuat, maka orang yang terdakwa itu berhak bersumpah. Hal itu
menurut aturan dakwaan yang tidak bersaksi. Adapun dakwaan yang lain dari membunuh,
tidak dapat dengan sumpah, tetapi mesti ada saksi.26

G. Gugurnya Hukum Dera Menuduh

Hukum tuduhan dari yang menuduh gugur dengan tiga jalan:


25
Abu Bakar Jabir Al-Jazari. Minhajul Muslim. Hal. 980.

26
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Hal. 435.
a. Mengemukakan saksi empat orang, menerangkan bahwa yang tertuduh itu betul-betul
berzina.
b. Dimaafkan oleh yang menuduh.
c. Orang yang menuduh istrinya berzina dapat terlepas dari hukuman dengan cara
li’an.27

6. Minum Khamar

A. Definisi Khamar

Minum khamar menurut istilah syara’ adalah khamar yang dapat memabukkan dan
merusak akal baik sedikit ataupun banyak diminum sekalipun ketika minumannya tidak
memabukkan pelaku. Karena kemudharatan yang terjadi pada manusia akibat mengonsumsi
khamar, maka islam memberiakan ancaman fisik bagi peminumnya.

B. Syarat-Syarat Had Bagi Peminum Khamar

Dalam penerapan had bagi peminum khamar disyaratkan, pelaku harus: muslim,
berakal, baligh, meminum khamar dengan sukarela, mengetahui keharamannya dan sehat.hal
ini bukan berarti hukuman menjadi gugur28 bagi orang yang sakit, hanya saja pelaksanaannya
ditunda hingga ia sembuh, apabila sudah sembuh baru dilaksanakan.

C. Tidak Ada Pengulangan Had Bagi Peminum Khamar

Jika orang muslim meminum khamar hingga beberapa kali, kemudian had
dilaksanakan terhadapnya, maka cukup dengan satu had saja, kendati ia meminum khamar
beberapa kali. Jika ia minum khamar lagi, setelah penerapan had terhadapnya, maka had
dijatuhkan lagi terhadanya dan begitu seterusnya.

D. Cara Pelaksanaan Had Peminum Khamar

Orang yang hendak dijatuhi had, didudukan di atas tanah, kemudian punggungnya
dipukul dengan cambuk berukuran sedang, tidak keras dan tidak ringan, sebanyak 80 kali.
Wanita juga begitu, hanya saja badan wanita ditutup dengan kain tipis yang menutup
auratnya, tetapi tidak melindungi tubuhnya dari cambuk.

7. Pencurian

27
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Hal. 439.
28
Abu Bakar Jabir Al-Jazari. Minhajul Muslim. Hal. 971.
Mencuri secara bahasa adalah seseorang mengambil barang orang lain dengan
sembunyi. Sedangkan menurut syara’ adalah mengambil barang orang lain dengan sembunyi
dan mempunyai syarat-syaratnya. Adapun hukuman yang dikenakan terhadap pelakunya
adalah potong tangan jika barang yang dicurinya minimal 1 nisab ( seperempat dinar)
menurut sebagian fuqaha 10 dirham. Firman Allah dalam surah Al- Maidah: 38, yang
berbunyi:

       


      
“ Laki- laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)29
A. Syarat-Syarat Pemotongan Tangan
Dalam pemotongan tangan pencuri wajib memenuhi syarat-syarat berikut ini:

a. Pelaku pencurian adalah seorang mukalaf, berakal, baligh.


b. Pencuri bukan ayah dari pemilik harta yang dicuri, bukan anaknya, dan bukan suami
atau istrinya, karea masing-masing dari mereka mempunyai hak terhadap harta
pemiliknya.
c. Pencuri tidak memiliki syubhat kepemilikan terhadap harta yang dicuri dalam bentuk
kepemilikan syubhat apapun, misalnya ia mencuri barang yang ia gadaikan kepada
orang lain atau ia mencuri barang yang ia sewa kepada orang lain.
d. Harta yang dicuri berada di tempat penyimpanan, misalnya di rumah, toko, kandang,
kotak dan lain sebagainya.30
B. Kewajiban Pencuri

Ada dua kewajiban yang harus ditunaikan pencuri, yaitu:

a. Mengembalikan harta ynag dicuri jika masih di tangannya. Jika barang yang dicurinya
telah rusak, maka itu menjadi utangnya kepada orang yang ia curi.
b. Pemotongan tangan.
C. Tata Cara Pemotongan Tangan

Jika yang dipotong adalah tangan sebelah kanan, maka dimulai dari persendian
telapak tangan, kemudian tangan yang dipotong dicelupkan ke dalam minyak yang mendidih

29
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. Fiqih dan Usul Fiqih. Hal. 184.
30
Abu Bakar Jabir Al-Jazari. Minhajul Muslim. Hal. 983.
dan menutup mulut urat tangan agar darah berhenti mengalir. Disunahkan potongan tangan
digantungkan beberapa saat ke leher pencuri tersebut.31
D. Pencurian Tanpa Had Potong Tangan

Pemotongan tangan tidak diperbolehkan pada pencurian harta yang tidak disimpan,
atau harta yang tidak mencapai seperempat dinar. Hanya saja, hartanya dilipat gandakan jika
pencurinya menyembunyikannya dan ia di beri sanksi dengan pemukulan. dJika pemilik harta
memaafkan pencuri dan tidak membawa kasus pencurian yang dialaminya kepada hakim,
maka tidak ada pemotongan tangan. Jika dia membawa kasus pencurian ke hakim, maka
dilakukan pemotongan tangan.32
E. Membela diri
Membela diri adalah satu kewajiban yang penting sekali bagi tiap-tiap orang. Firman
Allah swt:

      

“ Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al-Baqarah:
195)

Apabila karena hendak membela diri, keluarga atau harta seseorang sampai membunuh orang
yang menganiayanya, maka ia tidak berbuat dosa dan tidak di qisas. Dalam waktu membela
diri ia terpaksa, tidak ada jalan selain membunuh orang yang menganiayanya. Maka tidak ada
halangan bagi dia membunuh orang itu, ia tidak berdosa dan tidak di qisas atas itu.
Berdasarkan Firman Allah swt:

         
“ Dan Sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu
dosapun terhadap mereka.” (QS. Asy-Syura: 41)
Cara membela diri hendaklan dengan tertib. Pertama dengan cara seenteng-entengnya,
kemudian lebih keras sedikit, lalu lebih keras lagi, dan seterusnya. Umpama mula-mula
dengan perkataan, lalu dengan meminta tolong, kemudian dengan memukul, alat pemukul
juga harus dengan tertib, pertama dengan di cemeti, kemudian dengan tongkat,. Kalau tidak

31
Abu Bakar Jabir Al-Jazari, Minhajul Muslim. Hal. 984.

32
Abu Bakar Jabir Al-Jazari, Minhajul Muslim. Hal. 985.
juga terbela, selain dengan perkakas yang tajamm atau dengan peluru dan sebagainya, maka
ia boleh melakukan apa saja yang dipandnagnya berguna untuk membelanya.33

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jinayat adalah pelaanggaran terhadap badan yang mengharuskan qishash, denda harta
atau kafarat. Jinayah mengadung arti perbuatan dosa, maksiat atau kejahatan. Konsep jinayah
berasal dari jana, yaitu yang berarti kejahatan, pidana atau kriminal. Jinayah adalah perbuatan
yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan agama,
jiwa, akal dan harta benda. Yang meresahkan individu maupun masyarakat.

Dengan demikian hukuman yang baik adalah: Mampu mencegah seseorang dari
perbuatan maksiat karena hukuman itu untuk mencegah sebelum teradinya perbuatan dan
menjerakan setelah terjadinya perbuatan. Batas tertinggi dan terendah hukuman bergantung
pada kemaslahatan masyarakat. Apabila kemaslahatan menghendaki beratnya hukuman,
hukuman diperberat. Demikian pula sebaliknya, jika kemaslahatan menghendaki hukuman
ringan. Maka, hukuman di peringan. Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan
kejahatan bukan berarti dendam, tetapi bertujuan untuk kemaslahatannya.

Dalam pembagian macam-macam pembunuhan ada tiga, yaitu pembunuhan sengaja,


pembunuhan menyerupai sengaja dan pembunuhan tersalah. Untuk pembunuhan yang di
33
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Hal. 443.
sengaja, yang mana dimaksudkan pelaku memang ada niat untuk melakukan pembunuhan
dengan benda tajam ataupun tidak yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, untuk
pembunuhan seperti ini dijatuhkan hukuman qisas. Untuk pelaku pembunuhan disengaja dan
menyerupai sengaja tidak wajib di qisas akan tetapi, diganti dengan membayar diyat yang
sesuai dengan berat atau tidaknya tindakan tersebut.

Untuk hudud bagi tindakan-tindakan kriminal, seperti zina, minum khamar, hirabah,
al-bagyu, murtad, qazf dan pencurian pencurian. Ada hukuman yang berbeda untuk diterima
oleh pelaku tersebut. Pemotongan tangan bagi pelaku pencurian dilakukan apabila harta yang
dicuri adalah harta yang disimpan korban. Dan ada tata cara dalam melakukan pemotongan
tangan sebagaimana yang telah ditetapkan syari’.

Dalam kasus yang terjadi, jika seseorang tidak melakukan kesalahan, tetapi tertuduh.
Seorang muslim tersebut dapat melakukan pembelaan diri untuk terbebas dari tuduhan dan
hukuman tersebut. Dalam hal membela diri, boleh seseorang membunuh seseorang
diakibatkan teraniaya, terancam keselamatan nyawa, keluarga dan harta. Jika dalam keadaan
tersebut, seorang muslim boleh membunuh orang yang melakukan hal tersebut dengan aturan
yang telah ditetapkan hukum islam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazari, Abu Bakar Jabir. 2014. Minhajum Muslim. Jakarta: Ummul Qura.
Hasan, Mustofa dan Beni A S. 2013. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga. 2018. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Prenadamedia Group.
Rasjid, Sulaiman. 2017. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Shalih, Syaikh. 2015. Fiqih Muyassar. Jakarta: Darul Haq.

Anda mungkin juga menyukai