Anda di halaman 1dari 14

HADITS AHKAM MUNAKAHAT

KAFA’AH DAN MAHAR


Dosen Pengampu: Ustadzah Murniati Lc., M.H

Disusun oleh:
Hanifah Nur Nabilah (2101011)
Raihana Adilah (2101018)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH HUSNUL KHOTIMAH
Desa Maniskidul Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan 45554 Jawa Barat
Telp. 0232-8617988 Fax. 0232-613809 HP: 0852 9592 5199 Website:
www.stishusnulkhotimah.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak
kenikmatan diantaranya nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan. Dan atas nikmat dan
kuasa-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa
kami sampaikan juga kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa cahaya
Islam ke tengah-tengah kita semua, sehingga kita dapat berkumpul dalam satu naungan yakni
naungan Islam.

Kami sampaikan rasa terima kasih atas pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung kami
dalam menyusun makalah ini. Dan kami memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan
yang telah kami lakukan baik disengaja maupun tidak disengaja.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hadits Ahkam
Munakahat yang diampu oleh Ustadzah Murniati, Lc., M.H

Segala kritik dan saran kami terima secara terbuka, karena tentu masih banyak kekurangan dari
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam memperluas ilmu pengetahuan bagi
semua pihak dan mampu menjadi pendorong dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.

Kuningan, 14 Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................4
C. TUJUAN PEMBAHASAN............................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
A. PENGERTIAN KAFAAH............................................................................................................5
B. HADITS MENGENAI KAFA’AH...............................................................................................5
C. PENGERTIAN MAHAR..............................................................................................................8
D. HADITS HADITS TENTANG MAHAR.....................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................................12
PENUTUP................................................................................................................................................12
KESIMPULAN....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesuksesan dalam hidup berumah tangga adalah adanya pemilihan calon pasangan yang
sekufu’ atau setara baik itu dari segi pemahaman agamanya, status sosialnya, maupun kekayaan
yang dimilikinya. Namun dalam Islam yang menjadi pertimbangan kesetaraan antara suami-istri
adalah sebatas konsistensi keshalihan dan akhlaknya. Tidak ada perbedaan kasta dalam Islam
seorang laki-laki miskin bisa menikahi wanita yang kaya, atau yang memiliki status sosial rendah
dapat menikahi pasangan yang berstatus sosial tinggi selama laki-laki tersebut adalah seorang
muslim dan menjaga kehormatan dirinya. (Sabiq, 2017:312-313)

Salah satu bukti perlindungan dan penghormatan agama Islam kepada wanita adalah dengan
memberinya hak kepemilikan yang mana hak tersebut tidak ia dapatkan ketika masa jahiliyyah.
Ketika masa itu hak-hak seorang wanita dirampas dan dibelenggu, segala kehidupannya diatur
oleh wali wanita tersebut. Ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur dan menggunakan harta
yang murni dia miliki, melainkan walinya memiliki kekuasaan penuh mengatur harta wanita itu.
(Sabiq, 2017:325)

Penulisan makalah ini disusun agar kita dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
kafa’ah dan mahar sehingga dapat memperluas pemahaman dan pengetahuan kita mengenai
ajaran Islam, dan menjadi referensi dalam membangun rumah tangga yang berhasil melahirkan
generasi-generasi muslim di masa depan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian kafa’ah?
2. Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan kafa’ah?
3. Apa pengertian mahar?
4. Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan mahar?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui pengertian kafa’ah.
2. Mengetahui hadits-hadits yang berkaitan dengan kafa’ah.
3. Mengetahui pengertian mahar.

4
4. Mengetahui hadits-hadits yang berkaitan dengan mahar.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KAFAAH
Kafa’ah memiliki arti sama, kesetaraan atau kesepadanan. Al Kufu’, Al Kafa’, Al Kafu’
berarti orang yang sepadan dan sebanding. Dalam hal pernikahan istilah ini berarti kesetaraan
antara suami dan istri baik itu setara dalam kedudukan, status sosial, moral maupun kekayaan.
Ketika kesetaraan suami dengan istri semakin dekat maka faktor kesuksesan dalam kehidupan
berkeluarga semakin kuat dan terhindar dari kegagalan. (Sabiq, 2017: 312)

Menurut istilah fuqaha, kafaah adalah penyetaraan antara suami dan istri sehingga dapat
menghilangkan rasa malu dalam perkara yang khusus. Menurut Madzhab Maliki kafaah dalam
hal agama dan kondisi (bebas dari kecacatan), sedangkan menurut Madzhab Hanafi dan Hanbali
menambahkan kafaah dari segi kemakmuran uang. Menurut jumhur fuqaha kafaah dalam agama,
nasab, kemerdekaan, dan profesi. Adanya kafaah ini bertujuan agar terwujudnya persamaan
dalam perkara sosial antara suami-istri sehingga menciptakan kestabilan dalam hubungan rumah
tangga. (Zuhaily, 2011: 214)

Dalam pengertian yang lain, kafaah atau kufu berarti setaraf, seimbang, keserasian, dan
keserasian. Dalam hukum Islam kafa’ah berarti keseimbangan dan keserasian antara calon suami
istri dalam kedudukan, tingkat sosial, serta setara dalam akhlak serta kekayaan sehingga masing-
masing dari calon suami mapun istri tidak merasa berat dalam menjalankan pernikahan. Dan
lebih ditekankan lagi kafa’ah dalam hal agama yaitu, akhlak dan ibadah karena apabila lebih
menekankan perkara harta atau kedudukan justru akan menimbulkan sistem kasta yang mana hal
tersebut tidak dibenarkan dalam agama Islam. (Ghazaly, 2019:70)

Kafa’ah yang dianjurkan dalam agama Islam tidak menentukan sah atau tidaknya sebuah
pernikahan, namun hal ini lebih menjadi hak bagi wanita dan walinya dalam memilih calon
karena pernikahan yang tidak seimbang atau setara justru akan menimbulkan problem
pernikahan yang berkepanjangan, atau bahkan bisa berujung pada perceraian. (Ghazaly,
2019:70)

5
B. HADITS MENGENAI KAFA’AH
a. Hadits tentang bangsa Arab yang saling sekufu’
‫ والموالي بعضهم اكفاء‬,‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم (العرب بعضهم اكفاء بعض‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما قال‬
‫ واستنكره ابو حتم‬,‫ وفي اسناده راو لم يسم‬,‫بعض اال حئك او حجام) رواه الحاكم‬.

Dari Ibnu Umar Radiyallahu anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bangsa Arab itu sama
derajatnya dengan satu sama lain dan kaum Mawali (bekas hamba yang telah dimerdekakan)
sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.” HR Al Hakim, dan
dalam sanadnya ada kelemahan karena seorang perawinya tidak diketahui namanya, namun
menurut Abu Hatim hadits ini adalah hadits munkar. Hadits ini memiliki pendukung dari riwayat
AL Bazzar dari Mu’adz bin Jabal dengan sanad yang terputus. (As Shan’ani, 2008:656)

Hadits ini adalah hadits yang munkar menurut Abu Hatim, ketika ia menanyakan kepada
ayahnya tentang hadits ini, kemudian sang ayah menjawab bahwa hadits ini dusta dan tidak ada
asalnya, adapula yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang bathil. Menurut Ibnu
Abdil Bar hadits ini adalah hadits yang munkar dan maudhu’ karena meski memiliki periwayat
yang banyak namun semuanya berdusta. (As Shan’ani, 2008: 657)

Didalam hadits dijelaskan bahwasannya orang-orang Arab setara dengan orang Arab lagi, dan
budak-budak juga setara dengan sesama budak lagi. Hal ini menunjukan bahwa antara antara
orang Arab dengan budak tidaklah setara atau sederajat, para ulama berselisih pendapat dan
pendapat yang terkuat adalah yang dikemukakan oleh Zaid bin Ali, Ibnu Sirin, dan Umar bin
Abdul Aziz bahwasannya kafa’ah yang dimaksud adalah kafa’ah dalam agama; sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 13:

‫اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا ِ اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم خَ بِ ْي ٌر‬

 Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Ibnu Laal meriwayatkan hadits berikut yang memiliki kesamaan makna dengan lafadz yang
diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad, dengan redaksi berikut;

‫الناس كأسنان المشط ال فضل ألحد على احد اال بالتقوى‬.

6
Imam Bukhari juga mendukung pendapat diatas, hal tersebut ditunjukkan dalam kitab Shahih
Bukhari bab Kafaah yang diawali dengan surat Al Frqan ayat 45 yang mengandung makna
bahwa sekuruh keturunan Adam memiliki derajat yang sama karena sama-sama diciptakan dari
air.

Rasulullah SAW dalam khutbahnya ketika peristiwa Fathul Mekkah menyampaikan bahwa
seseorang yang paling mulia disisi Allah SWT adalah yang bertakwa kepada-Nya. Maka
penilaian terhadap seseorang berdasarkan keturunan termasuk suatu kesombongan dan tradisi
jahiliyah. (As Shan’ani, 2008:657-660)

b. Hadits tentang kesetaraan sosial dengan bekas budak


‫ وانكحو اليه وكان حجاما‬,‫ انكحو ابا هند‬,‫ (يا بني بياضة‬:‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬.

‫رواه ابو داود والحاكم بسند جيد‬.

Hadits nomor 1034: dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi SAW bersabda: Hai Banu Bayadhah,
Nikahilah Abu Hind dan kawinlah dengannya.” Dan ia adalah tukang bekam. Riwayat Abu
Dawud dan Hakim dengan sanad yang baik. (Bulughul Maram Hadits No. 1034)

Abu Hind adalah seseorang yang suka membekam Nabi SAW dan merupakan bekas budak bani
Bayadhah. Kemudian Nabi memerintahkan kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan
perempuan dari keluarga mereka dengan Abu Hind, sedangkan ia adalah maula Bani Bayadhah
dan tidak memiliki garis keturunan dengan keluarga tersebut. Hadits ini menjelaskan bahwa
kesetaraan dalam pernikahan bukan lah menurut status sosial atau nasabnya, melainkan
kesetaraan dalam keshalihannya dalam menjalankan agama Islam. (Sabiq, 2017:315)

c. Hadits menikahkan wanita dengan yang sekufu dengannya


Hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi SAW berkata padanya,

‫ وااليم اذا وجدت كفؤا لها‬,‫ والجنازة اذا حضرت‬,‫ الصالة اذا اتت‬,‫ثالث ال تاخر‬.

Tiga hal yang tidak boleh ditangguhkan; shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah
datang, dan perempuan yang belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya.

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir,

‫ وال مهر دون عشرة دراهم‬,‫ وال يزوجوهن اال االولياء‬,‫ال تنكحوا النساء اال االكفاء‬.

7
Para wanita jangan dinikahkan kecuali dengan orang yang setara, dan mereka tidak dikawinkan
kecuali oleh para wali, dan tidak ada mahar yang kurang dari sepuluh dirham.

d. Hadits tentang kriteria memilih wanita yang akan dinikahi


‫ فاظفر‬,‫ ولدينها‬,‫ وجمالها‬,‫ ولحسبها‬,‫ لمالها‬:‫ تنكح المرأة ألربع‬:‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫ رواه البخاري‬.‫بذات الدين تربت يداك‬

Dari Abi Hurairah ra. ia berkata Nabi SAW bersabda; wanita dinikahi karean empat perkara,
karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka
nikahilah karena agamanya niscaya engkau akan mendapatkan keberuntungan. (HR Bukhari)

Hadits diatas diriwayatkan dari Musaddad, dari yahya, dari Ubaidilah, dari Sa’id bin Abu Sai’id,
dari bapaknya. Hasab yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kemuliaan karena leluhur dan
kerabat, dan hadits ini dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menggunakan standar harta
dan keturunan dalam memilih istri. Hal yang patut dilakukan lelaki dalam memilih calon istri
adalah memilih istri yang berkomitmen pada agamanya, karena menurut hadits yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr yang dikutip Ibnu Majah bahwa Nabi SAW bersabda:
“janganlah kamu nikahi perempuan karena kecantikannya, barangkali kecantikan mereka akan
membinasakan mereka, dan jangan nikahi mereka karena harta benda, barangkali harta benda
akan membuat mereka melampaui batas tetapi nikahilah mereka karena agama. Sungguh budak
perempuan hitam yang komitmen dengan agama adalah lebih utama.” (Al Asqalani, 2008: 112-
115)

C. PENGERTIAN MAHAR
Mahar menurut bahasa bermakna ash-shadaaq yang berasal dari kata ash-shidq dalam bahasa
Indonesia diartikan dengan “maskawin”, yaitu pemberian segala sesuatu kepada seorang
perempuan yang akan dijadikan istri. Kata ini mempunyai tujuh istilah dan delapan nama yang
terangkum dalam bait syair berikut:

َ ‫ ِحبَا ٌء َو َأجْ ٌر ثُ َّم ُع ْق ٌر َعالَِئ‬:ٌ‫ضة‬


‫ق‬ َ ‫ق َو َم ْه ٌر نِحْ لَةٌ َو فَ ِري‬
ٌ ‫صدَا‬
َ

Mahar (mas kawin) itu mempunyai delapan nama, yakni: shadaq, mahr, nihlah, faridhah, hiba’,
ajr, ‘urq, dan ‘alaiq.

Syari’at sebelum kita, menerangkan bahwa mahar diperuntukkan bagi para wali sebagaimana
yang dikemukakan pengarang kitab Al-Musta’dzib ‘Ala Gharib Al-Muhazdzdab

8
َ ‫ َو َج َع َل ِع ْتقَهَا‬,َ‫صفِيَّة‬
ٌ َ‫ ُمتَّف‬.‫صدَاقَهَا‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم َأنَّهُ َأ ْعت‬
َ ‫ق‬ َ ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َع ِن النَّبِ ِّي‬ ٍ َ‫عَن َأن‬.
ِ ‫س َر‬

955. Dari Anas r.a, dari Nabi SAW bahwa beliau memerdekakan Shafiyah dan menjadikan
kemerdekaannya sebagai maskawinnya. (Muttafaq Alaih)

Sedangkan pengertian mahar menurut istilah, para ulama berbeda dalam memberikan pengertian,
antara lain:

a. Mahar diartikan sebagai nama suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria
terhadap seorang wanita yang disebutkan dalam akad nikah sebagai perwujudan
hubungan antara pria dan wanita itu untuk hidup bersama sebagai suami istri.

b. Mahar adalah pemberian yang wajib diberikan dan dinyatakan oleh calon suami atas
calon istrinya di dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan, kerelaan
dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.

c. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita baik
berupa barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam.

Dari ketiga pengertian mahar menurut istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa mahar adalah
sebuah pemberian wajib dari seorang pria kepada seorang wanita, baik berpa barang, uang,
maupun jasa yang tidak bertentangan dengan agama islam pada saat akad nikah. Mahar hanyalah
sebutan/nama untuk suatu harta yang wajib diberikan kepada wanita sebagai calon mempelai
dalam akad nikah.

D. HADITS HADITS TENTANG MAHAR


a. Hadits tentang mahar yang paling mudah
‫ أخرجه وابو داود وصححه الحاكم‬.‫ خير الصداق أيسرها‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن عقبة بن عامر قال‬.

Dari Uqbah bin Amir ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “sebaik-baik maskawin adalah yang
paling mudah.” HR Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Al Hakim.

Hadits tersebut menunjukkan sunnahnya mempermudah ukuran mahar bagi wanita. Namun
diperbolehkan juga untuk memperbanyak mahar tergantung kemampuan sang calon suami, hal

9
tersebut diisyaratkan dalam Al Quran surat Annisa ayat 20 yang artinya; “sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak.” (As Shan’ani,2008:721)

Dalam riwayat yang lain kebaikan yang didapat ketika mempermudah mahar adalah berupa
banyaknya keberkahan bagi wanita tersebut, sebagaimana hadits berikut; “wanita yang paling
banyak keberkahannya adalah yang paling mudah maharnya”, namun hadits tersebut adalah
hadits yang dhaif. (As Shan’ani,2008:721)

b. Hadits tentang mahar 2 buah sendal


‫ أخرجه الترمذي وصححه‬.‫وعن عبد هللا بن عامر بن ربيعة عن ابيه ان النبي صلى هللا عليه وسلم أجاز نكاح امرأة على نعلين‬.

Dari Abdullah bin Rabi’ah dari ayahnya bahwasannya Nabi SAW membolehkan menikah
dengan seorang wanita dengan maskawin dua buah sendal. (Hadits shahih riwayat Tirmidzi)

Dalam riwayat yang lain;

‫ أرضيت عن نفسك ومالك‬:‫ فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.‫عن عامر بن ربيعة ان امراة من بني فزارة تزوجت على نعلين‬
‫ رواه احمد وابن ماجه والترمذي وصححه‬.‫ فاجازه‬.‫ نعم‬:‫بنعلين؟ فقالت‬.

Ketika Nabi SAW bertanya kepada perempuan Bani Fazarah tersebut atas keridhoan diri dan
hartanya untuk dinikahi dengan mahar dua buah sendal, dan ia mengiyakannya maka Nabi pun
membolehkan hal tersebut. (As Shan’ani,2008:719)

c. Hadits ketiga
َ ‫ت ا ْم َرَأةٌ ِإلَى النَّبِ ِّي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ْ ‫از ٍم ع َْن َأبِي ِه َأنَّهُ َس ِم َع َس ْهاًل يَقُو ُل َجا َء‬
ِ ‫يز بْنُ َأبِي َح‬
ِ ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َم ْسلَ َمةَ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
َ‫ال ِع ْندَك‬ َ َ‫اجةٌ ق‬ َ ‫ك بِهَا َح‬َ َ‫ال َر ُج ٌل زَ ِّوجْ نِيهَا ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن ل‬
َ َ‫ال ُمقَا ُمهَا فَق‬َ ‫ط‬ َ ‫َّب فَلَ َّما‬
َ ‫صو‬َ ‫ت طَ ِوياًل فَنَظَ َر َو‬ ْ ‫ت َأهَبُ نَ ْف ِسي فَقَا َم‬ ُ ‫ت ِجْئ‬ ْ َ‫فَقَال‬
‫َب ثُ َّم َر َج َع قَا َل‬ َ ‫ت َش ْيًئا قَا َل ْاذهَبْ فَ ْالتَ ِمسْ َولَوْ خَاتَ ًما ِم ْن َح ِدي ٍد فَ َذه‬ ُ ‫َب ثُ َّم َر َج َع فَقَا َل َوهَّللا ِ ِإ ْن َو َج ْد‬
َ ‫ال ا ْنظُرْ فَ َذه‬َ َ‫َش ْي ٌء تُصْ ِدقُهَا قَا َل اَل ق‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َزارُكَ ِإ ْن لَبِ َس ْتهُ لَ ْم يَ ُك ْن‬ ‫ُأ‬
ِ ‫اَل َوهَّللا ِ َواَل خَ اتَ ًما ِم ْن َح ِدي ٍد َو َعلَ ْي ِه ِإزَا ٌر َما َعلَ ْي ِه ِردَا ٌء فَقَا َل صْ ِدقُهَا ِإ َز‬
َ ‫اري فَقَا َل النَّبِ ُّي‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ُم َولِّيًا فََأ َم َر بِ ِه فَد ُِع َي فَق‬
‫ال‬ َ ‫س فَ َرآهُ النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ك ِم ْنهُ َش ْي ٌء َوِإ ْن لَبِ ْستَهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْيهَا ِم ْنهُ َش ْي ٌء فَتَنَحَّى ال َّر ُج ُل فَ َجل‬
َ ‫َعلَ ْي‬
ِ ْ‫ك ِم ْن ْالقُر‬
‫آن‬ َ ‫ك ِم ْن ْالقُرْ آ ِن قَا َل س‬
َ ‫ُورةُ َك َذا َو َك َذا لِ ُس َو ٍر َع َّد َدهَا قَا َل قَ ْد َملَّ ْكتُ َكهَا بِ َما َم َع‬ َ ‫َما َم َع‬

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami
Abdul Aziz bin Abdul Abu Hazim dari Ayahnya bahwa dia mendengar Sahl berkata; seorang
wanita datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; "Saya datang kepada anda
untuk menyerahkan diriku kepada anda, " Beliau lalu berdiri lama dan menelitinya dengan
seksama, ketika beliau berdiri lama seorang laki-laki berkata; 'Wahai Rasulullah, jika anda tidak

10
berkenan dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bertanya kepada laki-laki tersebut: 'Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat dijadikan
mahar untuknya? ' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak.' Beliau bersabda: 'Carilah terlebih dahulu.'
Lalu laki-laki itu pergi, sesaat kemudian dia kembali dan berkata; 'Demi Allah, aku tidak
mendapatkan sesuatupun.' Beliau bersabda: 'Pergi dan carilah lagi walaupun hanya dengan cincin
dari besi.' Kemudian laki-laki itu pergi, tidak berapa lama dia kembali sambil berkata; 'Aku tidak
mendapatkan apa-apa walau cincin dari besi.' -Saat itu laki-laki tersebut tengah mengenakan kain
sarung, lantas dia berkata; 'Aku akan menjadikan kain sarung ini sebagai mahar.' Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kamu memakaikan kain sarung itu padanya, maka
kamu tidak memakai apa-apa, sementara jika kamu yang memakai sarung tersebut, dia tidak
memakai apa-apa.' Laki-laki itu duduk termenung, ternyata Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melihatnya berpaling, lalu beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya, maka
dipanggilah laki-laki tersebut, beliau bertanya: 'Apakah kamu mempunyai hafalan dari Al
Qur'an? ' Laki-laki itu menjawab; 'Ya, saya telah hafal surat ini dan ini.' Lalu beliau bersabda:
'Maka aku nikahkan kamu dengan wanita itu, dengan mahar apa yang telah engkau hafal dari
surat Al Qur'an.'

Hadits diatas menunjukkan kebolehan untuk memberikan mahar walaupun dengan cincin besi,
selain itu mahar juga bisa diberikan dengan selain barang, misalnya dengan kebermanfaatan
seperti hadits diatas yakni dengan mengajarkannya Al Quran. (As San’ani, 2008:720)

d. Hadits tentang mahar Nabi SAW untuk para istrinya


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ق َرس‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك ْم َكان‬
ُ ‫صدَا‬ َ ‫ت عَاِئ َشةَ َزوْ َج النَّبِ ِّي‬ ُ ‫ َسَأ ْل‬:‫عن ابي سلمة بن عبد الرحمن قال‬
‫ت نِصْ فُ ُأوقِيَّ ٍة فَتِ ْلكَ خَ ْمسُ ِماَئ ِة ِدرْ ه ٍَم فَهَ َذا‬
ْ َ‫ت اَل قَال‬ ُ ‫ت َأتَ ْد ِري َما النَّشُّ قَا َل قُ ْل‬ ْ َ‫صدَاقُهُ َأِل ْز َوا ِج ِه ثِ ْنت َْي َع ْش َرةَ ُأوقِيَّةً َونَ ًّشا قَال‬ ْ َ‫قَال‬
َ َ‫ت َكان‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأِل ْز َو‬
‫اج ِه‬ َ ِ ‫ق َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ‫صدَا‬
َ

“Saya pernah bertanya kepada Aisyah, istri Nabi ‫ﷺ‬: “Berapakah mahar Rasulullah ‫ ”?ﷺ‬Dia
menjawab; “Mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas Uqiyah dan satu Nasy.
Tahukah kamu berapakah satu Nasy itu?” Abu Salamah berkata: Saya menjawab: “Tidak.”
‘Aisyah berkata: “Setengah Uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus Dirham. Demikianlah
maskawin Rasulullah ‫ ﷺ‬untuk masing-masing istri beliau.” [HR. Muslim]

Uqiyah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah dalam ukuran uqiyah orang-orang hijaz
yang nilainya sama dengan 40 dirham. Menurut pengikut madzhab Syafi’i hukumnya sunnah

11
untuk memberikan mahar paling sedikit adalah 500 dirham atau setara 12 uqiyah dan setengah
nasy, sedangkan untuk ukuran mahar paling banyak tidak ditentukan nominal tertentunya. (As
Shan’ani,2008:711)

12
BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN
Kafa’ah dalam pernikahan yang dianjurkan oleh agama Islam adalah dalam hal akhlak dan
agama yang paling utama. Karena dengan keselarasan pemahaman agama antara suami-istri
melahirkan sebuah rumah tangga yang berhasil dan sukses. Kafa’ah ini bukan berarti kasta
karena agama Islam jelas menentang sistem ini, karena yang paling mulia diantara manusia
adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT bukan karena status sosial maupun harta
kekayaanya.

Contoh tidak adanya perbedaan antara seorang Arab dengan nasab yang tinggi dengan
seorang budak yang telah merdeka: Abu Hudzaifah menikahkan anak perempuan saudaranya
yakni Hindun binti Walid bin Utbah bin Rabi’ah dengan Salim yang merupakan bekas budak
dari seorang wanita Anshar. Kemudian Bilal bin Rabbah yang merupakan bekas budak yang
dimerdekakan oleh Abu Bakar As Shiddiq dinikahkan dengan adik perempuan Abdurrahman bin
Auf.

Mahar adalah sebuah bentuk penghormatan agama Islam terhadap kaum perempuan yang
ketika masa jahiliyyah sangat dibelenggu kebebasannya. Mahar adalah pemberian wajib seorang
laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya. Bentuk dari mahar itu sendiri bisa berupa uang,
barang, ataupun suatu kebermanfaatan dengan keridhoan dari sang mempelai wanita dengan
tidak memberatkan mempelai laki-laki.

Contoh dari bentuk mahar sesuai hadits yang telah dijelaskan diatas yakni, mahar dengan
mengajarkan Al Quran, dengan sepasang sendal, cincin besi, dan Ali ra bahkan memberikan
mahar kepada Fathimah ra berupa baju besi yang dihadiahkan Nabi SAW kepada Ali.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayyid. 2017. Fiqh Sunnah Jilid 2. Jakarta Timur: Al I’tishom

Ghazaly, Prof. Dr. H. Abdul Rahman. 2019. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenadamedia
Group

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2013. Mukhtasar Shahih Bukhari. Jakarta Selatan:


Pustaka Azzam

Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Amir. 2008. Subulus Salam-Syarah Bulughul
Maram. Jakarta Timur: Darus Sunnah Press

Al Asqalani, Ibnu Hajar. 2010. Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari. Jakarta
Selatan: Pustaka Azzam

14

Anda mungkin juga menyukai