Anda di halaman 1dari 19

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Fikih Mawaris Nor Fadillah, Lc, M.H

HUKUM MAWARIS MAFQUD DAN KHUNTSA

Oleh

Kelompok 4 :

Luthfiah Zulfa (1601151424)


Mahmudah (1601151425)
Mar’atus sholehah (1601151426)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


BANJARMASIN

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak
akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Hukum
Mawaris Mafqud dan Khuntsa”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber. Semoga makalah yang kami sajikan ini dapat menambah dan
memberikan pengetahuan yang lebih banyakserta bermanfaat bagi pembaca.
Walaupun dalam penyusunan makalah ini memiliki banyak kekurangan. Sehingga
dalam hal ini penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang
membangun. Terimakasih.

Banjarmasin, 3 April 2018

Pemakalah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II

PEMBAHASAN ............................................................................................... 6

A. Status Kewarisan Orang Hilang (Mafqud) .................................................. 7


B. Status Kewarisan Khuntsa Musyikil ............................................................ 9
C. Praktek dan Metode Pembagian Warisan .................................................. 13

BAB III

PENUTUP ....................................................................................................... 18

A. Kesimpulan ............................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kewarisan merupakan himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur
cara pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia oleh
ahli waris atau badan hukum lainnya. Mengenai orang hilang (mafqud) yang terputus
beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya, membuat masyarakat mencari
keadilan ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan ketetapan bahwa si mafqud
meninggal dunia secara hukum. Perkara tersebut menarik untuk dikaji karena
permasalahan hak waris mafqud menjadi kendala dalam proses pembagian harta
warisan, yang mana status si mafqud tersebut tidak bisa di identifikasi dengan jelas
apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Persoalan ini menjadi rumit karena,
peraturannya secara rinci tidak terkodifikasi dalam peraturan yang berlaku baik dalam
al-qur’an hadist maupun dalam undang-undang yang berlaku.

Begitu juga dengan orang banci (khuntsa) pada prinsipnya Allah Swt
menciptakan manusia hanya dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.
Kedua alat kelamin tersebut mempunyai urgensi yang tidak dapat diragukan lagi
kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-laki atau perempuan.
Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan untuk menentukan suatu
makhluk kepada jenis ketiga.

Dalam hal ini tentu hukum tertentu membedakan ketentuan antara laki-laki
dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka dan mempusakai dimana Allah Swt
telah menjelaskan pusaka laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat
mawaris, tetapi tidak menjelaskan pusaka khuntsa, sehingga dengan demikian dari
pemaparan tersebut menarik untuk dibahas bagaimana pewarisan orang yang
hilang(mafqud) dan orang banci (khuntsa) serta praktek metode pembagian
warisannya. Yang mana penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut. Dan akan
dijelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Orang Hilang (Mafqud)

a. Apa definisi orang hilang (mafqud)


b. Bagaimana cara menentukan batas waktu penetuan kematian orang
hilang (mafqud)?
c. Bagaimana pewarisan orang hilang (mafqud)?
2. Orang Banci (Khuntsa)
a. Apa definisi orang banci (khuntsa)?
b. Bagaimana pewarisan untuk seorang banci (khuntsa)?

TUJUAN

1. Untuk mengetahui definisi orang hilang (mafqud), cara menentukan batas


waktu kematian orang hilang (mafqud), serta cara pewarisan orang hilang
(mafqud).

2. Untuk mengetahui definisi orang banci (khuntsa) dan cara pewarisan orang
banci (khuntsa).

BAB II

PEMBAHASAN

A. WARISAN ORANG YANG HILANG (MAFQUD)


Orang yang hilang (dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mafqud) yaitu orang yang
tidak diketahui kabar beritanya, dalam hal ini termasuk tempat tinggal dan keadaannya
(apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia).

Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan
bahwa:

a. Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan


b. Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan
c. Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.

Ketidakbolehan ketiga hal tersebut diatas sampai orang yang hilang tersebut diketahui
dengan jelas statusnya, yaitu apakah ia dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal
dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus dianggap sebagai masih hidup
sesuai dengan keadaan semula. Dan dapat ditambahkan, bahwa yang berhak untuk
menentukan seseorang yang hilang sudah mati hanyalah Hakim.

Jangka Waktu Tunggu Seseorang Yang Hilang (Mafqud)

Mengenai jangka waktu tunggu ini para ahli hukum tidak ada persesuaian pendapat,
yang pada akhirnya kondisi ini melahirkan beberapa pendapat (Muhammad Ali as-Shabuni,
1988:236-237) yaitu sebagai berikut:

1. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman


sebayanya yang ada di tempat itu sudah mati (pendapat ini dipegang oleh ulama
Hanafiyah), sedangkan apabila diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah
mengemukakan harus terlewati waktu 90 tahun.
Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Syafi'iyah, akan tetapi penetapan matinya
seseorang itu hanya dapat dilakukan oleh keputusan lembaga Pengadilan.

2. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati
tenggang waktu 70 tahun.
Pendapat ini didasarkan kepada Hadis yang artinya berbunyi sebagai berikut, "umur
umatku antara enam puluh dan tujuh puluh tahun". (Pendapat ulama Malikiyah).
Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa apabila ada laki-laki yang hilang di
Negara Islam dan terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada Hakim dan
apabila Hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu
menunggu selama 4 tahun, dan kalau waktu 4 tahun sudah terlewati, maka istrinya
beridah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, dan
setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain.
Dengan riwayat tersebut berarti seseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah
lewat waktu 4 tahun.

3. Orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu
peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada
yang selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama 4 tahun, jika
tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi, pendapat ini dipegang
oleh ulama-ulama Hanabilah. Sedangkan, apabila kehilangan tersebut bukan
disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti pergi berdagang atau
merantau), ulama Hanabilah berbeda pendapat, yaitu:

 Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan.


 Diserahkan kepada ijtihad hakim.

4. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Dalam KHI pasal 96 ayat 2 disebutkan:


“Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang
harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar putusan pengadilan agama”.
Dalam masalah pembagian warisan bagi Mafqud, ada dua hal yang perlu diperhatikan
yakni:

a. Mafqud Berstatus Menjadi Muwarrits (Pewaris)

Bagi mafqud yang mempunyai harta peninggalan dan mempunyai waris, maka
hartanya diatur sebagai berikut:

1) Selama belum diketahui dengan yakin keadaanya, masih hidup atau mati, maka
hartanya tetap dalam miliknya.
2) Setelah hakim menetapkan bahwa mafqud telah meninggal (berdasarkan pengakuan
dan persaksian oleh saksi dan atau surat keterangan) maka hartanya itu boleh
dibagikan kepada ahli warisnya yang jelas masih hidup pada hari dan tanggal
ditetapkannya keputusan hakim.
3) Apabila ternyata mafqud masih hidup atau kembali dalam keadaan hidup atau
terbukti masih hidup, setelah hakim menetapkan bahwa mafqud telah meninggal,
dan hartanya telah dibagikan kepada ahli waris, maka ahli warisnya harus
mengembalikan sisa harta yang masih ada ditangan mereka. Adapun harta yang telah
dipergunakan atau sudah dijual, maka ahli waris tidak diwajibkan/tidak dituntut
untuk menggantinya. Dengan demikian harta yang harus dikembalikan hanyalah
harta yang masih utuh saja, sebab mereka menerima harta tersebut dengan putusan
hakim.

b. Mafqud Berstatus Sebagai Waris (Yang Mewarisi)


Sebenarnya mafqud tidak memenuhi syarat untuk mendapat bagian dari harta
peningggalan. Sebab tidak dapat dipastikan apakah dia masih hidup pada waktu muwarisnya
meninggal dunia. Akan tetapi untuk memelihara hak-haknya, maka diaturlah pembagian
warisan itu sebagai berikut:
1. Apabila si mafqud menjadi satu- satunya ahli waris, maka seluruh harta
peninggalan disimpan sampai nyata keadaannya.
2. Apabila ada ahli waris lain bersamanya, untuk menyelesaikan pembagian harta
warisan

Seseorang yang diantara ahli warisnya terdapat yang mafqud, hendaklah menempuh
jalan atau upaya-upaya berikut;
dikerjakan dahulu berapa bagian mereka masing-masing dengan menganggap si mafqud
masih hidup kemudian dikerjakan lagi menurut perkiraan si mafqud sudah mati, dan
kemudian dari dua perkiraan tersebut, maka para waris diberikan bagian yang terkecil dari
dua perkiraan. Sisanya ditahan untuk si mafqud sampai ada kejelasan, misalnya dari vonis
hakim yang kenyatakan tentang kematiannya.

Tentang kewarisan orang yang hilang hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu:

A. Apabila orang yang hilang tersebut menghijab/menghalang ahli waris yang


lainnya secara "hijab hirman", maka pembagian harta warisan harus ditangguhkan
sampai status hukum orang yang hilang tersebut pasti.
Misalnya: seseorang meninggal dunia dan meninggalkan satu orang saudara laki-
laki kandung, seorang saudara perempuan kandung dan seorang anak laki-laki
yang hilang.
B. Apabila tidak menghijab ahli waris yang ada, bahkan ia bersekutu untuk mewarisi
bersama ahli waris yang tinggal, mana yang tidak terhalang pembagiannya dapat
diberikan bagiannya terlebih dahulu (secara sempurna), sedangkan jika bagiannya
tidak sama andainya orang yang hilang tersebut dalam keadaan hidup atau mati,
maka kepadanya diberikan bagian yang terkecil, sedangkan bagi ahli waris yang
bagiannya tergantung kepada kematian orang yang hilang, maka bagiannya
ditangguhkan.

B. Kewarisan Khuntsa Musykil (Banci)


1. Definisi Khuntsa
Kata khuntsa berasal dari kata ‫ خنث‬yang artinya lemah atau pecah, jamaknya dari
wazan ‫ فعل‬menjadi lafadz ‫خنث‬. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang mempunyai alat
kalamin ganda (laki-laki dan perempuan). Para fuqaha membagi khuntsa kepada dua macam
:
1. Khuntsa musykil yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, jika ia membuang
air kecil melewati kedua alat kelamin bersama-sama.
2. Khuntsa ghair musykil, yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, akan tetapi
stetusnya sudah diketahui bahwa ia statusnya laki-laki ketika membuang air kecinya lewat
dzakar atau ia statusnya perempuan ketika membuang air kecilnya lewat farji.
Rasulullah bersabda saw;
‫ورثوا من اول ما يبول‬

“Berilah harta warisan anak khuntsa dari mana pertama lewat ia membuang air kecilnya”.

(Hadis Riwayat Ibnu Abbas). 1

1
Budi Ali Hidayat, Memahami Dasar-Dasar Ilmu Fara’id (Dalam Teori dan Praktik),
Bandung : Ankasa Titian Ilmu, tt, hal 131

1[2] Muhammad Ali Al-sabouni , Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah,
Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah., 2005. Hal 227
Adapun makna khanantsa menurut fuqaha adalah: seseorang yang mempunyai dua alat
kelamin, yaitu alat kelamin lakilaki dan alat kelamin perempuan (hermaphrodit), atau bahkan
tidak mempunyai (sama sekali) kedua-duanya alat tersebut,yang ada hanya suatu lubang yang
tidak serupa dengan kedua-dua alat itu.
Keadaan yang kedua inilah menurut fuqaha dinamakan dengan khuntsa musykil,
artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang
jelas,bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin
seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima waris sesuai
bagiannya.2 Meskipun demikian, seseorang khuntsa (terkadang) ada yang masih dapat
diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya, dan khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu
musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka
orang itu disebut khuntsa musykil.3
2. Kedudukan Hukum

a) Sependapat fuqaha bahwa apabila khuntsa itu telah menggunakan salah satu alat
(kelamin) itu, atau ia cenderung dan mencintai (seorang laki-laki atau perempuan)
maka dapat dihukumkan ia laki-laki atau perempuan, dia dinamakan sebagai khuntsa
wadhih. Ketetapan bagian warisan yang akan diterimanya adalah berlaku menurut
ketetapan sebagai laki-laki atau perempuan, dengan memperhatikan tanda-tanda itu.
b) Apabila belum dapat dihukumkan laki-laki atau perempuan, karena tanda-tandanya
belum jelas/terang, maka dinamakan khuntsa musykil. Fuqaha berbeda pendapatnya
dalam hal ini:
1. Menurut madzhab Maliki, dia (khuntsa musykil) mendapat ½ daripada bagian
yang diberikan untuk seorang anak laki-laki dan perempuan. Maksudnya
adalah, banci diberi bagian pertengahan di antara dua bagian itu. Maka
masalah dipecah menjadi dua, kemudian bagian dikumpulkan dalam dua
bagian dan dibagi dua. Maka hasilnya itulah bagian untuk khuntsa musykil
tersebut.
2. Menurut madzhab Ahmad bin Hanbal, sama dengan pendapat imam Syafi’i,
yaitu ditangguhkan/ditunggu sampai ada kejelasan, dan sama dengan
pendapat imam Abu Hanifah, yaitu memberikan kepada khuntsa musykil
tersebut, bagian yang tersedikit diantara dua bagian.
3. Dalam madzhab Hanafi, diberikan kepada khuntsa musykil itu yang tersedikit
diantara dua bagian, tidak perlu menunggu/menangguhkan sampai ada
kejelasan (laki-laki atau perempuannya).
4. Dalam madzhab Syafi’i: masing-masing dari ahli waris dan khuntsa diberikan
bagiannya yang terkecil, karena ia orang yang diyakini bernasab kepada setiap
orang dari mereka. Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) disimpan
sampai jelas keadaan semestinya.
5. Jika tidak berubah bagian khuntsa musykil dan bagian waris-waris selainnya,
jika dihukumkan khuntsa itu lakilaki atau perempuan, maka ketika itu warisan
bisa dibagi langsung menurut ketentuan bagian waris (tidak perlu
ditahan/ditangguhkan), seperti:
Struktur waris:
Ibu mendapat 1/6 = 1/6
Bapa mendapat 1/6 = 1/6
1 anak pr. mendapat 1/2 = 3/6
1 cucu khuntsa mendapat 1/6 = 1/6
Jika cucu khuntsa tersebut dihukumkan sebagai perempuan, ia mendapat
bagian 1/6, karena “takmilatunli tsulutsain” bersama dengan seorang anak
perempuan, dan jika ia dihukumkan sebagai laki-laki pun, khuntsaini juga
mendapat 1/6 sebagai ashobah bi al nafsi. Bagian khuntsa dan bagian waris-
waris selainnya sama, tidak berubah. Maka ketika itu, warisan bisa dibagi
langsung, tanpa harus menunggu adanya kejelasan khuntsa tadi, apakah ia
perempuan atau laki-laki.
5. Jika berubah bagian khuntsa dan bagian waris-waris selainnya, apabila ia
dihukumkan sebagai laki-laki dengan jika ia dihukumkan sebagai perempuan.
Maka ketika itu, boleh dibagikan kepada khuntsa dan kepada waris-waris
selainnya, yaitu bagian warisan yang telah ditetapkan/diyakinkan menjadi hak
mereka (pasti bagian mereka), yaitu bagian yang paling sedikit diantara dua
bagian yang berlainan tersebut. Bagian warisan selebihnya,
ditahan/ditangguhkan dahulu sampai ada kejelasan yang dapat
“menghukumkan” bahwa khuntsa musykil itu sebagai laki-laki atau
perempuan, atau berdamai diantara sesama waris dalam pembagiannya,
seperti:
1 anak laki-laki mendapat 1/3 = 3/6
1 anak (khuntsa musykil) mendapat 1/3 = 2/6
____________________________________________
Sisa lebih = 1/6 (ditahan)

Jika dihukumkan khuntsa tersebut sebagai anak laki-laki, maka waris ini masing-
masing mendapat ½; tetapi jika khuntsa tersebut perempuan, maka khuntsa mendapat 1/3,
dan anak laki-laki mendapat 2/3, karena 2:1 untuk anak laki-laki dan perempuan (li al dzakari
mitslu hadz al untsayain). Ketika ini, yang boleh diberikan/diserahterimakan kepada
masingmasing tersebut hanyalah yang paling sedikit. Sisanya yang 1/6 lagi
ditahan/ditangguhkan sampai ada kejelasan atau dapat dihukumkan bahwa khuntsa tersebut
laki-laki atau perempuan. Tetapi jika hendak dibagi-bagikan (langsung) juga, boleh dilakukan
dengan jalan perdamaian dinatara sesama waris.
`Dari beberapa uraian di atas terkait kewarisan khuntsa musykil ini, menurut pendapat
yang paling rajih, hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit
diantara dua keadaannya, keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian
untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi
jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai khuntsa itu
meninggal sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.4 Bahkan dalam madzhab
imam Syafi’i, jika dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya
dikarenakan adanya khuntsa musykil dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki
atau wanita), maka si mahjub (pada saat pembagian yang masih belum ada kejelasan
mengenai laki-laki dan perempuannya khuntsa), saat itu sama sekali tidak boleh diberikan
bagian sedikitpun. Sisa daripada harta warisan terseut harus dibekukan/ditahan/ditangguhkan.
Ada beberapa kemungkinan (cara) untuk menentukan besarnya bagia yang akan diterima oleh
seorang waris yang khuntsa musykil, di antaranya adalah:
a. Menemukan jenis kelamin orang yang bersangkutan

4
Ali Ash Shabuny, terj. op cit, hal. 163.
b. Meneliti tanda-tanda kedewasaannya
c. Seandainya apa yang diungkapkan pada point (1) dan (2) tidak dapat ditentukan atau
samar-samar, maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya, seperti:

a. Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan pada
khuntsa dan memberi bagian terbesar kepada Ahli waris lain. Pendapat imam
Hanafi, Muhammad al Syaibani dan Abu Yusuf.
b. Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan
kepada khuntsa dan ahli waris yang lainnya, dan sisa harta ditangguhkan
pembagiannya sampai ada kejelasan. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah,
Abu Dawud, dan Ibn Jabir.
c. Memberikan separoh dari dua perkiraaan laki-laki dan perempuan kepada
khuntsa musykil dan ahli waris lain.

C. PEMBAGIAN WARISAN KHUNTSA DAN MAFQUD

a) PRAKTEK DAN METODE PEMBAGIAN KHUNTSA DAN ORANG HILANG


(MAFQUD)
a) Pembagian Khuntsa Musykil

Menurut pendapat yang paling kuat, khuntsa diberi bagian harta warisan bil
adharr (yang kurang dari hak semestinya), maka dicermati bagian yang menjadi
haknya dari harta warisan ditinjau dari dua ketentuan, yakni bagian laki-laki dan
bagian perempuan. Tata cara pembagian tersebut dilakukan dua tahap. Pada tahap
pertama khuntsa itu dianggap sebagai laki-laki, pada tahap kedua, ia dianggap sebagai
perempuan. Sementara yang ia terima ialah kurang dari pada hak yang semestinya
tersebut. Adapun selisih pembagian untuk sementara waktu dibekukan hingga jelas
keadaannya, ataupun para ahli waris itu berdamai menentukan bagiannya itu. Bila
khuntsa ini wafat maka selisih bagiannya itu diberikan kepada ahli warisnya.

Begitupula jika keberadaannya memahramkan atau memahjubkan salah


seorang ahli waris, baik dengan menganggapnya sebagai laki-laki maupun
perempuan, maka gugurlah hak ahli waris itu. Inilah pendapat yang mu’tamad dalam
mazhab Syafi’i sebagaimana diisyaratkan oleh penyusun kitab Manzhumah Ar-
Rahabiyyah sebagai berikut:
“jika dalam urutan para ahli waris terdapat khuntsa yang jelas-jelas musykil Maka
berilah ia bagian yang kurang dari semestinya. Dengan demikian engkau telah
melakukan pembagian dengan cara yang benar dan jelas.”

1. Adapun yang dimaksud dengan ungkapan “bil adharr” yaitu bahwa khuntsa
diberi bagian kurang dari semestinya ialah bahwa bila bagiannya sebagai perempuan
lebih kecil dari bagiannya sebagai laki-laki, maka ia dinyatakan sebagai seorang
perempuan. Bagitu pula sebaliknya, yaitu bila bagiannya sebagai laki-laki lebih kecil
daripada bagiannya sebagai perempuan maka ia dianggap sebagai seorang laki-laki.
Bilamana dalam salah satu anggapan tersebut ia menjadi mahrum atau mahjub, maka
gugurlah bagiannya.5

Argumentasi yang dimajukan adalah untuk memberi bagian yang meyakinkan.


Adapun sisa harta ditangguhkan terdahulu sampai menjadi jelas.6

Contoh kasus:

Jika seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari bapak, ibu, seorang anak
perempuan, anak (khuntsa musykil). Harta warisannya sejumlah Rp. 3.600.000,-,
maka bagian masing-masing adalah:

a. Perkiraan laki-laki
AM = 6 HW= 3.600.000

Ahli Waris Furud/bagian Saham Bagian


Ibu 1/6 1 Rp. 600.000
Anak perempuan Ashabah 4 Rp. 2.400.000
Anak laki2
Bapak 1/6 1 Rp. 600.000
Jumlah Rp. 3.600.000

5Muhammad Ali Al-sabouni , Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta: Dar Al-Kutub
Al-Islamiyyah, 2005. Hal 230

6 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawari., Jakarta, 1995. Hal 138


 1 anak perempuan dan 1 anak lalki-laki sebagai ashobahbi al ghair mendapat sisanya,
yaitu 4/6 x Rp. 3.600.000,- =Rp.2.400.000,-
 Khuntsa musykil menerima dua kali bagianperempuan, atau 2/3 x Rp. 2.400.000,- =
Rp.1.600.000,-, sedangkan anak perempuan 1/3 x Rp. 2.400.000,- = Rp.800.000,-

b. Perkiraan perempuan

AM = 6 HW= 3.600.000

Ahli Waris Furud/bagian Saham Bagian


Ibu 1/6 1 Rp. 600.000
Anak 2/3 4 Rp. 2.400.000
perempuan
Anak laki2
Bapak 1/6 1 Rp. 600.000
Jumlah Rp. 3.600.000

 Khuntsa menerima 1/2 dari Rp. 2.400.000,- = Rp.1.200.000,- Jadi bagian yang
terkecil dari dua perkiraan di atas adalah bagian perempuan. Sementara bagian ibu
dan bapak sebesar Rp. 600.000,- dan anak perempuan sebesar Rp. 1.200.000,-.
 Sementara bagian ibu, anak perempuan dan bapak masing-masing sebesar Rp.
600000, Rp. 1.200.000, Rp. 600000.

c. Memberi bagian terkecil dari dua perkiraan (laki-laki dan perempuan) kepada
khunsa dan kepada ahli waris lain. Sisanya ditangguhkan hingga ada kejelasan jika
dimungkinkan dan penyelesaiannya diserahkan kepada kesepakatan ahli waris.
Demikian pendapat ulama Syafi’iyah, Abu Dawud, Abu Saur dan Ibn Jarir.7yang
penting didalam penyelesaian antara keluarga, keadilan harus menjadi prinsip utama.

Dengan demikian apabila kedua contoh diatas diselesaikan menurut pola kedua akan
dihasilkan sebagai berikut:

Ibu menerima Rp. 600000

Anak pr menerima Rp. 800000

7Fatchur rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’rif, 1981. hal 488


Anak khuntsa menerima Rp. 1.200.000

Bapak menerima Rp. 600000

Jumlah = Rp. 3.200.000

Sisa sebesar Rp. 3.600.000 – Rp. 3.200.000 = Rp. 4.00.000 ditangguhkan atau diselesaikan
menurut kesepakatan ahli waris.

d. Pendapat ketiga:

Menurut pendapat ketiga ini, contoh di atas diselesaikan sebagai berikut:

Bapak = Rp. 600.000,- + 600.000,-/2 = Rp. 600.000,-


Ibu = Rp. 600.000,- + 600.000,-/2 = Rp 600.000,-
1 anak pr. = Rp. 800.000,- +1.200.000,-/2 = Rp.1.000.000,-
Anak khuntsa = Rp.1.600.000,-+1.200.000,-/2 =Rp.1.400.000,-
_______________________________________________
Jumlah = Rp.3.600.000,-.

b) Pembagian Orang Hilang (Mafqud)

Menurut para ulama, setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia
pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan
kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu keluarnya
penetapan hakim.8praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau
tidaknya kewenangan untuk menetapkan atau menghukumi status bagi mafqud tersebut
dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum masih bersifat masih dapat diperdebatkan.
Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan hingga saat ini belum ada ketentuan-
ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam
menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu
yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli warisnya.
Menurut para ulama setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu
tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat

8
T. M. Hasbi Ash – Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 273.
kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia pada waktu keluarnya penetapan
hakim.9

 Contoh kasus
Seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dua saudara perempuan
sebapak dan saudara laki-laki sebapak yang hilang. Si mayit meninggalkan harta
sebesar 48 juta berapakah jumlah harta warisan yang diperoleh setiap ahli waris dan
berapakah jumlah harta warisan yang ditangguhkan pembagiannya untuk orang yang
hilang?10
 Jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan masih hidup

N Ahli Bagian A HW.48 jt Penerim


oWaris M a
1 Suami ½ 3 3/6 x 24.000.0
48 jt 00
2 Ibu 1/6 1 1/6 x 8.000.00
48 jt 0
3 2 Saudara 1/6 1 1/6 x 8.000.00
pr se Bpk 48 jt 0
4 Saudara 1/6 1 1/6 x 8.000.00
lk2 se Bpk 48 jt 0
Jumlah 6 6 48.000.0
00

 Kedua jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan sudah
meninggal

No Ahli Waris Bagian AM HW.48 jt Penerima


1 Suami ½ 3 3/7 x 48 jt 20.571.428
2 Ibu 1/3 2 2/7 x 48 jt 13.714.286
3 2 Saudara 2/3 2 2/7 x 48 jt 13.714.286
pr se Bpk

9
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, hal.69
10
Addys Aldizar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal. 381
Jumlah 6 7 48.000.000

11
Dengan demikian harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada
waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak
mewarisinya karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik
secara hakikatnya (mati hakiki)maupun mati secara hukum . Oleh karena itu, harta warisan
yang sudah dibagi dan ketika si mafqudhadir kembali sudah melampaui empat tahun, maka ia
tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Dalam pasal 21 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1929 terdapat ketentuan berikut: “Ditetapkan kematian mafqud
yang bepergian ke tempat yang memungkinkan dia mati sesudah empat tahun dari tanggal
kepergiannya. Adapun dalam segala situasi yang lain, maka urusan batas waktu yang
sesudahnya ditetapkan kematian mafqud itu diserahkan kepada hakim. Hal itu semua
dilakukan setelah diadakan penyelidikan mengenai dia dan segala cara yang mungkin dan
menyampaikan kepada pengetahuan apakah si mafqud itu dalam keadaan hidup atau
mati.Apabila si mafqud hadir sebelum empat tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta
yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mafqud adalah orang yang pergi menjadi hilang tak tentu rimbanya, tak diketahui
tempat tinggalnya, dan alamatnya, juga tidak diketahui apakah orang itu masih hidup atau
sudah meninggal dunia. Dengan demikian terdapat kesulitan dalam pembagian warisan orang
mafqud. sehingga terdapat banyak perbedaan dikalamgan ulama’. Begitu juga dengan
khuntsa, Khuntsa adalah orang yang mempunyai dua tanda kelamin, baik laki-laki maupun
perempuan, atau tidak mempunyai tanda-tanda yang jelas, apakah laki-laki atau perempuan.
Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya khuntsa
seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk

11
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, hal. 70

12
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, hal. 70
diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil. sama halnya dalam
pembagian warisan yang mana terdapat kesulitan dalam membaginya, sehingga untuk lebih
mudah harus menentukan jenis kelamin dari khuntsa tersebut sehingga akan jelas apakah itu
perempuan atau laki-laki dengan demikian ketika telah diketahui jenis kelaminnya maka akan
lebih mudah dalam pembagian warisan.

B. Saran

Dari makalah yang sudah dipaparkan diatas kami berharap memberikan manfaat yang
banyak walaupun makalah ini sangat jauh dari sifat kesempurnaan. Dapat memahami dan
mengamalkannya adalah sebuah harapan besar dari kami. Mohon maaf apabila ada kesalahan
dalam mennyusun dan memaparkan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ali Al-sabouni , Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta:
Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 2005

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawari., Jakarta, 1995

Fatchur rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’rif, 1981

T. M. Hasbi Ash – Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak

Addys Aldizar, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)

Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak

Anda mungkin juga menyukai